BERILIUM

By halusinojin

47.3K 6K 1.7K

Antara kemelut hati yang nyata dan kebahagiaan yang semu, Seokjin berdiri di sana. Kuat, tak goyah, namun rap... More

Home Sweet Home.
Hal yang Lumrah.
Menaruh Curiga.
Ibu, Kau Berubah.
Kesalahan Pertama.
Stalker.
'Dia' yang Mengetahui Segalanya.
Pembual.
Sebuah Permohonan.
Sebuah Impresi.
Pikiran Rumit Seokjin.
Datang.
Sudut Pandang.
Sepercik Binar.
Praduga.
Ada Sesuatu yang Hilang.
Hidup.
Hilang.
Krusial.
Semua Salahnya.
Aksa.
Di Ujung Tebing.
Sebuah Kebenaran Telak.
Rekah.
Akhir [1].

'Dia' yang Akan Tergantikan.

868 118 8
By halusinojin

Hi! (~‾▿‾)~
Untuk part ini agak panjang ....
Moga suka ya! ( ꈍᴗꈍ)





🎈

Seokjin sebenarnya sangat mengerti.

Bahkan terlampau mengerti.

Terlebih ketika Nyonya Song datang pada dua hari sebelumnya, berkata jikalau sang ibu akan tiba ketika Yoongi telah membaik—karena mereka bilang Min Hyeji dalam kondisi tidak stabil dan akan memperburuk keadaan bila Seokjin menemuinya.

Maka, Nyonya Song menyatakan bahwa Seokjin tidak boleh menemui wanita itu untuk saat ini. Bahkan ia menyarankan pada Seokjin untuk tinggal di rumahnya sementara waktu setelah Min Hyeji kembali ke rumah sakit.

"Tapi, kenapa?" Pikirnya.

"Kenapa aku harus ikut denganmu, Nyonya? Aku ingin bersama keluargaku." Ia merasa tidak setuju dengan usulan wanita itu.

Helaan napas terdengar, Nyonya Song menyentuh pundak perlahan, menatap lekuk mata Seokjin kemudian berkata, "Jin, ini semua demi dirimu ... Aku hanya ingin kau mengerti, Hyeji saat ini pikirannya kacau dan aku tak ingin dia menyakitimu ...."

"Ta-tapi—"

"Kau tak mengerti?" Potongnya.

Kemudian alis Nyonya Song tertekuk, tatapan itu kini terlihat tegas, menandakan bahwa Seokjin harus mendengar apa saja yang akan keluar dari mulutnya.

"Ibumu, Min Hyeji."





"Ia benci padamu."

Seokjin tak mampu membalas juga menyangkal, ia hanya bisa terdiam karena merasa tertampar dengan apa yang baru saja Nyonya Song katakan padanya. "Kau pun menyadarinya bukan? Kau tidak diharapkan lagi di sana ... Untuk apa kau bertahan?"

Pemuda itu tak mampu mengangkat pandangan, pupilnya mengarah ke bawah lengkap dengan alis tertekuk—berusaha merangkai kata agar ia bisa membuktikan bahwa dugaan Nyonya Song pada ibu dan Yoongi salah. Beberapa detik kemudian ia menjawab, "Aku telah berjanji, Nyonya."

Wanita di hadapan hanya mampu tertawa, ia rasa alasan Seokjin sama sekali tidak masuk akal. "Janji apa? Pada Jaehwan? Jin, kau sudah berusaha semampumu ... Lihatlah kenyataannya sekarang, apakah kau berhasil membuat mereka bahagia? Apakah kau berhasil melihat senyum dari Hyeji karena usahamu sendiri? Apa kau bisa melindungi mereka? Terutama Yoongi?" Kemudian membuang napas kasar, Nyonya Song nampak ingin segera menyelesaikan percakapan ini dan bisa membujuk Seokjin untuk tinggal bersama.

"Dengar, nak—" Ia menggenggam tangan Seokjin, meremas erat serta berusaha untuk meyakinkan.

