heart of terror

Oleh queenrexx

106K 17.6K 7.8K

cover by the talented @BYBcool *** Sembilan orang itu disebut Venom, sekelompok teroris yang perlahan-lahan t... Lebih Banyak

before you read
1 - nine dangerous dorks
2 - cops and their own drama
3 - just another normal day for bunch of terrorist
4 - charles kale is trying his best
5 - why so serious, district aguare?
7 - we're destroying our homeland 'cause why not
8 - dumbest reason to get married
9 - here comes the big boss *dramatic explosion in the background*
10 - richy rich people not so richy anymore
11 - media, or also known as the biggest trash talker ever
12 - seven minutes in heaven, forever in hell
13 - another bonding time ft. grocery shopping
14 - fuck queen, long live bellezza
15 - death dresscode
16 - ask this v important issue as (not) anonymous
17 - who the frick let alpha name things? smh
18 - do you feel like a young god? because they do
19 - district vioren aka the WEAKEST district asking for help?! *fake gasp*
20 - my tech brings all the boys to the yard
21 - he's beauty he's grace he'll punch u in your face
22 - S I K E
23 - when trickster got tricked while tricking
24 - connor.exe has stopped working
25 - a quest to the deadly shoes, now with sequel
26 - lieutenant charles works hard but the devil works harder
QnA answers!!
27 - f is for failure we did together
28 - knock knock children it's murder time
29 - kale brothers, drama, and more drama
30 - goddamn which side you actually pick
31 - our favorite angry boy, truly an icon
32 - headline: local cinnamon roll trying to look tough
33 - a good day for work (unless you're cop or smth)
34 - join the alliance of asshole to be the assholest to ever asshole
35 - someone's DEAD, charles is STRESSED, connor is lying AGAIN
36 - *slides $5 to essence* tell me about the aliens
37 - "fank you" is when u can't decide whether to say fuck/thank you
38 - 2 bros sitting in the darkness 0 feet apart 'cause they're suicidal
39 - IS THIS YOUR KING?!
40 - HELL YEAH HE IS
41 - help, i have 11 main characters and this story is a disaster
42 - tracing the sharp edges of you
43 - last chill chapter of the goddamn story
44 - i'm here to ruin your day
45 - a completely makes sense ending
last a/n
QnA & a bit info
characters' info
GUESS WHAT

6 - our bonding time includes threat, wrestle, and cuddle

3.1K 439 228
Oleh queenrexx

VENOM boleh saja terkenal sebagai komplotan kriminal paling berbahaya di Arterierrn yang namanya sudah melejit hingga ke jenjang internasional, tetapi fakta di atas tetap tidak secara ajaib membuat mereka mempunyai markas rahasia nan mewah atau jet tak kasatmata lengkap dengan pilot beserta krunya.

Bah, lupakan pilot. Max merupakan spesialis kabur-kaburan (bahasa kasar: supir) terbaik sepanjang sejarah. Ia bisa mengendarai hampir segala jenis mobil, motor, truk monster, bahkan helikopter ketika usianya belum legal buat mendapatkan surat izin mengemudi.

Titik kumpul para anggota Venom adalah sebuah mansion sederhana yang berlokasi di pinggiran Distrik Vioren, alias distrik miskin minim teknologi dan penghasilan, di mana mata pencaharian penduduknya bergantung pada hasil produksi roti-rotian. Mayoritas dari mereka mati akibat penyakit kista, kelaparan, dan dehidrasi—Ray sampai muak.

"Tipikal penyakit warga miskin," katanya pada suatu hari. Kedua tangan asyik bermain five finger fillet; kain hitam rapat menutup mata. "Sepele dan mudah diatasi seandainya mereka tidak sebodoh itu."

Atlas ber-hm ria di sebelahnya. "Yeah, kebodohan memang sulit disembuhkan."

