ABHATI

By Lalaa_po

351K 46.5K 2K

[TAMAT]✓ Ratih Fairuza Malik adalah seorang mahasiswi dengan kehidupan yang begitu kacau. Sejak insiden pembu... More

Disclaimer
Prolog
1 | Orang Asing
2 | Putra Mahkota
3 | Pelarian
4 | Pawitra
5 | Bhumi Mataram
6 | Pemuda Bercapil
7 | Seruling Merdu
8 | Kepingan Memori
9 | Awal yang Buruk
10 | Srikandi
11 | Purnama di Atas Langit Pawitra
12 | Busur Panah
13 | Sosok Berjubah Hitam
14 | Time Traveller
15 | Time Traveller (2)
16 | Kembali ke Dunia Itu
17 | Pelarian kedua
18 | Pembunuh
19 | Sayatan Luka
20 | Sebuah Kekecewaan
21 | Bhumi Sambhara Budhara
22 | Si Cantik Bermahkota Emas
23 | Kematian Raja Garung
24 | Raja Muda
25 | Jamuan Kerajaan
26 | Mimpi Buruk
27 | Keputusan Akhir
28 | Kelompok Bayangan
30 | Perjalanan ke Medang
31 | Puri Pratama
32 | Hilangnya Kepercayaan
33 | Siasat Baru
34 | Malapetaka
35 | Sarang Harimau
36 | Penghianat
37 | Hukuman Mati
38 | Busur Bajra
39 | Pertemuan Tak Terduga
40 | Dua Saudara
41 | Dimensi yang Berbeda
42 | Bangkitnya Kekuatan Hitam
43 | Raseksa Penunggu Hutan Undir
44 | Pengabdian dan Kesetiaan
45 | Penyerangan
46 | Perebutan Takhta
47 | Akhir Kisah
Epilog

29 | Pernikahan Dua Dinasti

5.4K 777 38
By Lalaa_po

Suara tabuhan genderang tiba-tiba berbunyi, semakin lama terdengar semakin menggebu-gebu. Sorak-sorai turut mewarnai suasana pemeriahan untuk menyambut seorang tamu kehormatan. Ya, pagi itu juga rombongan Rakai Pikatan telah memasuki kompleks kerajaan Syailendra. Raja Samaratungga dan jajaran petinggi kerajaan Syailendra menyambut kedatangannya dengan hangat. Rakai menyerahkan tali kekang kudanya pada seorang prajurit setelah dia turun dari sana. Dan diikuti oleh para rakryannya dia mulai berjalan menaiki satu persatu anak tangga dan memberi salam kepada Raja Samaratungga setelah dia berhenti tepat di hadapannya. Samaratungga membalas salam itu, dan dengan diliputi perasaan bahagianya ia lantas memeluk Rakai Pikatan.

"Selamat datang di kerajaanku Yang Mulia," ucapnya sambil menepuk pundak Rakai.

"Terima kasih atas sambutan ini Yang Mulia, tetapi tidak sepantasnya Anda memanggilku dengan panggilan kehormatan, karena aku akan meminang putrimu," balasnya.

"Tentu saja, justru aku akan menganggapmu sebagai putraku sendiri, ha ha ha." Suara tawanya terdengar menggelegar.

Berdiri tepat di belakang Rakai, Darsana mengangguk sambil tersenyum lebar.

"Oh mari kukenalkan dengan anak-anakku terlebih dulu," Kemudian Raja Samaratungga mempersilahkan Rakai untuk mengikuti langkahnya.

"Ini adalah putraku, Balaputradewa" dia menghadapkan Rakai pada seorang pria bertubuh tinggi besar. Pria itu terlihat tidak asing bagi Rakai, tentu saja itu adalah pria yang sama persis dengan yang ada di mimpinya. Ternyata dugaannya selama ini benar, sebaiknya dia harus berhati-hati dengan orang ini.

"Salam Yang Mulia, senang bertemu dengan Anda" Balaputradewa menangkupkan kedua tangannya, memberi salam dengan senyumannya yang seakan mencemooh. Dan itu membuyarkan lamunan Rakai dari pria itu.

"Oh iya, salam" Rakai membalas salamnya cukup datar.

