Burning Desire

By TheRealRJune

292K 6.6K 176

21+ Konten dewasa, mohon kebijaksanaan pembaca ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ SLOW UPDATE, setiap 2 pekan. More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26

Part 15

8.9K 249 17
By TheRealRJune

*Author POV*

Ian keluar dari toilet tanpa banyak bicara kemudian bergantian Dian yang kini membersihkan dirinya. Ian menatap wajahnya sendiri di cermin lemari dan perasaannya kacau. Ia tak seharusnya merasa bersalah telah berhubungan intim dengan istrinya sendiri. Terlebih ia merasa bersalah kepada seorang wanita lain yang bukan siapa-siapanya. Tak mau ambil pusing, Ian memutuskan tidur di sebelah Fira.

Dian membersihkan dirinya dari sisa permainan bersama Ian. Ia menatap lurus ke cermin di atas westafel. Air mata mengalir cukup deras dari mata sendunya. Bibirnya berusaha keras menahan suara sesenggukan. Hatinya berdesir.

Irene sudah berada di kantor pagi ini. Donald sendiri belum kelihatan batang hidungnya. Perasaannya campur aduk. Semalamam ia tak tenang bahkan sulit tidur. Instingnya kuat mengatakan bahwa Ian sedang bercumbu mesra dengan istrinya, dan itu bukanlah hal salah. Tapi Irene tetap merasa gelisah. Ia tak ingin membayangkan hal yang sudah pasti terjadi itu. Ia memutuskan menyibukkan diri dengan beberapa pekerjaan.

Donald di perjalanannya menuju kantor terlihat menerima sebuah telpon dengan wajah kesal.

'Mami cuma mau kamu bahagia, nak' kata seorang wanita paruh baya di ujung telpon. Donald menarik napas panjang.

"Donald paham, mi. Tapi Donald belum mau menikah" katanya.

'Ini semua karna wanita itu, kan? Mami sudah bilang, mami gak suka sama dia tapi kamu ngotot dan akhirnya, dia ninggalin kamu'

"Sudah, mi! Donald gak mau mami membahas perempuan itu lagi. Donald sudah mau sampai kantor, nanti telpon lagi. Dah mami..." ujarnya menutup telpon tanpa menunggu jawaban dari sang ibu.

Pembahasan tadi terngiang di kepalanya. Juga bayangan sang wanita yang mereka bicarakan mulai memenuhi pikirannya. Kejadian yang menjadi alasan Donald pergi meninggalkan Medan sendirian itu masih bisa ia ingat dengan jelas.

*flashback*

Tiara, gadis cantik berambut panjang idaman setiap murid lelaki di sekolahnya dulu adalah kekasih pertama bagi Donald. Bertahun menjalin kasih dari masa sekolah hingga masuk kuliah. Meskipun berbeda kampus, mereka tetap memiliki waktu untuk bertemu setidaknya sekali dalam seminggu. Di saat semester akhir saja keduanya jarang menghabiskan waktu bersama. Terlebih pribadi Tiara yang memang anak cerdas dan rajin, maka ia memutuskan fokus pada skripsinya hingga akhirnya lulus dengan predikat cum laude di bidang ekonomi.

Setelah kelulusan itu, Tiara semakin sulit ditemui karna sibuk mencari pekerjaan dan berencana melanjutkan S2. Daniel memahami alasan sang kekasih. Dan juga ia masih berkutat pada skripsinya yang terus di tolak sehingga mengharuskannya mengulang semester. Intensitas pertemuan mereka pun mulai berkurang.

Meski harus mengulang semester, Daniel mampu menyelesaikan kuliahnya dengan nilai yang cukup. Tiara malah sudah bekerja di salah satu bank di Medan dengan jabatan yang cukup lumayan.

Hingga suatu sore, Donald memberanikan dirinya untuk mengajak Tiara ke cafe setelah sekian lama tak bertatap muka dengan kekasih hatinya. Dan juga ia sudah mengumpulkan tekadnya untuk mengajak gadis itu hidup bersama. Bagai sebuah kebetulan, Tiara juga memang berencana bertemu dengan Donald sore itu.

Duduklah mereka berhadapan dengan dua cappuccino hangat dan beberapa potong churros. Tiara menatap Donald yang tak bisa diam. Kakinya bergerak cepat menunjukkan kegelisahannya.

"Ada yang mau aku omongin " kata Tiara tersenyum manis membuka percakapan.

