BERILIUM

By halusinojin

47.3K 6K 1.7K

Antara kemelut hati yang nyata dan kebahagiaan yang semu, Seokjin berdiri di sana. Kuat, tak goyah, namun rap... More

Home Sweet Home.
Hal yang Lumrah.
Menaruh Curiga.
Ibu, Kau Berubah.
Kesalahan Pertama.
Stalker.
'Dia' yang Mengetahui Segalanya.
Pembual.
Sebuah Permohonan.
Sebuah Impresi.
Pikiran Rumit Seokjin.
Datang.
Sudut Pandang.
Sepercik Binar.
Praduga.
Ada Sesuatu yang Hilang.
Hidup.
Hilang.
Krusial.
Semua Salahnya.
'Dia' yang Akan Tergantikan.
Di Ujung Tebing.
Sebuah Kebenaran Telak.
Rekah.
Akhir [1].

Aksa.

886 126 29
By halusinojin

🎈

Suasana mulai mereda, hening dan terasa dingin karena Nyonya Song berhasil menyeret Min Hyeji keluar—lebih tepatnya dengan bagian keamanan rumah sakit.

"Jin, kau tak apa?" Tanya Taehyung.

Seokjin hanya menatap kosong, tak mampu menjawab kecuali tangannya yang terlihat gemetar tertahan.

Taehyung teramat sangat khawatir, hal yang selama ini ia takutkan ternyata benar; Min Hyeji datang menemui Seokjin dan menggila. Beruntung ia dan Namjoon tepat waktu.

"Tenangkan Seokjin selagi aku mengurus ini."

Namjoon menitipkan pesan sebelum pergi bersama pihak rumah sakit karena dimintai keterangan atas keributan yang terjadi.

Alhasil, Taehyung terduduk diam di sebelahnya. Tampilan Seokjin membaik sekarang—meski wajahnya tertutupi beberapa plester, namun memar masih dapat terlihat.

Taehyung tak tahu harus berkata apa selain menepuk punggung tangan itu perlahan, berusaha 'tuk menghangatkan tangan Seokjin sekaligus menenangkannya.

Satu-dua air bening lolos tanpa aba-aba dari kedua pelupuk mata Seokjin, "Ah! Maaf—" keluhnya sembari mengusap mata dengan tangan secara kasar. Taehyung menyadari hal itu, lirih ia berkata, "Tak apa, keluarkan saja ... Menangislah ...."

Tak lama, kepala Seokjin tertunduk dalam, memejam mata erat, punggungnya terlihat tertekuk, ia mengigit bibir bawah kuat-kuat; hendak ditahan namun tak bisa, rasa sesak yang telah ia tahan selama satu tahun terakhir kini telah berada di ujung tanduk, sudah tak bisa 'tuk ditolerir lagi. Jantung Seokjin serasa digerus habis-ia menangis hebat tanpa suara.

Ah, pada akhirnya, tembok itu runtuh juga.

Taehyung hanya bisa terdiam, hendak ikut menangis namun tak boleh—Ia dengan tergesa segera mengusap kasar matanya. Ikut merasakan sakit yang dirasakan Seokjin, teramat perih malah. Tetapi punggung pemuda ini tetap tegak, meski hatinya sama sakit, ia berusaha mengurangi beban Seokjin dengan tak ikut menangis dan mengusap pundak lelaki itu.




______________

"Sudah lebih baik?" Ucap Namjoon pada salah satunya ketika menghampiri kedua pemuda di hadapan.

Seokjin hanya terangguk kecil, tak mampu bicara karena suaranya pasti akan terdengar aneh (dan itu sangat memalukan).

Taehyung menghela napas lega, ia bersyukur bisa membuat Seokjin kini lebih terbuka tentang masalah pelik yang tengah dihadapi. Jadi, melirik pelan pada Seokjin ia lantas berkata, "Kau tahu, kau tidak perlu meminta maaf padaku. Pertengkaran antar sahabat itu wajar, yang terpenting adalah kita dapat lebih memahami satu sama lain." Dengan senyum samar ia berkata demikian.