Bicara mengenai Distrik Vioren, para anggota Venom yang sempat diterpa peristiwa tak menghibur di gerbong kereta akhirnya tiba di distrik tercinta pada waktu hampir menjelang malam. Biasanya tidak memakan waktu selama itu, tetapi habisnya bahan bakar kereta memaksa mereka diam menunggu sampai bantuan datang hingga—sepuluh atau dua puluh menit? Oh, dua jam. Selain Ray, semua orang sepakat agar tidak berada dalam jarak satu meter di dekat Valor kecuali mereka punya keinginan tersembunyi buat mati. Sedikit disayangkan Jasper tidak ada di sana untuk mengambil kesempatannya.

Max kurang lebih sudah menduga seluk beluk keterlambatan teman-temannya, maka dari itu ia tidak banyak protes ketika mendengar bunyi bantingan pintu depan disusul sumpah serapah sebagai ganti kalimat "kami pulang".

"Selamat datang." Max menyahut dari ruang tamu. Ia mengangkat kepala sekilas dari kegiatannya membaca majalah lama tentang tektek bengek kendaraan.

"Fuck off," sungut Valor, marah dan kesal dan berapi-api seperti biasa.

Max mengangkat bahu, lagi-lagi sudah lebih dulu menduga balasan yang bakal diterimanya. Di belakang langkah Valor yang mengentak-entak seolah ingin menghancurkan lantai sekaligus bumi, enam manusia lain muncul dengan ekspresi tak kalah jengkelnya. Guratan samar bahkan kedapatan menghiasi pangkal hidung serta dahi Atlas.

Kesemua dari mereka melewati Max begitu saja tanpa memberi lebih dari sekadar lirikan sinis. Well, tidak semua; Bellezza masih mau repot-repot menendang meja sebagai bentuk pelampiasan kekesalannya, begitu juga Alpha yang entah disengaja atau tidak, sedang menunjukkan kebiasaan anehnya di mana ia bergumam keras-keras tanpa sadar dan tanpa henti. Kali ini, isi gumamannya kebanyakan membahas perihal rancangan bom baru dan bagaimana ia akan menyelipkannya di bantal seseorang malam ini.

Bukan hal baru lagi. Disindir, ancaman dibunuh, bahkan sampai ditindas sekalipun—segala perlakuan tak mengenakkan itu kerap berlangsung sekembalinya mereka dari misi di luar kota. Selaku korban pemboikotan, Max mewajarkan kenapa kawan-kawannya tidak terima atas hak istimewa 'terhindar naik transportasi umum' miliknya (dan Jasper, tentu saja, tetapi apa serunya mengancam mati seseorang yang mencintai maut?). Ia pribadi tak bisa melihat gerbong kereta Vioren tanpa merasa tersinggung. Kereta bobrok beserta isinya itu lebih pantas berada di tempat pembuangan akhir ketimbang beroperasi di atas rel.

Sepeninggal para anggota Venom lain ke kamar masing-masing, Max memantapkan dalam hati, Satu atau dua jam dari sekarang, kami semua akan main kartu di ruang keluarga.

oOo

Jasper menolak menyebut ruangan berukuran sedang yang terletak di jantung mansion itu sebagai ruang keluarga. Pertama-tama, Venom bukan sebuah keluarga. Kedua, ruangan ini sebenarnya merupakan home theater. Ketiga, ruang keluarga dan home theater tidak semestinya dimanfaatkan buat bergulat.

Lelaki malang penganut antibising itu sudah menempatkan dirinya sejauh mungkin dari kerusuhan yang dibuat kedelapan rekan seperjuangannya. Film aksi yang sedang memutar adegan perkelahian dibiarkan tak tertonton, tetapi soundtrack-nya menjadi latar sempurna yang mengiringi tindak tanduk mereka.

"Menyerahlah, Atlas, kau tidak pernah menang melawan kuncian ini." Berkeringat dan tersengal-sengal, Lucille yang sepuluh menit terakhir sudah berupaya memanjat naik ke punggung Atlas berhasil mendapatkan leher lelaki itu di antara lengannya.

"Kenapa?" Atlas tak hilang ketenangan kendati lehernya berdenyut ditekan serangkaian gelang Lucille. "Karena aku tidak pernah curang?"

