Destiny of the Flora [REVISI❤...

By Risennea

284K 16.8K 436

(MASA REVISI SEKALI LAGI) [Fantasi Romance] [Season 1] Calista Angelia Bellvanist kembali ke tempat yang di... More

Mohon Dibaca
Must Read
[TRAILER]
Prolog (REVISI❤️)
1. Calista Angelia Bellvanist (REVISI❤️)
2. Selamat Datang Kembali di 'Neraka' (REVISI❤️)
3. Ingatan (REVISI❤️)
4. Bertemu (REVISI❤️)
5. Hari Baru (REVISI❤️)
6. Si Putri Tidur (REVISI❤️)
7. Kemarahan Calista (REVISI❤️)
8. Kejadian (REVISI❤️)
9. Kembali (REVISI❤️)
10. Pelukan Hangat (REVISI❤️)
Cast [PART1]
11. Tunangan Pertama? (REVISI❤️)
12. Aku Takut (REVISI❤️)
13. Kesempatan Kedua? (REVISI❤️)
14. Labirin (REVISI❤️)
15. Tolong (REVISI ❤️)
16. Lagi?
17. Hari Pertama
18. Kacau
19. Suara Alam
20. Hukuman
21. Gosip
Cast [PART2]
22. Menjadi Gadis Liar
23. Si Mata Emas
24. Tidak Nyata!
25. Bertemu Lagi
26. Monster
27. Kebenaran
28. Keinginan
29. Terlalu Sayang
30. Bolehkah?
31. Sweet Moment
32. Kabar Buruk
33. Pengkhianat
34. Menyakitkan
35. Pelarian
36. Tidak Butuh Siapa Pun
37. Butuh Kamu
38. Maafkan Aku
39. Beauvais
40. Ibu?
41. Kenapa Aku?
42. Membuang Waktu
43. Serigala Abu-abu
Cast [PART3]
45. Awal Perang
46. Perang
47. Kehilangan Jiwaku
48. Membuka Hati
49. Pengkhianat (2)
50. Membuka Hati (2)
51. Kehilangan Lagi
52. Pilihan yang Sulit
Epilog
Author Note And Question
[Another Story] My Witch Gangster
About Destiny Season

44. Just One Kiss

3.5K 238 3
By Risennea

Malamnya, Calista merenung sendirian dalam kamar istana Beauvais, mencoba menghapus kelelahan saat pikirannya kembali teringat apa yang diajarkan oleh Tzevi dan Samcha tadi.

Calista membanting tubuhnya terlentang ke ranjang, kepalanya terasa berat. Calista menutup mata, menaruh tangan di atas kening, disusul dengan helaan napas yang keluar dari mulutnya. Tidak pernah Calista bayang dirinya ternyata bukan manusia, semenjak Calista berumur 17 tahun—di saat ia memasuki dunia Chylleland di setiap ulang tahunnya, di saat ia pertama kali bertemu dengan Al, Calista tahu hidupnya tidak akan pernah kembali normal lagi. Menelan rasa pahit saat ia tahu jika ibunya adalah pengkhianat di Negeri Beauvais, terlalu rumit mengetahui siapa sebenarnya dirinya.

Meskipun secara teori di dunianya, ia manusia sekaligus pengkhianat. Rasanya di Beauvais statusnya tak jauh berbeda. Ibunya adalah pengkhianat di Beauvais, sedangkan dirinya adalah anak seorang pengkhianat.

Jujur, jauh di lubuk hati, Calista merasa terluka dengan kenyataan itu, membenci ibunya adalah satu-satu hal yang tak bisa ia lakukan. Ia terlalu menyayangi ibunya, dan rasa sayang itu sangat sulit ia hilangkan.

Terlepas tentang pikiran ibunya, semenjak Calista sedikit demi sedikit mengendalikan sihir, ia merasa kalung permata biru yang ia kenakan semakin terasa liar. Sihirnya meletup-letup seakan ia digunakan dalam waktu yang bersamaan.

Calista membuka mata, saat itu juga hilang semua pemikiran tak pernah ia tolak dalam hidup, tergantikan dengan wajah Keane saat ia terakhir bertemu dengan lelaki itu. Memang, tidak banyak waktu yang mereka habiskan bersama. Namun, setidaknya ada kenangan yang membuat Calista tidak bisa melupakannya.

