My Cute Office Girl

By clarisayani2

4.5M 260K 12.1K

Menceritakan seorang Office Girl yang bekerja di salah satu perusahan properti terbesar di Indonesia, di bawa... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50 (End)
Extra Part II

Extra Part 1

105K 4.3K 492
By clarisayani2


"Pak Kris, bisa minta waktunya sebentar?"

"Pak Kris, Ibu Alena, bagaimana bulan madu kalian?"

"Ada kabar Ibu Alena hamil duluan. Apa itu benar?"

"Iyalah hamil duluan. Masa melahirkan duluan. Ribet nanti Mas," sepenggal jawaban yang dilontarkan Kris dari berpuluh-puluh pertanyaan yang memberondong.

Kris dan Alena baru sampai di Bandara Soekarno-Hatta setelah dua minggu perjalanan bulan madu mereka di Pulau Maldives. Dan sesampainya di Jakarta, para wartawan sudah berkumpul di pintu kedatangan meminta kejelasan tentang berita simpang siur pernikahan mendadak yang diadakan dua minggu lalu di hotel bintang lima.

Pernikahan megah itu memang dilangsungkan begitu tertutup sulit ditembus oleh awak media. Hal yang paling menarik adalah tentu saja kehamilan istri dari CEO Global Corp Group tersebut. Para pemburu berita gosip artis lebih tertarik dengan hal negatif tidak jelas juntrungannya daripada hal positif para mangsanya. Walau kehamilan Alena adalah fakta yang tidak terbantahkan adanya.

Beberapa bodyguard membentengi Kris dan Alena dari jangkauan para wartawan, menuntun sampai ke dalam mobil yang menjemput. Kris pun tak kalah posesifnya membentengi tubuh Alena dari impitan tubuh mereka. Ia bahkan tidak akan segan mendorong mereka dengan kasar jika sedikit saja menempel pada tubuh istrinya.

Alena yang tidak biasa mendapatkan perhatian begitu banyak dari orang asing, cuma bisa meringkuk di rengkuhan tubuh Kris dan melingkarkan satu tangannya di pinggang, sementara tangan satunya lagi mencengkeram jaket Kris. Suara bising di sekitarnya sungguh memekakan gendang telinga. Ia tidak terbiasa dengan segala perhatian ini.

**
Setelah berdesak-desakkan dengan para wartawan, akhirnya Kris dan Alena telah sampai di rumah sakit, tujuan utama mereka sebelum pulang ke apartemen. Mereka berdua berniat menjenguk Kevin yang sudah berangsur pulih dari kondisinya setelah kecelakaan.

"Vin, apa kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Kris seraya menaruh keranjang buah-buahan di nakas sebelah ranjang.

"Sudah lebih baik, Pak. Bagaimana honeymoon Anda?"

"It was great." Jawab Kris singkat. "Vin, thanks ya and sorry." Kris merasa bersalah karena dialah penyebab kecelakaan itu terjadi. Jika sepatunya tidak tertinggal di kantor, pasti Kevin masih sehat mengurusi urusan kantor yang sekarang dilimpahkan pada Andrew— tangan kanan Kris selain Kevin.

"It's okay lah, Pak. Namanya juga musibah." Jawab Kevin santai.

Kris mengulas senyum simpul.

"Istri Anda cantik sekali," lanjut Kevin terkekeh pelan.

Kris langsung merangkul bahu Alena. "Dilarang lihat-lihat milikku! Kami pulang saja. Get well soon." Kris pamit tidak ingin berlama-lama dan membuat Alena jadi bahan cuci mata Kevin.

"Kevin, semoga cepet sembuh ya..." ucap Alena dalam impitan tubuh Kris yang enggan melepaskannya barang seinci pun.

***
Dengan perut yang kian membuncit, Alena berdiri di depan kompor sedang memasak sarapan untuk dirinya dan Kris sambil bersenandung riang.