Lucille memutar sepasang bola mata cantiknya yang berbeda warna. "Meniup telinga lawan tidak curang sama sekali." Ia pasti sudah mengeratkan kuncian sebab Atlas mulai megap-megap meminta oksigen. "Ayolah, menyerah saja. Aku sedang tidak selera mematahkan leher."

"Tidak sampai kau menemukan cara lain untuk mengalahkanku."

Atlas membuat isyarat melalui jari telunjuk dan tengahnya pada seseorang di sebelah kanannya, pada sudut yang mustahil dilihat oleh Lucille. Ketika ia akhirnya berbalik menghadap kanan, Ray dan Max yang sudah siap di tempat sama-sama meluncurkan diri ke arah Atlas. Keempat dari mereka terjatuh. Ada tawa, keluhan, dan ucapan datar "kalian terlalu brutal" di mana-mana.

Di seberang mereka, gulat yang awalnya penuh canda tawa dan sedikit luka barangkali telah merambah ke sesuatu yang lebih intens bagi Valor dan Bellezza (dan selalu seperti itu setiap kali mereka terlibat) karena, kenapa tidak? Kedua dari mereka adalah yang anggota Venom terbaik dalam bidang menendang bokong dan mematahkan tulang, jadi memar-memar kecil bukanlah riasan wajah baru buat keduanya.

Sedetik kemudian, sesi duel tangan kosong keduanya sudah berlangsung mematikan.

Sungguh, bukan begini caranya memanfaatkan ruangan beralaskan matras, berlapis selimut, dan bertabur bantal ini.

Jasper mengambil bantal dan menenggelamkan wajahnya di dalam sana, berharap supaya keputusan tersebut bisa membuatnya mati kehabisan napas.

"Orang-orang gila." Jasper kira itu suara malaikat kematian. Ia mendongak mencari keberadaan setan, praktis menemukan salah satunya yang bertampang paling menyebalkan: Alpha—beserta apel di genggaman, laptop di ketiak, dan tampang seakan-akan ia tidak ikut bergulat sebelumnya. Highlight biru elektrik vertikal yang menghias rambut hitamnya tampak semencolok kemarin-kemarin. "Keberatan jika aku bergabung?" Iris violet Alpha berbinar-binar (Jasper ingin mencoloknya).

"Sangat," jawab Jasper. "Jauh-jauh, Alpha."

"Aku perlu tempat tenang buat menunggu pesan masuk dari bos, Sobat."

Jasper membuat kesalahan dengan berdiam selama lima detik. Terbongkar sudah rasa penasarannya. Alpha cekikikan, dan ia tergoda mencekiknya. Namun, tidak ada salahnya menjadi orang kedua yang dapat info terkini ketimbang harus mencelakai si informan. "Misi kita baru selesai kemarin," ingatnya. "Kenapa dia menghubungimu?"

Alpha mengedikkan bahu. "Bos bilang kepolisian mulai mengambil langkah."

"Pernah dilakukan sebelumnya, bukan? Kita mengelabui dan menghentikan mereka berkali-kali."

"Koreksi, kalau begitu. Bukan langkah, melainkan lompatan," sahut Alpha santai sembari mengetikkan 32 digit password pada laptopnya. "Lompatan yang sangat jauh."

Jasper beringsut mendekati Alpha dan memperhatikan lelaki itu mengotak-atik laptopnya yang menyimpan segudang data mengenai bom. Sebelas dua belas dengan komputer-komputer milik Jasper, hanya saja jauh lebih simpel dan lebih banyak permainan untuk dimuat.

"Apa mereka sudah tahu di mana akan mendarat?"

Pertanyaan Jasper membuat senyum Alpha mengembang. Tanpa mengalihkan perhatian dari monitor laptop, ia menjawab, "Kita akan tahu dua menit lagi."

"Kalau dua menit lagi artinya pesan masuk dari bos, maka tidak, kita takkan tahu dua menit lagi."

"Kau meragukan hipotesis bos, Jasper?" Walau dibantu cahaya lampu dan sinar laptop yang membayangi wajah kawannya, Jasper kesulitan menerjemahkan ekspresi Alpha dalam kata-kata. "Tunggu dulu. Jangan dijawab. Aku tidak mau berargumen denganmu."

