Seminggu berlalu, dan pesan misterius itu masih saja Lily terima.
0852 1076 xxxx: kamu belum tidur?
Me: Udah
0852 1076 xxxx: Terus ini siapa?
Me: Hantu!
0852 1076 xxxx: Kamu kenapa?
Me: Habis kamu ditanya siapa gak pernah jawab
0852 1076 xxxx: Nanti juga kamu tahu.
Selalu seperti itu jawabannya. Jadi setelah dua hari menanyakan hal yang sama dan mendapatkan jawaban yang sama, Lily berhenti bertanya tentang identitas si pengirim. Ia memilih menganggap si pengirim adalah teman curhat dan becanda yang tak perlu ia kuatirkan. Kalau nanti ia kenal, tinggal blokir atau ganti nomor ponsel. Selesai. Habis perkara. Cara Lily berpikir selalu sesederhana itu.
Selama seminggu terakhir ini, Lily juga sudah mulai terbiasa dengan ritme cepat di kantornya. Meski training-nya sangat melelahkan, mempelajari struktur dari satu departemen ke departemen lain, mengenali job description masing-masing dan mulai mempelajari seluk beluk pekerjaan masing-masing secara mendetail, Lily bisa menjalani dengan baik.
Sayangnya, Lily masih belum bisa mendekati teman-teman satu ruangan latihannya. Mengenali mereka tak berarti bisa menjadi sahabat mereka. Semua orang seperti menjaga jarak dengannya. Bicara seperlunya, berdiskusi hanya saat training dan setelah itu sibuk dengan urusannya masing-masing.
Satu dua kali Lily bertemu dengan teman-teman dari housekeeping, yang akhirnya tahu kalau Lily bukan bagian dari mereka. Tapi mereka juga seperti menjaga jarak, tiap kali Lily bergabung, satu persatu memilih pamit sebelum makanan di tray mereka habis. Lily benar-benar tidak mengerti, mengapa sebuah pekerjaan bisa membuat jurang begitu dalam bagi sebuah persahabatan?
Me: Sebel
0852 1076 xxxx: Ada apa?
Me: Lily mau jadi housekeeeping aja kalo begini
0852 1076 xxxx: Ditanya ada apa, malah ngomong gak jelas
Me: Iiih, suka-suka Lily dong!
0852 1076 xxxx : Iya ada apa????
Me: Biasa aja ya!!!! Lily udah sebel sama orang-orang di sini, Tauk!
Tak ada balasan cukup lama. Mungkin dia marah. Mungkin juga dia sama kesalnya dengan Lily. Perlahan, Lily kembali men-scroll chat dan merasa tidak enak. Bukan salahnya kalau Lily merasa kesal hari ini.
Me: Maaf
Me: Lily hanya gak tahu harus ngomong ke siapa lagi
Me: Teman-teman Lily yang baru kayaknya ngehindari Lily.
Me: Lily kesal
Tetap sepi. Tak ada respon. Juga tak ada tanda-tanda si dia sedang mengetik. Lily menghela nafas.
Me: Lily rasa Lily gak pantas kerja di sekper.
Me: Teman-teman Lily gak ada yang mau temenan ama Lily
Me: Dan teman-teman Lily yang di housekeeping jaga jarak banget sama Lily
Me: Padahal apa hubungannya pekerjaan, jabatan atau apalah itu dengan persahabatan?
Me: Lily kan cuma mau berteman T_T
Masih tak ada respon. Bahkan belum di-read. Tapi entah mengapa hati Lily mulai terasa lebih tenang, sebagian beban di hatinya terlepas. Dadanya yang tadi terasa berat, kini jauh lebih ringan.
Tepat saat itu, pintu ruang training terbuka. Trainer sudah tiba, diikuti beberapa peserta yang tadi menunggu di luar. Lily mematikan dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas.
Satu setengah jam kemudian...
Saat semua peserta sedang mengerjakan tugas masing-masing, pintu ruang training terbuka lagi. Seorang wanita cantik dan anggun masuk. Saat ia masuk, aura keanggunan itu seakan menghipnotis semua orang dalam ruangan. Kepala mereka terangkat bersamaan menatapnya. Rasa kagum yang terpancar di mata mereka, tak membuat sang pemilik merasa canggung.
Ia mengatakan sesuatu kepada sang Trainer lalu setelah mendapatkan jawaban berupa anggukan, ia maju ke depan memperhatikan ke sekeliling ruangan, dan matanya berhenti pada Lily. Senyumnya mengembang.
Lily terkesima. Ia ingat wanita itu pernah ia lihat saat... saat... insiden di lift!
Ada apa ini? Jangan bilang lo bikin masalah dengan bos galak itu lagi, Li! #Sisi Jahat kebingungan
Wanita itu bergerak mendekati Lily. Suara ketukan sepatu tingginya seperti sebuah palu hakim yang bersiap menjatuhkan vonis untuk Lily. Lily mengkeret.
"Selamat siang, Mbak Lily. Mulai besok Anda bekerja di lantai 9. Langsung dengan saya," ucap wanita itu penuh senyuman.
Lily terperangah. Loh bukannya masa training itu seharusnya 3 bulan? Tapi sudahlah, itu tak penting. Mungkin memang itu aturannya.
"Iii... iya, iya Bu," jawab Lily tergagap.
Wanita itu kembali tersenyum. "Saya Amy, kita akan bekerja sama mulai besok. Panggil nama saja!" Dan ia mengulurkan tangan pada Lily.
Lily hanya bisa mengangguk sambil berdiri dan menyalami Amy dengan penuh hormat. Amy bahkan memeluknya, seperti... seorang sahabat.
