BERILIUM

By halusinojin

47.3K 6K 1.7K

Antara kemelut hati yang nyata dan kebahagiaan yang semu, Seokjin berdiri di sana. Kuat, tak goyah, namun rap... More

Home Sweet Home.
Hal yang Lumrah.
Menaruh Curiga.
Ibu, Kau Berubah.
Kesalahan Pertama.
Stalker.
'Dia' yang Mengetahui Segalanya.
Pembual.
Sebuah Permohonan.
Sebuah Impresi.
Pikiran Rumit Seokjin.
Datang.
Sudut Pandang.
Sepercik Binar.
Praduga.
Ada Sesuatu yang Hilang.
Hidup.
Hilang.
Krusial.
Semua Salahnya.
Aksa.
'Dia' yang Akan Tergantikan.
Di Ujung Tebing.
Rekah.
Akhir [1].

Sebuah Kebenaran Telak.

897 120 9
By halusinojin

🎈

Surya nampak terlihat dari ufuk timur, Seokjin yang tengah berbaring di sofa terkejut dengan binar dari balik jendela—cahaya itu tegak lurus tepat mengenai matanya, pertanda bahwa ia akan terlambat untuk ke sekolah.

Ia menegakkan punggung, adrenalin telah terpacu meski masih pagi. Seokjin terkejut karena terbangun di sofa ruang keluarga—setelah tak dapat tidur semalam sebab terus menerus memikirkan Yoongi beserta sang ibu, ia memutuskan 'tuk mengambil minum di dapur dan ingin berdiam diri di sofa. Seokjin tak menyangka jikalau ia akhirnya dapat tertidur pulas di sana, terlebih lagi ia masih belum terbiasa setelah dua hari tinggal di rumah ini.

Jadi, dengan segudang rasa khawatir dan penyesalan, ia tergesa menuju kamar mandi. Hendak mengambil seribu langkah namun terpaksa berhenti setelah mendapati Nyonya Song berdiri di konter dapur, uap mengepul dari atas penggorengan. Jujur saja, Seokjin terbangun karena tiga alasan; pertama, ia terkejut akan dirinya sendiri karena terlambat bangun, kedua cahaya matahari yang membuatnya terganggu serta ketiga, wangi harum yang berasal dari dapur.

Jadi, setelah menyadari ada pemuda yang hendak berlari tergesa, ia kemudian menyapa. "Pagi, Jin ... Ayo kita sarapan."

"Selamat pagi, Nyonya." Seokjin melontarkan senyum kaku, ia kemudian berdiri pun menghampiri. "Hari ini kau sekolah 'kan? Aku sudah siapkan bekal untuk istirahat di meja, kau segera mandi dan bersiap. Kita masih sempat untuk sarapan." Meski kedua lengannya berkutat pada peralatan dapur—wajan serta spatula, Nyonya Song mampu menunjukkan tempat di mana kotak makan itu berada menggunakan sorot mata; pada konternya yang berbentuk L, dekat mangkuk berisi buah. Setelah Seokjin terangguk pelan dan berterima kasih, ia sedikit berlari menuju kamar mandi.

🎈

Seorang pemuda terlihat sedang menopang dagu dengan telapak tangannya di atas meja, menatap kosong buku catatan yang sudah lama tak terlihat sepanjang Seokjin mengalami kejadian tempo hari. Tangan kiri belum bisa bergerak bebas, agak ngilu, gatal, dan Seokjin tidak bisa melakukan apa-apa. Tetapi semua itu bukan hal yang mengganggu—karena justru ada hal yang lebih besar dibandingkan dengan mengeluh akan kondisi lengannya. Seokjin rasa, pagi hari ini tidak seperti biasa.

Ia merasa lain, pergi ke sekolah meski telah cukup lama absen dan mungkin kelas akan menjadi asing baginya, namun Seokjin merasa tidak aneh. Seokjin tentu bisa memahami mata pelajaran yang tertinggal, ataupun bertegur sapa dengan teman-teman lain meski saat ini ia masih sendiri—Taehyung dan Jimin belum menampakkan batang hidungnya.

Lantas Seokjin hanya melamun, memikirkan pagi yang tak biasa di mana untuk kali pertama setelah sekian lama, ia berangkat dengan sebuah bekal di dalam tas.