Tugas yang memang ia langsung kerjakan tanpa bantuan dari orang lain selama ia mampu. Tadinya Kris mempermasalahkan takut ia akan kelelahan, namun Alena meyakinkan bahwa ia tidak apa-apa. Hanya memasak, apa susahnya. Sedangkan urusan rumah, biasanya Bik Wati yang membereskan. Wanita paruh baya itu datang di pagi hari setelah Kris berangkat ke kantor, dan kembali ke rumahnya sepulangnya Kris ke apartemen.

Alena terkesiap ketika merasakan tangan kokoh seseorang melingkari perutnya dan mendekap tubuhnya dari belakang. Siapa lagi kalau bukan Kris. Kebiasaannya setiap pagi; setelah selesai mandi dia akan langsung menemani di dapur dengan hanya mengenakan boxer dan rambut basah yang belum sempat dikeringkan.

"Kris, diam. Sebentar lagi matang," protes Alena menahan geli di tengkuknya mendapatkan sapuan basah dari lidah Kris dan gigitan-gigitan kecil di bahunya yang terbuka.

"Aku lapar," Kris masih tidak bisa diam bahkan tangannya mulai merayap lebih ke atas tidak lagi di perut Alena.

"Satu menit lag,—ah, Kris!!" Alena terpekik ketika tangan Kris dengan kurang ajarnya bergerak di area sana.

"Ukurannya jadi semakin membesar ya kalau sedang hamil. Buah anggurnya berubah jadi apel dalam beberapa bulan saja," goda Kris masih asik bermain-main.

Alena menusukkan sikunya ke perut Kris dengan kesal. Ia trauma mendengar pembahasan mengenai bentuk bagian-bagian tertentu di tubuhnya yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan milik para wanita lain di luar sana.

"Puasa sampai tahun depan jika kamu membahas mengenai itu!"

Kris mematikan kompornya dan membalikkan tubuh Alena untuk menghadapnya. "Iya, mama. Papa lupa topik itu sensitif," cicit Kris manja sambil menjepit hidung Alena dengan kedua jarinya.

"Kris, sakit. Jangan mama-papa an ah. Geli tahu!" Alena menepis tangan Kris dari hidungnya.

"Terus apa maunya? Ayah-bunda?" Kris masih belum puas bermain-main dengan istri manisnya.

Alena memutar bola matanya malas. "Berhenti bercanda. Kamu harus segera berangkat ke kantor. Sebelum keluar, bisa nggak sih pakai baju dulu? Nanti masuk angin kalau seperti ini terus," protes Alena melihat kebiasaan aneh Kris. Apa susahnya mengenakan pakaian yang lebih layak dulu sebelum keluar?

"Biar mudah aksesnya, sayang." Kris mengusap-usap lengan Alena seraya tersenyum miring penuh arti. Dan sialnya, Alena tahu apa maksud dari senyuman iblis itu. Gelagat tanpa kata yang sudah bisa ia baca tanpa harus banyak berkata.

"Kris, semalaman kita sudah melakukannya. Tadi pagi juga pas bangun tidur, sudah. Ini belum ada 2 jam lho... Lagipula waktumu sudah terlalu mepet. Kamu juga sudah mandi. Jangan aneh deh," ujar Alena panjang lebar seraya menghindar dari Kris dan mengambil piring untuk menempatkan sarapannya.

Kris masih tidak bisa diam di belakang Alena. "Stok air masih banyak, aku bisa mandi lagi. Ini sudah terlanjur bangun. Ayo, Baby. Sebentar saja." Kris memelas.

Alena tidak mengacuhkan, melewati Kris dan berjalan ke arah meja untuk menaruh piring makanannya. Sedetik kemudian, tanpa babibu, tubuhnya sudah melayang di gendongan Kris. Alena dengan cekatan melingkarkan tangannya di leher Kris sambil bersumpah serapah meluapkan kekagetan.

"I know you want it too," ucap Kris, dan langsung membawa Alena ke kamar untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak pernah menyurut bahkan semakin menggila memuja segala hal tentang istrinya. Serangan demi serangan kembali Alena dapatkan di ranjang dari singa jantan yang selalu kelaparan akan dirinya.