Detak jantungnya yang bergemuruh di dekat Keane. Dunianya yang akan selalu kosong yang hanya diisi oleh dirinya dan Keane. Pelukan terakhir mereka. Ciuman yang liar saat Calista mabuk. Pertolongan Keane saat ia dalam pengaruh mantra Al, ketika ia tidak bisa membela diri dari penjahat.

Kenangan yang hanya bisa dihitung jari itu selalu saja Calista ingat. Apa artinya Calista mulai menyukai seseorang? Tetapi Calista berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyukai seorang pun. Karena saat Calista menyukai seseorang, tentunya rasa sayang itu akan menjadi neraka bagi Calista. Neraka yang begitu menyiksa sampai ia mulai bersikap berlebihan.

Tiba-tiba Calista tersentak, ia mendengar suara dentuman yang sangat keras. Pintu kamarnya terbuka, dan Tzevi berada di sana dengan wajah cemas. Calista bangkit dari berbaringnya, bertanya-tanya dalam hati apa yang baru saja terjadi.

Lagi. Suara dentuman itu lebih keras dari yang sebelumnya. Beberapa barang dan guci dalam kamar Calista bergoyang dan pecah. Beberapa buku terjatuh dari raknya, hal itu membuat Calista waspada.

"Kita diserang," Tzevi bergemetar, "anda harus ikut kami, Putri. Tolong hentikan apa yang terjadi,"

"Menghentikan apa?" Calista meraih mantel hangat, mengenakan dengan cepat dan menghampiri Tzevi yang sudah masuk dalam kamarnya.

Tangan Tzevi mencengkeram lengannya, selanjutnya yang Calista tahu mereka tiba di luar istana. Angin bertiup cukup keras, suara-suara dentuman itu terus terdengar. Membuat para rakyat keluar dari rumah mereka dengan pandangan cemas dan takut.

Maurietta, Samcha dan beberapa para Dewan Penyihir Putih berada di depan pintu utama. Wajah mereka seakan menerka-nerka apa yang terjadi. Di antara semua orang itu hanya Maurietta yang memejamkan mata, mulutnya bergerak seakan menginginkan agar ia bisa melihat siapa musuh mereka dan apa yang mereka inginkan.

"Apa yang terjadi?" Calista bertanya, saat itu ia melihat Mitzi menghampirinya dan mulai menempel padanya.

Samcha menoleh pada Calista dan Tzevi yang berada di sampingnya. "Saya tidak tahu siapa yang menyerang. Tapi serangan itu terjadi di perbatasan pelindung Beauvais. Wilayah Beauvais satu-satunya wilayah dengan pelindung terkuat dan tidak ada yang dapat menembusnya kecuali darah orang itu berasal dari sini dan ada yang mengizinkannya masuk. Dan sekarang ada musuh yang menyerang perbatasan pelindung Beauvais, berusaha menghancurkannya. Entah itu wilayah Evruen atau Trois,"

Calista mengernyitkan keningnya dalam. Apa yang baru saja dikatakan oleh Samcha membuatnya semakin tak mengerti.

Mendadak, Maurietta membuka mata, iris birunya bersinar kehijauan. Dan ia langsung berpaling menatap Calista. Bisa Calista lihat, ada sinar menuduh di matanya.

"Mereka menginginkanmu."

"Siapa?" Calista mengepal tangannya erat di sisi tubuhnya.

"Tunanganmu," Maurietta menghembuskan napas. "Kau yang harus menghentikan semua ini,"

Calista berdecak, tapi Calista tidak mengatakan apa-apa. Ia sibuk dengan pikirannya yang mulai kacau. Al menemukannya, dalam hal itu siapa yang harus Calista salahkan. Dirinya yang telah kabur dari Al, atau Al yang terobsesi padanya, atau takdir yang bodoh.

Calista merasa tangannya digenggam ia menoleh pada Maurietta.

"Kau harus ke sana," ujarnya. "Kau pergi dengan Mitzi dan terbang bersamaku?" tanya Maurietta.

Calista tidak menjawab, ia menatap ke arah Mitzi. Dan serigala abu-abu itu juga memandangnya.

