My Cute Office Girl

Od clarisayani2

4.5M 260K 12.1K

Menceritakan seorang Office Girl yang bekerja di salah satu perusahan properti terbesar di Indonesia, di bawa... Více

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50 (End)
Extra Part 1
Extra Part II

Chapter 47

88.5K 4.6K 332
Od clarisayani2

       

Happy Reading

Kris yang menerima pelukan tiba-tiba dari Velisa, kurang dari tiga detik segera mendorong tubuhnya merasa tidak nyaman. Bagaimana mungkin ia berpelukan di hadapan kekasihnya sendiri?

"Kapan kamu tiba? Aku pikir hari minggu kamu baru akan sampai ke Jakarta," ucap Kris berbasa-basi.

"Tadi malam," Velisa mengangguk. "Iya, rencananya seperti itu. Tapi, ibuku memintaku untuk secepatnya pulang ke Jakarta. You know lah bagaimana dia. Aku hanya mencoba menjadi anak penurut."

"I see... so how's London?" tanya Kris.

"Ya, begitulah. Kak Vano pasti lebih mengerti kehidupan di London itu seperti apa. Dia 'kan mantan mahasiswa di sana." Velisa menoleh ke arah Vano.

"Menyenangkan. Kecuali part di mana kamu harus masuk kampus dan mengerjakan setumpuk tugas kuliah. Selebihnya, everything was great. The life and the girls." Vano menimpali ucapan Velisa.

"See, just like that... Nothing's changed. Bahkan sampai hari ini, kehidupan di sana tak banyak berubah," ujar Velisa.

Kris hanya mangut-mangut. Ia juga tahu sekilas kehidupan di sana yang tidak akan terlalu jauh berbeda dengan kehidupan saat masa kuliahnya di Amerika. Ia pernah mengunjungi Vano, tinggal di sana beberapa hari dan bahkan mengencani salah satu gadis populer di fakultas Vano saat itu. Dan tak sampai dua minggu, Kris memutuskannya dengan dalih tidak bisa melakukan hubungan jarak jauh. Padahal, itu hanya alasan kosong belaka. Ia hanya ingin mencicipi salah satu dari wanitanya. Memang tidak berniat untuk diseriusi.

Alena duduk di ranjang rumah sakit, kakinya menjuntai ke lantai. Ia cuma jadi pendengar obrolan mereka yang tidak dimengertinya sama sekali. Ia merasa seperti tak terlihat. Ingin bergabung, tapi, memang ia siapa? Ia tidak pantas berada di sana mengobrolkan hal yang ia sama sekali tidak mengerti. Kebodohannya akan lebih terpampang di hadapan wanita cantik yang terlihat begitu dekat dengan Kris. Wanita itu tidak henti-hentinya menceritakan kehidupannya pada Kris dan Vano. Cara bicaranya saja terdengar pintar walaupun nyerocos tanpa jeda. Tapi, dia masih terlihat anggun dan berkelas.

"Mom, kamu di sini juga?" tanya Kris menoleh pada ibunya.

"Iya. Mami hampir kena serangan jantung pas tadi malam telepon handphone kamu, Vano yang angkat. Dia yang ngasih informasi." Miranda berdecak seraya mengusap wajah putranya. "Kenapa bisa kayak gini sih?"

"Bukan salahku, mom. Dia saja yang memang tidak waras."

"Iya. Mami juga sudah denger dari Vano. Dulu buku jari yang terluka, lalu telapak tangan, dan sekarang pelipis. Nanti apalagi, Kris?" protes Miranda sebal.

"Harusnya sih jangan ada lagi. Kecuali wanita yang di ranjang itu, tiba-tiba ninggalin Kris," Kris menoleh ke belakang menunjuk dengan dagu wanitanya.

Alena membalas Kris dengan kernyitan di dahi.

"Alena, kamu baik-baik saja?" tanya Miranda berjalan ke arah ranjang. Alena baru saja akan turun, dihentikan Miranda. "Tidak usah turun. Tante hanya sebentar mampir. Get well soon ya," ujar Miranda yang membuat Alena menganggukkan kepalanya senang.

"Iya. Saya baik-baik saja, Tan. Terima kasih." Kata Alena membalas ucapan Miranda. Apa ia bisa berharap saat ini Miranda sudah bisa menerimanya?

Miranda mengangguk kecil— kembali berjalan ke dekat Kris. "Kris, pastikan luka itu tidak membekas. Dan juga, hari minggu ini kamu harus datang ke rumah. Ada acara makan malam bersama keluarga Velisa. Nenek juga langsung dari Surabaya akan datang. Sebaiknya jangan beralasan. Sudah lama sekali kita tidak berkumpul."

"Keluarga Velisa? Mami tidak berencana untuk menjodohkan kami, bukan? Jika iya, Kris akan kabur bersama Alena ke Antartika!"

Miranda menoleh pada Velisa, lalu beralih ke Alena. "Tentu... tidak. Kamu datang saja dulu,"

Kris memicingkan matanya. "Nada suara mami mencurigakan. Kris nggak janji ya kalau begitu,"

"Tidak akan ada hal seperti itu jika kamu bertindak semaumu seperti ini. Pokoknya kamu harus datang. Tidak ada bantahan!"

Kris menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya, iya. Gimana Alena aja ya..."

"Kamu bisa mengajaknya,"

Kris tersenyum. "Oke!"

Miranda memutar bola matanya jengah. "Ya sudah. Mami ada urusan. Velisa nanti antar pulang. Sama Vano atau kamu jika bisa." Miranda keluar dari ruang rawat inap Alena setelahnya.

Obrolan pun mulai beralih ke Velisa kembali. Kris beberapa kali menyela ingin memperkenalkan Alena. Dan akhirnya, dengan sikap masa bodonya, ia memutar tubuhnya dan melihat Alena yang duduk di ranjang sana sendiri, tidak lagi menghiraukan obrolan Velisa.