***
Napas Kris dan Alena terengah-engah setelah melakukan pelepasan. Pelipis Kris dipenuhi oleh keringat yang menetesi wajah Alena. Ia masih berada di atas Alena dengan kedua tangan bertumpu pada kasur. Perut Alena yang sudah menginjak bulan ke sembilan membuatnya lebih hati-hati saat melakukan hubungan suami istri. Dan cukup merepotkan juga saat mengatur posisi.

"Udah ya? Besok lagi," Kris masih mencoba mengatur napasnya.

Alena dengan wajah memelas mengacungkan telunjuknya. "Satu kali lagi..." Ia merengek.

Hormon kehamilan Alena benar-benar membuat Kris kewalahan melayaninya. Bulan-bulan sebelumnya, Krislah yang lebih dominan dan meminta. Tapi satu bulan ini menjelang kelahiran, Alenalah yang akan menggelayutinya duluan. Tidak peduli hujan badai sekali pun, hormonnya tetap berada di level tertinggi. Apalagi mendengar saran dari sang dokter bahwa melakukan hubungan intim lebih sering dalam keadaan hamil tua bisa merilekskan fisik dan mental sang ibu menjelang persalinan.

Senyum dipaksakan tetap menghiasi bibir Kris. Apa sih yang tidak untuk istrinya? Walaupun ia sudah sangat ngos-ngosan dan lelah. Pinggul dan kakinya benar-benar serasa mati rasa. Tetapi bukan berarti ia tidak menikmatinya juga. He still enjoyed the ride no matter what. Dan satu ronde lagi seharusnya tidak masalah baginya. Ya, minimal, paling besok pagi tubuhnya akan tepar ketiduran di kantor lagi sampai jam kantor usai seperti kemarin.

***
Kris melonggarkan dasinya sesampainya di apartemen. Ia berjalan ke arah di mana Alena sedang menonton drama korea favoritenya di sofa. Ia berdiri di belakang sofa seraya mengerutkan keningnya melihat adegan yang membuat Alena benar-benar fokus tanpa menyadari kepulangannya. Ia lantas menangkup wajah Alena dari arah belakang dan mendongakkan kepalanya. Kris membungkukkan tubuhnya dan mencium dahi Alena, lalu turun ke bibirnya—mengisap dengan lembut dan dalam.

Alena yang terkejut memukul pelan lengan Kris yang ditangkupkan ke wajahnya.

Kris melepaskan pagutan. "Suaminya datang, tapi nggak dipedulikan. Sibuk sama oppa-oppa di belahan bumi lain berada. Kurang ganteng apa sih aku dibanding mereka?" ujar Kris mendecakkan lidahnya sebal.

"Kris, ih, bikin kaget aja!" sungut Alena sebal. "Kurang muda saja. Ibarat kata, mereka itu mangga mengkal. Segar sekali lihatnya." Matanya beralih lagi menatap layar televisi.

Kris mencubit gemas pipi Alena. "Yang matang dan tua itu lebih nikmat. Kelapa saja lebih bermanfaat kalau sudah tua. Mangga lebih manis kalau sudah matang. Begitupun juga denganku. Memangnya pernah aku tidak memuaskan atau menggairahkanmu? Setiap malam saja kamu jerit-jeritan meluapkan kenikmatan!" Ia mulai cemburu melihat istrinya mengabaikan.

Alena mendengkus seraya memutar bola matanya jengah.

"Yakali," jawab Alena singkat, malas berdebat. Memang yang dikatakan Kris itu semuanya benar. Tidak ada kata yang dapat disangkalnya.

Kris ikut duduk di samping Alena. Mencondongkan tubuhnya ke perut Alena dan mendekatkan telinganya ke sana. Kebiasaannya setiap sore selepas pulang kerja.

Kris mulai mengusap-usap permukaan perut Alena dan mengajak buah hatinya bercengkerama–yang masih betah menetap di dalam kandungan. Dokter memprediksikan minggu depan Alena akan melahirkan.