Jasper bergumam di bantalnya, "Aku tak percaya tebakan."

"Andromeda bakal tersinggung mendengarnya."

"Butuh usaha keras melakukannya," ujar Jasper, mengundang cengiran Alpha. "Sebab dia tidak pernah menebak."

Jeda yang terjadi adalah proses lunturnya kegelian di raut Alpha. Jasper mendesah. Si maniak bom ini pasti mengira perkataan barusan merupakan akar dari lelucon tentang ketidakpedulian Andromeda akan segala komentar, baik positif maupun negatif, yang selama ini dilontarkan kepadanya.

"Lantas, kau sebut apa hasil-hasil observasinya?" tanya Alpha.

Menengadahkan kepalanya dari bantal, Jasper mengambil satu pandangan bagus ke arah seorang perempuan bersurai hitam tipis yang duduk bersila sambil larut mendengar musik di antara kekacauan teman-temannya. Dengan earphone menyumpal telinga dan mata memaku layar film, Andromeda tampak tak terganggu sama sekali. "Kesimpulan," gumam Jasper. Begitu sederhana.

Ucapannya niscaya akan terdengar lebih dramatis seandainya bunyi adu senjata dalam film tidak bersatu terlalu padu dengan sorak sorai penuh kemenangan Valor. Soal duelnya melawan Bellezza, ia menang, tentu saja—persis seperti duel-duel mereka sebelumnya—sedangkan Bellezza (selalu) kalah. Sesungguhnya Valor tidak perlu susah payah bersorak mendeklarasikan kemenangannya, tetapi beberapa kebiasaan memang ditakdirkan untuk datang dan tak boleh pergi lagi.

Alpha cuma ber-hm ria sebagai jawaban. Mungkin ia setuju, mungkin juga tidak. Apa pun itu, Jasper tidak terlalu peduli untuk mencari tahu lebih lanjut. "Hei, Jasper, bisa tolong matikan film dan sambungkan laptopku ke home theater?" tanyanya mengalihkan topik.

"Kau tak menerima jawaban tidak, 'kan?" Anggukan Alpha mengundang refleks Jasper untuk memukulnya tepat di muka pakai bantal.

Selagi niat Jasper terkumpul dan memaksanya bangkit dari posisi nyamannya di atas matras selimut, sang pakar bom bergerak memanggil teman-temannya; menyuruh mereka berkumpul bak pelatih profesional yang hendak menyampaikan briefing.

"Ini belum sejam," protes Ray sambil mengipas-ngipas tubuh menggunakan kaus tak berlengannya. Valor dan Atlas bertindak serupa untuk mengusir rasa panas meski air conditioner di ruangan tersebut mencapai suhu terendah, lain hal dengan Max yang lebih memilih melepas kausnya dan merebah di tengah ruangan. Sementara itu yang perempuan masih mempertahankan tanktop dan celana pendek masing-masing. Nyatanya, teknik kuncian Lucille, Bellezza, dan Andromeda bukan satu-satunya hal yang membuat mereka mirip pegulat sungguhan.

"Bos mau telepon," jawab Alpha. Kedua tangannya sibuk menepuk ruang kosong di sisi kanan-kirinya, gemas dan tak sabar mengajak anggota Venom lain agar cepat-cepat duduk.

"Sungguh?!" Kedua manik rubi Ray setidaknya punya bintang sendiri saat ini. Duduklah ia di sebelah kiri Alpha. "Tapi, kenapa cepat sekali?"

Alpha tersenyum lebar. "Entahlah. Kuduga misi baru."

Aktivitas meledakkan gedung dan membunuh ratusan orang bukanlah kegiatan mulia atau penuh berkah. Kendati begitu, Ray tetap tak terhambat untuk balas tersenyum—lebih lebar, bahkan, dan lebih banyak deretan gigi nan rapi untuk dipamerkan. Kini mereka duduk bersebelahan, keduanya pantas disandingkan dengan cahaya bintang Sirius.