Aneh rasanya, Seokjin kembali teringat akan ucapan Jimin dan Hoseok tempo hari—pada saat ia masih di rumah sakit, tengah menunggu Yoongi.

[]

"Jin ... Apakah kau bisa mengingat lagi kejadian saat itu? Karena, aku rasa ini sangat tidak masuk akal."

"Iya! Mana ada orang yang menyetir mobil dengan sangat cepat serta lampu yang mati?! Apalagi di area sekolah 'kan? Pasti setiap orang akan melintas dengan perlahan." Tambah Hoseok, "Jin-hyung, tolong coba ingat, agar kita bisa menemukan pelakunya."

"Berarti, dia sengaja melakukan ini? Orang gila." Jengah Jimin, nampak gusar lewat embusan napas yang dikeluarkan, membuat Seokjin mengangkat dagu pun berkata. "Setelah Yoongi berteriak, aku menengok ke arah kiri dan mobil itu sudah dekat ... Mobil sedan hitam." Jelas Seokjin dengan dahi mengerut berusaha mengingat.

"Yoongi ingin memberi tahuku sesuatu saat itu, ta-tapi malah—"

"Jin, firasatku ... Orang itu ...." Jimin menginterupsi, dirasa ragu, ia menggigiti kuku kanannya kala berkata.

"Apa?"

"Nyonya Song."

"Hah?"

"Firasat burukku mengatakan, bahwa orang itu Nyonya Song."

[]

"Jin?"

"Seokjin!"

Tiba-tiba saja Seokjin sedikit tergemap, menoleh cepat kala bahunya diguncang keras.

Itu Jimin dan Taehyung.

"Kau sekolah?! Bagaimana bisa—" Taehyung menatap Seokjin dari ujung rambut hingga kakinya, lengkap dengan wajah terkejut yang-amat sangat-menyebalkan.

Tatapan sinis sebagai jawaban, ia kemudian berkata, "Memangnya kenapa? Kau betah duduk sendiri?"

"Aish ... Bukan begitu ...." Taehyung mencebik nyaring, sedikit tak terima dengan tuduhan yang Seokjin layangkan. "Aku senang kau kembali, bagaimana lenganmu?" Kala terduduk di sebelah, Taehyung berkata demikian. Tersenyum lepas setelahnya pun Seokjin menjawab dengan senyum yang sama besar, "Baik ... Aku baik-baik saja."

"Bagaimana? Setelah dua hari tinggal di sana?" Satu lagi teman di samping bertanya, terduduk di hadapan meja Seokjin lengkap dengan kedua lengan terlipat di atasnya.

Membuang napas kentara, ia kemudian berkata, "Tidak ada yang mencurigakan, Jim. Dugaanmu salah."

"Benarkah? Satu hal pun?"

Seokjin mengangguk mantap dilengkapi wajah kuyunya, Jimin ikut membuang napas tanda mengeluh, sedang Taehyung dengan paras tak berdosa hanya menatap raut kedua sahabat bergantian—tidak mengerti apa yang tengah dibicarakan.

"Sebentar—" Taehyung mengapit dagu pun kedua alis tertekuk, beberapa detik setelahnya napas lelaki itu tercekat. Seperti menyadari sesuatu yang ganjil telah terjadi, "Jadi, kau sengaja ikut dengan wanita itu?!" Dengan suara lantang ia berkata, Taehyung nampak terkejut. Tadinya ia hendak memarahi Seokjin hingga puas karena pergi begitu saja—memenuhi keinginan Nyonya Song untuk tinggal bersama.

"Iya, aku ingin memastikan sendiri apakah tuduhan Jimin benar atau tidak ... Jadi aku mengikuti keinginannya untuk tinggal bersama Nyonya Song." Jelas Seokjin.

Disaat yang bersamaan, Jimin menaruh telunjuk tepat di depan bibir Taehyung, tak lupa dengan desisan nyaring yang bertitah agar Taehyung tidak berteriak—lebih tepatnya berteriak di depan mereka hingga telinga terasa berdenging. "Kami sengaja tidak memberitahumu. Hehe." Cengiran khas dilayangkan, sedikit membuat Taehyung geram karenanya.