"Ah, umm, aku dulu bisa?" sahut Donald gelagapan. Tiara mengangguk pelan.

Donald sudah menggenggam cincin di tangannya. Ia menarik nafas panjang.

"Tiara, jujur aku gak tau harus mulai darimana, aku mau langsung aja, aku mau kita menikah"

Daniel menatap lurus ke Tiara. Jantungnya berdegup kencang terasa akan meledak keluar. Yang di tatap hanya terdiam seakan sangat terkejut. Matanya terbuka lebar, badannya kaku.

"Aku janji akan jadi suami yang baik buat kamu, selalu membahagiakan kamu. Yah, memang aku belum ada kerjaan tetap sekarang tapi aku akan berusaha untuk cari" lanjutnya. Tiara mengedipkan matanya beberapa kali.

"Bagaimana S2 ku? Kamu kan tahu aku ingin melanjutkan kuliah" kata Tiara.

"Kamu bisa kuliah kok setelah menikah. Aku gak akan kekang kamu" jawab Daniel masih dengan senyumnya.

"Lalu, pernikahan kita, siapa yang akan mengurus biayanya? Kamu kan belum kerja" tanya Tiara lagi.

"Mami akan mengurusnya. Kamu jangan khawatir"

"Setelah menikah, apa yang akan kita lakukan? Seperti yang aku bilang, kamu kan belum bekerja. Apa kamu mau bergantung padaku buat cari nafkah?" ujar Tiara agak ketus. Daniel tak bergeming.

"Aku bakal cari kerja, kamu gak usah khawatir soal uang. Selama kita saling mencintai, kita gak akan kekurangan. Kamu cinta sama aku, kan?" Daniel meraih tangan Tiara lalu mengeluarkan cincin berlian yang sedari tadi ia genggam.

"Ini cincin mami, dia bilang untuk pasangkan cincin ini di jari wanita yang paling aku cintai, dan itu kamu. Tiara, kamu mau, kan, menikah denganku?" tanya Daniel lebih meyakinkan.

Tiara tak bersuara, ia menatap cincin berkilauan yang sudah bersiap di pasangkan pada jarinya. Ia melepaskan tangan Daniel dan menarik nafas panjang.

"Sebelum aku jawab, ada hal yang mau aku kasih tau ke kamu" katanya berhenti sejenak lalu menatap ke salah satu meja dan memanggil seseorang.

Dari kejauhan Daniel melihat seorang lelaki tampan berjalan ke arah mereka. Posturnya tinggi, kulitnya putih, pakaiannya juga rapi. Lelaki itu berhenti tepat di hadapannya. Tiara tersenyum kepada lelaki itu lalu mengarahkan pandangannya ke Daniel.

"Namanya Adam, dia manager di bank tempat aku kerja. Dia calon suamiku"

Daniel membeku. Ia berharap sedang bermimpi saat ini. Otaknya terhenti tak bisa memproses apapun, bahkan oksigen pun terasa sangat tipis di ruangan ini.

"Gak usah terlalu kaget begitu, seharusnya kamu sadar, kita ini beda dan gak bisa bersama. Kenapa sih kamu masih maksakan hubungan kita? Sekarang malah ngajak menikah, padahal lulus aja kamu terlambat. Gak punya kerjaan lagi. Hidup itu butuh uang, bukan cinta! Sudah ya jangan ganggu kami lagi, aku cuma mau ngomong itu sama kamu. Dan soal pertanyaan kamu, ah aku rasa kamu tahu jawabannya. Selamat tinggal!" kata Tiara tak berperasaan.

Daniel masih berusaha memproses segala hal yang terjadi. Ketika nafasnya sudah kembali normal, ia merasakan pipinya basah. Tangisannya tak dapat terbendung. Ia tak peduli tatapan orang di sekitarnya.

*masa sekarang*

Irene sedang merapikan riasannya tepat saat Donald membuka pintu kantor. Tanpa salam bahkan senyum Donald bergegas ke mejanya. Irene tak ambil pusing, ia tak peduli apa yang bosnya lakukan. Ia hanya merindukan Ian.

Ian sendiri bermain bersama sang buah hati, tapi fokusnya terbelah memikirkan percintaannya semalam. Ia terus meyakinkan dirinya bahwa semua benar, ia tak harus merasa bersalah pada Irene. Tapi di hati kecilnya, ia mengutuk dirinya sendiri.

Ian kemudian memutuskan mengantarkan Fira pergi mengaji siang itu sementara Dian melakukan pekerjaan rumah. Kesempatan itu pun digunakannya untuk menghubungi Irene.