"Kadang bertengkar itu perlu. Iya 'kan, Hyung?" Tawa terdengar setelahnya. Menyisakan Namjoon yang ikut terkekeh pelan kemudian berusaha menghibur Seokjin yang tengah terkurung di ranjang pesakitan. "Benar ... Jin, lain kali jika kau memiliki masalah dan tak tahu harus bagaimana, ceritakan saja ... Kau tak harus memikul beban itu sendirian yang pada akhirnya justru membuatmu celaka."

"Iya, aku mengerti. Terima kasih banyak, Tae, Namjoon-hyung." Seokjin menjawab disertai suara yang parau.

Namjoon terangguk, lesung pipinya terlihat sebelah, mendehem pelan sebelum akhirnya menyampaikan angin segar pada Seokjin. "Ah iya, Jin. Kau ingin menjenguk Yoongi? Dokter bilang kau boleh pergi melihat."

Seokjin sedikit tak percaya, terlihat dari raut muka yang nampak gembira tertahan. Namjoon kemudian meyakinkan, "Aku serius, Jin. Kita bisa menemuinya, ayo!" Seraya bergegas, Taehyung pun ikut tersenyum setelah Seokjin menatapnya.





"Ah, Taehyung ... A-aku bisa berjalan. Tak perlu begini, ini berlebihan ...." Seokjin terlihat risih ketika Taehyung berjalan di belakangnya untuk mendorong Seokjin yang terduduk di atas kursi roda.

Taehyung lantas menolak tegas, "Tidak. Tidak boleh. Kau diam saja, atau akan kudorong keluar jendela dan terjatuh dari lantai empat? Hm? Bagaimana? Pilih salah satu." Dilanjut gerakan menyiku secara skeptis sang kakak di sebelah, mata Namjoon mendelik tajam. Sedang sang pelaku terlihat tak peduli; menekuk bibir serta lidahnya dijulurkan.

"Kau kejam, Tae. Dasar, psikopat." Seokjin menoleh ke arah Taehyung, menatap ngeri sebelum pada akhirnya memukul lengan perlahan.

"Aww ... Hei! Kau ini pasien! Tapi kenapa pukulanmu sangat keras, huh?!" Ia sedikit meringis sambil tertawa saat mengomel, Taehyung yang usil dan menyebalkan kembali terlihat di mata Seokjin.

Dirasa hati yang sendu kini mulai cerah, bahu Seokjin terlihat sedikit tegak. Seulas senyum dipertahankan kala kenop pintu ditekan Namjoon—ia tak ingin terlihat sedih saat menemui sang adik. (kendati Yoongi takkan mengejeknya satu patah katapun)

Yoongi terdiam.

Tak terusik oleh suara pintu terbuka atau Taehyung yang terbilang gaduh.

"Yoongi ...."

Manik Seokjin menatap lamat wajah dihadapan. Ia ingin segera mendekatinya.

Tanpa menunggu lama, Taehyung segera mendorong kursi roda lagi. Entah mengapa, kakinya terasa berat kala mendorong Seokjin ke sana; ada rasa sedih yang menjejal dalam hati Taehyung.

Tatapan Seokjin memaku pada sosok yang tengah terbaring, ia melihat beberapa selang terhubung antara tubuh Yoongi dengan peralatan sekitar (sebuah bedside monitor, infus yang tergantung, serta alat bantu pernapasan). Dahi sang adik dibebat kain putih—kassa, sekujur tubuhnya tertutup selimut dengan sangat rapi, hanya menyisakan tangan kiri yang telunjuknya terpasang alat pula—tidak seperti biasa, dimana Yoongi selalu tak suka seperti itu, selalu ada satu kaki yang keluar juga lengan yang terkulai ke samping ranjang.

Hah ....
Lucu memang.