Lebih baik tak menggubris si manusia menyebalkan Park Jimin, ia lantas mengenyahkan jari yang berada di mulutnya serta bergeser. Melampiaskan wajah masamnya pada Seokjin. "Kalian keterlaluan, aku jadi terlihat bodoh 'kan ... Sudah marah tidak jelas padamu. Dasar." Keluh Taehyung, intonasinya terdengar rendah. Hendak pergi sebelum pada akhirnya sebuah sergapan erat di pergelangan tangan menghentikan Taehyung.

"Hei ... Ayolah~ Jangan marah begitu ... Aku traktir mie di kantin, ya?!" Jimin memohon pada Taehyung untuk kembali duduk.

"Ga perlu."

"Jin akan traktir minumnya! Ya?! Mau apa? Teh? Jus? Bubble tea? Apapun akan dia belikan!" Ia terlihat memohon, menatap penuh harap pada Taehyung agar ia tidak marah lagi, sedangkan sosok yang dijadikan tumbal penebus dosa—Seokjin—ingin sekali mengapit leher Jimin dengan satu tangan yang ada.

"Tidak usah." Taehyung kukuh dengan egonya.

Merasa gagal akan segala upaya, Jimin akhirnya mengeluarkan jurus andalan tepat disaat Taehyung hendak berbalik, "Ayolah ... Apa kau semarah itu? Lagi pula kau bagus Tae, emosi pada Jin dan Nyonya Song itu terasa nyata! Kau hebat!" Puji Park Jimin dengan mata berbinar, "Aku sampai takut melihatmu. Badanku—ugh, bergidik saat itu! Serius!" Dia melebih-lebihkan, matanya terbuka lebar pun beberapa anggukan yakin, merayu Kim Taehyung agar segera meluruskan kedua alisnya yang masih tertekuk karena merasa kesal. Tak lama, Taehyung menyahut, "Benarkah seperti itu?" Wajahnya menahan senang—gengsi karena tak ingin dikatakan luluh begitu saja pada bualan si Park Jimin.

Lantas kepala mereka—Jimin dan Seokjin—turun naik bersamaan, berseri-seri seperti memberikan jawaban 'ya-benar-begitu-Taehyung-adalah-yang-terbaik!'

Sedang si pemuda yang tengah dipuji hidungnya tampak mengembang, terkekeh senang saat berkata, "Ha.ha.ha. Sepertinya aku akan menjadi aktor yang terkenal beberapa tahun ke depan ...."

Jimin terbangun dari duduknya, sangat antusias "Tentu saja! Kau sudah tampan, wajahmu sudah seperti aktor-pro! Aahh ... Lihat rahang yang tegas ini, kau akan menjadi aktor yang sukses! Benar begitu Jin?" Ia melihat ke arah Seokjin yang masih tertunduk memberikan kedipan mata sebagai tanda ajakan agar sependapat.

Seokjin tak ada pilihan lain selain mengatakan iya.

"Aish ... Tak perlu begitu, Jimin-ssi ... Aku tahu aku ini memang tampan."

Sepersekon kemudian Taehyung berdecak, "Akh! Dasar, aku jadi tidak bisa marah lagi pada kalian. Ayo! Kita ke kantin! Aku belikan makanan!" Ucapnya girang, Jimin ikut tersenyum lebar sedang Seokjin tampak tidak kerasan "Ta-tapi—Tae—"

"Eiy, tak apa ... Ayo!" Sambil merangkul Jimin erat seraya menarik lengan Seokjin tergesa. Mereka pergi sebelum bel masuk berbunyi.

Seokjin menatap Jimin seperti, 'lihat?-apa-yang-sudah-kau-lalukan?-aku-merasa-tidak-enak-padanya!'

Sedang ia pun membalas, 'tak-apa!-aku-jujur-tentang-itu-dan-sama-sekali-tidak-berbohong!-lagi-pula-aku-tidak-diberi-uang-oleh-ibu!' melalui tatapan pula.

Dasar, pertemanan yang aneh.



🎈

Esok harinya, saat jam pulang tiba, Seokjin melangkah lunglai menuju gerbang. Musim dingin telah tiba dan kini ia mempersiapkan diri dengan memakai pakaian tebal. "Jin, menurutku ia menyembunyikannya." Ucap pemuda di sebelah—Park Jimin, tanpa melirik sama sekali.

"Yah ... Ini hanya sebuah dugaan 'sih. Tapi bisa saja ia menyembunyikan semua fotomu di tempat yang tertutup." Lanjutnya, kemudian Seokjin menoleh. "Tapi untuk apa? Aku 'kan sudah bersamanya. Siapa tahu semua foto hasil jepretan dibuang." Ia berpendapat.