Irene terkejut sambil menatap layar ponselnya, Irene buru-buru keluar ruangan.

Agak ragu untuk menjawab telpon dari Ian tapi ia merindukannya.

"Hallo?" sapanya lembut.

'Assalamu'alaykum' sahut Ian diujung sana tak kalah lembut.

'Lagi dimana?' tanya Ian lagi.

"Di kantor lah, kan kerja. Kamu nelpon aku, Dian mana?"

'Dirumah, aku lagi anter dedek ngaji'

"Nungguin atau cuma anter nanti jemput?"

'Kalau kamu mau telponan dulu, aku tungguin aja hehe'

Bersambunglah obrolan mereka. Irene melupakan kegelisahannya sejak semalam, ia tak punya cukup keberanian untuk bertanya apa yang Ian lakukan bersama Dian, toh dia sudah bisa menebak apa yang terjadi.

Ian sendiri mencoba sebisa mungkin tak membahas sang istri. Selain menjaga perasaan Irene, ia juga takut keceplosan mengatakan semalam mereka bercinta.

*Donald POV*

"Aarggghhhh!!!" geramku mencoba membuang wajah gadis sialan itu dari benak ku.

Bagaimana wajahnya masih bisa ku ingat dengan jelas setelah sekian lama? Bodoh sekali, hanya karna mami membahasnya kini aku terus melihat wajahnya dipikiranku.

Lebih baik aku keluar menghisap beberapa nikotin agar lega hatiku. Tapi, kenapa gadis alay itu, siapa namanya aku lupa. Irene? Entahlah. Aku tak peduli.

Ah, itu dia, sedang bertelfon ria. Sumringah sekali ckck ku yakin itu pacarnya. Mungkin dia sedang membicarakanku, seperti para admin yang dulu. Sebenarnya, anak ini cantik, tapi tipis sekali ya. Apa dia punya dada? Kurasa pasti kecil. Lihat saja blouse-nya longgar begitu. Mengapa sih, dia tidak pakai bra yang agak tebal? Hei, tak boleh kurang ajar mengobjektifikasi perempuan seperti itu, Donald brengsek! Maafkan saya, ya.

Daripada ku terus memikirkan hal kurang ajar lebih baik ku berpaling. Benci juga ku melihat orang yang sedang jatuh cinta. Ya, semenjak kejadian itu aku menutup hatiku untuk wanita, cinta dan juga pernikahan. Jika aku butuh memuaskan nafsuku, aku bisa pakai wanita yang memang melakukan itu atas dasar uang. Dan aku sanggup membayarnya.

Jujur saja, aku lebih menghargai para wanita penghibur itu ketimbang wanita yang sedang jatuh cinta seperti Irene ini. Mereka mengatasnamakan cinta, lalu memberikan segalanya pada sang lelaki. Memberikan semua yang ada pada tubuhnya, dan juga di dalam tubuhnya secara gratis. Dinikmati setiap saat tanpa ada imbalan. Diajak menonton di bioskop, makan malam mewah atau liburan sudah rela ditiduri kapan pun si lelaki ingin. Bodoh.

Ku hisap dalam asap beracun dari Marlboro merah ini. Ku bayangkan wajah Tiara seperti saat terakhir ku melihatnya, lalu ku hembuskan pelan. Aneh, tapi rasa kesalku dan wajahnya mulai memudar seraya asap itu larut di udara. Nikotin adalah penenangku. Tak salah jika Pak Adrian mengatakan aku sudah candu. Aku akan lakukan apapun untuk menghilangkan si perempuan murahan itu dari bayangku. Meskipun dengan menimbun racun di paru-paruku.

Sebatang sudah habis dan Irene masih cengengesan dengan ponselnya bergantian dari telinga kanan ke telinga kiri. Ku akui, wajahnya teduh dan manis. Dia bukan tipe wanita cantik seperti selebriti muda di TV tapi dia menarik. Tebakanku, dia adalah wanita bodoh yang akan menjadi budak dibawah cinta. Lihat saja senyumnya merekah selebar itu. Masa bodoh, aku lebih baik melanjutkan pekerjaanku.

*Irene POV*

"Jadi kapan kamu pulang?" tanyaku pada Ian.

'Lusa. Jemput aku, ya?' balasnya.

"Iya nanti aku yang jemput. Aku balik kerja dulu ya, gak enak sama si es campur itu" kataku.

'Kenapa es campur?'