Disaat ini Seokjin malah teringat hal kecil dari kebiasaan adiknya.

Yang tanpa sadar membuat Seokjin semakin terhantam kenyataan bahwa Yoongi dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Kami akan menunggumu diluar, Jin. Lihat ke jendela jika kau sudah selesai ... Ayo, Tae." Namjoon bersicepat menepuk pundak Taehyung di sebelah yang masih mematung dengan keadaan tertunduk.

Tinggal Seokjin sendiri di sana, sendiri, terdiam di sebelah kiri ranjang Yoongi, melihatnya seperti sedang tidur pulas.

Helaan napas berat terdengar, ia mencoba membuang rasa sesak agar menguap bersama udara.

Seokjin tak ingin menangis lagi.

Tidak di hadapan Yoongi.





Hening.


Hanya suara alat pengukur tanda vital mengisi kekosongan. Seokjin berusaha 'tuk menegakkan kembali punggungnya.

Nyatanya, itu sangat sulit.

"Maaf, Yoon. Ini semua salahku—"

Sial.

Dadanya sesak.

"Aku memang—Ahh, sial." Ia sedikit terkekeh, menyeka kedua mata dengan lengan secara kasar Seokjin kemudian menatap lembut wajah Yoongi; tersenyum tipis seraya menghela napas kembali.

"Tidak."

"Jangan seperti ini."

Seketika ia terhenti sejenak.

"Kau tahu Jin? Yoongi saat ini hanya tak bisa bicara, bukan tak mendengar ... Jadi, ceritakanlah hal yang baik padanya." Namjoon berkata demikian sesaat sebelum memasuki ruangan, tepat di hadapan pintu.

"Hei. Cepatlah bangun, aku tahu kau suka tidur ... Tapi jangan seperti ini. Bukankah ini keterlaluan? Lagipula kau juga 'tak ingin melihat ibu menangis 'kan?" Seokjin bermonolog, ia terlihat tengah mengomeli si bungsu.


"Yoon, kau pasti ingin mengatakan sesuatu padaku saat itu ... Tapi, dengan bodohnya aku menghindar ...." Pandangan Seokjin tertunduk sejenak, ia meremas jemari perlahan.

"Kau bisa memaki si kepala batu Kim Seokjin ini sepuasnya saat bangun nanti, aku menantikan hal itu." Seraya tertawa kecil.

"Oh ya, kau juga ... Harus menceritakan hal yang ingin kau sampaikan. Tolong, beri aku kesempatan ...."

"Karena, kali ini ...."

"Aku akan mendengarkanmu—"

Sedikit terhenyak, Seokjin kembali menghela napas berat 'tuk kesekian kalinya—rasa sesak kian menyeruak hingga terasa sampai tenggorokan.

"Jadi, cepatlah bangun ... Hm? Cepat buka matamu," Sembari menepuk pelan punggung tangan sang adik.


"Aku menyayangimu, Yoon. Sangat."

Seokjin tersenyum lagi dengan tangan yang tanpa disadari kini menggenggam erat.

Setelah mengungkapkan perasaannya (meski tak terdengar sama sekali kecuali oleh hatinya sendiri). Seokjin rasa dadanya kini tak lagi terhimpit, perasaan telah membaik meski hanya sedikit.

Hendak menoleh pada mereka yang tengah menunggu di luar, ia tak sengaja melihat wajah Yoongi yang terlihat sangat pucat pasi. Bibirnya kering karena tertutup masker oksigen dengan embusan napas perlahan.

Juga jejak segaris terlihat dari ujung kelopak mata hingga pelipisnya.

Sontak, Seokjin mendekat untuk memastikan. Tubuh lelaki itu kini condong ke arah kanan—lebih mendekati wajah Yoongi.

"He-hei ... Kau kenapa? Huh? Kau bisa mendengarku?" Sembari menepuk bahu secara perlahan.