Jimin lantas mengoleng. "Tidak. Tidak. Kau jelas salah, menurutku dia masih menyimpannya."

"Kenapa?"

"Untuk bukti? Ia akan jadikan itu sebagai ancaman jika kau berani pergi, Jin. Dia pasti paham jika kau masih memikirkan ibumu dan ingin kembali, Nyonya Song akan menjadikan foto itu sebagai ancaman untuk memasukkan ibumu ke penjara. Jadi kau harus mencari semua bukti itu. Yah, kau tau apa saja yang terjadi di rumahmu saat melihat bayangan itu bukan? Maka Nyonya Song tidak akan membuang semua itu dengan mudah." Yakin Jimin, terlihat dari salah satu sudut bibirnya yang terangkat—tersenyum miring, membanggakan analisa yang ia paparkan.

Sementara Seokjin hanya terdiam, apa yang dikatakan Jimin masuk akal. Ia pun sebenarnya mulai curiga pada Nyonya Song. Lantas menerima segala saran Jimin, Seokjin mengiyakan. "Baiklah, akan kucoba."

Taehyung yang selama ini hanya jadi pendengar, tiba-tiba saja ia berkata. "Wah ... Hebat. Tapi bagaimana kau bisa tahu semua itu Jim?"

"Ah—itu hanya—" Jimin terkekeh gugup, segera menggaruk kepala meski tidak gatal. Tak tahu harus menjawab apa sebab ia mengetahui semua tidak lain dari pengalaman sendiri—saat Hoseok belum sadar akan hal gila itu.

Dewi keberuntungan sepertinya telah memihak Park Jimin, karena tanpa disadari ada sosok yang berteriak di balik punggungnya. "Jin-hyung!"

Mereka bertiga secara bersamaan menoleh, masih bisa terlihat pemuda yang berlari keras 'tuk menghentikan mereka di tengah-tengah keramaian siswa yang akan pulang.

"Hoseok? Jungkook? Ada apa?" Seokjin bertanya tepat saat anak itu berhenti di hadapan.

Napasnya masih terengah, sedikit menelan saliva, ia menegakkan tubuh, menghirup napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Ada yang ingin aku sampaikan padamu. Ini pesan dari Yoongi." Ucap Hoseok.

Kemudian Jungkook merogoh saku celana tergesa, di tengah helaan napas kembali berkata, "Yoongi menitipkanmu ini, katanya tolong berikan pada Jin-hyung saat ia sudah kembali ke sekolah. Ia memberi padaku saat berkunjung ke rumah." Seraya menyodorkan tangan, menaruh benda tepat di atas telapak tangan Seokjin yang terbuka.

"Kalung?"

Hoseok mengangguk, "Kalung panti."

"Punyamu?"

"Tidak ... Punyaku ada." Seraya menarik benda serupa di sebalik jaket tebalnya.

Dan, ya. Itu sama.

"Yoongi belum sekolah?"

Kedua teman Yoongi itu hanya menggeleng sebagai jawaban, agak mengerucutkan bibir sebab mereka pun tampak ingin segera bertemu Yoongi di sekolah.

"Mungkin itu punyamu, Jin." Teka Taehyung seraya menelisik kalung tersebut; merebutnya dari Seokjin dan segera menatap teliti.

"Tidak, punyaku sudah hilang."


"Oh! Tunggu, ada tulisannya." Taehyung yang menyadari itu lantas menunjukkan pada ketiga orang di hadapan.

Agaknya memori Seokjin sedikit kacau karena tak bisa mengingat kalung yang pernah ia bahas bersama Yoongi, hanya mengerutkan dahi, ia merasa asing.

"Jin, aku pikir kita harus membahasnya. Jangan disini, ayo cari tempat." Ajak Jimin yang tak lama disetujui oleh Seokjin.

"Aku akan memberi tahu Nyonya Song agar ia tidak usah menjemput." Seraya mengeluarkan ponsel dari saku.

Mereka bertiga terdiam—lebih tepatnya terkejut, merasa tak nyaman karena faktanya Nyonya Song begitu tidak membiarkan anak kesayangan itu lepas dari pengawasan. Dan ini agak berlebihan.