"Sayang, papa pulang. Bagaimana harimu di dalam sana? Apa menyenangkan? Tidak lama lagi kita bertemu. Jangan nakal ya. Mama dan papa sudah sangat menantikan kehadiranmu," sapa Kris lembut pada perut Alena.

Alena yang tadinya fokus ke TV mengalihkan pandangannya pada suaminya. Momen seperti ini benar-benar tidak ingin ia lewatkan. Ia pun membelai rambut Kris, menyisirkan jemarinya di sana.

Kris kembali ke posisinya semula. "Sayang, sini," pinta Kris, lantas meraih kedua kaki Alena dan meletakkan di pahanya.

Posisi ini benar-benar nyaman untuk Alena.

Alena menidurkan kepalanya di bantal sofa, sementara Kris memijit pelan kaki Alena yang sedikit bengkak.

"Kakimu bengkak, sayang. Jangan duduk terlalu lama."

"Pegal jika tiduran terus, Kris."

"Pasti berat banget ya bawa-bawa anak kita ke mana pun? Kamu benar-benar hebat. Tahan sebentar lagi ya. Mudah-mudahan anak kita lahir sesuai prediksi dokter, minggu depan." Kris masih memijit kaki Alena dan betisnya dengan telaten.

Alena tersenyum hangat melihat suaminya yang begitu disegani di kantor bisa begitu lembut padanya bahkan rela memijit kakinya hampir setiap hari disaat dia pun pasti lelah bekerja dari pagi menjelang malam hari. Kris terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Tuhan begitu baik padanya telah mengirimkan seseorang yang bisa dengan sepenuh hati mencintai dan menyayangi dirinya. Kris adalah kesempurnaan tanpa cela untuknya.

Alena merentangkan kedua tangannya minta dipeluk. "Give me a hug. A big hug, honey." Pinta Alena dengan manja.

Kris tentu dengan senang hati memeluk tubuh istrinya. "I love you," bisik Kris di telinga Alena. "I love you so much."

***
Alena terus menggeliat gelisah di tempat tidur sambil memegang perutnya yang tiba-tiba terasa sakit. Sudah beberapa hari ini perutnya memang sering kontraksi. Tapi, sakit ini terasa lebih nyeri seperti dorongan ingin buang air, tapi saat ia ke kamar mandi, tidak ada apapun yang bisa dikeluarkan. Tidak mungkin ia akan melahirkan sekarang, sedangkan prediksi dokter masih minggu depan.

Alena mulai mengerang tidak tahan merasakan tikaman sakitnya. "Kris!" panggil Alena sambil merintih. Kris belum bergerak, masih tertidur pulas di sebelahnya. "Kris, arghh..."

Kris mengerjapkan mata mendengar panggilan Alena yang sedang meringis. Sontak, wajahnya langsung pias ketika rintihan kesakitan Alena semakin kencang.

"Sayang, kenapa?" tanya Kris panik.

"Sakit... perutku sakit banget, Kris. Kayaknya mau keluar!" erang Alena disela rintihannya.

Wajah Kris langsung memucat. Ia membangunkan tubuh Alena dan menggendongnya. Tidak ada kata-kata lagi yang bisa diucapkan. Ia meraih ponselnya dengan panik dan kunci mobil.

Kris menggendong tubuh Alena keluar dari apartemen pada pukul dua dini hari. Tidak ada siapa pun yang dapat membantu.

Kris mengusap dahi Alena yang sudah dibasahi oleh peluh saat dirinya telah berhasil mendudukkan tubuh Alena ke mobil. Rintihan kesakitan terus meluncur dari bibirnya. Wajahnya kian memucat.

"Sabar sayang. Tahan. Kita akan ke rumah sakit," Kris naik ke jok kemudi dan memakai seatbelt. Ia langsung melajukan mobilnya menuju ke sana.

Kris mengeluarkan ponselnya di saku celana untuk menelepon dokter Metha yang biasa menangani Alena. Namun, sial. Ternyata yang diraihnya di nakas, bukan ponsel, melainkan remote TV. Ia tidak henti-hentinya merutuki kebodohannya sendiri seraya terus menerus menenangkan Alena yang mengerang kesakitan di sebelahnya.

