BERILIUM

By halusinojin

47.3K 6K 1.7K

Antara kemelut hati yang nyata dan kebahagiaan yang semu, Seokjin berdiri di sana. Kuat, tak goyah, namun rap... More

Home Sweet Home.
Hal yang Lumrah.
Menaruh Curiga.
Ibu, Kau Berubah.
Kesalahan Pertama.
Stalker.
'Dia' yang Mengetahui Segalanya.
Pembual.
Sebuah Impresi.
Pikiran Rumit Seokjin.
Datang.
Sudut Pandang.
Sepercik Binar.
Praduga.
Ada Sesuatu yang Hilang.
Hidup.
Hilang.
Krusial.
Semua Salahnya.
Aksa.
'Dia' yang Akan Tergantikan.
Di Ujung Tebing.
Sebuah Kebenaran Telak.
Rekah.
Akhir [1].

Sebuah Permohonan.

1.8K 301 50
By halusinojin

Selamat membaca! 💜

Semoga sukaa ^^

____________

Hoseok nampak tak terkejut dengan sosok yang telah menunggu—ralat, mengikutinya. "Kau membuntutiku ya," Ia berjalan mendekat pada sosok itu.

"Jin-hyung?"

Seokjin hanya tersenyum hambar, "Tak kusangka, kau memiliki maksud lain Hoseok. Kau mempermainkan adikku?" Tanya Seokjin tak kalah sengit, ia mendekatkan jarak pandangan antara dirinya dengan Hoseok.

"Tawaranku masih berlaku lho." Kata Hoseok, yang disambut dengusan pelan oleh Seokjin seraya kembali dengan senyuman masam di wajah.

"Tawaran?" Dahi Seokjin berkedut sesaat sebelum melanjutkan, "Ah, tawaran bodohmu itu?" Ia agaknya lupa.

"Ya ampun, selalu seperti ini ...." Hoseok menyerah, pikirannya telah lelah 'tuk berdebat. Toh, hari pun telah larut. Ia harus cepat kembali, "Pertimbangkanlah, hyung ... Dan jika kau berubah pikiran, kau bisa ke sana ... Pintu akan selalu terbuka untukmu." Hoseok mengakhiri obrolan petang itu dengan satu tepukan pelan di bahu Seokjin, kemudian ia berlalu.

Seokjin memang selalu seperti ini, berinsting tajam. Jangan juluki ia sebagai 'tukang penguntit' karena telah menguping pembicaraan antara sang adik dengan kedua temannya, Seokjin hanya mengikuti kata hati bahwa ada yang tak beres dengan makhluk pluto itu—Hoseok.





🎈

"Aku pulang," Seokjin mendorong pintu perlahan hingga menimbulkan derit cukup nyaring, cukup membuat seorang wanita menghampiri. "Ibu, sudah pulang?" Ia tersenyum, sangat langka bila Min Hyeji telah didapati di jam-jam saat ini—lima sore.

"Apa yang telah adikmu lakukan, hm?" Dengan kedua tangan dilipat, ia membuka pembicaraan tanpa sempat membiarkan Seokjin bernapas sejenak.

"Tak ada, bu. Ia tak melakukan apa-apa ...." Sambil menelan saliva perlahan, siap 'tuk memberi kebohongan lainnya. "Ka-kami hanya, makan beberapa camilan." Suara Seokjin makin surut, entah mengapa ia segan 'tuk melihat wajah sang ibu.

Min Hyeji tak percaya, "Lalu, jelaskan ini." Ia menunjukkan sebuah buku dengan tanda pengenal 'Jung Hoseok' di halaman depan buku tersebut.

"Ia mengadakan kerja kelompok di sini, iya 'kan? Kim Seokjin."

Seokjin mengedip lebih cepat sebelum ia menjawab, "Be-begini, ibu ... Sebenarnya—"

"Apa? Kau tak bisa mengelak lagi. Di mana dia, hm? Di mana Yoongi?!" Min Hyeji sekali lagi meninggikan suara, sedikit membuat Seokjin terlonjak.