Semua orang masih menatap mereka berdua dengan berbagai ekspresi. Tapi semua tipenya sama. Itu tatapan tajam, menyelidik, ingin tahu dan penuh tanda tanya. Tatapan seperti itu kemudian tetap bisa dirasakan Lily bahkan setelah Amy meninggalkan ruangan latihan.
Syukurlah, syukurlah!
Apapun yang terjadi nanti di lantai 9, Lily sangat bersyukur bisa keluar dari ruangan yang berisi orang-orang menyebalkan ini. Lily tidak tahu apa yang akan ia hadapi, tapi kepribadian hangat Amy saat tadi berkenalan dengannya sudah cukup untuk membuatnya bersemangat. Soal Pak Ajie, itu urusan belakangan. Selama ada Mbak Amy yang hangat itu, Lily yakin dia bisa menghadapi apapun.
Saat coffee break, Lily tak lupa memeriksa ponselnya.
Si Dia yang misterius hanya membalas dengan dua kalimat.
0852 1076 xxxx: Kamu gak perlu teman, kamu hanya perlu saya
0852 1076 xxxx: Tunggu saya 3 hari lagi.
Issshh... kepedean amat ya!
Tapi hati Lily sedang berbunga-bunga, jadi ia membalas dengan riang.
Me: Tunggu apa nih? Oleh-oleh? ^_^
0852 1076 xxxx: Kamu minta oleh-oleh apa?
Seringai licik menghias wajah Lily seketika. Gadis badung kayak dia ditanya oleh-oleh sama seperti menawari seekor serigala dengan umpan daging segar.
Me: Coklat sekotak gede, gantungan kunci selusin harus beda, baju mahal lengkap dengan aksesoris dan ... ^_^
Me: Bawain juga pria paling tampan dan baik yang mau jadi pacar Lily yaaaa ^_^
Balasan cukup lama baru diterima Lily.
0852 1076 xxxx: Baiklah.
Lily tertawa kecil tak sadar, tak sengaja mengundang perhatian beberapa orang yang memilih tetap tinggal di ruangan juga. Tapi Lily sudah tak peduli, jadi ia lebih suka menikmati coffee break dengan browsing.
Sore itu, ketika Lily keluar dari gedung GE, terdengar suara memanggilnya dari kejauhan.
"Mbaaak! Mbaaak! Mbak Lilyyy!"
Lily menoleh cepat. Tampak Kiki berlari mendekatinya. Nafas gadis itu terengah-engah saat sampai di depan Lily. Lily tersenyum lebar pada gadis muda itu. Melihat dari pakaian seragam housekeeping yang ia kenakan hari ini, rupanya Kiki sudah mulai bertugas.
"Mbak mau ikutan kita gak?" tanya Kiki dengan wajah masih memerah kepanasan.
Mata Lily berbinar, "Ikut apa?"
"Kita rujakan di taman, sama teman-teman yang lain juga. Mau?"
Lily menganggukkan kepalanya kuat-kuat. Tentu saja! Siapa yang bisa menolak ajakan menyenangkan seperti itu?
"Ayo!" Kiki menarik tangan Lily, masuk kembali ke dalam gedung. Kali ini dengan lincah tangan Kiki bergerak menekan tombol 8. Mereka tersenyum-senyum setiap kali bertemu pandang. Kiki tak lagi terlihat canggung, malah dia terlihat penuh semangat.
Ketika berada di taman lantai 8 itu, Lily tak langsung bisa melihat teman-teman yang menunggu mereka. Rupanya, jejeran pagar yang terbentuk dari tanaman laurel yang ditata segiempat setinggi hampir satu meter berhasil menyembunyikan mereka. Setelah memutari pagar tanaman itu barulah ia melihat mereka.
Sekumpulan pemuda-pemudi berseragam housekeeping duduk di atas rumput yang telah ditutupi tikar plastik. Mereka tertawa dan bercanda mengelilingi beberapa kotak makan plastik besar. Sesekali tangan mereka mencocol potongan buah dengan bumbu dalam piring-piring plastik, sebagian meletakkan begitu saja di depan mereka, yang lain duduk berjongkok sambil memegangnya. Begitu melihat Lily dan Kiki, mereka menyambut dengan riuh.
"Mbak Lily! Apa kabar?"
"Lama gak liat, Mbak makin cantik aja!"
"Ayo, Mbak! Sini! Sini!"
Senyum lebar menghiasi wajah Lily, menyambut uluran persahabatan itu dengan senang hati. Setelah beberapa hari yang terasa begitu berat, ini hari terbaik baginya bisa berada di tengah-tengah orang-orang yang menerimanya apa adanya. Tak ada tatapan ingin tahu, tajam, menyelidik, sinis dan bengis. Hanya ada mereka yang tersenyum tulus, dan menatapnya sebagai teman.
Lily duduk diantara mereka. Tanpa malu-malu, mengambil piring plastik yang bertumpuk di tengah, meminta sambal rujak pada Santi, dan mencomot salah satu potongan buah dari kotak plastik besar di depannya.
Mereka makan bersama-sama, duduk bersama-sama, tertawa bersama-sama. Tidak ada jarak, tidak ada ketegangan, tidak juga peduli apapun seragam yang dikenakan.
Inilah persahabatan yang diinginkan Lily.
Teman-teman yang sesungguhnya.
The real friends.
***
Seseorang di lantai 9, dari balik kaca kantornya, menatap ke bawah. Ke lantai 8, ke arah taman. Sebuah pemandangan kontras yang menyenangkan terlihat di sana. Seorang gadis yang mengenakan baju pink duduk diantara para pekerja berseragam putih biru. Wajah-wajah mereka dipenuhi tawa dan senyuman lebar, termasuk gadis berbaju pink itu.
Seseorang itu ikut tersenyum.
*****