Mata Seokjin serasa terbakar, ia merasa tak keruan dengan keadaan ini. "Yoongi, jangan menangis .... Hyung ada di sini, hm? Cepatlah bangun, Hyung—"








"Maaf, Yoongi ...."

Ucap Seokjin seraya menenggelamkan wajahnya, dengan bahu bergetar ia menggenggam tangan Yoongi, air mata kembali tumpah. Rasa sesal meluap begitu saja, memukul Seokjin begitu telak hingga terasa sakit di dada, tak mampu berkata selain kata maaf yang terlontar sebatas hatinya.









🎈

"Ini, sudah lima hari."

Ketiga pemuda itu masih terduduk di kursi panjang sebelah kiri ranjang Yoongi. Orang yang paling kanan—Jimin—berucap demikian dengan raut muka khawatir.

"Jangan begitu, Yoongi akan segera bangun .... Kita harus yakin dan menunggunya saja. Bukan begitu Jin?" Teman sebangkunya meyakinkan, mencoba menepis segala pikiran aneh pun meringankan beban Seokjin.

"Lagipula, Yoongi semakin membaik. Kita harus berpikir positif ... Ini demi Yoongi juga ...." Kata Hoseok yang duduk diantara Jimin dan Taehyung. Seraya menatap wajah Yoongi.

Desahan napas terdengar, sang kakak tak bisa melakukan apa-apa selain berada didekatnya. Berharap kelak Yoongi menyahut satu kali saja dari sekian banyak cerita yang Seokjin sampaikan beberapa terakhir ini.

Sedang Jimin, Hoseok dan Taehyung terduduk di belakang, mereka selalu menjenguk Seokjin serta Yoongi setelah pulang sekolah (meski Seokjin acap kali bilang tak perlu dan menyuruh mereka untuk pulang).

"Ya, kalian benar ... Omong-omong bagaimana sekolah?" Tanya Seokjin, ia menengok ke belakang setelah sepuluh menit hanya memberikan pandangan sebuah punggung pun bahu lebar kepada tiga temannya.

Taehyung berdecak, menatap dengan malas sambil berkata, "Tidak seru, aku hanya duduk sendirian Jin. Apalagi tadi ada ulangan Biologi dan—"

"Tunggu, kau tidak mencontek 'kan?" Sergah Seokjin, kedua netranya tertekuk—mengancam si teman sebangku yang pupil matanya kini terlihat bergetar.

Senyum kotak itu terlihat, dengan ragu ia meyakinkan, "Ahahaha ... Tidak—, Kok—, ha-hanya saja—"

"A-aku serius, Jin! Aku tak melakukannya!" Mata Taehyung terbuka lebar, dengan dua jari berbentuk huruf 'V' ia terlihat bersumpah.

Sial. Taehyung tidak bisa berbohong.

Tidak di depan Seokjin.

"Dia mencontek padaku." Timpal Jimin. Disusul senyum 'apa-maksudnya' Taehyung—jarinya gemas ingin segera mencekik leher si mata minimalis ini. Sedang lawan bicara hanya mengangkat kedua alis serta bibir tebal yang dimajukan. Mengejek, merasa tak berdosa telah membeberkan aib sang teman yang sudah disepakati dengan satu gelas es jeruk dan nasi goreng sebagai tanda untuk tutup mulut.

"Hei! Kau yang memberi jawabannya padaku!" Taehyung sedikit menaikkan intonasinya, dagu pemuda itu terangkat.

Jimin hanya terkekeh geli, menjawab dengan santai dan berdecih lumayan keras. "Kau tak ingat? Jim~ ... Tolong, bantu aku~ waktunya dua menit lagi ... Nomor dua, lima dan tujuh~" Nadanya mengejek, memperlihatkan kilas balik bagaimana memelasnya wajah Taehyung saat ujian segera berakhir.