Seokjin menghentikan gerakan sang ibu kala ia hendak berlari menemui Yoongi, "I-ibu, kumohon ... Ini bukan salahnya," Sepersekon kemudian, Seokjin mengatakan kalimat 'pembela' setelah Min Hyeji menaruh atensi padanya, "ini hanya salah paham ...." Dengan pandangan tak yakin, Seokjin berusaha melindungi Yoongi 'tuk kesekian kalinya.

"Dia ada di kamarnya 'kan?" Alih-alih menyudahi perdebatan, Min Hyeji justru mencari si anak bungsu.

Seokjin secara skeptis menggeleng. Berdalih, karena ia tahu jelas apa yang akan terjadi selepas itu. "Tidak bu, jangan ... Kumohon, a-aku yang salah ...." Jelas Seokjin parau, ia mencoba menjegal Min Hyeji; menahan dengan memberatkan langkah sang ibu agar tak leluasa bergerak.

Ah, Min Hyeji mengetahui hal ini.

Tanpa mengindahkan Seokjin, ia berlanjut. Dengan tenaga lebih pun langkah tegas menemui Yoongi yang berada di kamarnya. "Diam, Seokjin." Kata Min Hyeji.

"Ya! Min Yoongi! Keluar dari kamarmu dan jelaskan semuanya!" Ia mengetuk pintu tanpa ampun, hingga sang empunya membuka sedikit celah 'tuk melihat.

Seokjin dengan setumpuk rasa khawatir ia mencoba menenangkan sang ibu yang tengah naik pitam, entah apa yang ada di kepala Min Hyeji, ia seperti kesetanan setelah menemukan sebuah buku pelajaran di atas meja.

Yang harus diketahui adalah; Min Hyeji tak suka bila ada yang berkunjung ke rumah.

"Ibu, kumohon ... Ini bukan salah Yoongi," sebelum melanjutkan, Seokjin melihat netra Yoongi tengah keheranan juga napas memburu—Yoongi kalut. "Sebenarnya, ia meminjam buku teman di sekolah, Hoseok. I-iya 'kan, Yoon?" Kemudian menatap lurus dengan tatapan mengiyakan.

Sang pemuda hanya mengangguk ragu seraya berkata lirih dan kian surut, "I-iya, ibu. Aku meminjamnya." Sama hal dengan Seokjin, Yoongi tak mampu bertatap muka dengan Min Hyeji.

"Hentikan. Seokjin, lepas." Ia menepis kasar lengan Seokjin yang sedari tadi menahannya.

Tatapan itu, sama sekali tak berubah. Dingin, kejam, tak berkilap, "Sini. Ikut ibu." Ia menyambar kasar lengan Yoongi, menyeretnya ke dalam kamar mandi dengan tenaga tak terelakkan bagi pemuda berumur enambelas tahun.

Seokjin juga berusaha menghentikan. Dengan sejumlah kata permohonan ia layangkan; memohon agar sang ibu tak berbuat sekeji ini pada darah dagingnya sendiri.


"Sudah ku bilang, jangan bawa siapapun ke rumah. Kau mengerti?!" Bentakan Min Hyeji terdengar oleh Seokjin di sebalik pintu. Sedangkan Yoongi tengah terdiam, tertunduk, pun dengan sekujur tubuh telah basah kuyup.

Usaha Seokjin mutlak terhenti kala Min Hyeji mendorong tubuhnya, menutup pintu hingga menimbulkan debuman nyaring disertai suara benda yang berbenturan dengan lantai.

Keadaan kacau.

Dan Seokjin hanya bisa setia menunggu di sana seraya memohon pada Tuhan agar tak terjadi hal mengerikan kepada orang yang ia kasihi. "Ibu ... Tolong, jangan seperti ini ... Kumohon bu. Yoongi tidak salah ...." Berkali-kali ia mengatakan itu dengan suara parau.














"Yoongi, maafkan ibu ... Ya?"

Seokjin bersigera menemui sang adik, tepat setelah Min Hyeji pergi.

