ALASKA

By rinisurastikaa

484K 21.8K 695

Kamu akan bertemu Samudra Alaska Reihanaldi, ketua kelas galak dengan sejuta gombalan recehnya (untuk Lana). ... More

Prolog
1. First Meet
2. Ketua Kelas
3. GAWAT! SIAGA SATU!
Trailer ALASKA
4. Aska ganteng, tapi galak!
5. Tom and Jerry
6. MateMatika Itu Rumit
7. Aska dan Risky
8. Dia Gurunya?
9. Cowok Bawel
10. Pangeran Biola
11. Malam Minggu
12. Tentang Aska
13. Berdua
14. Chattan
15. Sudut Pandang Berbeda
16. Si Galak Tumben Baik
17. Fall In Love
18. Berbeda
19. Kembali Sama
20. Gombal ala Aska
21. Aska dan Viola
22. We're Just Friend
VOTE COVER
23. Aku Gak Cemburu!
24. Resmi
25. With You
26. Canggung
27. NEW PROBLEM!!
28. EGO
29. Di Ambang Batas
30. Goodbye, Move On!
31. Mencoba Berdamai
32. Mencoba Berdamai (II)
33. Teman Tapi Mantan
34. Aska Sayangnya Lana
36. MANTAN GEBETAN
37. Apakah Ini Reuni Mantan?
38. PASAR MALAM
39. HILANG
40. Bukan Dia Pelakunya
41. Jessi Aneh
42. JEBAKAN
43. Teka-Teki
44. DIED
45. Kejutan
46. Bukti
47. Bukan Akhir
EPILOG

35. Not A Bad Thing

5.5K 266 13
By rinisurastikaa

Tekan ☆ di pojok bawah ya:)
Koreksi juga kalau ada typo.

Happy reading❤

“Wherever you are, I’ll always beside you.”

(Sivania Alana Raveira)

Aska menyusul Lana yang meninggalkannya lebih dulu ke parkiran. Cewek itu memang keras kepala, tapi tidak tahu kenapa Lana selalu membuatnya merasa berharga. “Lan, aku bilang tunggu aku!”

“Kamu sih, ke toiletnya lama banget.” Cewek itu mengerucutkan bibirnya, karena sudah 30 menit menunggu Aska yang katanya ke toilet itu.

“Ya kan, emang gitu.”

Aska menyerahkan helm putihnya pada Lana yang diraih oleh cewek mungil tersebut. “Bikin apa sih di toilet?” Masih dengan kekesalan, Lana mengenakan helmnya.

“Bobo ganteng,’’ ujar Aska seraya menyisipkan anak-anak rambut Lana ke samping telinga cewek yang telah mengenakan helm tersebut.

“Ngesalin!”

Aska terkekeh. Cowok tersebut menunggangi motornya, dan meminta Lana untuk segera naik.

“Kita mau ke mana?”

“Toko sepatu, mau nyariin Mas Axel kado.”

Aska mengendarai motornya melewati gerbang SMA NUSANTARA sore ini. Cowok itu sengaja memperlambat laju motornya karena ingin menghabiskan waktu sedikit lebih lama bersama Lana. Akhir-akhir ini mereka jarang bertemu selain di sekolah, karena keduanya fokus belajar untuk ujian kenaikan kelas, apalagi jika sudah menginjak kelas XII, keduanya pasti tidak akan ada waktu sebab harus mengikuti berbagai les untuk mempersiapkan ujian.

“Habis dari nyari kado, kamu mau ke mana?” Aska bertanya dengan suara keras. Motor yang dikendarainya sudah beriringan dengan kendara lain di jalan raya.

Lana yang memegang ujung swuiter cowok itu dan menyahut, “Kayaknya di rumah aja deh, mau belajar kan minggu depan udah ujian.”

Aska mengangguk, ia mengikuti jalan yang ditunjuk Lana. “Di sana tokonya.”

“Loh, dekat, ya. Kenapa gak jalan kaki aja tadi?” tanyanya setelah memarkir motornya yang diarahkan oleh petugas.

Lana turun dari boncengan cowok itu, ia melepaskan helmnya dengan dahi berkerut. “Kan ada kamu yang ngantarin aku, kenapa aku harus jalan kaki?”

Aska ikut melepaskan helmnya, cowok itu mengekori Lana dan bergegas berjalan di sisi pacarnya itu ketika seorang ibu-ibu nyaris menyenggol Lana, Aska menarik lembut bahu Lana.

“Pertama, kalau kamu jalan kaki otomatis aku hemat bensin. Kedua, kamu bisa sekalian olahraga, kan untuk kesehatan kamu juga,” celetuk cowok itu membuat Lana berdecak.