Setelah semuanya mengempaskan bokong masing-masing di atas matras, wallpaper laptop Alpha yang bergambar kepulan asap jamur sudah tayang menggantikan film action barusan. Jasper kemudian merangkak ke dekat teman-temannya berada dan duduk di antara Atlas dan tumpukan bantal di pojok ruangan.

"Bisa geser sedikit?" tanya Jasper.

Atlas melirik ke samping, memperhatikan bagaimana ketujuh kawannya yang sama-sama habis mandi keringat saling tumpang tindih dan berimpitan. Di pahanya sendiri ada kepala Bellezza. Lucille dan Max berbaring rapat di dekatnya, membiarkan kaki mereka terjalin begitu saja sambil sesekali melepas obrolan ringan. Di belakang Max, Valor berusaha sekeras mungkin terlihat terusik ketika kepala Andromeda bersender di bahunya, tetapi sorot damai yang ia pancarkan mustahil berbohong. Bahu Andromeda sendiri tidak kosong karena pipi Ray bertumpu manis di sana; begitu pula bahu Ray yang turut menyediakan sandaran bagi Alpha.

"Sejak kapan kita kenal istilah jarak personal?" Atlas menyahut tak bernada. Kehadiran kepala Jasper di pahanya datang tak lama lepas itu.

Layar laptop Alpha tiba-tiba berkedip, menunjukkan adanya panggilan masuk yang otomatis langsung terjawab seolah tombol decline dilarang berfungsi. Di tempat di mana wajah penelepon seharusnya terlihat, warna hitam tampak mendominasi.

"Selamat malam, Bos!" Para anggota Venom serempak menyapa riang. Seriang-riangnya yang bisa dicapai manusia sejenis Jasper.

"Malam juga, Anak-Anak Ayam." Sapaan khas bernada jenaka dan agak main-main itu bergema melalui sound system. "Selamat atas kesuksesan misi kalian kemarin. Kerja bagus!"

Dua Sirius laksana terbakar terangnya sendiri. Alpha dan Ray benar-benar lupa niat awal mereka supaya tidak bertindak histeris. "Makasih!" Mereka berteriak di telinga orang-orang tak beruntung yang berada tepat di samping mereka.

Valor berdecak kencang, keras sekali sampai-sampai Lucille khawatir lidahnya bakal copot. "Pada percobaan bom selanjutnya, cobalah jadikan mulut kalian sebagai wadah."

"Yakin, Valor?" Saat Andromeda buka suara, Valor curiga ialah yang mulutnya lebih pantas dijadikan wadah bom. Wajahnya merah terbakar murka mendengar gadis itu melanjutkan, "Kau yang paling kelabakan ketika Ray mendadak tidak bisa bicara. Padahal cuma sariawan kecil."

Bahkan sosok di balik panggilan telepon tersebut ikut menyenandungkan, "Ooo," bersama seisi ruangan kecuali Andromeda, dan Valor sendiri tentunya. Ray kelihatan sangat tersanjung. Ia pastilah sudah merangkul sang partner nomor satu jika tidak ada pembatas hidup bernama Andromeda menghalangi.

"Oh, apa aku mengganggu?" Entah gestur Ray yang terlalu jelas atau Andromeda yang kelewat jago menaksir suasana sehingga ia berkata demikian (petunjuk: itu gara-gara Andromeda).

Sebelum Valor sempat meremukkan sesuatu/seseorang, Lucille dengan sigap segera memutar balik topik ke jalan yang benar. "Jadi, Bos, kenapa tiba-tiba menghubungi kami?" Sebagaimana biasanya, anggota Venom paling tua itu selalu bisa diandalkan untuk mengontrol situasi.

"Ah." Bos berdeham tanpa canggung. Profesional. "Mudah saja. Aku hanya perlu partisipasi kalian dalam menyambut tantangan dari pihak kepolisian baru-baru ini."

Atlas bertukar pandang heran dengan Bellezza. Namun, Max mendahului mereka bertanya, "Kepolisian distrik mana, tepatnya?"

"Semua distrik." Jawaban sang Bos mengikuti persis pergerakan bibir Alpha yang tak bersuara. "Cepat atau lambat, mereka semua akan bersatu atas nama kerja sama yang diusulkan Kepolisian Distrik Petrova."