Maksudnya, hei, Seokjin sudah besar. Ia anak yang baik, tidak akan macam-macam dengan perempuan, apalagi alkohol bukan? Jadi seharusnya Nyonya Song bersikap lebih longgar pada Seokjin. Terlebih, wanita itu mengatakan hal yang tidak-tidak mengenai temannya.

Tidak masuk akal, lebih terdengar seperti bualan yang semakin membuktikan kalau Nyonya Song itu penuh dengan omong kosong, dan rasa curiga Seokjin kian menjadi.

Helaan napas terdengar, "Dia selalu menanyakan kabar dan tidak boleh ini-itu. Jadi aku sedikit berbohong bahwa kita akan pergi untuk mengerjakan tugas. Ayo, waktuku mungkin tidak banyak."










🎈

Seokjin telah dihantam sebuah truk tangki bensin setiba di rumah.

Tidak, bukan ia mengalaminya, ataupun telah melihat kejadian itu.

Tubuh Seokjin tidak remuk bahkan lecet sedikitpun. Apalagi bercucuran darah dan kehilangan kesadaran.

Ini soal perasaannya.

Tak dapat berkata apa-apa, lebih banyak terdiam dengan pandangan kosong setiba ia menekan kenop pintu dan masuk rumah.

Nyonya Song menghampiri, bertanya dengan sebuah pertanyaan sederhana pun tidak digubris oleh Seokjin.

Bahkan untuk menatap parasnya, Seokjin merasa sukar.

"Maaf Nyonya, aku tak bisa makan malam bersama ... Sepertinya aku tidak enak badan." Alibinya, seraya melangkah lunglai menuju kamar.

Nyonya Song mengerti, terlebih ia melihat bibir Seokjin yang pucat. Maka ia mengambil tas dari pundak, hendak membantu untuk memapah Seokjin hingga masuk kamar namun sentuhan itu ditepis halus oleh Seokjin sembari berkata, "Aku tidak apa-apa. Nyonya, kumohon ... Aku ingin sendiri." Ia berterus terang.

Desahan panjang terdengar, Nyonya Song hanya bisa khawatir, "Akan aku antar makan malamnya ke kamar ya? Jin, kau tetap harus makan."

Kembali tak menggubris selain menutup pintu kamar perlahan, Seokjin seketika ambruk dengan tubuh yang bersandar pada pintu, menaruh kepala pada kedua lutut yang tertekuk. Deru napasnya tidak normal, tak mampu menahan ucapan yang dilontarkan oleh Hoseok dan Jungkook tadi sore.

"Sebelum kejadian itu, Yoongi sempat bicara padaku, Jin-hyung. Ia bercerita kalau ia sangat khawatir padamu yang kini perlahan berubah." Jungkook berkata demikian, membuat hati Seokjin tertegun. Ia semakin merasa bersalah.

"Maaf aku berbicara seperti ini ... Tapi aku rasa ini ada hubungannya dengan kalung itu."

"Yoongi mencurigai Nyonya Song, ia bilang kalau Nyonya Song membuatmu semakin jauh darinya. Ia merasa Nyonya Song bukan hanya sekadar hadir untuk membantu."

"Dan pada saat itu, ia berbicara dengan Namjoon-hyung. Tentang kalung ini." Hoseok menambahkan, menunjuk kalung yang ada pada genggaman Seokjin. "Yoongi berusaha mencari tahu apa arti dari liontin kalung tersebut, dan ia berkata bahwa ...."

"Kalung itu memiliki nama bunga nasturtium."

"Nama bunga yang sama seperti bunga kesukaan Nyonya Song." Ucap Seokjin perlahan.

"Semua bohong, Jin-hyung. Nyonya Song tidak pergi ke luar negeri. Ia tetap di sini, dan Namjoon-hyung jelas melihatnya. Semua ini telah ia rencanakan. Bahkan bukti telah menyudutkan siapa pelaku sebenarnya dari rencana tabrak lari itu."

Semua obrolan tadi terus-menerus berulang tanpa henti dalam pikiran Seokjin. Hoseok jelas membuktikan bahwa omongannya itu bukanlah bualan semata, segala hal yang baru saja ia terima telah menampar Seokjin mutlak.

"Bagaimana bisa? Nyonya Song ... Melakukan itu?" Dengan nada bicara kecewa berkata, orang yang selama ini ia percaya, justru dalang dari semua perkara ini.