Taehyung berdalih, merasa geram dan hendak menerkam Jimin dalam satu sergapan, "Kembalikan nasi gorengnya! Kembalikan jus jeruk itu! Muntahkan sekarang juga, Ya! Park Jimin!" Ia mengguncang bahu Jimin hingga pemuda itu tak bisa mengelak.

Sedang Seokjin hanya menahan tawa, mengangkat bokongnya dan menghampiri 'tuk melerai perkelahian antar 'bocah' itu meski gips masih terpakai di lengan kirinya. Sedang Hoseok terhimpit diantara mereka—sesak dan hampir kehabisan napas.

Hingga pada akhirnya, sebelum Taehyung kembali berteriak saat Jimin menjulurkan lidahnya secara jahil dan menyebalkan, segala kekacauan itu terhenti begitu saja kala Hoseok berhasil keluar dari himpitan antara kedua pemuda dan mendekati Yoongi kemudian berkata,

"Jin-hyung ...."









"... baru saja, Yoongi menggerakkan jarinya."

Seokjin menghampiri Hoseok tergesa, mengenyahkan kedua temannya dan segera bertanya, "Yang benar?"

Hoseok terangguk mantap, ia kembali meyakinkan, "I-iya, tadi aku melihat jari telunjuknya bergerak sedikit!"

Dirasa perkataan Hoseok serius, ia mendekat dan berkata dengan perlahan,"Yoongi, tolong ... Jika kau mendengarku, gerakkan jarimu." Harap Seokjin ingin memastikan, disusul Jimin dan Taehyung yang menghampiri.







Tak hanya jari bergerak, namun kedua kelopak mata Yoongi terlihat bergetar samar—berusaha 'tuk membuka mata namun kepayahan, diiringi dengan napas kian kentara, berhasil membuat keempat pemuda disekelilingnya meloncat girang tertahan.

Seokjin tak bisa berkata, ada genangan antara kedua maniknya yang terbendung. Kemudian dengan yakin ia menekan tombol di samping ranjang, hendak memanggil perawat untuk datang dan memastikan.








Dokter menyatakan, pasien berumur 16 tahun atas nama Min Yoongi berhasil siuman setelah tertidur lama sejak lima hari yang lalu. Beliau berkata kondisi Yoongi semakin membaik dan itu membuat rasa yang selalu merundungi pikiran dan hati Seokjin meluruh seketika.

Jadi, dengan rasa bahagia membuncah yang terlukis dalam segurat senyum, Seokjin ingin segera menghampiri ketika perawat keluar dari kamar adiknya. Ia segera bertanya, "Apakah kita bisa masuk?" Sembari kepala mendongak, mencuri pandang keadaan Yoongi di dalam. Sedang ketiga teman disamping—yang tak kalah senang, ikut membeo "Kenapa lama sekali?" Ikut berkerumun di sana.


Tak lama, derap langkah kaki dengan irama cepat dari sepatu terdengar mendekat. Seokjin yang pertama kali menyadari lantas berpaling, melihat siapa yang datang dari arah belakang.







Itu Min Hyeji.

Ia berdiri terpaku. Air mukanya tampak tidak nyaman akan sosok yang mendekat, mencoba 'tuk berucap namun rasanya kelu. Seluruh rasa takut itu berkumpul di mulutnya.

"Jin? Ada apa?" Taehyung bertanya sebelum menoleh.

"Tante?" Katanya, kemudian ikut terdiam. Dua orang setelahnya ikut menoleh.

Sedang Min Hyeji tak peduli, ia hanya tergesa memasuki kamar Yoongi, bertanya segera pada dokter di dalam kemudian Seokjin melihat Min Hyeji membekap mulutnya sendiri tanda tak percaya, ada air mata kebahagiaan terlihat dari sebalik kaca tempat Seokjin berdiri.

Min Hyeji tergugu, mendekap penuh kasih Yoongi yang masih terbaring lemah di sana, membenamkan wajah di pundak sang anak pun rasa syukur terlontar meski tenggorokannya serak.