*****

Calista tiba di perbatasan pelindung Beauvais bersama Mitzi. Ia menunggangi hewan itu. Dan ternyata Maurietta dan yang lain telah tiba terlebih dulu. Calista turun dari tubuh atas Mitzi, menghampiri Maurietta yang kini kembali menutup mata sepertinya ia mulai bicara lewat pikiran dengan seseorang yang berdiri di seberangnya.

Mata Calista terpaku pada Al, lelaki itu berada di seberang sana, terlihat misterius dalam balutam pakaian serba hitam. Rambut peraknya sangat mencolok di antara kegelapan. Puluhan bahkan ribuan prajurit berdiri di belakangnya belum berhenti menyerang. Namun, perisai yang diserang semakin sulit ditembus. Semakin diserang ia akan semakin kuat. Calista melangkah lebih dekat, tak ada gunanya untuk lari dari Al. Lelaki itu akan selalu bisa menemukannya, menjemputnya dan membawa pulang bersamanya.

"Putri! Jangan pergi ke sana!" seruan Samcha membuat mata Al menatap Calista.

Calista berhenti kaku, tepat di depan perisai yang terlihat sangat tipis sekaligus sangat kuat. Merasa bimbang apakah ia bisa menembus perisai ini. Mata Calista masih menatap Al, lelaki itu tiba-tiba mengangkat tangan ke udara seolah ia baru sja mengatakan sesuatu, dan seseorang yang dikenal Calista menyerukan suara agar prajuritnya menghentikan tembakan.

Calista dengan susah payah menelan salivanya, ia bisa melihat ada sinar biru dari perisai Beauvais. Perlahan tangan Calista terulur, menembus perisai dan ia tidak merasa reaksi apa-apa pada tubuhnya. Seharusnya ia tak perlu memastikan perkataan Samcha yang mengatakan hanya orang yang berdarah Beauvais yang bisa masuk. Jelas, ibunya berasal dari sini dan sebagian darah ibunya mengalir dalam dirinya. Setelah memantapkan hatinya, Calista berjalan keluar. Tubuhnya seakan menembus kabut yang ringan.

Sementara Calista berjalan ke arah Al, mencengkeram mantelnya, dengan Al yang terus menatapnya dengan ekspresi yang sulit dipahami. Maurietta sudah membuka matanya sedari tadi, ia menenangkan Samcha yang terlihat panik pada Calista yang terus berjalan ke arah Raja Trois.

"Jangan khawatir, Samcha. Semua akan baik baik saja,"

Samcha menoleh pada sang ratu. "Yang Mulia, hamba takut Putri terluka, bukankah Raja Trois itu sangat kejam. Pesonanya...," pipi Samcha memerah, Raja Trois adalah pria tertampan yang pernah gadis itu lihat. Dan ketampanannya adalah racun untuk semua wanita. "Pe-pesonanya menghancurkan semua orang," lanjutnya sedikit terbata.

Saat mulut Maurietta terbuka,dan malah berhenti di detik berikutnya ketika mendengar suara-suara dari beberapa rakyatnya yang ikut menyusul ke perbatasan Beauvais. Mereka berbicara berbisik tetapi seolah terdengar jelas di telinga sang ratu.

"Ya Tuhan, ternyata Putri itu sungguhan tunangan Raja Trois. Lihat itu, Raja Trois bahkan tak melepaskan tatapan,"

"Aku tidak pernah melihat Raja Trois secara langsung, dia jauh lebih tampan dan kabar yang tersebar dan pastinya sangat kejam,"

"Mereka cocok. Cantik dan tampan."

Maurietta mendengus. Dasar pengosip.

Calista menghentikan langkah dua meter jauhnya dari Al, matanya terlihat waspada saat menatap banyaknya prajurit di belakang Al. Calista tidak berniat berbicara, hanya menatap Al lekat. Akhirnya, Al sendiri yang berjalan ke arah Calista. Pelan dan hati-hati.

"Ayo pulang," Calista sadar, Al baru saja tiba di hadapannya. Dan Calista terlalu bisu untuk berkata.

Tangan Al menarik Calista, namun segera Calista menahannya.

