Magic In You

Від VVyMeU

32.3K 3.1K 154

Sejak mata ini pertama kali melihatmu, kamu berhasil menyita perhatianku. Kala itu, kalau kamu masih ingat, k... Більше

Beginning
1. First Sight
2. Ramen Susu Keju
3. Amplop Putih
4. Damn! She's So Stylish
5. I Need You
6. Hanya Kamu
7. Idola
8. Sengatan Itu
9. Don't Touch?
10. Ara Bertanya
11. Aku Bukan Malaikat
12. Unexpected Offer
13. Angel Or Butterfly
14. Malam Tadi
15. Sosok Setengah Dewa
16. Sendu Merindu
17. Aku Ingin Disini
18. Kembali tersenyum
19. Blok Mahakam
20. Just Be Yourself
21. Little Einstein
22. I 💗 U, My Thomas
23. Haters Gonna Hate
24. Anka
25. Mencintai Sangat Dalam
26. Tell Me Everything
27. He'll Be Okay
28. Perhatian Yang Menyenangkan
29. Sakit.. Perih..
30. 12 April 2003
31. Doa yang terjawab
32. Surprise
33. Tempramen
34. Tetapkan Keyakinan
35. Kissing Her
36. Bugs & Panda
37. Don't Ever Leave Me
38. Kembali Berjumpa
39. Weekend
40. No Choice
41. I Won't Give Up / So Do I
42. Clement
43. Anka & Kirana
Pesan Untuk Kirana
Bio dan Q&A

44. I Love You, Always

999 69 13
Від VVyMeU

KIRANA’S POV

Angin semilir berhembus membelai pipiku. Khata terus mengayuh sepedanya dengan pelan dan hati-hati. Tanganku pun memeluknya dengan erat dari belakang. Aku menyandarkan kepalaku pada punggungnya yang mulai berkeringat.

“Yah, gerimis. Neduh di pohon dulu ya sebentar?” Aku hanya mengangguk pelan, meski aku tau dia tidak bisa melihatnya. Kami pun kemudian duduk di bawah pohon untuk berlindung dari air hujan.

“Kamu nggak kedinginan?”

“Engga kok.”

“Kehujanan ya? Pake jaketku aja ini.” Dia melepas jaket baseball miliknya dan menyerahkan padaku.

“Aku nggak apa kok, Ta.”

“Pake ya? Plis?”

“Hahaha. Kamu lucu deh kalo lagi minta gitu.”

“Pliis?” Mukanya yang semakin ia buat lucu itu membuatku tertawa. Aku akhirnya memakai jaketnya itu.

“Nah, gitu.”

“Bau kamu. Hehe.”

“Ah, iya? Sori. Baru aku mau cuci sebenernya jaket itu.”

“Hahaha. Nggak apa. Aku suka kok baunya.”

“Dasar. Udah, jangan dibauin muluuu, ntar kamu mabok aku bingung.”

“Suka-suka laaaaah. Eh, ujannya udah mulai reda. Ayo lanjut.”

“Bener nggak apa? Kamu keujanan lho nanti. Aku nggak mau kamu sakit.”

“Nggak bakal sakit cuma karena hujan begini aja kok. Ayo jalan.”

Khata kemudian menegakkan sepedanya dan duduk di atas sadel. Aku dengan hati-hati duduk di belakangnya.

“Pegangan erat-erat ya? Kalo kenapa-kenapa bilang, biar aku berhenti ntar.”

“Iyaaaaaaaa.”

Kami pun kembali bersepeda melewati beberapa sapi yang sedang makan rumput. Dia mengayuh sepedanya sangat pelan. Tak apa, aku senang menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Kepalaku kembali aku senderkan pada punggungnya.

“Kayak dulu ya, Ta?”

“Maksudnya?”

“Kamu inget nggak dulu waktu kita masih kuliah? Aku pulang kunjungan? Yang mobilku mogok?”

“Oh, inget lahhhh! Hahaha. Kamu waktu itu kucel banget tau.” Aku mencubit perutnya pelan.

“Awwww, jangan dijiwit. Kucel-kucel gitu kamu masih tetep keliatan cantik kok tenang aja.”

“Gombal muluuuuu deh, Ta.”

“Engga kok. Suer deh. Kamu mau ngapain aja tetep cantik.”

“Iya, dulu. Sekarang udah engga. Pipiku makin chubby.”

“Kamu makin cantik sekarang Kirana.”

“Makin gendut gini malah dibiliang makin cantik gimana sih!”

“Kan cuma sementara, ntar abis ngelahirin juga balik kurus lagi. Kita jogging bareng deh!”