Kemudian Raja samaratungga menggiring Rakai ke tempat lain di mana para wanita berdiri dan berjajar rapi. Rakai sempat melirik Balaputradewa saat hendak berlalu dari hadapannya. Dan pria itu membalasnya dengan tatapan sinis yang cukup aneh. Lalu tidak lama, Rakai kembali mengalihkan pandangannya pada Raja Samaratungga saat pria itu mengucapkan sesuatu.

"Dan akan ku kenalkan calon istrimu, dia adalah putriku yang sangat cantik..."

Rakai mengikuti pandangan raja itu, melihat ke depan, ke arah jajaran wanita yang berdiri menunduk di sana.

"Dia adalah Pra...tunggu dulu. Di mana Pramodhawardani?"

Raja Samaratungga celingukan, ia menoleh kesana kemari mencari keberadaan putrinya itu. Tetapi ia tidak mendapati putrinya berada di antara jejeran wanita itu. Dia kembali menoleh ke arah Rakai dengan perasaan bersalah. Dilihatnya raut wajah Rakai Pikatan yang terlihat tengah menunggu nunggu.

"Maafkan aku, entah ke mana perginya gadis ini. Em...Anda tenang saja, di hari pernikahan besok pasti Anda bisa melihatnya. Sekarang sebaiknya Anda beristirahat terlebih dahulu setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Rakryanku ini akan menunjukkan ruangannya."

Rakai mengangguk, kemudian datang seorang rakryan kerajaan Syailendra yang tanpa mengurangi rasa hormat mulai mengarahkannya dan para rombongan kerajaan Medang.

***

Siulan angin yang merdu bersiul dan menderu-deru di telinganya. Beberapa juga menerbangkan kan rambutnya hingga menari-nari di udara. Matanya menatap fokus ke arah satu titik, yaitu sebuah papan kayu dengan titik merah di tengah yang terletak di seberang sana. Tangannya mulai menarik tali busur itu dengan kuat sebelum hendak melepaskannya. Kini dia siap untuk membidik, matanya terpejam sebentar dilanjutkan dengan menarik napas dalam-dalam sampai...

"Ndoro!"

Seketika anak panah itu terlepas dari busurnya dan malah meleset jauh dari sasaran. Gadis itu memasang raut muka kesal, ini sudah ke sepuluh kalinya ia membidik dan selalu meleset.

"Aduh kau menggangguku saja Nirma!" Ia berteriak sambil menoleh ke arah seorang dayang yang berada tak jauh darinya. Dayang itu terlihat kelelahan setelah berlarian cukup jauh, dan untuk mendekat lagi, si dayang masih berlari kecil.

Sampai di dekat Ratih, dayang itu ngos-ngosan sambil memegangi lututnya.

"Ndoro...se...se...."

"Kalau mau bicara itu ambil napas dulu, biar jelas kalau bicara!" Ratih berucap sambil meraih satu anak panah lagi yang tersedia di atas sebuah nampan beralas kain merah yang dibawa oleh seorang dayang lain di dekatnya. Kemudian ia memasang anak panah tersebut sambil menunggu Nirma mengisi tenaganya.

"Hamba lelah mencari Ndoro ke mana-mana, bahkan hampir ke seluruh penjuru istana ini." Ia memotong kalimatnya untuk mengambil napas lagi, "Tau-taunya Ndoro malah bermain-main di sini."

"Aku ini sedang berlatih memanah, bukan bermain," gerutunya.

"Tapi harusnya saat ini Ndoro sudah ada di halaman utama, menyambut kedatangan Maharaja Rakai Pikatan. Entahlah, mungkin semua orang tengah mencari-cari Anda sekarang."

Ratih yang tadinya mengangkat busur, seketika ia menurunkannya lagi. Ia benar-benar lupa kalau hari ini calon suaminya akan datang. Kemudian ia mengangkat tangan kanan, menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Eh iya aku lupa," ucapnya sambil cerengesan.

Mendengar itu Nirma terlihat semakin kesal dibuatnya. Padahal besok sudah hari pernikahan gadis itu, tetapi sikapnya masih saja seperti ini.