"Kenapa kau menyerang Beauvais?" Calista tidak bisa berpikir dengan jernih.

"Mereka memisahkanmu dariku, dan aku akan membawamu kembali." Sekarang kedua tangan Al berada di pundak Calista.

"Kau tidak mengerti, Al." Calista harus menjelaskan semuanya pada lelaki itu, ia harus bisa menyakinkan jika ia tidak ingin kembali pada Raja Iblis itu, ingatan Al menyakitinya membuatnya tak pernah ingin berdekatan dengan Al.

"Aku yang mencoba kabur darimu, aku yang meminta mereka membawaku kembali. Bukan mereka! Tapi aku sendiri!" lanjut Calista sedikit bergetar.

"Apa?" Al yang mendengar ucapan Calista seolah tak percaya dengan pendengarannya, jadi sekarang Calista mengaku jika dirinya salah. Bagus, sekarang Al merasa dipermainkan. Tangan Al di pundak Calista terlepas.

Ia menatap Calista tak terbaca, sedangkan Calista sudah mengalihkan tatapannya sedari tadi. Al sedikit menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan wajah Calista. Tangan bergerak, seketika itu kabut-kabut hitam mulai mengelilingi tempat mereka berdiri.

Jantung Calista berdetak aneh saat ia menoleh ke arah Al yang berada tepat di depan wajahnya dengan pandangan bingung mengenai kabut yang kini membungkus tempat mereka berdiri seperti setengah dari lingkaran.

"Aku tidak ingin yang lain mendengar apa yang kita bicarakan," Al berkata tanpa ditanya. "Katakan, apa yang membuatmu kabur dariku?"

"Aku tidak bisa mengatakannya," karena aku tidak ingin membuat diriku kau permainkan lagi seperti boneka. Menyelakaiku kemudian menyelamatkanku lagi. Sambung Calista dalam hati.

"Tentu saja, aku mengerti. Pasti kau mengalami masa-masa sulit bersamaku dan karena itu kau mencoba untuk kabur?"

Calista mengernyit, jika Al tahu mengapa Al harus bertanya lagi. Dalam jarak sedekat ini dengan Al, yang paling menarik dari lelaki itu adalah warna hijau matanya juga surai rambut perak yang lembut. Ingin Calista merasakan bagaimana halusnya surai itu jika berada di antara jemarinya.

Al menipiskan jarak di antara mereka,
merengkuh Calista dalam pelukannya. Lengan kekarnya melingkar di sekeliling pinggang gadis itu. Sekilas, tadi Calista sempat melihat bibir lelaki itu terlihat tersenyum, senyum yang terlihat lebih tulus dari Calista ingat. Al menaruh dagunya di pundak Calista dan ia semakin memeluk erat Calista, bahkan sebelum sempat Calista cegah.

"Lepaskan aku," Calista mulai merasa sensasi aneh setiap kali Al menyentuhnya.

"Aku ingin kau merasakan diriku. Rasakan Celia, aku juga sama hangatnya dengan seorang manusia." Dengan jahil, Al meniup napasnya ke tekuk Calista.

Gadis itu langsung bergidik ngeri. Susah payah Calista menahan salivanya, ia tidak boleh terlihat mendambakan. Calista mencoba menjauhkan tubuh dari Al.

Tangan Calista terangkat dan berusaha mendorong Al dada, agar menjauh darinya. Tetapi lelaki itu terus menekan dirinya dan memeluknya dengan erat. Usahanya hanya sia-sia saja. Tidak! Calista tidak boleh menyerah!

"Katakan, apa alasan kau tidak ingin kembali padaku lagi," suara Al terdengar hanya berupa bisikan dan Calista mendengar dengan jelas.

"Kau tentu tahu, jika aku bagian dari Beauvais. Dan kau juga tahu jika aku bukan manusia. Karena aku berasal dari Beauvais, setidaknya di sini aku bisa berusaha mengendalikan sihirku," juga karena aku tidak suka padamu. Sambung Calista lagi dalam hati. Calista memang mengatakan yang sebenarnya, ia berpikir jika jujur jauh lebih baik dari pada berbohong.

"Tapi sekarang ... lepaskan aku dulu. Aku ... aku tidak bisa bernapas," lanjutnya tersenggal.