Anka sudah menungguku di depan pintu rumah. Dia mengulurkan tangannya untuk memelukku. Bibirnya kemudian mencium hidungku, membuatku tersenyum kegelian.

“Kamu kedinginan?”

“Engga kok. Ayo masuk. Ta, udah taruh sepedanya di situ aja. Ayo masuk.”

“Iya, kalian masuk dulu aja.”

Aku dan Anka kemudian memasuki rumah kami yang minimalis ini. Rumah di tengah peternakan seluas 11,5 hektar ini dirancang tidak lain dari teman baik Khata, si Ara tengil. Dengan lima kamar tidur dan enam kamar mandi bisa dibilang rumah ini sangat besar. Meski sebenarnya rumah ini rencananya untuk ditinggali aku dan Anka, namun Khata lah yang berperan besar dalam desainnya. Dia merancang benar-benar pas sesuai kebutuhanku dan Anka.

Yah, dia memang seminggu dua tiga kali kemari sih. Apa lagi, setelah aku mengandung. Dia menjadi lebih sering kemari. Tak tega katanya membiarkan aku sendiri. Padahal, aku dirumah pun sudah tidak beraktifitas apa-apa. Anka memang setiap hari keluar hingga petang mengurus hewan, hanya siang dia kembali ke rumah untuk makan bersamaku. Namun, seluruh urusan rumah sudah ada bibi dan Pak Purno yang mengatasi.

“Aku langsung pulang, ya?”

“Yah, Taaaa. Kan ini udah mau maghrib sih. Udah sore, kamu capek. Tidur sini aja doooong.”

“Besok aku ada meeting di kantor jam delapan, Na.”

“Mbak Ta pulang besok ajaaaa. Kita nonton bareng malem ini!” Anka pun ikut membantuku meyakinkan Khata untuk pulang esok hari. Wajah Khata semakin bingung.

Aku mengambil tangan Khata kemudian menempelkannya pada perutku yang buncit.

“Tuh, Metta Sutta Junior juga pengen kamu pulangnya besok.”

“Ah sial kamu Kirana, tau aja kartu AS-ku.” Dia kemudian mencium perutku dan menempelkan telinganya.

“Yaudah kalo gitu, aku mau mandi.” Kata dia setelah selesai mendengarkan bayi dalam kandunganku.

Setelah tiga puluh menit, Khata kemudian keluar dari kamarnya dengan mengenakan piyama yang berwarna biru dongker sama seperti punyaku dan Anka. Dia kemudian menelpon kakek untuk mengabari akan pulang besok pagi.

“Bibi masak apa nih Na buat makan malem?”

“Uhmmm, kayaknya sih belum masak. Tadi bibi kan bilang mau ke apotek.”

“Hmm, mau aku masakin nggak?”

“Mbak Ta, bikinkan ramen susu keju dooong.” Kata Anka manja ke kakaknya yang sedang memakai apron. Dia sexy sekali memakai apron seperti itu. Hahaha

“Eh? Tapi bukan ramen instan ya? Biar aku bikin sendiri bumbunya. Anka bantuin aku yuk? Biar Rana duduk aja.”

“Siaaaap! Rana sayang duduk aja ya! Aku sama mbak Ta yang masak.” Aku tersenyum melihat tingkah mereka berdua. Biarlah, biar aku duduk di seberang melihat mereka yang memasak dengan lucunya.

Anka tak henti-hentinya membuat banyak kesalahan, namun Khata dengan sabar membereskan kekacauan di dapur ini. Meski lama, ramen buatan Khata dan Anka akhirnya jadi juga. Sejak aku mengandung, Khata sangat memperhatikan makanan yang aku konsumsi. Dia sangat overprotective. Tidak ada lagi makanan instan. Yah, karena Anka juga tidak bisa makan-makanan seperti itu, maka aku pun lama-lama jadi terbiasa.

“Taraaaa. Ramen susu keju kesukaan Anka.”

“Hahaha. Kok gitu. Kan seharusya Ramen susu keju buatan Anka sama Mbak Ta.”

“Tapi kan emang kesukaan aku?”

“Ah, kalian. Terserah, aku udah laper. Makan yuk.”

Ramen ini sungguh mengingatkanku pada beberapa tahun silam di rumah Kirana di Depok. Dia memasakkanku ramen instan kala itu. Yah, aku rasa selain pemimpin perusahaan diam-diam dia juga jago sekali di dapur. Siapa yang tidak jatuh cinta dengan dia? Dari Clement yang sudah suka sejak SD sampai om-om pemilik restaurant seafood terbesar di Jepang yang terpesona lihat dia. Hahaha.