"Karna sikapnya dingin, tapi manis dan menggoda hehe"

'Dasar, awas aja kamu godain dia, ku cium gak lepas-lepas kamu nanti!' ancamnya diiringi tawa.

"Oh, kalau gitu aku bakal godain dia biar di cium sama kamu" candaku dibalas tawanya. Kemudian ku tutup telpon kami setelah saling mengucapkan salam.

Terakhir, dia mengirimkan foto dirinya tersenyum canggung. Orang tua ini tidak bisa berselfie.

Aku kembali kedalam ruangan untuk mengerjakan beberapa laporan. Pak Donald masih tak pernah bersuara. Orang ini kenapa, sih?

Pak Donald bukan yang tampan sekali tapi dia juga bukan yang merusak mata. Seandainya saja dia murah senyum dan ramah, kurasa dia akan jadi artis. Mungkin, dia ini terlalu lama sendiri atau terlalu lama tinggal di hutan, jadi tidak tahu cara berinteraksi dengan manusia.

Haruskah ku carikan dia pacar? Temanku kan banyak yang jomblo. Eh, tapi, siapa yang mau ku tumbalkan kepada monster satu ini. Bisa tertekan batin mereka kalau menjadi pacarnya. Aku saja hampir gila karna tak pernah diajak bicara. Dia jauh lebih parah dari Ian dulu.

Sudah jam 5 sore, waktunya kami pulang. Setelah membereskan meja kerjaku, aku mengenakan jaket dan bersiap pulang. Tak lupa aku menegur bosku yang entah sedang apa di belakangku.

"Pak, ayo pulang!"

Dia tidak merespon apa-apa. Saat ku berbalik badan ternyata dia sedang tidur. Entah sejak kapan tapi keliahatannya nyenyak sekali. Yasudah, pikirku. Aku pun bergegas pulang meninggalkannya tidur disitu. Mudahan tidak sampai pagi.

*Author POV*

Malam ini Irene ada janji bersama beberapa temannya untuk berkumpul di café baru di pusat kota. Salah seorang teman membawa serta sepupunya malam itu. Masih siswi SMA kelas 3. Kemudian mereka memesan makanan dan berbincang mengenai kegiatan dan pekerjaan mereka.

Saat Irene menyinggung pekerjaannya yang sedang menggantikan admin yang resign, temannya itupum menawarkan sepupunya untuk bekerja disana.

Irene dengan senang hati menyambutnya. Selain agar lebih cepat kembali ke kantor bersama Ian, tentunya karna ingin jauh dari Donald.

"Tapi aku belum lulus, kan" kata sepupu temannya Irene.

"Tahun ini, bisa gak kamu keep dulu kerjaannya, Ren?" pinta sang teman.

"Waduh, gak tau juga bisa atau gaknya. Coba nanti aku tanyakan bosku ya, dia masih pulang kampung soalnya" jawab Irene.

"Kapan pengumuman?" lanjutnya.

"Bulan depan sekitar tgl 15"

"Aku tanya bos aku dulu, ya, kalau ada kabar aku kasih tau mbak mu nanti biar dia kabarin kamu. Mau gak?" kata Irene kepada temannya.

"Kalian aja tukeran nomor. Kalau dia tiba-tiba lulus gak jadi kerja atau pas aku lagi repot nanti susah hubungin kalian" kata si teman.

Irene mengangguk setuju, begitupun sepupu temannya tadi.

"Berapa nomornya?" tanya Irene bersiap mengetik di ponselnya.

"085...."

"Oke, nama kamu siapa tadi lupa aku?"

"Pratiwi, kak. Panggil aja Tiwi"

"Tiwi, ya. Sip deh" kata Irene sambil tersenyum manis kepada Tiwi, yang membalas senyumnya tak kalah manis.

Irene belum tahu, bahwa di detik itulah, hal yang akan paling ia sesalkan terjadi.









#Huwaaaaaa I'm excited gak nyangka akhirnya update lagi. Maafkam author yang kebanyakan janji tapi gak pernah di tepatin. Emang dasar!!!

Mau bilang, makasih buat yang udah baca, nge vote, komen dan share ah jutaan makasih buat kalian, TERIMA KASIH.

Selamat menikmati, happy reading, tetep vote, komen, kritik dan sarannya, dan share juga. Byeee love 💗💗💗#

Continue Reading

You'll Also Like

4.8M 176K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
2.4M 266K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
4.7M 34.2K 29
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...
345K 30.9K 31
Arvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. Sa...