BERILIUM

By halusinojin

47.3K 6K 1.7K

Antara kemelut hati yang nyata dan kebahagiaan yang semu, Seokjin berdiri di sana. Kuat, tak goyah, namun rap... More

Home Sweet Home.
Menaruh Curiga.
Ibu, Kau Berubah.
Kesalahan Pertama.
Stalker.
'Dia' yang Mengetahui Segalanya.
Pembual.
Sebuah Permohonan.
Sebuah Impresi.
Pikiran Rumit Seokjin.
Datang.
Sudut Pandang.
Sepercik Binar.
Praduga.
Ada Sesuatu yang Hilang.
Hidup.
Hilang.
Krusial.
Semua Salahnya.
Aksa.
'Dia' yang Akan Tergantikan.
Di Ujung Tebing.
Sebuah Kebenaran Telak.
Rekah.
Akhir [1].

Hal yang Lumrah.

3.4K 394 98
By halusinojin

🎈

Sinar mentari pagi belum terlihat. Namun, keheningan di pagi hari itu tercemar oleh suara alarm yang nyaring berasal dari kamar Seokjin. Sang pemilik tengah tertidur lelap, menikmati bunga tidur yang dirasa lebih baik dari kehidupan itu sendiri.

Tak butuh waktu lama, kini ia sedikit membuka kelopak matanya, meregangkan tubuh 'tuk beberapa saat, kemudian terduduk di tepian ranjang.

Ya,

Waktunya sekolah.

Setelah membersihkan tubuh, Seokjin telah bersiap. Terpakailah seragam dengan celana berwarna biru tua, dan outer almamater sekolah berupa sweater yang berwarna senada dengan celananya. Ia padu-padankan dengan surai hitam yang telah dirapikan.

Hal selanjutnya yang Seokjin lakukan ialah membawa tas hitam di punggung, memakai sepatu dan berjalan menuruni anak tangga.

"Pagi Yoongi ...." Sapa Seokjin pada sang adik yang tengah memainkan benda persegi panjang kesayangannya.

"Pagi ...." Ia menjawab sekenanya. Lalu kembali memainkan ponsel di atas meja makan.

"Yoon ... Makan dulu sarapanmu."

"A-ah! Iya ... Hyung, aku hanya melihat berita."

Seokjin menyunggingkan senyum, kemudian kembali bertanya.

"Di mana ibu?"

Satu pertanyaan yang cukup menyita perhatian Yoongi. Karena terlihat dari lengannya yang terhenti 'tuk menyuap.

"I-itu—"

Suara hentakan kaki yang ditimbulkan akibat gesekkan sepatu hak dengan lantai, terdengar nyaring di pagi hari yang hening. Membuat dua pasang mata sontak mengalihkan pandangan, ingin mengetahui siapa dibalik suara itu.

Tentu saja.

Siapa lagi jika bukan ibu mereka.

Min Hyeji.

Wanita itu kini terlihat sangat cantik, memakai blazer hitam, dengan surai panjang sebahu dan berwarna senada membuat sesiapa pun tahu bahwa ia merupakan wanita karir yang sibuk akan pekerjaannya.

'Ibu cantik, seperti biasa.'

Gumam Seokjin dalam hati dengan senyum yang tak lekas menghilang.

Ya, paras Min Hyeji tak berubah. Apalagi dengan presensinya, ia tetaplah Min Hyeji yang Seokjin lihat beberapa tahun lalu.

Sama persis saat mereka membawa Seokjin dari panti asuhan.

"Ibu ... Ayo sarapan dulu. Ada roti isi kesukaan ibu, selai kacang ...." Ajak si sulung, ia bersemangat mengajak Min Hyeji 'tuk sarapan bersama. Berusaha mengangkat kembali tradisi keluarga Min yang telah lama hilang.

Apa yang Min Hyeji lakukan?

Ia kemudian terduduk bersama mereka, menerima piring yang Seokjin sodorkan, dan mulai membuka obrolan pagi yang hangat antara ibu dan anaknya. Melupakan masalah semalam, memeluk Seokjin dan Yoongi penuh kasih sayang.

Bercengkrama, menanyakan perihal yang akan dilakukan saat makan malam nanti, dan candaan ringan yang membuat mereka tertawa riang.

Hingga Yoongi menunjukkan senyum termanisnya.



Setidaknya, itu yang diinginkan Seokjin.

Setidaknya, ia mengharapkan hal itu terjadi lagi dalam keluarganya.

Namun, kenyataannya adalah ....

Min Hyeji melangkah pergi.

Dengan langkah yang tegap, ia meninggalkan kedua putranya yang kini mematung, membisu.

Seokjin hanya bisa terdiam dengan sepiring roti yang masih di tangan, kemudian menyimpan benda itu dengan perlahan.

Ia hanya bisa tersenyum perih, berusaha menghilangkan pikiran negatif yang kini menggerayami otaknya.