"Woah, tunggu dulu. Maksudmu mereka sedang berusaha menjalin komunikasi satu sama lain?" Ray mengerjap berkali-kali seraya mencondongkan tubuh ke depan seakan berharap akan menjumpai wajah sang Bos. " Itu ... nekat sekali! Kenekatan yang berani, jujur saja."

"Setuju," timpal Andromeda. "Langkah awal yang sempurna jika mereka ingin mendamaikan seluruh distrik, kalau memang begitu rencananya."

Kekehan Bos Venom menghentikan semua tudingan yang hampir menyerang Andromeda karena keakuratan tebakannya. Atau menurut Jasper, 'kesimpulan'nya. "Aku khawatir kau menyampaikannya sedikit terlalu benar, Andromeda." Sama sekali tidak ada unsur kecemasan dalam nada suara Bos. "Yah, bagaimanapun juga, semua sudah terjadi. Bukan salah siapa-siapa. Mari terima saja tantangannya dengan tangan terbuka."

"Kami siap menunggu arahanmu," jawab Max mantap.

"Yeah, yeah, teruslah jadi ayam-ayam kebanggaanku seperti ini."—Valor melompat melewati Andromeda dan membekap mulut Ray sebelum lelaki itu kembali histeris. Naas bagi Alpha, lutut alih-alih telapak tangan Valor sampai lebih dulu ke mulutnya. Ia jatuh dengan dramatis di atas tumpukan bantal.—"Langkah pertama: tentukan lokasi untuk dibumihanguskan."

oOo

"Langkah kedua: tendang bokong Alpha supaya dia mau bekerja." Perkataan Lucille diikuti nyaris tanpa jeda oleh ledakan beruntun kecil-kecilan yang asalnya sudah tidak diragukan lagi: ruang kerja Alpha. "Cek." Penyadap Venom itu tersenyum puas. "Langkah ketiga: persiapkan rencana."

Tiga insan berlainan ekspresi duduk mengitari meja makan berbentuk balok di hadapan Lucille. Tak seorang pun melakukan apa-apa selain membiarkan kesunyian melahap momen hingga detik berubah menjadi menit. Lucille menggeram tertahan. Begitu banyak pendapat yang bisa dinyatakan dan didebatkan tetapi para cecunguk ini memilih berkomunikasi lewat tatapan. Parahnya lagi, mereka jelas tidak mengerti arti yang terkandung dalam tatapan satu sama lain.

Lucille menoleh ke kiri dan hadirlah sang penyerang utama Venom, Atlas, yang masih segar sehabis mandi. Ia duduk bersandar sambil bersedekap bosan. Berulang kali mata obsidiannya terpejam dan terbuka lagi—hanya untuk bertemu pandang dengan sosok tak menyenangkan yang duduk di seberangnya.

Berbeda dengan Atlas yang matanya terpejam untuk menghindari kontak, Valor justru semangat mencari objek lain buat dipelototi. Atlas, rambut raven Atlas, hidung Atlas yang mancung menjengkelkan, nyamuk, cermin—apa saja. Sepasang kakinya tergeletak bersilangan di atas meja; sebuah gestur tak beretika yang justru tidak wajar jika luput dilakukan Valor.

"Jadi?" tanya Jasper, orang keempat yang duduk di satu-satunya sisi kosong meja yang tersisa. Lucille menghadap lurus ke arahnya dan tersenyum pahit, berusaha meyakinkan si otak Venom bahwa mereka berdua bersama-sama dalam persoalan ini. "Tidak ada? Hanya saling menatap?" Ia berkomentar lagi.

Obsidian Atlas dan nyala amber Valor beralih menusuk kebosanan pada manik jade Jasper. "Aku sedang berpikir." Mereka menjawab berbarengan, alhasil mengejutkan Valor yang lekas menyumpahi Atlas seolah ia baru mencuri dialognya. "Tunggu." Atlas menambahkan.

"Ugh, kita punya ahli strategi yang lebih baik daripada mereka."