Sontak, Al melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah Calista yang memerah kehabisan napas. Tangan Al terulur ke sisi wajah Calista, membuat mereka saling memandang. Ada perasaan tidak rela untuk melepaskan Calista, tentunya Al sedang berpikir-pikir apa ia akan membawa Calista pulang atau ia akan pulang sendirian tanpa hasil apa-apa.

"Kalau kau ingin aku pergi, setidaknya kabulkan dulu permintaan ku. Aku belum mengatakan apa permintaanku setelah aku memberi ramuan untuk kakakmu,"

Calista mengerjab mata dua kali. Oh ... permintaan Al yang ia setujui tanpa berpikir. "Apa yang ingin kau minta?"

"Cium aku," bisik Al di depan bibir Calista.

"Apa?" giliran Calista yang terkejut. Belum memulai pun, Calista bisa merasakan wajahnya memanas. Permintaan seperti apa itu? Mana mungkin ... mana bisa Calista membiarkan bibirnya ternodai. Sebenarnya Calista pernah berciuman bahkan ia cukup mahir berciuman, hanya saja Calista sudah berhenti berciuman dengan seseorang beberapa tahun yang lalu. Dan Calista tidak yakin ia masih ingat cara berciuman.

Ditatapnya Al ragu. Hanya satu ciuman. Semua masalah selesai. Al akan pergi dan semuanya akan kembali baik-baik saja. Calista mulai gelisah, ia menoleh ke arah para prajurit di belakang tubuh Al, pandangan mereka seakan ingin tahu ap yang dibicarakan mereka. Dan Calista menoleh ke belakangnya, menatap ke arah Beauvais, ia melirik Maurietta yang juga menatapnya penasaran. Lalu Calista kembali berpaling ke arah Al yang tampak menunggu. Calista mencoba menyakinkan dirinya, detak jantungnya mulai mencekik pernapasannya. Satu ciuman, tidak akan menjadi masalah.

Lalu Calista melakukannya, ia mencium Al. Satu ciuman ini harus meyakinkan Al, agar lelaki itu cepat meninggalkannya, jadi Calista mulai memejamkan mata, tangannya kini berada di sisi wajah Al. Meskipun jantungnya yang sudah tak bisa dikontrol lagi. Masa bodoh, Calista mulai melumat bibir Al pelan, hati-hati, dan lembut. Tidak terburu-buru.

Ketika Al mulai menarik Calista lebih dekat, lelaki itu mulai membalas kecupan Calista. Al menarik tangan Calista melingkari leher, Calista bisa merasakan otot bahu Al di bawah jemarinya. Rasanya seakan tidak ada orang-orang yang melihat, rasanya di sini hanya ada mereka berdua tenggelam dalam satu ciuman.

Calista belum pernah merasa seperti ini selama hidupnya. Merasa ia bebas dari segala yang membebaninya di bumi. Bebas dari bahaya, bebas dari rasa benci yang mengumpal di hatinya. Bebas dari daya tarik bumi seolah-olah sekarang ia benar-benar mabuk cinta. Al mendaratkan barisan kecupan menurun sepanjang sisi leher Calista. Ia melingkarkan kedua lengannya erat-erat ke pinggang Calista.

Perut Calista seakan tergelitik, gelenyar kecil penuh kenikmatan menjilat sekujur tubuhnya, dari bibir hingga jemari kakinya. Calista menghirup napas sebanyak-banyaknya, saat merasakan tangannya merayap ke dada Al tepat di jantung lelaki itu, mencoba mencari tahu apa detak jantung Al sekeras detak jantungnya. Dan Calista pikir ia akan tengelam dalam sensasi ini.

Lalu Al menarik diri, ia menatap Calista. "Kau seperti malaikat,"

Kalimat yang Al ucapkan seperti hiperbolis. Tapi baginya, Calista telah menjadi malaikat penyiksa hidupnya. Ada di depannya, namun tak pernah menyerahkan hatinya untuk Al.

Tidak berdetak.

Jemari Al menyapu bibir Calista yang mengkilat. Matanya nampak berkabut.

Tidak berdetak.