Seokjin telah melihatnya, melihat bagaimana sang ibu kembali tersenyum 'tuk kali pertama setelah sekian lama. Melihat bagaimana Yoongi kembali membalas pelukan meski dengan satu lengan kirinya yang lemah.

Ia merasa bahagia, senang, sekaligus sedih.

Seharusnya hanya rasa bahagia yang memenuhi hatinya. Namun, entah mengapa, melihat kedua anggota keluarganya berpelukan untuk berbagi rasa kasih sayang dan kebahagiaan, ada rasa yang aneh, setitik rasa egois yang mencuat dari lubuk hatinya.

Seokjin ingin sekali masuk ke dalam. Menghamburkan diri dan bergabung dalam pelukan keluarga, ikut larut dalam tangis bahagia mereka, serta berbagi rasa syukur atas segalanya.

Akan tetapi, semua itu hanyalah sebuah keinginan remeh yang berlandaskan keegoisan dari hati kecilnya. Karena Seokjin tahu, ia tak pantas untuk mengharapkan semua itu. Terlebih setelah semua hal yang terjadi pada keluarganya, terlebih dengan kenyataan bak mimpi buruk beberapa hari kemarin seolah-olah memberi tanda jelas pada Seokjin.

Bahwa ia tak bisa memenuhi janji sang ayah—Min Jaehwan—pada saat itu.

Seketika, dengan sebuah senyuman dalam raut muka yang bertolak belakang ia berjalan mundur, menjauh dari kaca dan menatap lamat presensi kedua orang yang amat ia sayangi di dalamnya, berharap bahwa mereka selalu bahagia serta meminta maaf untuk terakhir kali, kedua bola matanya perih, seiring dengan hati yang terasa telah ditaburi sejumput garam.

Seokjin pikir, ia harus pergi. Bukan hanya sekadar pergi, namun ingin mereka tidak mengingatnya lagi.

Cukup sudah segala hal yang terjadi terhadap mereka. Seokjin tak ingin lagi melihat kedua mata orang yang ia sayangi kembali basah karena kesalahan dirinya, ia harap bahwa pada saat ini hingga nanti, keluarga kecil itu—yang amat ia sayangi, selalu dipenuhi oleh kebahagiaan serta hal-hal yang baik.

'Selamat tinggal, Yoon.'

'Jaga ibu baik-baik ya?'

'Jangan cemas, tak apa, jangan pikirkan hyung-mu.'

'Hiduplah dengan baik.'

'Sampai kapanpun, kau tetap adik kecilku.'

'Semoga kalian selalu bahagia.'


'Tuhan, tolong jaga mereka.'

'Aku menyayangi kalian.'

'Sangat.'

Dadanya kian terasa sakit, seperti ada gada besar yang menghantam dan membuat lubang di sana. Ia tak dapat menangis lagi—tak boleh. Telah larut dalam perasaan sendiri, Seokjin tak sadar dengan presensi yang tengah menunggu di belakang.





"Jin ...."


"Ayo pergi."[]













°•°•°•°•°•°•°

Hello!!

Maaf banget atas super-duper-ngaretnya cerita ini update ಥ_ಥ

Hal baru bisa aktif lagi dan kesini setelah sekian lama uhuhuhu

Tapi tenang kok! Berilium bakal up rutin sekarang mwhehehe...

So, selamat datang kembali ya! >3<

Terima kasih atas dukungannya! 💜💜💜💜💜
Maaf Hal gabisa bales langsung :""

Moga suka ya! (~ ̄³ ̄)~💜💜💜
-asdfghjkl

Continue Reading

You'll Also Like

38.2K 4.8K 23
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
212K 23.4K 16
[Brothership] [Re-birth] [Not bl] Singkatnya tentang Ersya dan kehidupan keduanya. Terdengar mustahil tapi ini lah yang dialami oleh Ersya. Hidup kem...
100K 7.2K 49
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote
42K 9.5K 111
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...