"Ibu adalah satu-satunya orang menyayangimu ... Sepenuh hatiku. Aku mengerti akan rasa sakitmu, Jin. Aku sangat mengerti ... Ibu tidak ingin kau terluka lebih dari ini, sayang. Kau berhak bahagia, kau berhak untuk tersenyum ...." Ia menangkup pipi Seokjin dengan lembut, netra mereka saling bertemu. Seokjin bisa merasakan kesedihan yang tersirat dibalik mata hazel milik Nyonya Song, ia tampak sangat menyayanginya.

Dirasa tak ingin menangis meski kini air matanya telah menggenang, Seokjin bersicepat mengusap mata secara kasar dengan tangannya. "Ya? Jin, ikutlah denganku."

Rasa cemas nampak terlihat dari deru napas yang tiap kali Seokjin embuskan, ia kalut. Ia merasa semua yang dikatakan Nyonya Song mutlak benar dan batin Seokjin sendiri tak bisa mengelak.

Ia telah gagal.

Gagal untuk mempertahankan keluarganya.

Gagal untuk menepati janji yang Min Jaehwan katakan kala itu.

Sedikit larut dalam emosi dan ingatannya sendiri, Seokjin kini telah memutuskan untuk memberi jawaban pada Nyonya Song. Jadi, menarik napas untuk memulai kemudian ia berucap, "Apa yang Nyonya katakan ... Semua benar."







"Aku akan ikut denganmu."

Nyonya Song membuang napas lega, terlihat senyum manis merekah kala Seokjin memutuskan sesuai dengan yang diharapkan. Kini, ia bisa meluapkan rasa kasih sayangnya tanpa harus sembunyi-sembunyi. Hendak memberikan pelukan, Seokjin secara tidak sadar menahan Nyonya Song dengan sebuah kalimat yang masih tertinggal di mulutnya.

"Tapi, izinkan aku untuk menemani Yoongi hingga ia sadar."



🎈

"Jin ...."

"Ayo kita pergi."

Seseorang telah menyentuh pundaknya, Seokjin tahu siapa itu. Lantas ia segera berpaling, "Nyonya ... Seharusnya aku ikut senang melihat ini, tapi ... Kenapa—"

Nyonya Song hanya bisa mengelus pundak sebagai jawaban, ia ingin Seokjin mengerti bahwa dirinya haruslah kuat 'tuk menghadapi ini.

Ketiga temannya tentu saja menyadari hal itu, Jimin lantas menghampiri seraya bertanya, "Jin, kau mau kemana?" Netranya menatap bergantian—pada Seokjin serta Nyonya Song, disusul Hoseok dan Taehyung yang ikut mendekat.

Seokjin ragu untuk memberikan alasan kepada mereka, namun Nyonya Song segera menolong, "Seokjin untuk saat ini ... Akan tinggal denganku dulu. Karena satu dan lain hal, jadi dia tidak bisa bertemu kalian untuk sementara waktu." Jelas Nyonya Song.

"Ta-tapi kenapa? Ini sangat mendadak." Kemudian Taehyung melirik orang yang dimaksud, hendak mempertanggung jawabkan maksud dari pernyataan yang telah Nyonya Song katakan. "Jin ini tidak benar 'kan?" Sanggah Taehyung, ia merasa tidak terima dengan keputusan wanita yang diketahui sebagai mantan pengasuh di panti asuhan tempat Seokjin tinggal. "Kau tidak memberi tahu apapun kepada kami."

"Maaf, teman-teman ... I-ini keputusanku dan aku sudah setuju untuk ikut dengan Nyonya ...." Ia tertunduk, senyum samar terlihat.

"Bagaimana dengan Yoongi?"

Satu pertanyaan itu lantas sukses membuat Seokjin mengangkat pandangan. Hoseok melanjutkan perkataannya, "Yoongi pasti akan mencarimu, setidaknya temui dia lebih dulu Hyung, kau harus melihatnya bukan?" Suara Hoseok terdengar lirih, ia sedikit kesal dan sedih dengan keputusan Seokjin untuk pergi meninggalkan Yoongi begitu saja.

"Hoseok benar. Ayolah, biar aku yang mengatakannya pada ibumu—"

"Tidak perlu." Seokjin menepis kasar lengan Jimin yang hendak menggiringnya kembali ke dalam kamar Yoongi. Sontak, mereka bertiga terkejut—stagnan ditempat dengan lengan Jimin yang masih tergantung di sana.