Sesampainya di rumah sakit, Kris kembali menggendong Alena dan berteriak-teriak panik seperti orang kesetanan memanggil para perawat dan dokter di sana untuk segera menangani istrinya.

"Dok, istri saya mau melahirkan! Cepat tangani!"

**
"Arghh..." Alena mengejan kuat. Tangan Kris dengan erat menggenggam tangan Alena.

"Tarik napas, sayang..." Kris terus menyemangati di sebelahnya.

"TARIK NAPAS, TARIK NAPAS! INI SAKIT, KRIS!" bentak Alena tiba-tiba.

Kris terlonjak sedikit. "Tahan napas," cetus Kris yang membuat Alena semakin geram.

Alena menarik rambut Kris kesal sambil mengejan kuat. Kris terpekik kesakitan. "Mati aku kalau menahan napas!"

"Sabar sayang, sabar. Pelan-pelan... tarik napas, tahan napas, keluarkan..." Kris masih berusaha menyemangati di tengah kesakitan tarikan Alena pada rambutnya.

Satu jam lagi saja ia di posisi ini, saat bayinya lahir, mungkin kepalanya sudah plontos akibat jenggutan ini.
Mereka berdua sama-sama berjuang menahan kesakitan.

"Ayo, Ibu. Kepalanya sudah terlihat. Ayo, sedikit lagi," sang Dokter pun ikut menyemangati.

Tangan Alena beralih mencengkeram lengan Kris kuat-kuat. "Kris, sakit... Ini gara-gara kamu. Aku tidak mau lagi membuat anak!" Sekali lagi Alena terus mengejan sambil berteriak histeris merasakan sakit di sekujur tubuhnya dan pusat kewanitaannya.

"Iya... Iya," bohong Kris. Apa saja yang dikatakan Alena, mengiyakan adalah jalan terbaik untuk sekarang.

Dan setelah beberapa kali lagi mengejan dan dorongan, suara tangis bayi pun pecah mengisi ruangan disela-sela ringisan kesakitan Alena dan suara penyemangat Kris.

Kris dan Alena menghela napas panjang. Kris merapikan rambut Alena seraya bertubi-tubi menciumi keningnya yang sudah dibanjiri keringat.

"Terima kasih, sayang. Terima kasih..." ucap Kris penuh rasa haru.

"Pak Kris, selamat. Bayinya perempuan." Dokter itu menyerahkan bayinya, ditelungkupkan ke atas dada Alena untuk proses inisiasi menyusu dini.

Air mata Kris terus berjatuhan. Sungguh. Tidak ada kata lagi yang bisa menjelaskan perasaannya saat ini. Semuanya terasa campur aduk. Rasa haru dan bahagia menghiasi hatinya.

***
Hari kedua Kris dan Alena berada di rumah sakit. Kris dengan setia berada di samping Alena cuti dari segala macam aktivitasnya.

Miranda baru saja pulang setelah seharian kemarin berada di rumah sakit menemani Alena dan melihat cucu pertamanya. Teman-teman dan para bawahannya mengucapkan, bahkan media pun turut serta mengucapkan selamat atas kelahiran putri pertamanya. Dan dengan puas juga dapat membenarkan gosip beberapa bulan lalu bahwa Alena telah hamil sebelum pernikahan saja dilaksanakan.

Bagaimana mungkin menikah belum genap enam bulan, tapi hasil telah berada di gendongan?

Tinggalah Vano di ruangan Alena bersama Kris—sedang memerhatikan bayi kecilnya. Vano baru pulang dari Singapore. Ia baru sempat menjenguk hari ini.

"Woah... dia benar-benar cantik. Aku tidak percaya kamu akan sesukses ini," puji Vano sambil menatap kagum bayi yang ada di gendongan Kris.

"Mirip kami, bukan?"

"Mirip aku," jawab Vano enteng.

Kris mendelik kesal. Ia menghela napas mencoba menyikapi dengan sabar teman usilnya. Ini adalah hari yang bahagia untuk keluarga kecilnya. Biarlah omongan Vano ia anggap angin lalu. Lagipula, toh sudah jelas anaknya mirip siapa. Tentu saja dirinya dan Alena.