"Biar lah, besok juga pasti bertemu." Kemudian ia mengangkat busur itu lagi. Mencoba fokus kembali dengan arah sasarannya. Setelah menarik tali busur, lantas ia melepaskannya. Namun sayangnya karena panah itu bengkok, maka ia pun tidak berhasil mengenai sasarannya.

"Ah sial! Meleset lagi." Ia terus mengumpat dalam hati.

Dari kejauhan seseorang memerhatikannya diam-diam dari tadi, saat gadis itu mulai kesal, pria itu pun memutuskan untuk menghampirinya.

Karena masih diliputi perasaan kesal, Ratih tidak menoleh sedikitpun saat mendengar langkah seseorang di belakangnya. Berbeda dengan Nirma yang langsung menoleh dan seketika itu terkejut bukan main saat melihat orang itu, ia pun menutup mulut dengan kedua tangannya dan mulai berjalan mundur menjauh dari sana.

"Berikan aku anak panah lagi!" perintah Ratih pada seorang dayang yang sedari tadi berdiri sambil memegang nampan berisi anak panah itu. Si dayang tidak langsung menurut karena ia di paksa diam oleh seorang pria yang meraih satu panah dari nampannya.

Kemudian pria itu memberikan anak panah pada Ratih dari belakang.

"Terima kasih, kau lama se-"

Lagi-lagi kalimatnya terpotong, namun kali ini bukan karena sahutan pria itu melainkan karena ia menoleh dan melihat langsung wajah si pria. Kedua matanya terbelalak, dan anak panah yang tadinya telah ia terima kemudian jatuh begitu saja dari genggamannya.

"Lihat, kau menjatuhkannya." Pria itu berucap, kemudian dia menunduk dan mengambil anak panah yang terjatuh itu.

"K...ka...kau...?"

Ratih terus memandangi wajah itu. Garis mata itu...wangi ini, benar-benar tidak salah lagi kalau itu adalah dia.

"Kenapa kau ada di sini Raka?" tanyanya membulatkan kedua mata.

Pria itu tak langsung menjawab, ia malah meraih pergelangan tangan kanan Ratih lalu meletakkan anak panah itu di tangannya. Ratih tidak menghiraukan segala yang dilakukan pria itu padanya. Kedua matanya tetap setia memandang wajah itu.

Barulah ia tersentak tatkala pria itu memegang kedua bahunya lalu membalikkan arah tubuh gadis itu seakan membenahi posisinya. Pria itu masih berdiri tepat di belakangnya, bahkan Ratih dapat merasakan pundaknya menyentuh dada pria itu.

Kemudian Rakai mengangkat busur itu bersamaan dengan tangan Ratih. Embusan angin kian kencang hingga menggoyangkan rambut mereka berdua. Ratih juga dapat merasakan helaan napas Raka di tengkuknya, semua ini mengingatkannya dengan waktu itu.

Ratih dapat melihat kedua mata elang itu menatap fokus ke arah sasaran, sangat tajam. Jika diibaratkan sebuah belati pasti tatapan itu dapat menggores segalanya. Rakai mulai menarik busur lantas melepaskan anak panah itu ke arah sasaran. Meski beberapa kali angin menerpa, panah dari Rakai sama sekali tidak meleset dari sasaran. Ratih terpana melihat hal itu.

Kini Rakai mengubah posisinya saling berhadap-hadapan. Lalu ia tersenyum mencemooh ke arah gadis itu. Sebelum akhirnya membalikkan badan.

Ratih mengerutkan keningnya, "Kau belum menjawab pertanyaanku!" tegasnya.

Rakai hanya tersenyum kecil, "Ku pikir kau sudah tahu kalau aku adalah Rakai Pikatan."

Ratih semakin terkejut. Ia mengangkat satu alisnya keheranan.

"Mengapa kau terkejut begitu?" Rakai membalikkan badannya lagi sambil semakin melebarkan senyumnya. Namun itu tidak terlalu lama. Sampai ia mendekatkan wajahnya pada Ratih yang masih diam berdiri di depannya.

"Apa kau terkejut setelah tahu kalau aku masih hidup?" bisiknya tepat di telinga Ratih. Gadis itu yang tadinya terkejut kini malah dibuat bingung olehnya.