Taehyung terkekeh, "Kau ini kenapa? Jangan seperti ini, Kim Seokjin. Ia telah menunggumu cepat—"

"Sudah hentikan."

Wanita yang sedari tadi diam kini telah membuka suara, menarik Seokjin ke belakang punggungnya kemudian dengan tegas ia berkata, "Tolong kalian hargai keputusan Seokjin saat ini. Dia ingin pergi bersamaku dan itu merupakan keinginannya sendiri. Sekarang, saya harap kalian tidak memaksanya untuk melakukan apa yang kalian inginkan. Kalian tidak tahu apapun yang telah dialaminya." Lalu memegang erat pergelangan tangan Seokjin, "Permisi, saya izin pergi."

Nyonya Song membawa Seokjin pergi—lebih tepatnya menyeret Seokjin pergi karena ia nampak kewalahan ketika berjalan. Menyisakan tiga pasang mata yang mengikuti arah kedua punggung pergi menjauh dan hilang dari pandangan.

Taehyung nampak menopang kening, memijat pelipis perlahan sebelum pada akhirnya mendecih cukup keras. Ia tak habis pikir, kenapa Seokjin tega berbuat seperti ini—memilih 'tuk bersama wanita itu dan tega meninggalkan Yoongi, padahal Taehyung yakin bahwa dalam hati kecil Seokjin, ia pasti tak menginginkannya.

Tak hanya dia. Baik Jimin maupun Hoseok pun tengah berpikir hal yang sama.

"Jadi, dia yang menggantikannya?! Ya! Kim Seokjin?!"





_______________

Terhitung sejak satu jam yang lalu, Min Yoongi terbangun dari tidur lamanya.

Kini, ia terlihat bersandar pada ranjang pesakitan, tak dapat bergerak banyak selain melihat sekeliling yang terasa sangat asing dalam benak.

Sang ibu terlihat terdiam, mengelus punggung tangan Yoongi secara perlahan dan berulang. Entah apa yang tengah dipikirkan, Yoongi hanya bisa melihat jejak garis air masih basah, pun kelopak mata yang memerah terlihat dari kedua ujung netra wanita itu. Kepala Yoongi masih terasa sakit, akan terasa berputar meski ia sedikit mengangkatnya. Jadi, setelah tertangkap basah oleh Min Hyeji karena tengah memerhatikan, Yoongi sedikit tergemap kala Min Hyeji bertanya, "Ada apa, Sayang? Mana yang terasa sakit?" dengan nada lembut, Yoongi bisa melihat air muka bahagia dan haru di sana-sebuah pemandangan langka memang, karena pada faktanya ia tak pernah melihat lagi setelah sekian lama.

Yoongi menggeleng perlahan, energinya seperti terkuras habis, padahal selama ini ia hanya tertidur panjang.

Embusan napas terdengar, Min Hyeji kembali melanjutkan, "Kau sangat membuat ibu khawatir sayang ... Ibu takut, ibu tak bisa membayangkan jika—" Ia tak bisa melanjutkan, tenggorokan serasa tercekat, mulutnya ditutup agar bisa menahan tangis yang hendak kembali keluar. Bayangan itu, bayangan dimana kemungkinan terburuk terjadi pada anak semata wayangnya—Yoongi. Adalah aneh jika seorang ibu tak sedikitpun memiliki rasa kalut pada darah dagingnya sendiri yang tengah berada diambang kematian. Semua telah berlalu dan kala ini, Min Hyeji bertekad untuk memperbaiki semuanya; akan memberi perhatian penuh bagaimana seharusnya sebagai ibu pada Yoongi demi kesembuhan serta kebahagiaannya.

Yoongi hanya bisa tersenyum samar, merasa lega karena Min Hyeji ada di sini. Namun, entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal—Yoongi berusaha mengingat, namun itu terlampau sukar. Alhasil, ia sedikit mengerutkan dahi.

Tiba-tiba saja potongan suara terdengar berkelebat entah dari mana, suaranya tak asing dan ia ingin tahu akan hal itu. Selama ini Yoongi jelas sekali mengingat jikalau ia tengah berada dalam sebuah padang rumput yang luas, terbaring dengan leluasa, sangat terasa nyaman hingga ia tak ingin tergerak sedikitpun.