"Vel, kenalkan dia, Alena. Kekasihku." Potong Kris saat Velisa masih menceritakan kehidupan kuliahnya.

Ia lantas berhenti berbicara seraya menengok ke belakang tubuh Kris. Seorang gadis berbalut pakaian khas pasien sedang duduk di ranjang.

Alena terkejut ketika tiba-tiba Kris mengenalkan padanya. Ia hendak turun dari ranjang untuk berjabat tangan dengan wanita itu. Tapi, di luar perkiraan, wanita itu hanya mengangkat tangannya dan mengatakan kata singkat 'hi' saja seraya tersenyum simpul. Setelah itu, mata wanita cantik itu kembali beralih pada Kris dan Vano. Alena menghentikan kedua kakinya yang tadinya akan melangkah mendekati ketiganya, namun langsung diurungkannya.

Ia menghela napas panjang dan kembali lagi duduk di ranjang pasien. Sepertinya ia hanya akan menjadi pendengar dan penonton sekarang. Alena lantas tersenyum getir masih menatap mereka. Ada rasa cemburu dan sakit yang mengusik di hati, tapi ia tak ingin menujukkan sikap kekanakan seperti itu di depan wanita yang entah siapa dia untuk Kris.

Velisa menarik tangan Kris untuk duduk di sofa saat Kris akan mendatangi ranjang Alena.

"Duduk dulu. Aku pegal berdiri terus. Bagaimana perusahaanmu? Proyek apa yang kalian kerjakan sekarang?" Velisa bertanya.

Mata Kris beralih menatap Velisa. "Kami ada beberapa proyek perumahan dan apartemen,"

"Wow. Sepertinya kamu sangat sibuk akhir-akhir ini," Ia mendekatkan tubuhnya pada Kris. "Apa kamu membutuhkan seorang pegawai? Di bagian Marketing misalnya? Kamu tahu 'kan wanita cantik sepertiku pantas bekerja di bidang itu. Biasanya para klien akan lebih bersemangat untuk membeli produkmu," kekeh Velisa.

Kris memasang wajah mencibir. "Ya! Kita membutuhkan beberapa pekerja,"

"Benarkah?" sahut Velisa antusias.

"Yup. Kita kekurangan pekerja di lapangan sebagai pengaduk semen. Kamu tahu jenis pekerjaan apa itu, kan? Wanita cantik sepertimu butuh berolahraga. Siapa tahu nanti kamu bisa membangun rumahmu sendiri tanpa bantuan tukang," timpal Kris sarkastik.

Velisa berdecak. "Lidahmu masih setajam dulu!"

"Makanya jangan mengatakan hal konyol. Saat kamu menetap di sini, sudah pasti perusahaan keluargamu lah yang akan kamu kelola."

"Perusahaan mereka bukanlah bidangku," Velisa mengedikkan bahu. "Sudahlah. Tidak perlu dibahas."

Kris baru saja hendak bangkit dari kursi, Velisa dengan segera meraih tangannya agar ia duduk kembali.

"Oh ya... by the way, bisa aku lihat gambarnya? Interior apartemen dan perumahannya? Mungkin saja aku tertarik dan memesan satu unit padamu."

"Masih dalam tahap pengerjaan. Kira-kira satu tahun atau lebih baru akan selesai."

"Kamu pasti punya semacam gambar desain interiornya, kan?" tanya Velisa bersikeras.

Kris merogoh ponsel di sakunya. "Ada. Tapi beberapa datanya ada di kantorku,"

"Tidak masalah. Aku hanya ingin melihat gambarannya saja," ujar Velisa semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Kris, memperhatikan foto-foto yang Kris tunjukkan di ponselnya.

Alena semakin meradang di tempat. Cemburu bercampur kesal menjadi sebuah kesatuan yang membuatnya ingin menjerit histeris dan melemparkan Kris ke Sabang dan Velisa ke Merauke.

Mata Vano menoleh ke arah ranjang di mana raut wajah Alena berkilat marah menatap kelakuan mereka berdua. Kris hanya sedang mempromosikan produknya, tapi helooo... Ini Rumah Sakit. Orang gila mana yang akan memasarkan barang dagangannya di sini? Kecuali mereka penjual organ tubuh, bukan menjual sebuah bangunan apartemen.

Vano yang melihat Alena termangu menatap tajam Kris dan Velisa, berjalan menghampiri Alena.

"Kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Vano saat tiba di samping ranjang—berdiri di hadapan Alena.

Alena yang terkejut melihat Vano, menjawab gelagapan. "Ya? Ah... iya. Aku... aku baik-baik saja."

Mata Kris beralih menatap Alena dan Vano yang sedang bercengkrama. Ia meremas ponselnya kuat.

"Kris, mana lagi gambarnya? Jarimu menutupi layar," protes Velisa melihat tangan Kris mengeluarkan urat-urat di jarinya yang menonjol dan menutupi layar. Ponsel tidak seberat itu 'kan sampai harus mencengkramnya begitu kuat?

Mata Kris memang sudah beralih dari Velisa mengikuti langkah Vano. Suara Velisa di sebelahnya tidak terdengar lagi. Ia was-was memerhatikan mereka berdua.

Vano mengulurkan kedua tangannya dan menangkup wajah mungil Alena. "Wajahmu masih sangat pucat dan dingin. Semalam aku sangat khawatir."

Dengan amarah memuncak setinggi gunung Everest, Kris beranjak dari sofa yang diduduki, meninggalkan Velisa yang sedang mengajaknya berbicara membahas pekerjaannya. Masa bodo dengan semua itu. Si singa jantan sedang melancarkan aksinya pada wanitanya, apa ia harus diam saja? Tidak akan!