"Siapa namanya?" tanya Vano sambil mengelus pelan pipi bayinya.

"Aileen Kriale Liem!" jawab Kris lantang seraya mencium gemas pipi anaknya.

Vano mencerna untuk beberapa detik sebelum berujar kembali. "Kri-kriale?" Percaya dan tak percaya Vano mengucapkan nama tengahnya.

Kris mengangguk sambil tidak henti-hentinya menatap putri kecilnya dengan kagum. Rasa sakit di kulit kepalanya akibat jenggutan, dan perih di tangannya hasil cakaran Alena, musnah begitu saja ketika melihat buah hatinya terlahir bagaikan malaikat kecil. Mendengar tangis kecilnya membuat Kris tidak hentinya berucap syukur pada yang kuasa telah dikirimkan satu lagi hal terindah untuk hidupnya.

"Jangan bilang itu perpaduan dari namamu dan Alena?" Vano bertanya dengan penuh nada ledekan.

"Itu sudah jelas, Van. Tidak mungkin perpaduan nama kita! Kriale, Kris-Alena. Hebat bukan?" Bibir Kris tidak pernah pudar menyunggingkan senyuman lebar.

Vano memutar bola matanya. "Jika namamu Babas dan Alena Kokom, apa kalian pun akan menamainya Baskom?"

Kris melotot. Mulut Vano benar-benar mengesalkan. Ia lagi-lagi menghela napas panjang dan beralih lagi menatap Aileen untuk menetralkan kekesalannya terhadap Vano. Wajah Vano seakan melambai minta ditebas.

"Kryel! Itu pelafalan namanya, brengsek!" desis Kris pelan tetapi tajam, takut membangunkan malaikat kecilnya.

Wajah tidur putrinya terlihat damai, namun ia enggan untuk menidurkannya di box bayi masih belum puas dengan kebersamaan mereka.

"Alright... alright. Sabar sih, Pak," ujar Vano mendinginkan sahabatnya. "Di mana Alena?" tanya Vano ketika tidak mendapati Alena di ranjang.

"Sedang berkonsultasi dengan dokter. Malam ini kami sudah bisa pulang."


***
Kris melemparkan tas kerjanya secara sembarang ketika melihat putri kecilnya tengah bermain-main dengan boneka anjingnya di kasur karpet di depan TV.

Tidak terasa, malaikat kecilnya telah berusia sepuluh bulan. Si kecil tumbuh dengan sangat baik. Alena merawat dirinya dan buah hati mereka begitu telaten.

Mata bulat Aileen beralih menangkap sosok ayahnya. Bayi mungil itu tersenyum antusias melihat ayahnya berjalan semakin mendekat ke arahnya. Bandana yang melingkar di kepalanya benar-benar membuatnya terlihat sangat menggemaskan. Kris langsung menggendong anaknya seraya menciuminya.

"Anak papa cantik sekali,"

Aileen hanya cekikikan mendapatkan taburan ciuman dari ayahnya pada seluruh bagian wajahnya.

"Kris, kamu sudah pulang?" tanya sebuah suara dari arah dapur dengan nada heran. Wanita cantik itu menghampiri suaminya.

Bagaimana tidak? Kris baru berangkat pada pukul sepuluh, dan setengah empat, ia sudah sampai lagi di rumah.

Kris berjalan ke arah Alena, mencium kening, kemudian turun ke bibirnya. "Kangen sama kalian berdua. Nggak betah. Lama-lama, nanti aku pindahkan juga kantor kita ke sini."

Alena memeluk Kris dari samping ikut nimbrung bermanja-manja dengan anaknya di tubuh Kris. "Aileen dari tadi sepertinya mencarimu. Ia terus bergumam 'papapapa' gitu,"

"Benarkah?" Kris berbinar dan menciumi Aileen. "Ai kangen papa, hem?" Ia menjepit pipi chubby anaknya begitu gemas menggunakan bibir.