Sampai-sampai suara itu datang dan membuatnya ingin kembali—Yoongi berlarian, mencari sumber suara itu sebelum pada akhirnya ia berhasil kembali.

Suara yang menjadikannya sebagai alasan 'tuk bangkit.

Suara yang terdengar ceria, menceritakan hal-hal konyol dengan semangat menggebu. Suara-suara yang selalu memanggilnya, menceritakan sebuah dongeng kesukaan saat masih kecil, hal yang menyenangkan, dan tak pernah terdengar menyerah.

Yoongi selama ini hanya menanti, tak bisa keluar dari tempat yang entah mengapa ia bisa berada disana. Menunggu, berharap bahwa Tuhan mengabulkan keinginan orang itu—yang setiap saat berdo'a untuk dirinya.


"Yoon, kau pasti ingin mengatakan sesuatu padaku saat itu ... Tapi, dengan bodohnya aku menghindar ...."


"cepatlah bangun ... Hm? Cepat buka matamu,"

"Aku akan mendengarkanmu—"





"Aku menyayangimu, Yoon. Sangat."




"Yoon, Jungkook menitip pesan padaku ... Katanya, kau harus cepat sembuh. Ia sangat kesepian ... Jadi, berjuang lah! Kau ini adikku yang kuat!"

"Ta-da! Ada makanan kesukaanmu! Ayo cepat bangun ... Aku rindu saat kita makan bersama, Yoon."


"Tuhan, tolong ... Katakan pada Yoongi untuk segera kembali, kami sangat rindu. Tolong katakan padanya bahwa kami semua sangat menyayanginya."

Semua suara-suara itu tanpa sebuah peringatan menghujam dalam benak Yoongi.

'Bukan ... Itu bukan suara ibu.' Tekanya dalam hati.

'Siapa?'








"Aku tahu kau pasti mendengarkan suaraku, kau di sana 'kan? Yoongi? Jangan menyerah ... Hyung akan selalu ada di sini ...."







"Hyung ...." Gumam Yoongi, ia telah mengingat siapa orang itu; seseorang yang selalu berada di sisinya tanpa kenal lelah, tetap terlihat senyum meski ia tak bisa. Semuanya demi Yoongi seorang.

Oh, bagaimana bisa ia melupakan Hyung-nya?

Kenapa dia tidak ada?

Netra sabit itu lantas tergenang, pandangannya memburam cepat, tak dapat melihat jelas selain rasa sesak yang tak kasat mata tengah memenuhi relung hati. Disusul dengan Min Hyeji yang berkali-kali bertanya. "Kenapa? Kenapa menangis sayang? Ada ibu di sini ... Semuanya baik-baik saja ... Tak apa, kau sudah pulang sekarang." Seraya mengusap pipi Yoongi dengan ibu jari.

"Hyung—"

"Hm?" Min Hyeji mendekat, karena suara Yoongi samar terdengar.

Melirik ke arah kiri, Yoongi hendak melontarkan sebuah pertanyaan pada Min Hyeji, kemudian serak saat ia berkata,

"Di mana Jin-hyung?"








🎈

Lampu lalu lintas kini berwarna merah, para pengendara terpaksa untuk tidak menekan pedal gas selama tiga menit kedepan. Sebagai gantinya, mereka terfokus pada layar segi empat modern yang bisa menyala, adapun sebagian yang bersenandung riang lewat siaran radio satu arah.

Yah, itu semua lebih baik dibandingkan menjadi pemerhati orang yang tengah berlalu-lalang di hadapan—menyebrang. Tapi Seokjin melakukannya; lebih tepatnya menaruh kepala di atas tangan kanan yang terlipat pada kaca mobil sebelah.

Nyonya Song di samping nampak belum menyadari gelagat Seokjin yang acap kali tak bisa membalas obrolan selama perjalanan ini, terlebih kini ia yang memegang kemudi, tak bisa kehilangan fokus beberapa detik saja karena takut lampu bundar di atas kepala tiba-tiba berubah menjadi hijau.











"Akhirnya kau kembali ke sini setelah sekian lama, Jin." Ucap Nyonya Song tepat saat mesin mobil dimatikan di halaman depan rumahnya.