Kris menjauhkan tangan Vano dari wajah Alena secara kasar. Ia lantas menatap Vano kesal. Beraninya dia mengambil kesempatan saat Kris lengah?

"Jangan menyentuh wanitaku. Bahkan kukunya saja tidak kubiarkan kamu sentuh, atau akan kupotong semua jarimu!" ancam Kris tajam.

"Seri, bukan? Kamu mengobrol dengannya, aku mengobrol dengan Alena. Masa kami hanya menjadi pendengar saja di tengah-tengah obrolan kalian? Kita tidak sedang memutar stasiun radio, kan?" tanya Vano enteng.

"Tapi, kami tidak saling bersentuhan! Kamu menyentuhnya, fucker! Jangan memancingku. Kamu tahu aku masih memiliki banyak energi untuk menghempaskanmu dari gedung ini jika kamu mau," ujar Kris dingin.

"Maksudmu menghempaskanku lewat ventilasi udara? Tidak ada jendelanya di sini," Vano mengedarkan matanya. Ia lantas merapatkan tubuh mereka dan berbisik di telinga Kris. "Banyak anjing lapar di luar sana mencari mangsa. Jangan membiarkan makanan nikmat itu kamu tinggalkan demi urusan yang sebenarnya lebih pantas untuk tidak kamu pedulikan!" bisik Vano yang hanya bisa didengar Kris jelas. Rahang Kris mengeras mendelik tajam ke wajah Vano.

Vano menyeringai. Ia menepuk pundak Kris. "Kamu bisa jatuh cinta padaku jika menatapku intens seperti itu. Aku pulang saja. Sepertinya urusanku sudah selesai juga,"

Setelah itu Vano berjalan ke arah Velisa yang duduk di sofa sedang mengamati mereka. Kris dan Vano tengah bersitegang, bukan? Ia bisa melihatnya pada raut wajah Kris yang memerah menahan amarah, itu kenapa ia memilih tak bergerak di tempat. Mengintrupsi tidak akan memberikan solusi.

"Vel, mau aku antar pulang?" tanya Vano.

Velisa melirik Kris dan kekasihnya yang bernama Alena. Kris berdiri di samping gadis itu seraya menatapnya dalam, dan Alena membuang mukanya melihat ke arah lain. Apa ini gara-gara dirinya yang bersikap berlebihan tadi? Velisa pun beranjak dari sofa. Sepertinya memberikan ruang untuk mereka berdua adalah hal paling bijaksana untuk dilakukan sekarang.

"Kris, Alena, aku pulang dulu deh. Byee... see you on sunday, Kris." Pamit Velisa yang tidak diacuhkan Kris. Ia masih menatap Alena lekat. Alena baru saja akan beranjak dari ranjang, segera ditahan Kris.

Alena mendengkus...

"Tidak perlu bangun. Di sini saja,"

Alena menghempaskan cekalan Kris.
"Iya, Kak. Hati-hati." Alena menyahuti di ranjang.

"Kris, kamu tidak ingin berbasa-basi dulu sebelum aku pulang?" tanya Velisa.

"Jangan terlalu menempel padaku. Lihat, wanitaku sepertinya jengkel," itulah kata-kata yang dilontarkan Kris pada Velisa.

"Damn you!" Velisa terkikik geli. Kris mengibaskan tangannya pada mereka berdua pertanda mengusir dan menyuruh agar segera keluar dari ruangannya.

Setelah Vano dan Velisa keluar dari ruangan, Alena beringsut merebahkan tubuhnya, menarik selimut dan tidur menyamping membelakangi Kris. Ya, ia kesal. Amat sangat kesal. Malas sekali berbicara dengan Kris.

"Sayang... kamu kenapa? Marah?" Kris menyentuh lengan Alena. "Al, kamu marah?" ulang Kris lagi.

"Aku nggak kenapa-napa!" Ketus Alena. Alena memejamkan matanya mengeratkan selimut.

Kris naik ke atas ranjang ikut merebahkan diri. "Kamu kenapa sih, sayang?" tanyanya seraya menaikkan satu kaki ke pinggul Alena.

"Kris, berat." Alena berucap sambil menepis kaki Kris jengkel.

"Kamu pasti lagi marah deh ya sekarang. Karena apa?" Kris kembali bertanya seraya bermain-main dengan surai rambut Alena yang lembut.

Alena mendengkus malas meladeni. Silakan berbicara saja dengan angin. Apa dia bodoh? Tentu saja ia marah KARENA ia cemburu melihat kedekatan Kris dan Velisa. Kenapa Kris sangat tidak peka.

"Al, tidak semua pria itu mengerti kode-kodean semacam ini. Bukannya aku tidak mau peka, tapi kadang pikiran para wanita sulit untuk ditebak. Jika kamu memang marah, beritahu aku supaya aku bisa tahu. Buat aku memahami kenapa kamu marah jadi kita bisa membicarakannya," ujar Kris mengusap-usap lengan Alena seolah ia bisa membaca pikiran wanitanya.

Alena menepis tangan Kris dari lengannya. "Tidak usah berujar panjang lebar. Lebih baik kamu simpan kata-katamu itu untuk hari minggu. Kamu juga kalau mau sebenarnya bisa menyusul Vano dan Velisa sekarang untuk menjelaskan pekerjaanmu secara lebih detail. Aku sudah sembuh. Jangan mengkhawatirkanku!" Jawab Alena dengan sinis.

Kris tersenyum geli. Jadi... wanita ini sedang cemburu pada Velisa? Ya ampun. Sungguh, ini sangat menggemaskan.