Jasper kembali memperoleh atensi dari Atlas dan Valor. Mereka memandangnya skeptis, sedikit tersinggung, bahkan. "Siapa?" Atlas tidak gengsi untuk bertanya ketika penasaran.

"Salah satu dari kalian yang berani menyatakan pendapat tanpa harus menunggu-nunggu," sambar Lucille. Helaian ombre pink-nya yang dibiarkan tergerai bergoyang mengikuti gelengan kepalanya. "Aku tahu kalian tidak mau menyampaikan rencana duluan karena takut orang terakhir bakal menemukan celah dan memberikan rencana baru yang lebih sempurna."

Meski ini adalah kali pertama gagasan penggabungan ide Atlas-Valor dipraktikkan dalam rancangan strategi, Lucille yakin intuisinya tidak salah. Membaca Atlas selalu mudah selama tindakannya menyangkut Valor, begitu juga sebaliknya.

Atlas mengangguk tanpa kesulitan. "Karena itulah yang selalu dilakukan si Tuan Serbabisa. Dia begitu pandai menemukan kesalahan seseorang."

"Ha?!" Ada tanduk imajiner menyembul keluar dari dahi Valor. "Jangan asal bicara! Aku tidak seperti itu, sialan!"

"Semua orang tahu kau seperti itu."

"Aku tidak perlu pandai buat mencari kesalahanmu, manusia peta bego! Kenapa kau tidak mati saja, sampah?!"

Bunyi gebrakan meja menggema. Jasper menggumam "Yeah, kenapa aku tidak mati saja?" bersamaan dengan Atlas yang bersuara datar, "Maafkan aku yang tidak biasa mencari kesalahan orang, Tuan Serbabisa."

Valor kemudian membalik meja—sebuah aksi tak terduga bagi orang luar, tetapi sangat normal bagi anggota Venom lain, khususnya Atlas. Pemuda yang memakai sandal tidur macan ke rapat rencana dadakan ini sudah ancang-ancang menggeser kursinya ke belakang beberapa detik sebelum Valor bertindak.

Syukurlah meja tak sampai benar-benar terbalik berkat reaksi cepat Lucille yang bergegas melompat dan menduduki permukaan meja. "Tenang," katanya, menyentil dahi Valor sedikit keras sebagai peringatan. "Kau sudah menghancurkan terlalu banyak barang."

"Like I fucking care."

"Ya, kau seharusnya peduli." Lucille memberengut mengingat catokan rambut keempatnya yang dipatahkan Valor minggu lalu. "Boleh kudengar rencanamu sekarang?"

Valor bersedekap. Ragu-ragu, ia mulai menjelaskan setengah hati, "Kau tahu, Alpha tidak sedang membuat bom melainkan modifikasi dari tabung gas bocor. Sedangkan target kita adalah permukiman kumuh yang jarak antar rumahnya begitu sempit. Jadi kebakaran beruntun mudah terpicu." Nada suara Valor berubah halus di tengah-tengah. Jauh lebih berkonsentrasi. "Tetap saja, kita tidak boleh asal memilih rumah buat diledakkan. Harus terletak di pusat supaya api bisa menyebar merata."

"Siapa yang akan masuk ke rumah penduduk, mengganti tabung gas yang mereka miliki dengan tabung gas modifikasi Alpha?"

Sebelum menjawab pertanyaan Jasper, Valor memutar bola mata. "Terpikir orang selain Ray dan aku?"

"Tidak, sebenarnya. Aku hanya ragu kalian bisa menyusup dengan mudah tanpa bantuanku dan Lucille." Jasper mengangkat bahu. "Pengamanan di kawasan tersebut memang tidak ketat, tetapi struktur bangunannya sudah rapuh termakan rayap. Kau tidak bisa merangkak lewat atap tanpa menjebolkan langit-langit."

"Menurut kalkulasiku, rute pipa bawah tanah adalah yang teraman. Jasper dan aku bisa memandumu," tambah Lucille. Senyumnya mengembang mengetahui tanduk imajiner Valor sudah menghilang.