Sayang sekali, Khata masih belum memilih siapa pun untuk berada di sampingnya. Eh, tunggu dulu. Sepertinya tanpa sadar pun dia sudah memilih. Hahaha.

“Anka, makannya dihabisin.”

“Aku kenyang.”

“Kan kesukaan kamu tadi bilangnya?”

“Tapi kenyang. Mbak Ta yang habisin ya?”

“Eeeeeeh, Kamu mau kemana?”

“Jam delapan Mbak, mau cek kandang.” Anka mencium bibir dan hidungku kemudian memakai jaket dan keluar dari rumah. Pak Purno yang baru mau masuk ke dalam rumah membatalkan niatnya. Dia mengikuti Anka dari belakang, membantunya di kandang seperti biasa.

“Isssssh, Ankaaaaa!”

“Hahahaha. Biarin aja Ta. Aku aja yang habisin sini. Junior kayanya masih laper.”

“Eh? Masih laper? Mau tambah lagi? Aku bikinin lagi kalo mau.”

“Engga. Ini sisanya Anka aja udah cukup.”

“Bentar lagi jadi ayah tetep aja si Anka masih kayak gitu aja, engga berubah. Huh.”

“Emang ada yang berubah dari kita?” Aku tersenyum pada Khata dan menopang daguku diatas meja. Puas sekali melihatnya salah tingkah hahaha.

“Em, em. Nonton yuk?”

“Mau nonton apa?” Aku masih tetap tersenyum ke arahnya. Dia sungguh lucu.

“Ar, em. Itu. Apa namanya?”

“Apa?” Ah, Khata. Muka dia sungguh lucu sekali salah tingkah begini.

“The Imitation Game!”

“Iya, ayok.”

Aku duduk di sampingnya, menonton film di layar TV. Dia sangat serius melihat setiap adegan. Tiba-tiba, muka dia memerah. Adegan mesra di TV membuat mukanya memerah. Hei, ada apa dengan seorang Khata?

Setelah beranjak untuk mengambil air putih dia kemudian duduk kembali. Aku mengambil tangannya kanannya kemudian menaruhnya diatas perutku. Hingga film berakhir. tangannya tidak ia pindahkan sama sekali.

“Mau tidur? Anka udah balik belum sih?”

“Udah tadi. Dia langsung tidur. Ini udah jam berapa.”

“Yaudah, tidur gih. Jangan begadang, nggak baik buat junior.”

“Hmm, Ta?”

“Ya?”

“Kira-kira Anka bakal keberatan nggak kalo aku menamai junior dengan nama kakakku?”

“Hmmm? Sepertinya engga. Jadi kalo laki-laki Kalani? Kalo perempuan Kenda?”

“Iya. Itu rencanaku. Kamu keberatan? Tentu nama belakang dia Metta Sutta.”

“Nggak sama sekali. Dua-duanya nama yang bagus.”

“Bagus deh.”

“Oh ya, Na. Hmmm. Ehmm.”

“Kenapa sih, Ta?”

“Jadi, ehmm. Clement minggu lalu minta aku buat jadi pacarnya. He’s kind of confest kalo dia udah suka dari kecil. Haha.”

“Loh kamu baru tau? Ya Tuhan, Khata! Terus kamu jawab apa? Terus sekarang kamu pacaran sama Clement?”

“Em, yeah, kind of.”

“Lah? Khataa. Yang bener. Pacaran apa engga?”

“Iya. Hehe.” Aku langsung memeluknya erat. Akhirnya setidaknya dia membuka hati untuk seorang lainnya!

“Na, dia mau hmm serius. Tapi…”

Wait. Slow down. Maksud kamu serius, mau nikah? Bukannya Clement a christian? Or Catholic?”

“Engga. Haha. Banyak yang engga tau emang. Meski mama dia keturunan chinese tapi mama dia itu muslim. Makanya dulu kami deket waktu SD ya soalnya agama mesti bareng mulu.”

“Ohhh. Okay. Terus tapi kenapa?”

“Aku belum siap nikaaaaah!”

“Hahaha! DASAR KHATA. Ya bilang lah sana sama Clement.”

“Aku bingung ngomongnya.”

“Tunggu. Kamu hmmm, beneran buka hati buat Clement atau cuma karena hal lain?”

“Hal lain apa?”

“Entah. Something else.”

“Aku gapaham. Cuma, entah aku rasa hmm. If it is Clement yang bakal nemenin aku buat hidup bareng then it’s okay. Dia sahabat yang baik. Dia kenal aku dari lama. Meski entah berapa banyak cewek yang udah pernah dia tidurin. Asalkan selama sama aku dia setia, aku rasa itu udah jadi masa lalunya.”