Kris melingkarkan tangan dan kakinya di perut Alena. Ia mencium leher bagian belakang Alena. "Aku senang kamu cemburu. Itu pertanda kamu memiliki perasaan yang sama terhadapku. Tapi, aku tidak tahan jika kamu mengacuhkanku seperti ini. Gimana dong?" Kris bertumpu pada sikunya melihat wajah Alena yang sedang memejamkan matanya namun jelas masih terjaga. Alena tidak menjawab masih bungkam.

Kris menenggelamkan wajahnya di rambut Alena. Menghirup aroma shampo yang menyegarkan indra penciumannya. "You smell so good, Baby." Ia menyelipkan tangannya ke bawah tubuh Alena dan saling mengaitkan kedua tangannya melingkari sepenuhnya—memeluk Alena dari belakang.

"Aku minta maaf telah membuatmu marah," Kris mengeratkan pelukannya. "Jangan marah lagi. You know that i love you so much more than anyone else in this world!"

***
Mobil Kris telah sampai di depan gerbang yang menjulang tinggi di kediaman keluarganya. Rumah mewah bergaya mediterania bercat putih itu ditumbuhi banyak pepohonan cemara dan berbagai jenis tanaman di bagian halaman depan. Terawat dengan baik dan tertata begitu rapi.

Setelah penjaga membuka gerbang, mobil Kris melaju ke area di mana beberapa mobil lain telah terparkir rapi.

"Ayo keluar," titah Kris setelah membukakan pintu mobil di sisi Alena.

Alena memilin bajunya gugup. "Kris, aku tunggu di sini aja kali ya? Sepertinya pertemuan ini hanya diperuntungkan untuk keluargamu saja." Alena melirik ke arah pintu rumah Kris yang terbuka lebar. Di tempat duduknya, ia bisa melihat beberapa orang yang sedang bercengkrama dan bersenda gurau di dalam sana.

"Jangan bercanda. Menjaga mobil bukan tugasmu. Cepat keluar. Mereka semua tidak makan orang," decit Kris melepaskan seatbelt Alena dan menuntunnya untuk turun. Kris menggandeng tangan Alena dengan erat menyalurkan ketenangan. Alena pasrah mengikuti langkah Kris.

"Oma..." Kris melepaskan gandengan di tangan Alena dan memeluk wanita berusia 70 tahunan sesampainya di dalam. Ia mencium pipi kanan dan kiri neneknya.

"Ya ampun... Cucu Oma makin tampan saja. Sulit sekali bertemu denganmu, Kris. Seharusnya kamu lebih sering mengunjungi Oma di Surabaya."

"Maaf, Oma. Kris sibuk akhir-akhir ini," Kris menoleh ke belakang punggungnya dan menarik lembut tangan Alena. "Kenalin, dia kekasih Kris. Calon anggota keluarga Liem," Kris mengenalkan.

"Kekasihmu?" Ada nada kaget di suaranya.

Kris mengangkat alisnya mengiyakan.

Mata Nenek Kris berbinar setelah jeda beberapa saat. Ia lantas memeluk Alena. "Kamu cantik sekali. Kalian sangat serasi," kata Nenek Kris seraya menguraikan pelukannya. "Kris sangat beruntung bertemu gadis secantik dirimu. Tinggal stok sabar saja menghadapi anak bergajulan sepertinya."

Alena mengulas senyum tulus. Ia tak menyangka Nenek Kris akan menerimanya dengan tangan terbuka. "Makasih, Nek," jawab Alena sopan.

Nenek Kris mengajak Alena untuk mengenalkan pada beberapa anggota keluarga yang lain dengan antusias. Kris mengikuti langkah mereka dari belakang seraya menyapa saudara dari mamihnya.

"Wah... Ini siapa?" tanya seorang wanita paruh baya. Di sebelahnya ada Velisa yang memakai dress berwarna peach pendek.

"Dia Alena, Ma. Kekasih Kris," Velisa menjawab, menekankan kata 'kekasih' di kalimatnya.

"Ke-kekasih?!" tanyanya terkejut.

"Aku 'kan sudah bilang," jawab Velisa malas. Velisa mengulurkan tangannya untuk bersalaman. "Hi, Alena. Hari itu, maaf, aku terkesan sombong ya? Bisa kita kenalan lagi?" tanya Velisa tulus. Alena membalas uluran tangan Velisa seraya mengulas senyum.

"Tidak apa-apa," balasnya.

Kris merangkul bahu Alena. "Makan malamnya sudah siap," ucap Kris pada Alena. "Hi, Tante," sapa Kris singkat.

Diana tersenyum, setelah Kris berlalu, ia berdecak. Senyum itu seketika sirna.

"Kemarin 'kan aku sudah bilang, Kris sudah memiliki kekasih, Ma. Lihat, bagaimana Kris memperlakukannya. Dia sangat posesif, menandakan kalau Kris amat sangat mencintainya. Sekilas melihat saja, orang pasti langsung tahu, he is head over heels to her!" Ujar Velisa ke ibunya.

"Ah, masa? Nggak juga." Kata Diana tak ingin percaya, lantas meninggalkan Velisa dan bergabung ke meja makan untuk menyantap makan malam bersama.

"Lihat aja deh sendiri!" Velisa berdecak.

Di meja makan. Banyak dari mereka memuji wajah cute Alena sambil berkelakar, beda halnya dengan Diana yang sedang mengamati Kris dan Alena.

Kris yang menuangkan air putih ke dalam gelas Alena. Kris yang mengambilkan makanan ke piring Alena. Kris yang akan dengan random membelai rambut Alena tanpa menghiraukan sekitarnya. Tidak sampai disitu saja, seakan belum puas menunjukkan kemesraan layaknya pasangan pengantin baru, Kris akan dengan terang-terangan menatap Alena penuh cinta sambil mengunyah makanan di mulutnya.

Miranda berdeham. "Kris, kalian jadi pusat perhatian. Semua orang menatapmu!"