Jin hanya membalas dengan sekadar anggukan dan senyum samar.

Nyonya Song kemudian membuka safety belt, tanpa melirik pemuda di samping ia kembali berujar, "Ayo cepat kita masuk, udaranya dingin. Akan kubuatkan minuman hangat." Kemudian mengambil barang-barang bawaan di sebalik kursi—mereka baru saja selesai dari toko, membeli beberapa bahan untuk mengisi lemari pendingin.

Genggaman Nyonya Song penuh, ia lantas kembali melihat Seokjin yang nyatanya masih berkutat dengan sabuk pengaman—berusaha keras membuka oleh sebelah tangan. Sedikit terkekeh kecil saat berkata, "Aduh ... Maafkan aku, yang ini memang sedikit macet. Biar ku bantu ya ...." Seraya kembali melepaskan barangnya, ia kemudian membantu Seokjin.

"Terima kasih, Nyonya." Lalu dibalas senyum olehnya. "Ayo, kita masuk. Bantu aku bawa barangnya ya ...."

Bisa dibilang di hari ini, hari ketika musim dingin akan tiba, minuman panas adalah obat terbaik untuk menghangatkan tubuh. Jadi sesampainya di dalam rumah, Nyonya Song tergesa menuju dapur—hendak menyajikan susu cokelat panas buatannya pada Seokjin yang tengah terduduk di sofa.

Seokjin menatap sekitar, semuanya masih sama. Meski di luar dingin, rumah Nyonya Song sangat nyaman dan hangat, detak jarum jam yang beraturan membuat Seokjin sedikit mengantuk meski dalam otaknya masih bercokol rasa ingin bertemu Min Yoongi yang entah bagaimana kabarnya. Hingga sesaat kemudian, atensi teralihkan oleh ketukan mug keramik berwarna pistachio yang diletakkan di atas meja kaca. Sedikit membuang napas—karena merasa 'tak enak, ia berkata, "Ah, Nyonya ... Tidak perlu seperti ini ...." Seokjin berkata demikian dengan menatap gelas yang uapnya masih terlihat mengepul di udara.

"Kenapa, hm? Tak boleh? Kau ini ... Sudah minum saja, ya? Di luar dingin, setidaknya kau harus menghangatkan tubuhmu." Seraya mengusap bahu kanan Seokjin, kini Nyonya Song terduduk di sebelah.

Hanya mengangguk sebagai ucapan terima kasih, Seokjin terlihat tidak segera mengambilnya, namun tangan itu justru sibuk memegang gips yang terbelit di tangan kiri. Ia terlihat—amat sangat—gelisah.

"Ada apa, hm? Tanganmu terasa ngilu? Atau tidak ada yang beres?" Nyonya Song menatap khawatir, telapak tangan kirinya yang hangat segera menggenggam erat tangan Seokjin kemudian berusaha menenangkan; mengusap punggung tangan perlahan, pelan ia bertanya, "Katakan padaku, apa yang mengganggumu?"

Cukup lama terdiam, serta hanya detik dari suara jam yang mengisi percakapan antara mereka berdua, lantas dengan desahan napas panjang, Nyonya Song kembali melanjutkan. "Kau bisa menceritakannya, tak apa ... Percayalah padaku."

Seokjin rasa, perlakuan Nyonya Song terhadapnya sangatlah membuat nyaman, entah mengapa karena perkataan itu hati Seokjin sedikit demi sedikit terasa lega, hanya dengan tutur kata lembut, Seokjin kini merasa ....



Ada sosok yang telah terganti, mengisi kekosongan dalam hati Seokjin yang selama ini selalu ia nantikan.[]

Continue Reading

You'll Also Like

772K 49.4K 95
Cerita sekuel dari 'Katakan: karena sebuah cerita berawal dari sebuah kata Meraih cinta itu mudah, tidak semudah itu memang. Mungkin tampak lebih mud...
258K 20.4K 99
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
1.2M 63.2K 66
"Jangan cium gue, anjing!!" "Gue nggak nyium lo. Bibir gue yang nyosor sendiri," ujar Langit. "Aarrghh!! Gara-gara kucing sialan gue harus nikah sam...
361K 37.9K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...