“Bilang aja pelit!”

“Ahahaha,”

“Tapi seriusan deh, Lan, yang aku bilang benar, kan? Entar pulangnya kamu jalan kaki aja ya, malam ini aku mau manggung.”

“Ikuut!”

Mereka berbelok ke lorong di mana tempat sneakers terbaru dengan harga yang pasti mampu membuat tabungan Lana terkuras berjejer, tapi Lana ikhlas, karena Mas Axel juga selalu memberikannya sesuatu yang berharga. Kasih sayang contohnya.

“Gak usah. Kamu pasti capek, dan kamu kan mesti belajar.”

“Loh tadi katanya kita mau belajar bareng,”

“Belajar barengnya besok aja, supaya ada alasan aku nyamperin kamu.”

Lana tersenyum mendengar penuturan cowok itu. “Makin jago gombal ya itu mulut, sini aku timpuk.” Aska menghindar ketika Lana mengarahkan salah satu sepatu ke bibirnya.

Lana hanya tertawa melihat pelototan Aska, ia kembali memeriksa dengan rinci salah satu sneakers yang ia yakin akan menjadi favorit Mas Axel, Lana sangat tahu selera Mas Axel. Masnya itu sangat ingin mengoleksi segala bentuk sneakers dari merek Nike hingga Machbeth, tapi Mas Axel berpikir dua kali, karena takut jika setelah membeli sepatu-sepatu tersebut, ia tidak punya kesempatan untuk menggunakannya, karena terlalu nyaman dengan sepatunya yang sekarang. Seaneh itu.

“Ini bagus gak, Ka?”

Aska memperhatikan lamat-lamat sepatu yang disodorkan pacarnya. Jujur ia kagum karena Lana rela merogoh tabungannya hanya untuk membelikan Mas Axel yang jelas-jelas punya selera tinggi. Tapi untuk pilihan Lana, Aska sangat setuju. Sepatu basket bermerk Air Jordan tersebut dengan aksen hitam di sisi-sisinya, dan didominasi warna merah tersebut membuat Aska ingin membelinya juga, jika tidak mengingat ia telah membeli sepatu basket bulan lalu. Aska tidak mau terlalu menghambur-hamburkan uang meski ia adalah orang berada.

“Bagus, aku yakin pasti Mas Axel suka. Eh aku gak pernah loh main basket bareng Mas Axel.”

“Oh ya? Aku kira kalian pernah, kamu kan sering banget dulu ke rumah.”
Aska segera menyahut, “Gimana gak sering, kalau aku lagi ngincar si adeknya.” Ia kemudian tertawa menyaksikan wajah Lana yang memerah.

Pada akhirnya, Lana memilih sepatu tersebut. Ia berniat membawanya ke kasir, namun cewek itu lebih dulu dikejutkan oleh kehadiran Viola yang langsung bergelayut di lengan Aska. Aska menyentak tangan Viola, ia menatap tajam cewek yang tidak ia tahu kenapa tiba-tiba di sini. Ini tidak mungkin hanya sekadar kebetulan.

“Ih Sam, kita udah lama gak ketemu, loh,” katanya merajuk.

Jika Lana memiliki sifat rendah diri, ia pasti akan terus-terusan membandingkan dirinya dengan Viola. Cewek itu mempunyai tinggi yang wajar sangat diminati oleh orang-orang yang bekerja di bidang permodelan, dengan wajah blasteran yang pastinya menjadi pusat perhatian warga lokal. Sayangnya Lana tidak mau lagi berpikir bahwa Viola memiliki segalanya yang diinginkan mayoritas perempuan; cantik, cerdas, dan profesional di bidangnya. Lana sedang belajar mencintai diri sendiri, karena untuk bisa mencintai orang lain, ia harus lebih dulu mencintai dirinya.

Lana tersenyum. Ia mendekati Aska yang sudah melepaskan tangan Viola. “Hi Vi, nice to meet you again,” cewek itu berujar ramah.

Viola menatap tajam Lana, meski sudah diingatkan oleh Aska, namun tetap saja ia belum bisa menerima kenyataan bahwa Aska memilih Lana—cewek serba biasa ini.

“Yakin?” ia berdecih sinis, membuat Lana memejamkan matanya.

“Ya, sudah seharusnya kan seorang cewek senang ketemu sahabat dari si cowoknya?”

Viola mengetatkan rahangnya yang tirus hingga memperlihatkan dengan jelas tulang rahangnya yang ditutupi make up sempurna. Cewek itu menatap tajam Lana, ia menoleh ke Aska yang memandangnya datar, seolah tidak ada emosi yang dirasakan cowok itu.