"Kris treated her like a queen! God damn it. I hate the fact that love is this beautiful. Even more, i hate the fact that i'm fucking single!" Sahut Luna kesal meratapi nasib kejombloannya. Semua yang ada di meja tergelak menertawakan Luna.

"Tante jadi ingat pas Kris sama Velis ke pergok ciuman di dapur. Mereka kelihatan bahagia juga. Cinta memang selalu seperti itu," ujar Diana tanpa beban. Ucapan Diana benar-benar tidak nyambung dengan topik yang dibahas. Apa maksudnya menceritakan hal itu pada semua orang? lebih parahnya lagi di depan kekasihnya, Alena.

Kris langsung menoleh menatap Alena yang sedang memotong-motong steak di piringnya. Wajahnya menyiratkan kekesalan dan jengkel. Alena sesekali menggertakkan giginya. Raut masamya tak begitu kentara. Hanya Kris lah yang memahami air muka Alena.

Kris mengelus tangan Alena dan mengambil alih piringnya. "Biar aku bantu." Kris memotong steak milik wanitanya.

"Nggak usah. Aku bisa sendiri,"

Kris tidak mengindahkan, tetap memotong semuanya dan mengembalikan piring Alena setelah steaknya terpotong kecil-kecil. Ia lantas mengangkat wajahnya menatap Diana sambil menarik bibirnya mengulas senyum ramah.

"Tante pernah dengar masa lalu tempatkanlah di masa lalu? Sama halnya hari itu. Saat itu kami hanya sedang bermain-main saja layaknya anak remaja zaman sekarang. Benar begitu, Vel? Itu namanya bukan cinta," ucap Kris menekankan kalimat terakhir. Setelah mengatakan itu ia kembali melanjutkan makan malamnya.

Suasana meja makan seketika hening.

"Kalian sangat dekat dulu. Apa tante salah berpikir begitu? Makanya itu tante datang ke mari ingin membicarakan hal ini. Sepertinya tidak ada yang berani membuka topik juga dari tadi." Diana meneguk air putih di gelas, membersihkan tenggorokan. "Kalian akan dijodohkan sesuai obrolan Tante dan mommy kamu, Kris." Ujar Diana tersenyum tanpa memedulikan Alena yang terperanjat kaget, namun tubuhnya serasa membeku.

Alena menegang di kursinya. Velisa memperingatkan Diana. Nenek Kris dan Miranda menatap Diana dengan kesal karena mengganggu makan malam ini. Walaupun niat pertama mereka tadinya ingin menjodohkan, tapi melihat perlakuan Kris terhadap Alena, mana mungkin mereka berani mengangkat bibir untuk mengutarakannya. Dan sebenarnya Miranda pun telah menolak secara halus kemarin. Anaknya sudah memiliki kekasih yang dicintai, untuk apa lagi dijodohkan?

Kris masih tersenyum ramah. "Maaf sekali kalau begitu. Sepertinya rencana tante tidak sinkron dengan rencanaku. Aku juga ingin membicarakan mengenai pernikahan. Tapi jelas itu bukan perjodohan yang diatur oleh kedua belah pihak yang aku saja tidak mengerti, kenapa pihak lain harus ikut campur dalam urusan asmaraku?" Kris menegakkan duduknya. Menggenggam tangan Alena. "Jadi, begini... mungkin tidak lama lagi Kris akan menikahi Alena. Masih rencana. Tapi ini adalah rencana pasti, sebelum benih yang Kris tanam berkembang di rahim Alena." Ungkap Kris menandaskan pada semua orang di sana kesungguhannya.

Beberapa dari mereka tersedak. Tak satu pun dari mereka yang tidak merasa kaget. Pun dengan Alena yang menahan malu karena kegilaan Kris. Mulut Kris seperti biasanya sulit untuk dikondisikan. Alena menyikut perut Kris kesal seraya berdecak.

"Apa kamu harus bercanda segaring ini, Kris?! For God's sake. It's not funny!" omel Alena di telinga Kris.

"So what? I love it. Semua orang jadi lebih tenang sekarang. Tidak ada lagi yang berbicara konyol," gumam Kris membalas bisikan Alena.

Miranda masih mengusap-usap punggung Ibunya yang sempat terbatuk setelah mendengar penuturan frontal Kris. "Mih, minum dulu," kata Miranda menyodorkan air putih. Miranda mendelik ke anaknya sebal. Sungguh. Ingin rasanya ia mengembalikan Kris ke habitat asalnya.

Alena menunduk malu.

"Oma, makannya pelan-pelan dong... Jadi tersedak, kan." Ucap Kris prihatin.

"Situ yang bikin! Kamu memang perlu di rukiyah, Kris!" Ujar Luna ketus.

***
Selesainya makan malam, sebagian keluarga Kris telah kembali pulang. Kris dan Alena berjalan ke ruang tamu mencari anjing kecil peliharaannya.

"Michii... Daddy pulang," panggil Kris seraya mengangkat anjing kecil kesayangannya. "Cantiknya anak Papa. Kenalin, ini Mama Alena,"

"Kris, aku ingin menggendongnya," Alena merentangkan tangannya ingin bermain bersama Michi juga. Anjing kecil inilah yang selama ini Kris samakan dengannya.

"Apa aku bilang? Wajah kalian mirip sekali," canda Kris, ia lantas mengeluarkan ponselnya. "Al, sini aku fotoin dengan Michi. Atau kita foto bertiga saja ya? Sebagai foto keluarga?"

"Kamu ada-ada saja. Sini ponselmu. Biar aku saja bersama Michi," 

Alena menempatkan Michi di gendongannya. Lalu, Ceklek. Bidikan kamera telah mengambil gambar mereka. Ia mengecek hasilnya.

"Kris, bagus nggak?" tanya Alena menunjukkan hasilnya.