“Kamu nggak cinta dia?”

Khata menatapku dalam. Ya, aku tau, pertanyaan bodoh. Meski sekali pun, dia tidak pernah bilang. Aku tahu apa yang dia rasakan. Sekali lagi, meski dia tidak mau mengakuinya. Aku tahu dia mencintaiku.

“Nggak usah di jawab, lupakan. Em. Dia perlu tes HIV dulu! Aku nggak rela kamu jadi cewek kesekiaannya dia.”

“Hahaha. Ada-ada aja kamu. He told me, he’s clean.

“Aku nggak percaya. Kalo dia mau serius sama kamu, aku bakal suruh dia tes HIV! Tes semuanya!”

“Wo, wo, wo, slow down. Aku kan udah bilang aku belum siap nikah. Maybe 3 or 4 years from now?”

“Iya, nanti kalo emang dia mau nikahin kamu. Aku tau kamu pasti masih pengen bebas. haha”

“Dia juga bilang gitu haha.”

“Ta?”

“Hmm?” Aku mencium ujung bibirnya. Dia tidak bereaksi sama sekali. Lama, baru aku melepas ciumanku.

“Aku bahagia. Aku tau kamu juga. Tuhan memang selalu berikan kita yang terbaik, aku percaya itu.” Khata hanya tersenyum mendengar perkataanku. Dia kemudian mencium perutku dan membisikkan sesuatu yang tidak dapat aku dengar.

“Aku juga sangat bahagia. Makasih Kirana. Good Night.” Dia kemudian berjalan ke dalam kamarnya.

Aku tahu kini arti bahagia dari mencintai bukanlah keegoisan diri dan keterikatan dalam status belaka. Meski Khata tidak pernah membalas perkataan cintaku, meski dia tidak pernah mengakuinya. Tapi aku tahu cintanya padaku sangat dalam. Dia merelakan aku untuk adiknya. Dia merelakan aku untuk menikah dengan laki-laki. Untuk memiliki seorang anak. Untuk tetap setia pada ajaran kami. Dia memberiku jalan pada kebaikan. Dia mendorongku pada arah yang benar.

Tidak ada perasaan yang lebih sakit ketimbang membiarkan orang yang kita cintai dimiliki oleh orang lain. Tapi, keikhlasan adalah ilmu yang paling susah, beserta ilmu yang paling damai. Dia mengikhlaskanku. Cintanya tak mengekangku dengan nafsu dan keegoisannya. Aku tidak salah jatuh cinta. Dari seluruh orang di dunia, aku jatuh cinta pada orang yang luar bisa hebatnya memberi cinta yang murni. Namun, dalam waktu bersamaan Tuhan sungguh adil. Aku dapat terus bersamanya. Kami terus bersama. Sebentar lagi, aku akan melahirkan seorang Metta Sutta, yang seperempat gennya adalah milik Khata. Tidak ada jalan cinta lain yang ingin aku tempuh. Tidak ada yang ingin aku ulang di masa lalu. Aku tidak mau jatuh cinta pada orang lain. Hidupku sungguh sempurna.
Cerita cintaku sungguh sempurna.
Aku sangat bahagia.

Khata Metta Sutta, aku mencintaimu seperti engkau mencintaiku. Terimakasih karena kamu telah mencintaiku dengan hebatnya dalam diam. I love you, always.

***
END


Terlepas ini cerita nyata atau fiktif, saya sebagai penulis sudah merancang akhir cerita ini sedari awal. Saya ingin menyampaikan pesan pada banyak orang bahwa cinta bukan melulu soal nafsu dan kata-kata romantis. Bukan soal status dan keegoisan belaka. Ada cinta yang semurni diam. Pada mereka yang mencintai dalam diam. Cinta memang hal yang rumit dan membingungkan. Tapi, saya percaya, bahkan dalam diam pun kita bisa mencintai dengan lebih. Seribu bahasa tak cukup untuk bisa mengungkapkan cinta, namun cinta cukup sesederhana diam.
Iya, Khata memang sehebat itu. Tapi Khata bukan dewa, dia manusia biasa. Sama seperti kalian yang mencintai seseorang dengan teramat sangat.

Oh ya, setelah ini masih akan ada dua chapter bonus.

Terima kasih,

Ze

Продовжити читання

Вам також сподобається

914K 44.7K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1.7K 142 45
Di usianya yang baru 22 tahun, Tang Ruoyao memenangkan penghargaan Aktris Terbaik, dengan masa depan cerah. Keesokan harinya, media merilis artikel y...
114K 5.1K 52
"Don't judge someone just because they sin differently than you!"
935K 43.6K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...