Setelah presensi sang ibu telah menghilang, Yoongi mendesah pelan; memutar bola mata, menarik tas hitam di samping dan bersiap 'tuk meninggalkan rumah.

Sang kakak menyadari hal itu, segera mengambil tindakan. "Yoongi ... Tunggu!" Kemudian mengejar Yoongi dengan tergesa-gesa yang sudah di ambang pintu.

Setelah mengimbangi adiknya, ia berkata, "Ayo, kita berangkat."






🎈

Ramai.

Sekolah menengah atas dengan gerbang bercat-kan warna hijau itu kini telah ramai oleh siswa yang hendak memasuki area sekolah.

Kedua kakak beradik yang semula berjalan beriringan kini terlihat ada jarak di antara mereka. Menandakan bahwa jarak kelas mereka cukup jauh satu sama lain.

Seokjin berbelok kiri, sementara Yoongi ke arah yang berlawanan. Mereka hanya beda satu tingkatan kelas, dan Yoongi lebih rendah tingkatnya dibandingkan sang kakak.

"Belajar yang benar ... Jangan lupa senyum."

Dua kalimat yang selalu Seokjin sematkan dalam pikiran Yoongi sesaat sebelum mereka berpisah, sudah menjadi hal yang wajar, pun Yoongi selalu menjawab dengan anggukan kepala.

"Aku akan menunggu di gerbang saat pulang nanti ... Jangan lama!" Pinta Yoongi dengan sedikit berteriak, jarak mereka cukup jauh kali ini.

"Ya! Tentu saja, tak usah khawatir! Bukankah aku yang selalu menunggumu?" Seokjin kemudian tersenyum jahil.





🎈

"Yo! Seokjin! Tugas biologimu sudah?" Seseorang merangkul bahunya.

"Ah ... Kau ini, bisakah membuat hariku tenang? Satu hari saja? Kau belum menyelesaikan tugasmu lagi, ya?" Canda Seokjin, ia melontarkan tawa pada sosok di samping; dengan sukses 'menggangu' pagi yang mungkin sedikit damai.

Orang itu mempoutkan bibirnya, "Aku menyerah pada biologi. Rumit ...." Ia menjeda kalimat, kemudian menatap heran Seokjin.

"tunggu, Jin. Ada apa? Muka mu kusut sekali ...." Taehyung menyadari ada keanehan dalam diri temannya.

"Ah ... Bukan apa-apa, Taehyung. Aku hanya merasa kehilangan semangatku pagi ini ...." Seraya menatap lurus ke depan.

Taehyung mengangkat alis, ia begitu terheran dengan teman sebangkunya, merotasikan badan, kini mereka telah duduk di bangku masing-masing.

"Kau mau menceritakannya padaku? Ya ... Siapa tahu aku bisa membantu dan memberi solusi ...." Ia menatap lekat Seokjin, memaksa sang lelaki 'tuk membuka mulut.

Seokjin terheran akan gelagat Taehyung yang terkenal akan 'si pemilik senyum persegi'.

"Sungguh, tak ada apa-apa ... Percayalah." Ia meyakinkan.

"Ah ... Baiklah. Aku percaya padamu." Kini ia tersenyum. Kemudian menyadari bahwa pelajaran akan segera dimulai.

"Bersiap!"

"Sebelum memulai pelajaran, mari kita berdo'a ...."

"Mulai."

Keempat puluh murid itu menundukkan kepala.

Tuhan ... Tolong kuatkan aku, kembalikan senyuman ibu, dan Yoongi. Tolong bahagiakanlah mereka, Tuhan.

Seokjin merapalkan do'a yang rutin ia katakan setiap kali pelajaran akan dimulai. Lewat untaian kata ia berharap, sama, dan sederhana, namun ada pengharapan yang teramat dalam dari dirinya.













"Jin? Ke kantin?" Taehyung mengajak Seokjin. Bel istirahat baru saja terdengar nyaring beberapa menit yang lalu.

"Taehyung! Kau mau ke kantin?" Belum sempat mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Seokjin, kini Taehyung mengalihkan pandangan. Mendapati sosok yang baru saja ingin membuka percakapan dan tengah menghampirinya.

"Ah ... Jimin. Iya ... Kami mau ke sana."

"Ikut?" Sambung Seokjin yang berdiri.

Pemuda bermata segaris itu mengangguk dengan pipi yang tebal. Kemudian pergi meninggalkan kelas yang semakin sepi—semua murid telah pergi.

"Kau tahu? Kurasa akhir-akhir ini tugas kita semakin banyak." Jimin membuka obrolan dengan sebuah keluhan.

"Benarkah? Tapi, memang sih ... Akupun merasakannya." Seokjin setuju.