Lantas Rakai tidak berlama-lama di sana, ia masih memiliki beberapa urusan. Jadi ia langsung membalikkan badannya lagi dan memalingkan wajah dari gadis itu. Sebelum ia pergi, ia sempat menoleh sedikit untuk mengatakan suatu hal padanya.

"Jangan melupakan pernikahan kita besok."

Kemudian ia segera beranjak dari sana, meninggalkan Ratih dengan seribu pertanyaan yang masih belum terjawab.

***

Malam harinya Ratih menghabiskan malam dengan duduk di jendela besar kamarnya sendirian. Nirma tidak ada untuk menemaninya karena ia disibukkan oleh berbagai macam persiapan pernikahan besok. Dan Malam ini Ratih tidak tidur sama sekali bukan karena ia tidak bisa tidur, melainkan karena ia memang tidak diperbolehkan tidur untuk semalaman menjelang pernikahannya besok. Ia tidak tahu mengapa harus begitu, tetapi itu memang sudah tradisi, begitulah kata Nirma. Jadi ia hanya mengikutinya saja.

Selama duduk di sana ia tak habis-habisnya memikirkan sesuatu. Bukan saja tentang pernikahannya, melainkan juga tentang Raka yang ternyata selama ini adalah seorang pewaris takhta. Dan itu membuktikan bahwa ternyata dugaannya benar selama ini.

Ratih yang sedari tadi menundukkan kepalanya seketika menoleh ke luar jendela, ternyata malam ini kerajaan benar-benar disibukkan oleh pernikahannya besok. Dari atas sana dia dapat melihat para pegawai istana tengah berbondong-bondong menyiapkan segala hal ditemani dengan cahaya obor. Malam yang biasanya sunyi dan sepi kini diisi oleh berbagai macam suara-suara para pekerja.

Ratih mengerucutkan bibirnya, ia menyandarkan kepalanya dan kembali memikirkan tentang pria itu, pria yang akan menikah dengannya besok, Ratih sendiri sama sekali tidak terpikirkan bagaimana nasib dunianya di masa depan saat ini.

Saat mengambil keputusan untuk menikah, yang ia pikirkan adalah soal perdamaian, ia merasa mungkin dengan pernikahan ini maka semua pertikaian akan berakhir. Dan untuk pria yang akan dinikahinya sendiri, ia tidak pernah menyangka bahwa Raka lah orangnya. Sebenarnya ia tidak keberatan menikah dengan pria itu karena dulu pria itu juga pernah menyelamatkannya, banyak berbuat baik padanya, dan yang pastinya tampan juga sih.

Tetapi....

Mengapa dia merasa bahwa Rakai yang ini jauh berbeda dengan yang dulu? Terlebih setelah mendengar ucapan yang sempat dibisikkan padanya itu. Kira-kira apa maksud perkataannya itu?

***

Pagi itu adalah awal yang baik untuk memulai segala aktivitas. Sejak ayam jago berkokok, kerajaan Syailendra tampak disibukkan dengan berbagai persiapan untuk acara pernikahan tuan putri mereka, Pramodhawardani.

Pernikahan diselenggarakan di balairung istana Kerajaan Syailendra, di sana beragam jamuan makanan dan minuman disajikan untuk para tamu.

Telah disediakan sebuah altar dengan segala perlengkapan yang lengkap di atasnya. Altar itu berada di posisi lebih tinggi dengan anak tangga kecil yang mengelilinya. Di atas sudah ada seorang pandita yang siap memimpin pernikahan.

Setelah semua menunggu cukup lama akhirnya Ratih keluar untuk segera melakukan upacara pernikahannya. Dia berjalan perlahan menuruni anak tangga dengan didampingi ayahnya, Samaratungga dan para dayang serta pengawal yang membawa pedang pendek mengelilinginya.

Rambut panjangnya di gulung ke atas dan dihiasi mahkota emas serta rangkaian bunga-bunga yang indah, kakinya tak mengenakan alas kaki, yang ada hanya sebuah hiasan kaki yang akan berbunyi setiap ia melangkah.

Kain yang melilit tubuhnya berwarna putih susu yang mana terlihat sangat indah saat disatukan dengan warna kulitnya yang putih. Nirma juga telah mendandani wajahnya secantik mungkin dengan berbagai riasan wajah yang diramu sendiri dan berbahan dari alam. Ia juga memakai berbagai rangkaian manik-manik emas yang menghiasi ujung kepala hingga kaki. Tidak luput juga sebuah gelang emas dan perak yang indah menghiasi pergelangan tangannya.