"Jin ... Sayang, kau baik-baik saja? Ibu bawa makanan untukmu ... Bisa biarkan ibu masuk?" Suara dari belakang punggungnya terdengar lembut, mengetuk pintu perlahan, nampaknya Nyonya Song tak akan segera pergi sebelum ia menyahut. "Aku baik-baik saja ... Sebentar Nyonya." Seokjin beringsut perlahan, berdiri, meraih kenop pintu dan hanya wajah yang terlihat—pintu kamar tidak dibuka sepenuhnya.

Sedang Nyonya Song terdiam di sana dengan sebuah nampan berisi makan malam, terpegang erat meski pandangan menatap lamat Seokjin, "Astaga, kau terlihat buruk ... Ibu boleh masuk?" Pintanya.

Seokjin tegas menggeleng, "Aku sungguh tidak apa-apa Nyonya, hanya butuh istirahat." Diakhiri kekehan ia menolak halus bentuk kepedulian Nyonya Song. Bagaimanapun, setelah apa yang terjadi tadi siang, setelah semua ini, mulai detik ini, Seokjin tidak bisa melihat Nyonya Song dengan cara yang sama kembali.

"Baiklah ... Ini, habiskan ya? Kau harus banyak makan, Jin ... Jangan sampai sakit." Titah wanita itu seraya menaruh nampan di atas meja belajar, kembali keluar kamar dengan tergesa—Seokjin seperti tidak memperbolehkannya di dalam lebih lama.

"Iya. Nyonya, akan aku habiskan."

Kemudian pintu tersebut ditutup sebelum Nyonya Song pergi.




Bohong.



Seokjin berbohong.



Ia sama sekali tidak memakannya, bahkan disentuh pun enggan.

Nampan tersebut terlantar begitu saja di atas meja belajar tatkala sang pemilik—Seokjin—hanya mematut, menatap kosong tak berselera pada sepiring nasi serta kuah ikan yang masih mengepul samar di hadapan.

Di tangan kanannya tergenggam sebuah liontin. Pemberian dari Yoongi. Meremas erat seiring memori tersebut berputar; kenangan dimana pertama kali ia bertemu Nyonya Song, rasa bahagia saat bersama, rasa aman bila Nyonya Song berada di sisinya.

Helaan napas terlontar, dari nasi yang berada dihadapan, manik Seokjin beralih pada sudut meja belajar—terdapat sebuah kertas kecil yang menyangkut antara tembok dan meja. Entah mengapa, ia lantas menyimpan kalung tersebut kemudian lengannya terulur 'tuk meraih benda tersebut.

Kertas itu sedikit mengusik pandangan Seokjin meski yang muncul hanya bagian ujungnya saja, Seokjin terpaksa sedikit berdiri kala mengambilnya.

Sedikit kepayahan, akhirnya ia berhasil mengapit kertas itu dengan kedua jari, ditarik, kemudian kembali terduduk seraya membuang rasa penat melalui embusan napas.

Secarik kertas.

Kertas yang rupanya dari sebuah buku catatan, berwarna krem, serta berbentuk tidak simetris—pinggirnya bergerigi, tidak rata, seperti telah tersobek secara tidak sengaja.

Seokjin membalikkan kertas untuk melihat lebih jelas tulisan yang bayangnya terlihat dari belakang.

Aneh. Ia justru mematung.

Matanya kian terbuka lebar, tak percaya, segera Seokjin menaruh kertas tersebut di meja.

Lantas, perut Seokjin tiba-tiba saja menegang dan ia membekap mulut susah payah.

Tidak, bukan merasa jijik.

Bisa dibilang ia sangat terkejut setelah melihat kertas itu.

Seokjin merasa pengar, mual serta tak dapat melihat dengan fokus.

Terlebih kala mengetahui bahwa di dalam kertas itu tertulis dirinya, Yoongi, serta tanggal yang telah ditulis dengan tinta permanen—tanggal yang sama pada saat kecelakaan terjadi.



'Besok, bawa Seokjin pergi dari mereka. Singkirkan segala penghalang, termasuk Yoongi.'[]

Continue Reading

You'll Also Like

78.5K 10.1K 108
This is just fanfiction, don't hate me! This is short story! Happy reading💜
735K 34.9K 39
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
76.6K 3.5K 7
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++
264K 20.9K 100
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...