Kris menarik pipi Alena dengan gemas. "You look as beautiful as ever. Aku jadian wallpaper ya," Kris menyetel foto Alena sebagai tampilan utama.

"Kebelet, Kris. Aku ke toilet dulu." Kata Alena memberikan Michi pada gendongan Kris.

"Mau aku temenin?"

"Tidak perlu. Aku sudah tahu letak toiletnya di mana. Luna memberitahuku."

Alena baru saja akan melangkah, tangannya ditahan oleh Kris. "Maksudku, menemani untuk bantu membukakan celanamu, mungkin?" Kris tersenyum miring.

"Benar kata Luna. Kamu harus melakukan pengusiran setan di tubuhmu," Alena mendengkus dan berlalu ke toilet meninggalkan Kris di ruang tamu. Kris hanya terkekeh geli.

Saat Kris sedang bermain-main bersama Michi, Velisa bergabung duduk bersama Kris di sofa.

"Kamu melukai harga diri Ibuku," kata Velisa tiba-tiba.

Kris menoleh. "Tidak seharusnya tante Diana mengatakan hal konyol mengenai masa lalu kita. Kita hanya anak ingusan yang tidak mengerti apa-apa tentang cinta saat itu. Itu pun sudah 13 tahun berlalu. Apa namanya kalau bukan konyol? Ditambah lagi, ibumu dengan sengaja melukai hati wanitaku."

Velisa berdecih. "Aku tidak menyangka kamu akan benar-benar insyaf bermain-main dengan para wanita, dan merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya. Setiap kamu menyentuh Alena, aku langsung merinding. Bagaimana bisa seorang Kris bertekuk lutut pada seorang wanita? Dia juga jauh berbeda dengan wanita-wanita yang biasa kamu kencani. Di mana body aduhai para model itu? Di mana buah Melon yang bergelayutan di dada? Alena terlalu cute untuk mantan playboy sepertimu."

"Itu bedanya antara cinta dan nafsu. Jika pun kami melakukannya, itu karena aku mencintainya," jawab Kris seraya mengelus bulu halus Michi. Kris menjaga jarak duduk dengan Velisa, dan Velisa tentu menyadarinya.

"Ibuku pikir, saat kamu dan Michel berpisah, kesempatan emas telah terbentang antara kita untuk bersatu. Ia juga menonton acara gosip di TV mengenai dirimu dan Alena. Terus meng-update info terbarumu. Ia sangat percaya diri kamu akan menerima perjodohan ini. Karena pikirnya, kamu tidak mungkin serius bersama Alena dengan tanda kutip, status pekerjaannya. Tapi, melihat perlakuanmu terhadapnya tadi, harapan itu hancur lebur tak bersisa. Kamu harus lihat bagaimana keruhnya wajah Ibuku saat ini."

Mendengar suara Velisa yang bergetar, Kris menoleh. "Jangan bilang kamu ingin menangis? Kamu... tidak mencintaiku, kan?"

Velisa menautkan alis. "Cinta tidak se-bercanda itu, Kris. Kita baru saja bertemu setelah sekian tahun lamanya. Bagaimana mungkin aku jatuh cinta padamu? Sedih, Ya. Aku akui, dan itu murni karena aku telah didepak dari singgasana calon istri seorang CEO hebat. Aku tidak akan rugi jika kita dijodohkan. Kamu tampan dan mapan. Wajar bukan? Ibuku juga kecewa sepertinya karena itu."

Kris memutar bola matanya. "Carilah pacar. Vano, mungkin? Dia terus memepet Alenaku. Aku berdoa pada Tuhan semoga kalian para jones segera dapat jodoh. Setiap kali Vano di dekat kami, aku menjadi was-was," ungkap Kris.

"Kamu berlebihan. Vano hanya sedang bermain-main saja denganmu. Dia juga lebih suka bermain-main dengan para wanita tidak seperti dirimu yang sekarang." Tiba-tiba Velisa menerawangkan matanya sambil tersipu malu. "Anyway, semalam aku tidur di tempatnya. He's hot!"

"Ya ampun. Wajahmu mesum sekali! Untung saja kita tidak jadi dinikahkan!"

"Ishh! Aku tidur dengannya karena kamu mengacuhkanku dan lebih memperhatikan wanitamu itu!" Velisa mendengkus. Kris tidak menjawab, kembali bermain dengan Michi.

"Kapan kalian akan menikah?" tanya Velisa tiba-tiba.

Kris menelan saliva. "Belum tahu," Ia menghembuskan napas lemah. "Ada rasa takut di hati. Entahlah. Tapi aku pasti akan menikahinya. Hanya... tidak sekarang."

"Takut? Karena masa lalu orangtuamu? Bukannya kamu sendiri yang mengatakan tempatkanlah masa lalu itu di tempatnya? Lalu, untuk apa mengingat hari itu? Lebih baik rencanakan dari sekarang, sebelum Alena kabur dan diambil orang."

Kris cuma mengulas senyum segaris. "Kapan kamu akan pulang ke London?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Minggu depan. Tidak ada gunanya aku di sini setelah lamaranku ditolak mentah-mentah olehmu!"

***
Alena menghitung jari-jarinya di depan cermin kamar mandi. Sudah dua minggu ia telat datang bulan. Hari ini ia izin cuti pada Vano karena sedari pagi, ia tak henti-hentinya muntah. Kakinya sudah sangat lemas tidak bertenaga. Yang otaknya pikirkan hanya satu sekarang. Yaitu...

Alena memutuskan pergi ke Apotek untuk membeli alat test yang dipikirkannya. Dengan ini ia bisa berhenti menerka-nerka apa yang terjadi pada dirinya.

Sepulangnya dari sana, ia melemparkan tas tangannya secara sembarang dan langsung pergi ke kamar mandi. Alena mengeluarkan sebuah Test Pack yang dibelinya di apotek tidak jauh dari apartemen. Ada tiga Test Pack.