Ratih berjalan menunduk, Langkahnya diiringi dengan tabuhan genderang dan gong tembaga. Ia meremas gaunnya sambil terus memikirkan maksud dari ucapan Rakai kemarin. Namun di samping rasa kebingungannya itu, jujur ia terlalu gugup untuk saat ini, bahkan jantungnya saja berdegup cukup kencang. Dari kejauhan ia dapat melihat calon suaminya, Rakai yang tengah menantinya di seberang sana.

Ratih terus berjalan sampai ia berhenti dan berdiri tepat di hadapan si pria. Para pengawal membuka jalan sembari memberikan sembah penghormatan kepada sang mempelai pria. Dengan tertunduk, Ratih dapat melihat kedua kaki pria itu, kemudian dia mencoba mendongakkan kepalanya hingga akhirnya ia pun dapat melihat wajah pria itu dengan jelas.

Tidak lama kemudian seorang pandita mempersilahkan keduanya untuk segera melaksanakan upacara pernikahan. Ratih yang tidak paham dengan semua tradisi ini hanya mengangguk-angguk saja sembari mengikuti segara arahan dari sang pandita.

Tabuhan genderang dan gong yang tadinya membuat suasana meriah seketika berhenti. Kini suasana benar-benar berubah menjadi sakral dan demikian pula Ratih semakin merasa gugup akan semua ini. Ia menoleh ke arah Rakai, dipandanginya mata hitam legam pria itu yang setia menatap lurus ke depan.

Setelah usai mengikuti segala tata cara dan tradisi pernikahan yang cukup banyak, akhirnya kedua mempelai mengucapkan janji kawin dan ditutup dengan pemanjatan doa serta pemberkatan.

Kini keduanya berdiri dalam posisi saling berhadapan. Tiba-tiba seorang dayang datang sambil membawakan sebuah nampan yang beralaskan kain merah. Rakai mengambil sebuah cincin berwarna emas dengan hiasan batu mulia berwarna merah mengkilat di atasnya, kemudian ia meraih pergelangan tangan Ratih dan memasangkan cincin itu ke jari manisnya.

Ratih terus memerhatikan keindahan cicin itu, sampai ia tidak sadar kalau Rakai sedang menatap kedua manik mata cokelatnya lekat-lekat. Ia balas menatapnya, dan mereka saling memandang sekarang. Ratih cukup kesulitan membaca ekspresi pria itu, karena di sana ia hanya melihat wajah datar dan tatapan tajam Rakai ke arahnya. Ratih merasa semua hal berjalan normal-normal saja.

Sampai tiba-tiba pria itu meraih dagunya dan memberikan sebuah ciuman tepat di bibirnya. Itu pun dilakukan di hadapan banyak orang dan tamu undangan.

Akhirnya mereka berdua sudah menyelesaikan pernikahan ini. Di sini para pujangga mulai menyanyikan himne-himne pujian. Dan pesta pernikahan pun digelar dengan sukacita. Genderang dan gong tembaga kembali di tabuh, beragam makanan di suguhkan, dan semua orang memberikan sembah penghormatan kepada kedua mempelai.

Setelah melakukan semua itu, Rakai tetap tidak berucap sedikit pun, sedangkan Ratih yang wajahnya sudah memerah seperti kepiting di rebus sejak tadi tetap mencoba berdiri tegak agar tidak sampai pingsan.

Ratih tidak habis pikir, itu tadi adalah sebuah ciuman pertamanya seumur hidup.

***

Malam itu Ratih diliputi perasaan gelisah, sejak tadi ia terus mondar-mandir di kamar itu. Malam ini ia dan Rakai akan tidur di kamar yang akan mereka bagi bersama. Namun sejak upacara pernikahan selesai ia tidak melihat Rakai sama sekali, ia tidak tahu ke mana perginya pria itu hingga sekarang.

Ratih menakupkan kedua tangannya, ia benar-benar gugup dan hampir tak percaya kalau dirinya telah menikah. Saat menerima sebuah ciuman pertama saja dirinya sudah hampir pingsan seperti itu, lalu bagaimana saat dirinya dan Rakai nanti...