Taehyung tampak gusar, "Bukannya berkurang karena mau lulus, ini malah semakin menumpuk ... Aku lelah, otak ini tak bisa menahannya lagi ... rasa-rasanya, setelah lulus kuingin ternak lele saja." Ia sama-sama mengeluh, jauh lebih berat pun dengan muka memelas.

"Aish ... Tenanglah, aku akan membantumu, Tae. Kita berdua, iya 'kan Jim? Dan hentikan sikap 'hiperbola'mu ... Itu menggelikan." Papar Seokjin dengan badan yang bergidik.

Kemudian, ada lontaran tawa yang terdengar.

"Ah ... Itu adikmu kan?" Taehyung mendapati sosok tak asing lagi dari pandangannya.

Seokjin yang penasaran pun menoleh, hendak membuktikan benar atau tidaknya mengenai ucapan Taehyung.

Dan ya ...

Taehyung benar.

Di sana, sosok lelaki berkulit ivory yang khas dengan sebuah earphone tengah terduduk sendiri di bangku taman sekolah yang jaraknya tak jauh dari Seokjin berada.

"Ah, iya ... Itu dia."

Jimin yang penasaran pun ikut memaparkan satu hal, "Aku selalu melihatnya sendiri, Jin. Kecuali saat pulang." Dengan netra yang tak lepas ia berkata demikian.

Seokjin hanya terdiam, kemudian mengerutkan dahi. Apa yang dikatakan Jimin benar. Bahkan, ia tak pernah melihat Yoongi membawa teman ke rumah.



🎈

"Yoon!"

Seru Seokjin, tangannya terlihat melambai-lambai di tengah keramaian siswa yang hendak pulang. Dia berdiri di sana, seperti biasa, hanya kali ini dengan senyum yang lebih mengembang.

Yoongi hanya menoleh, kemudian berjalan lebih cepat. Benar dugaan Seokjin, justru dirinyalah yang ditunggu. Bukan menunggu.

"Telat lagi? Ada apa?" Tanya Seokjin setelah dirasa Yoongi berjarak dekat dengannya.

"Diskusi kelompok." Jawab sekenanya—lagi.

"Oh ... Ayo, kita pulang." Seraya memegang bahu Yoongi yang satu detik kemudian ditepis halus olehnya.






"Omong-omong ... Apakah kau memiliki teman dekat?"

"Ada. Beberapa. Mungkin." Intonasinya menurun pada kalimat terakhir.

"A-apa? Jadi kau—"

"Tidak. Tak usah dipikirkan. Aku sudah nyaman di kelasku. Kau tak perlu memikirkannya, hyung ...." Sanggah Yoongi saat Seokjin hendak melontarkan pertanyaan yang menurutnya 'kurang penting'.

Seokjin menghela napas, kemudian kembali tersenyum. Ia harus percaya pada sang adik, dan Seokjin selalu ingat pesan Yoongi saat mereka tahu akan bersekolah dalam satu atap yang sama.

"Jangan perlakukan aku seperti anak kecil lagi ya? Hyung ... Di sekolah nanti kita harus terlihat seperti teman."

Cerocos Yoongi kala itu. Dengan anggukan cepat dari Seokjin.

Mereka membicarakannya saat makan malam keluarga, tepat sebelum esok hari mereka masuk sekolah. Ada canda tawa dari ayah dan ibu, ingatan sederhana yang masih melekat kuat di benak Seokjin. Tuan Min yang masih sehat, dan Min Hyeji yang berseri-seri sambil menjawil pipi gemas Yoongi, diakhiri dengan cemberutnya si korban yang berpipi merah.

Ya ....

Mungkin kalian takkan percaya bila Yoongi itu dulu anak yang periang, mudah tersenyum dan hangat.

Namun kenyataanya adalah ....

Kehidupan yang telah merubah Yoongi.

Terlebih sepeninggal sang ayah.

Ia jarang mengungkapkan ekspresinya, jarang pula bercengkrama. Senyum manis yang selalu dirindukan kini telah 'langka'.






🎈

"Jin-hyung, kau lihat itu?" Min Yoongi membuka percakapan setelah mereka hampir tiba di depan rumah. Langkahnya terhenti, dan menanyakan satu hal pada sang kakak yang tengah asyik berkutat dengan ponsel yang berada di genggaman.

Merasa terpanggil, ia mendongak. Mengarahkan netranya pada area yang telah Yoongi tunjuk—pekarangan rumah.

"Ada apa?" Seokjin bertanya.

"kau melihat sesuatu?" Ucap Seokjin dua detik kemudian.

"Tadi ...."

"Ada seseorang yang hendak memasuki rumah kita." []

Continue Reading

You'll Also Like

247K 19.5K 94
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
1.2M 62.7K 66
"Jangan cium gue, anjing!!" "Gue nggak nyium lo. Bibir gue yang nyosor sendiri," ujar Langit. "Aarrghh!! Gara-gara kucing sialan gue harus nikah sam...
162K 8K 27
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
675K 32.5K 38
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...