Beberapa menit ia menunggu Test Pack itu bekerja, dengan tangan bergetar, Alena mengangkat Test Pack itu dari air seni yang sudah ditempatkannya pada wadah kecil.

Alena menutup mulutnya. Kaget dan tak percaya. Lebih tepatnya ia ingin menyangkal hasil dari Test Pack di tangannya. Dua garis berwarna merah melintang seolah tertawa kencang tengah mengejek keterkejutannya.

Alena kembali mengulang tes itu untuk memastikan. Dan tiga Test Pack berbeda yang berjejer menghasilkan jawaban yang sama. Positive hamil. Ia hamil... dua garis merah itu pertanda ia sedang hamil. Mengandung janin yang akan menjadi seorang bayi kecil.

Alena menyandarkan tubuhnya di pintu. Meluruh ke lantai menelungkupkan wajahnya di kedua lututnya. Ia bingung dan takut. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Kapan kalian akan menikah?"

"Belum tahu. Ada rasa takut di hati,"

Alena ingat dengan obrolan Kris dan Velisa bulan lalu yang tidak sengaja didengarnya. Apa Kris akan meninggalkannya setelah tahu ia hamil? Kris takut akan kehidupan pernikahan.

Apa yang sebaiknya aku lakukan? Kesalahan satu malam itu telah menghasilkan buah cinta kita, di saat kamu takut akan sebuah ikatan pernikahan.

***
Alena memerhatikan wajah tidur Kris yang tengah berbaring terlentang di sampingnya. Kemeja kerjanya sudah tampak lusuh dan gurat wajahnya tampak kelelahan.

Kris tidur begitu tenang dan damai. Alena menyusuri wajah tampannya. Dari alis, turun ke mata, dan berakhir di bibir. Seolah tidak ada kehidupan dalam raganya, Kris tidak terganggu dan masih pulas berkelana di alam mimpi.

Seharusnya beberapa jam lalu adalah waktu yang tepat untuk mengatakan kehamilannya. Namun sampai sekarang, ia masih tidak mampu. Ia terlalu takut akan reaksi yang didapatnya dari Kris. Senangkah? Marahkah?

Mereka bercumbu sampai ke titik dimana tubuh mereka memanas menahan percikan gairah, namun seperti biasa, setelah dirasa mendekati Zona merah, mereka langsung menghentikannya. Kris menuntaskannya di kamar mandi, sedangkan Alena hanya perlu minum air dingin tidak sampai melakukan apapun yang dilakukan Kris di dalam sana. Mereka sudah saling berjanji untuk tidak melakukan hubungan itu sampai ikatan mereka resmi di mata Tuhan dan Negara. Walaupun Alena tahu, ini adalah cobaan terberat untuk Kris. Dia tampak kesakitan setiap kali menahan hasrat yang tidak tersalurkan sepenuhnya.

Alena mencium pipi Kris perlahan.
"Kris, aku hamil," gumam Alena hampir berbisik begitu pelan tepat di depan wajah lelaki yang dicintainya.

***
Satu minggu sudah Alena menyimpan kehamilannya seorang diri. Tidak ada siapa pun yang tahu, sampai dua hari yang lalu.

Megie dan Dina meneleponnya untuk bertemu di kafe. Tantenya menyerahkan buku tabungan yang memang adalah haknya untuk biaya melanjutkan kuliah. Semua hak Alena telah dikembalikan, beserta semua uang orangtuanya yang pernah disimpan oleh saudara-saudara Ibunya. Tapi dengan bantuan Megie, semua haknya telah kembali ke tangannya lagi. Mereka tidak berhak memakan hak waris orang lain. Dan sekarang, uang itu telah tersimpan rapi di buku tabungan yang Alena simpan di lemarinya.

Tibalah saat mereka menanyakan kelanjutan pendidikannya, dengan mata berkaca-kaca, Alena mengakui kehamilannya pada mereka berdua. Bagaimanapun, Dina dan Megie adalah saudara terdekatnya saat ini. Siapa lagi yang bisa ia ajak berdiskusi mengenai kehamilannya selain mereka. Hanya merekalah orang yang bisa dipercayainya, ketika ia tidak memiliki keberanian untuk bercerita pada Kris.

Setelah menetralkan kekagetan mereka, Megie memberi saran untuk menceritakan perihal kehamilannya pada Kris. Bagaimanapun juga, Kris adalah ayah biologis dari anak yang dikandungnya. Dia berhak tahu. Tak ada untungnya menyembunyikan fakta. Kapanpun itu, perutnya akan semakin membuncit seiring berjalannya waktu. Kris harus menikahinya siap tidak siap. Walaupun Alena tidak berharap banyak dengan itu. Yang penting Kris tahu dulu. Urusan pernikahan, biar waktu yang menjawab.

Dan sekarang, Alena sudah bulat memikirkannya. Ia memang harus mengatakan semuanya. Untuk apa mengulur-ulur waktu lagi. Sesuai ucapannya pada Megie dan Dina dua hari lalu di kafe. Alena akan menemui Kris malam ini.

Alena menghubungi ponsel Kris. Nada sambung telah terhubung.

"Halo, baby?"

"Kris, apa malam ini kamu akan ke apartemenku?" tanya Alena langsung ke intinya.

"Sepertinya... tidak. Aku harus pulang ke apartemen untuk mengerjakan beberapa dokumen yang sempat tertunda. Kenapa? Ada hal penting?"

"Aku tidak tahu apa ini penting atau tidak menurutmu. Tapi bagiku, ini penting," Alena diam sejenak." Kalau begitu, aku saja yang ke sana, bagaimana?"

"Huh? Kamu serius?!"

"Iya. Tunggu aku di sana."