Mata Calista memandangkan tangannya sendiri yang masih berada di jantung Al. Mendadak, tubuh Calista terpaku. Calista kehilangan kata-kata dalam mulutnya.

Tatapan Al semakin terlihat berhasrat. "Ada apa?" bisiknya.

Ragu, Calista menatap mata hijau Al. Tangannya menurun dari tubuh Al. Napasnya kembali teratur seperti sedia kala. Rasa perut yang tergelitik juga detak jantung Calista mulai kembali normal. Apa boleh ia mencari kebenaran dari sesuatu yang baru ia ketahui?

Al menurunkan wajahnya sejajar dengan wajah Calista. Warna hijau dalam matanya bercahaya. Menunggu ada hadiah apa lagi yang akan ia dapatkan lagi. Dan malam ini, Calista tampak semakin memesona di mata Al.

Calista mendekat, bibirnya mencari bibir Al. Tangannya kembali merayap ke jantung Al, merasakan detak jantung yang tak berirama di sana. Lalu bibir Calista bergerak lebih tinggi menelusuri garis hidungnya, tangan Calista juga bergerak ke leher Al, mencoba merasa denyut nadi di sana. Menggecup kedua kelopak mata Al yang terpejam. Lalu mendadak tubuh Calista kaku, seakan ia baru saja merobek dan mencabut jantungnya sendiri.

Satu hal yang baru Calista tahu. Al tidak memiliki detak jantung, dan sekarang ia baru saja ... Tidak! Sedang mencium mahkluk yang mungkin lebih buruk darinya. Calista menarik diri, diam-diam dalam hati ia berdoa. Ia mencium ... apa Calista boleh menyebutnya patung kosong yang hidup seperti manusia, atau mayat yang tak memiliki jantung. Lalu siapa sebenarnya Al itu? Bahkan jika Calista pikir, nama Al itu berasal darinya. Bukan dari lelaki itu. Lalu siapa nama asli Al dan kenapa pikiran itu baru datang sekarang. Ia sadar dengan jelas, hatinya merasa sesak yang tak bisa ia jelaskan saat tahu dirinya tidak mengenal lelaki itu dengan baik-baik. Seolah-olah ia akan menjadi boneka untuk ke sekian kalinya. Dipermainkan di saat yang tak ia inginkan.

Kecupan terakhir yang Calista rasakan di keningnya, menyadarkan dirinya bahwa ia masih terjebak dalam kabut yang dicipkan oleh Al.

"Aku pergi," Al berkata ia menjauh dari Calista. "Aku janji akan menjemput lagi,"

"Jangan berjanji," Calista berbisik dengan gemetar.

"Aku janji," Al Membalikkan badannya, ia terdiam sesaat sebelum akhirnya menghilang disusul dengan ribuan puluhan prajurit ikut menghilang.

Calista memejamkan mata, kabut yang mengelilingi sekitarnya memudar, dan menghilang seperti buih dalam laut. Lalu Calista membalikkan badannya, menatap ke Maurietta juga para rakyat Beauvais yang menatapnya dengan ekpsresi yang berbeda. Ada yang kagum, ada yang iri. Entahlah Calista tidak peduli. Lalu Calista kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam perisai Beauvais.

Malam itu, sukses Calista tidak bisa tidur. Calista yakin, besok ada akan lingkaran hitam yang menghiasi matanya.



***

Continue Reading

You'll Also Like

597K 30.8K 35
[COMPLETED] Lea hanyalah gadis cantik bermata biru dan berambut merah yang tinggal bersama ibu angkatnya. Dia tidak pernah mengetahui darimana dia be...
14.5K 2.5K 56
-Pengumpulan Sekutu- Kethra hanyalah antagonis minor yang terbunuh di tengah-tengah cerita oleh pemeran utama laki-laki kedua. Keberadaannya sangat t...
26.4K 5.6K 69
Sharley tak pernah berpikir kalau perjuangannya bisa sepanjang ini. Selepas dia menjelajahi waktu dan membuat darah Mezcla di tubuhnya musnah, dia ha...
30.4K 6.2K 47
Hatrany adalah kaum terendah di Negeri Hyacintho. Mereka dijadikan budak, sering disakiti baik secara fisik maupun mental. Mereka selalu dipandang re...