"Kris, ganti baju dulu sana. Sini Ai-nya," pinta Alena dan membawa Aileen agar Papanya mandi dulu.

**
"Sayang, bangun..." Kris mengelus pelan tangan Alena. "Baby..." Bisik Kris lagi di sebelahnya seraya menaburi ciuman pada pipinya.

Alena perlahan membuka mata. "Kenapa?" tanyanya bingung tengah malam Kris membangunkannya.

"Aileen sudah lelap tidurnya. Di luar yuk," pinta Kris sambil mengisap bibir istrinya dan menyelipkan tangannya pada punggung Alena.

Alena menoleh pada Aileen di sebelahnya. Sepertinya dia memang sudah terlelap pulas. Alena pun mengangguk menyetujui ajakan Kris.

Semenjak kehadiran Ai, memang sulit mencari waktu intim untuk keduanya. Bercinta pun kadang sulit untuk tidak menimbulkan suara. Sehingga mereka lebih memilih melakukannya di luar tidak tega mengganggu peri kecilnya. Ditambah lagi satu bulan ini Aileen lebih sering tidur di ranjang bersama dengan mereka, sudah pasti ditempatkan di tengah memisahkan tubuh Kris dan Alena untuk tidak saling bersenggama.

Mendapatkan anggukkan, Kris langsung menggendong tubuh Alena dengan hati-hati takut membangunkan Aileen dan membawanya keluar dari kamar. Membaringkan tubuh istrinya di sofa, mereka menuntaskan kebutuhan biologisnya di sana.

***
Empat tahun kemudian.


"Selamat, Pak Kris. Ibu Alena sedang mengandung sepuluh minggu," ucap sang dokter memberikan selamat pada keluarga kecil itu.

Binar bahagia terpancar di raut Kris dan Alena. Anak kedua mereka akhirnya tumbuh juga di rahim Alena. Penantian yang cukup panjang untuk mereka berdua menambah momongan. Dan hari ini, Alena resmi mengandung.

Kris menggendong anak semata wayangnya, Aileen, dan merangkul pinggang Alena menuju ke restaurant favorite mereka untuk merayakan kehamilan istrinya.

"Papa, Ai akan dapat ade?" tanya Aileen dengan polosnya.

"Iya, sayang. Nanti Aileen nggak akan sendirian lagi kalau main. Ada adenya. Are you happy?" tanya Kris pada Aileen di gendongannya.

Seraya tersenyum, Aileen mengangguk antusias. "Iya... Happy!"

Kris mencium pipi Aileen. "Anak papa pintar sekali," Kemudian beralih mencium Alena di bibirnya. "Sayang, anggota keluarga kecil kita akan segera bertambah satu. Aku bahagia. Sangat bahagia. Thank you, my Love. Kamu adalah anugerah terindah yang pernah Tuhan kirimkan ke dalam kehidupanku. Aku mencintaimu, sungguh, aku sangat mencintaimu."

Alena tersenyum dalam lumatan Kris. "I love you too. Thanks for everything, baby." Ia membalas ciuman Kris di depan anaknya yang sedang menutupkan tangannya pada wajahnya sendiri sambil cekikikan geli.

Continue Reading

You'll Also Like

112K 5K 33
FOLLOW DULU SEBELUM BACA!!! Dukung saya dengan memberi vote di setiap bab ya ;) ********* Gue Sam, Samuel Dirgantara. Ketua geng motor black cobra, m...
11.4K 922 6
Kisah Bara Arsena, yang mempunyai tiga orang kakak perempuan yang amat posesif pada dirinya. Yang pertama Shani, kakak tertua yang ucapannya tak terb...
2.8K 911 11
Kolase kisah dari keseharian sekelompok pemuda yang berupaya menyusun keping masa muda mereka yang rapuh. . . . Fanfiksi ini merupakan crossover dari...
2.9M 204K 38
"Gue sumpahin tuh dosen dapet istri kayak setan! Biar tahu rasa!" Percayalah, Flora sama sekali tidak bermaksud mengutuk Madhava, dosen galak yang sa...