**
Pukul enam sore. Alena mulai bersiap-siap untuk mengunjungi apartemen Kris. Ia mengenakan dress yang dibelikan Kris dulu. Menjepit satu sisi rambutnya dan membiarkan rambut sisi lainnya tergerai bebas.

Ia harap, semuanya berakhir sesuai keinginannya. Kris sangat mencintainya, ia harus yakin semuanya akan baik-baik saja. Pikiran buruknya tidak akan terjadi. Kris tidak mungkin bersikap pengecut setelah semua yang telah mereka lewati bersama.

Alena keluar dari apartemen dengan hati yang sudah semakin percaya diri. Ia meyakinkan hatinya lagi dan lagi. Everything is gonna be alright. Maybe not yesterday, but today. Tonight to be exact.

Taksi telah sampai di depan apartemen Kris. Alena memasuki lobi apartemen mewah kekasihnya, melangkahkan kakinya menuju lift, lantas menekan tombol lantai teratas di apartemen ini.

Lift berdenting terbuka di lantai yang ditujunya. Alena memerhatikan sekitarnya yang begitu sepi. Ia menapaki karpet merah sepanjang lorong menuju ke sana. Melewati beberapa kamar penghuni lain selain kekasihnya. Dan akhirnya, tibalah ia di depan pintu apartemen Kris.

Ia baru saja akan memasukan password apartemen, tetapi diurungkannya. Jadilah Alena menekan bel untuk mengerjai Kris. Ia ingin disambut langsung olehnya.

Dua kali pijatan di bel apartemen, pintu pun berderit terbuka.

"Kamu lama sekali..." Alena membelalakan matanya. Ia mengecek lagi nomor apartemen Kris, dan ia tahu ia tidak mungkin salah masuk. Nomor ini adalah nomor apartemennya. Bahkan ia sudah mengingatnya di luar kepala.

"Siapa kamu?!" sentak Alena nyaring. "Di mana Kris?" tanya Alena dengan napas mulai memburu. Matanya men-scan penampilan seseorang yang membuka apartemen kekasihnya.

Baju dalaman tipis, seperti tanktop yang menerawang langsung ke bra dan celana dalam hitamnya. Panjang baju tipis itu pun hanya beberapa senti dari aset wanita itu.

"Seharusnya aku yang tanya, Nona. Siapa kamu? Untuk apa malam-malam ke tempat kekasihku? Sepertinya kamu salah masuk apartemen ya," jawab sinis suara wanita itu.

"Ini apartemen kekasihku!!" Alena menjerit, masuk menerobos wanita itu.

Baru saja ia akan meneriakkan nama Kris dengan kencang, Kris keluar dari kamarnya hanya berbalutkan celana boxer dan handuk putih di tangan yang digunakan untuk mengeringkan rambut basahnya.

Tubuh Alena bergetar hebat. Tidak ada kata yang dapat ia jelaskan sekarang. Hatinya tercabik-cabik sakit. Amat sakit. Dengan napas terengah-engah memburu menahan ... Ia tidak tahu lagi bagaimana menggambarkan kondisinya saat ini. Ini bahkan lebih sakit dari kejadian dulu di kantor Kris.

Ya Tuhan...

Kris telah mengkhianati kepercayaannya. Kris telah mengotori tali kasih mereka. Kris telah tidur bersama dengan kekasih lainnya. Dia baru saja selesai mandi.

Apa Kris telah bosan kepadanya lantas menunjukkan rasa sakit yang sebenarnya? Neraka di dunia sesungguhnya? Jadi, selama ini cinta yang telah Kris agung-agungkan hanya omong kosong belaka? Semuanya hanya kepura-puraan? Apa Kris telah mendengar gumamannya malam itu? Dan sekarang karena dia sudah tahu dirinya akan mengatakan mengenai kehamilannya, lantas menunjukkan semua rasa sakit ini? Untuk menendangnya menjauh dari hidupnya?

Alena ingin menangis. Berteriak sekencang-kencangnya melihat Kris menatapnya penuh rasa kaget.

"Al," Kris mendekati Alena dengan suara tercekat.

PLAK

Tamparan keras mendarat di pipi Kris. Alena menyorotkan tatapan murka, marah, kecewa, dan kesakitan, bersatu dalam sepasang manik matanya.

"Brengsek kamu! Hal tersial dalam hidupku adalah bertemu denganmu. Jika aku bisa memutar waktu, aku harap aku tidak pernah bertemu dengan bajingan sepertimu!" Ia menyentak hingga tenggorokannya terasa perih.

Kris dengan tangan bergetar dan sesekali melirik pada wanita di belakang Alena—mendekat dan ingin menyentuh wajahnya. "Al..." suaranya terputus-putus.

"Nikmati hidupmu brengsek!" Alena menginjak kaki Kris sekuatnya dan langsung berlari ke luar dari apartemen terkutuk itu.

Sebanyak air mataku, aku harap kamu bahagia. Aku akan pergi. Aku akan pergi bersama buah cinta kita. Aku akan pergi membawa semua luka yang telah kamu berikan. Aku akan pergi membawa semua cinta yang pernah kamu katakan. Selamat tinggal, Kris. Selamat tinggal...

Aku akan merindukanmu.

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

1.1M 66.2K 35
FOLLOW DULU SEBELUM BACA Revan mencintai Shilla, tapi hanya tangis yang tercipta. Memilih mundur dan kabur sebagai upaya mengubur rasa. Bukan membaik...
7.5M 53.4K 11
❝Gimana rasanya nikah dengan tunangan sahabat yang udah nemanin lo selama 10 tahun?❞ || ©2019
2.4M 174K 32
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
4.4M 164K 49
One night stand yang mereka lakukan, membuat keduanya bertemu kembali dan mengharuskan segera melakukan sebuah pernikahan. Tetapi, gadis cantik namun...