Sang lawan bicara lagi-lagi hanya terdiam, tertunduk. Namun kini dengan wajah yang pucat. "Yoon, i-ibu tak bermaksud seperti itu ...." Netra Seokjin memandang lurus Yoongi yang tengah senyap di kamar mandi, entah kurun waktu berapa lama. Yang jelas, itu cukup membuat kulit keriput serta dingin menjalar di sekujur tubuh. "Ia memiliki pekerjaan berat ... Dan melihat rumah dalam keadaan seperti ini pasti membuat emosinya tak stabil." Lanjut Seokjin hendak menghampiri Yoongi.

Bergeming, Yoongi tetap di sana. Tak ada perubahan—memeluk kedua lutut.

Merasa ada yang janggal, Seokjin bergegas. "Yoon, kau tak apa?"

"Astaga, kau demam?!" Seokjin berkata, kalut setelah ia menempelkan punggung tangan di dahi Yoongi.





"Yoon, maaf ... Aku pergi tanpa memberitahumu, maaf aku tak tahu jika—" Kata itu tertahan, melihat Yoongi tanpa ekspresi sedang terbaring lemah di ranjang. Sungguh, ia khawatir; terlebih sudut bibir Yoongi yang lebam.

Helaan napas pelan dikeluarkan, Yoongi nampak tak tertarik dengan alasan yang dibuat Seokjin 'tuk menghilangkan rasa sakit terhadap Min Hyeji. "Yoon, maaf ... Semua ini salah—"

"Hyung." Ia membuka mulut.

Tanpa melihat sang kakak, Yoongi melanjutkan obrolan. Setelah sepuluh menit, akhirnya ia meladeni segala ucapan Seokjin. "Hentikan. Kumohon, jangan membelanya."

"Ta-tapi, Yoon. Kau tahu 'kan? Ibu bukan orang yang seperti itu ... Ia hanya sedang tertekan." Sanggah Seokjin.

Yoongi tampak tak terima, "Ya. Ibu itu baik, penyayang, lembut, perhatian ... Tapi kau tahu hyung? Aku sudah lupa semuanya." Dengan suara parau ia berucap, hendak mengeluarkan segala beban yang telah di pikul seorang Min Yoongi dalam kurun waktu satu tahun.

Tak lama, air di pelupuknya mulai berontak. "Aku lupa kata-kata lembut yang selalu ibu ucapkan, aku lupa wajah ibu yang selalu tersenyum kala kita pulang sekolah, aku lupa rasa masakan ibu di pagi hari, bahkan aku lupa bagaimana—"

"Rasanya ibu memelukku."

Sejumlah kalimat itu menusuk batin Seokjin begitu brutal. Kata yang menunjukkan jikalau Yoongi; tengah terluka karena Min Hyeji teramat sangat. "Hyung, aku ingin pergi dari sini. Semuanya tak lagi sama, ibu telah berubah. Ayah pergi, dan itu sangat membuatku terpukul ...." Ia berkata lirih seraya tak memandang Seokjin. Yoongi lebih memilih memalingkan pandangan dengan menahan isak tangis yang menguap bersama bongkahan emosi di udara.

Selama Seokjin hidup di keluarga Min, baru kali ini ia melihat Yoongi begitu rapuh dengan keadaan yang ada. Seokjin bisa merasakan rasa sakit yang mendera batin adiknya.

Yoongi bukan anak cengeng, ia bukan pengecut, pun bukanlah anak mama yang mengais-ngais perhatian. Asal kau tahu, Yoongi hanya lelah. Ia lelah dengan semuanya, sudah tak mampu menahan perasaan yang berkecamuk di relung hati.

Seokjin hanya bisa mengusap tangan Yoongi tanpa sepatah kata serta tangis tak tertahankan. "Sakit, hyung ...." Getirnya, "Aku merasakan sakit, sangat." Kini, Yoongi menatap sang kakak, dengan rasa sembilu yang tersirat lewat manik sabit itu.

"Kau terus menyuruhku untuk tetap bersabar, menghormati ia sebagaimana mestinya seorang ibu ... Tapi—" Yoongi menahan napas sesaat, "Kita bukanlah seorang anak di matanya." Ucap Yoongi.


"Jadi, tolong hyung. Aku mohon ...."









"Kita pergi dari sini."[]

Continue Reading

You'll Also Like

100K 7.3K 50
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote
100K 8.5K 84
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
42.3K 9.5K 111
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
64.1K 10.4K 15
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...