“Sam,”

“Jangan membuat keributan di sini Viola, jangan membuatku malu!” perkataan tajam Aska menyebabkan Viola tersentak kaget—oh, tidak hanya cewek itu, tapi Lana juga. Ia baru melihat Aska mengancam Viola, tapi bukannya merasa kasihan, Lana justru merasa bangga. Hei, apakah ia juga telah menjadi peran antagonis di dalam cerita ini?

Viola meninggalkan keduanya dengan wajah yang memerah menahan marah. Melihat hal tersebut akhirnya menimbulkan rasa bersalah Lana, sepertinya ia terlalu berlebihan menanggapi Viola. Kalau diingat-ingat, biar bagaimanapun Viola tetaplah sahabat Aska—ralat, mantan pacarnya juga.

“Maaf.” Lana menunduk, memandang lantai marmer toko tersebut. Ia tidak berani mendongak, takut perasaan bersalah itu semakin bertambah jika ia melihat raut menyesal Aska karena telah menyakiti Viola dengan ucapannya.

Aska menaikkan alis. “Jangan minta maaf kalau kamu gak salah.”

“Tapi—”

“Yuk, kita bayar sepatunya. Udah sore banget.”

Lana terpaksa mengikuti Aska, meskipun perasaan bersalah itu belum semuanya terkikis.

Mereka singgah di salah satu kedai es krim yang juga menyiapkan hidangan waffle.

“Kenapa dari tadi diam mulu? Bukan kamu banget.”

Lana memandang jengkel cowok di hadapannya—seseorang yang selalu membuatnya kesal, juga seseorang yang selalu membuatnya merasa disayangi. “Emangnya kamu mau aku bawelin?” tanyanya ketus.

“Nggak gitu juga kali, tapi ngomong dong, kalau kamu diam kayak gini itu cuman dua penyebabnya; kalau bukan marah sama aku, ya ngambek sama aku.”

“Sama aja, dodol.”

Aska menghela napas, ia menerima pesanan yang diantarkan oleh seorang pelayan di kedai tersebut. Cowok itu memandang Lana yang menggigit waffle di genggamannya dengan emosi. Aska menggeleng miris melihat waffle tersebut. “Susah banget ya ngomong sama cewek yang lagi ngambek.”

Lana mengangkat kepalanya, tatapan tajamnya menusuk tepat di netra Aska. “Aku gak ngambek!”

Aska menaikkan alis kirinya. “Emang aku ada nyebut nama kamu?” ujarnya menggoda.

Lana berdecak. “Ck, emangnya ada cewek lain di sini selain aku?”

“Tuh, banyak,” jawab Aska tak mau kalah seraya menunjuk pelanggan di sekitaran mereka dengan dagunya.

“Bodo amat!”

Aska terkekeh. Ia kembali memakan waffle cokelat yang dipesannya, sementara Lana sudah sibuk menyuapkan es krim vanila ke mulutnya. Lana memang suka makan, tapi ia bersyukur karena memiliki badan yang tidak gampang melar meski mulutnya tidak berhenti mengunyah.

“Ini dihabisin juga.” Aska menyodorkan es krim cokelat yang hanya dicicipinya satu sendok, menurutnya es krim tersebut terlalu manis.

Lana mengernyit. “Kenapa gak diabisin?”

“Kemanisan, apalagi sambil liatin kamu.”

Lana memutar bola mata, meski ia tahu hal tersebut sangat tidak sopan. “Bullshit!

“Ahahaha,” Aska tergelak, tidak peduli dengan pandangan pengunjung yang melihatnya seolah ia adalah makhluk teraneh di dunia. Beginilah hidup di Indonesia.

“Habis ini kita pulang ya, kamu harus belajar, supaya bisa menjadi guru terbaik untuk anak-anak kita nanti.”

“Ngaco, Ka!” tolak Lana.”Sukses dulu baru mikirin anak.”

“Sukses itu nemenanin dari nol, Lan, supaya kesannya aku punya cewek yang nemanin aku dari nol!”

“Iya, nemanin kamu dari nol, tapi setelah sukses kamu ninggalin karena udah dapat yang lebih bening.”

“Ahahaha....” Cowok itu kembali tertawa dan lagi-lagi menarik perhatian. Lana cemberut melihatnya. Aska menghentikan tawanya, masih dengan senyum menggoda, cowok itu berkata, “Tenang aja kalau aku udah sukses, tapi kamu dekil karena kurang perawatan, nanti aku beliin kamu produk-produk perawatan terkini yang bisa bikin kamu bening.”