Ratih tersentak kaget ketika melihat Rakai yang mulai berjalan masuk ke kamar itu tanpa mengetuk pintu.

Rakai menatap gadis itu sekilas kemudian melepaskan mahkota dan kalung emas serta perhiasan lain yang melekat di tubuhnya. Ratih tetap berdiri di sana, ia benar-benar merasa gugup, tidak seharusnya seperti ini. Ia dan Rakai sudah saling mengenal cukup lama dan juga bisa dibilang cukup akrab. Namun baru sekarang untuk memulai bicara saja rasanya sangat keluh.

Ratih mengalihkan pandangannya ke arah lain tatkala pria itu melepaskan kain yang menutup bagian atas tubuhnya. Rakai sempat melihat ketakutan di wajah gadis itu sambil tersenyum seakan mencemooh. Kemudian ia mulai berjalan perlahan ke arahnya.

Pria itu sudah berdiri cukup dekat di depannya, walaupun tanpa melihat langsung ke arahnya, Ratih sudah tahu kalau pasti Rakai tengah menatap wajahnya lekat-lekat sekarang. Dan wajah itu terasa dekat, dekat dan semakin dekat ke arahnya. Ratih tidak bisa mengalihkan pandangannya ke arah lain lagi. Melihat kedua mata yang semakin mendekat itu membuat Ratih mulai menelan ludah dengan susah payah

"K...k...kita..." ucapnya dengan sangat gugup.

Ratih memejamkan kedua matanya cukup erat. Detak jantungnya memompa darah dengan sangat cepat seakan ia bisa mendengar suara degup jantungnya sendiri, kedua tangannya gemetaran. Ia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya dan apa yang akan dilakukan Raka kepadanya?

"Minggirlah, aku sangat lelah, aku ingin istirahat," ucap pria itu dingin, dan tepat di depan wajahnya.

Seketika Ratih membuka kedua mata sambil menghela napas, ditatapnya langkah Rakai yang berjalan melaluinya begitu saja.

Pria itu hanya berlalu tanpa menyentuhnya sama sekali. Dan Ia tidak mengatakan apapun sampai Rakai membaringkan tubuhnya di atas kasur.

Ratih segera menyusul langkahnya dan berdiri tepat di samping tempat tidur.

"Banyak yang ingin ku tanyakan padamu."

Rakai hanya berdehem.

"Diam dan tidurlah, simpan semua pertanyaanmu untuk besok, Ratuku."

Ratih mengangkat kedua alisnya, apa ia tidak salah dengar barusan.

Tetapi ia juga merasa enggan untuk meneruskannya lagi, akhirnya ia memutuskan untuk tidur dan melepas segala kepenatannya juga. Namun sebelum itu ia sempat menatap lama wajah Rakai. Dari parasnya ia memang tidak banyak berubah, masih sama tampannya dengan dulu. Malah jika dengan pakaian kebangsawanan itu ia terlihat lebih memesona.

Walau begitu bukan itu sebenarnya yang tengah ia pikirkan. Melainkan sifat pria itu yang terlihat lebih banyak berubah bahkan nyaris seperti orang yang tidak pernah ia kenal.

Continue Reading

You'll Also Like

KASHMIR By B.O.S🚀

Historical Fiction

381K 24.9K 121
Menjadi pengantin dari kerajaan yang wilayahnya telah ditaklukkan bukanlah keinginanku. Lantas bagaimana jika kerajaan yang aku masuki ini belum memi...
403K 59.9K 85
"Became the Most Popular Hero is Hard" adalah judul novel yang saat ini digemari banyak pembaca karena memiliki visual karakter dan isi cerita yang m...
4.2M 576K 69
18+ HISTORICAL ROMANCE (VICTORIAN ERA/ENGLAND) Inggris pada masa Ratu Victoria Sebelum meninggal, ibu dari Kaytlin dan Lisette Stewart de Vere menyer...
1.4K 200 30
Ian kehilangan keluarganya dalam kecelakaan pesawat dan selalu hidup dalam rasa bersalah. Hal itu membuatnya bertekad untuk kembali ke masa lalu meng...