Baik Valor maupun Atlas tidak tertarik mendengar cerita bagaimana kedua anggota Venom itu bisa memperoleh akses sampai bawah tanah. Hal-hal mengejutkan terjadi di antara mereka setiap hari.

Tawaran Lucille kedengaran menggiurkan pada awalnya. Namun, taktik lain yang telah Valor pertimbangkan sendiri jauh lebih menantang. Alhasil, ia menggeleng. "Tidak usah. Aku akan menggunakan pintu depan."

Ketiga rekannya mengangguk tanpa mempertanyakan. Terserah yang menyelinap sajalah, toh dia tidak pernah gagal.

"Katakan pada Max tabung meledak dalam tiga menit. Ia pasti tahu kapan waktu yang tepat untuk menjemputku dan Ray." Valor meneruskan kalimatnya sambil memicing ke arah Atlas. Sebenci apa pun ia untuk mengakuinya, firasat Valor mengatakan bahwa ada celah dalam rencananya yang berhasil ditemukan Atlas.

Oleh sebab itu, pertanyaan berbunyi, "Rencana bagus. Mau tahu apa yang kurang?" dari Atlas terdengar seolah ia sedang menawarkan selotip guna menambal bagian rencananya yang bolong-bolong.

"Satu-satunya yang kurang di sini adalah jumlah ginjalmu saat tengah malam nanti," tandas Valor sambil—tak sengaja—menguap. "Terserahlah, semoga beruntung dengan omong kosong Atlas. Aku mau siap-siap."

Salah satu sudut bibir Atlas tertarik. Ia sudah cukup pandai dalam Bahasa Valor untuk dapat menerjemahkan kalimatnya. Semoga beruntung dengan omong kosong Atlas berarti aku tahu kalian butuh pendapat Atlas dan Aku mau siap-siap berarti tapi aku tak mau mendengarnya. Dengusan di akhir ucapannya juga bisa diterjemahkan "so, bye, fuckers" atau sejenisnya.

"Sama-sama. Kalian bakal membutuhkan aku lagi," sindir Valor seraya beranjak dari kursinya. Menyebalkan, melegakan, sekaligus terasa wajar menyadari betapa benar kalimat si Tuan Serbabisa itu meski maksudnya sebatas ingin membuat orang lain kesal.

Setelah memastikan sosok Valor telah menghilang di balik pintu, Lucille bertanya penasaran, "Jadi, apa yang kurang dari rencana Valor?"

"Mudah saja," jawab Atlas. Tubuhnya dicondongkan ke depan sementara punggung kesepuluh jemarinya yang bertaut digunakan sebagai tumpuan dagu. "Ia tidak menjelaskan peran anggota Venom lain."[]

A/N: here ya go, my ot9

um teror bom akhir2 ini bikin rex agak awkward pas nulis hot ... but anyway, maaf late update! ukk sekaligus dalam masa fangirling itu susah :( /plak

aaaand, karena hot ikut mwm, besar kemungkinan rex bakal update kira2 seminggu 3 kali, atau mungkin lebih. jadi, yah, semoga bisa membayar late update-nya :D

jangan lupa sahur!
-Queen Rexx

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

4.7M 475K 91
Ngakak sampe ngik ngokk!!! Ceritanya hanya sebagai penghibur. Mengandung konsep diluar Nurul dan tak habis pikri. Bagaimana jadinya jika Felicia si g...
16.3K 2.3K 48
PUISI | ❝ kelak jika malam itu tiba kan kurindukan tubuhmu peluh meluruh menjadi satu adagium membisik alufiru mencari sosok sang aku ❞ 。*✧*。 desain...
After I Die Oleh Dareve Stevn

Misteri / Thriller

106K 16.7K 32
[MYSTERY; THRILLER • END] Suatu pagi di akhir musim dingin, Avaline Ives tewas dalam sebuah kecelakaan. Itu terjadi tepat setelah dirinya mengundurka...
350K 67.3K 20
Tidak ada yang salah dengan media sosial. Yah, setidaknya, itu pendapatku sebelum tiga remaja asing seumuranku datang menghampiri dan mengaku bahwa m...