Lana mendengkus jijik, tapi untuk menghentikan ocehan tidak berfaedah cowok itu, ia menyahut saja, “Terserah kamu deh. Selama kamu gak jalan menuju neraka, aku akan selalu di samping kamu.”

“Ahsiaaap!”

Lana memutar bola mata, dan Aska kembali tertawa.

“Ehem, Ka, mana kadoku?” tagih Mas Axel ketika Lana telah menyerahkan kadonya pada Masnya tersebut.

Aska tersenyum malu. “Belum dibeli, Mas. Untuk sekarang doa dulu aja ya, Mas.”

Mas Axel berdecak mendengar penuturan Aska. Dulunya ia berpikir, Aska merupakan pribadi yang menjaga image, terutama di depannya. Tapi ternyata, Aska sama sekali tidak peduli lagi atas hal tersebut.

“Mas, besok Mas traktir aku dan Aska ya, udah janji kemarin,” ucap Lana yang hanya diangguki oleh Mas Axel.

Lana mengajak Aska ke dalam, ia segera menyiapkan teh hangat untuk cowok tersebut.

Mas Axel yang dari mengantar kado dari adiknya—yang belum ia buka karena perintah Lana—tersebut duduk di samping Aska. “Lan, kata papa bulan ini mereka gak singgah, papa ada kerjaan di Aussi. Kamu mau oleh-oleh apa?” Mas Axel bertanya ketika Lana datang dan menyuguhkan teh untuknya dan Aska.

“Apa aja, nanti aku telfon Mama. Tapi mereka ingat kan ulang tahun Mas?”

“Iya dong, masa mereka lupain hari lahir anak sendiri.”

Aska yang mendengar serta menyaksikan obrolan adik-kakak ini, merasa berada di tempat yang salah. Seharusnya ia tidak di sini. Anak dari seorang pria yang selalu menyakiti anak dan istrinya sendiri tidak pantas bergaul dengan anak dari keluarga yang selalu mendapatkan kasih sayang di tengah kesibukan mereka.

Aska merasa ia tidak bisa jika terus mendengar kelanjutan obrolan kedua orang tersebut, ia dengan sadar diri pamit, “Mas, Lan, aku pulang dulu, ya, udah mau magrib.”

“Loh? Sholat di sini aja, Ka, Mas Axel punya kok peci sama sarung meski jarang sholat.” Cewek itu menggoda Mas Axel, membuat senyum miris Aska terbit.

“Jangan bongkar kartu dong, Lan.”
Aska tidak bisa pura-pura biasa saja menyaksikan keakraban adik-kakak tersebut. Ia menyela, “Aku juga mau ke rumah mama, udah dua hari gak ke sana, mama tadi juga udah nelpon ingatin aku jangan lupa ke sana.”

Lana akhirnya mengangguk paham. Setelah Aska pamit kepada Mas Axel, Lana mengantar pacarnya tersebut.

“Hati-hati, jangan ngebut-ngebut, ya!”
Aska tersenyum tipis, dengan jempol yang diacungkan. Cowok itu segera meninggalkan pekarangan rumah Lana setelah melambaikan tangan pada kesayangannya tersebut.

Namun, Aska tidak mendengarkan peringatan Lana, sebab cowok itu melajukan motornya dengan liar, tidak peduli aturan berkendara lagi. Ia kalut, dan merasa tidak pantas berdiri di sisi Lana, tetapi ia tidak ingin meninggalkan Lana.


TBC

HALO HALO HOLAAA??

GIMANA PENDAPATMU DENGAN PART INI?

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, SHARE ATAU REKOMENDASIIN CERITA INI KE TEMAN-TEMAN KALIAN KALAU KALIAN SUKA :)


See u

Luv❤

Continue Reading

You'll Also Like

8K 874 58
Cinta memang rumit. Seperti benang kusut yang sulit di uraikan. Memilih atau dipilih, menerima atau diterima. Semuanya bergantung pada, bagaimana Tuh...
ASKARA 2 By Nisaul

Teen Fiction

5.3K 500 45
Cinta pertama memang tak selamanya indah. Askara memiliki kisah pada cinta pertamanya tak sesuai harapan yang harus berakhir begitu saja sebelum jad...
ZIALGA ✔ By Savta5

Teen Fiction

1.8M 16.3K 8
[Pindah ke Dreame dengan judul yang sama] ___ Kehidupan Zia berubah setelah dia tinggal bersama kakak laki-lakinya .... ___ "Sama aku? Emang nggak ad...
5.4K 481 59
Jika kamu ingin bahagia, jangan biarkan masa lalu mengusikmu. Kamu boleh melihat ke belakang, namun jangan membawanya kembali. ........ Arsegara Wira...