Kai menghentikan mobil di depan rumahku, lalu mematikan mesin. Sekarang hari Jumat, tapi kami tidak ngantor karena hari libur nasional. Kai mengantarku pulang karena dia ada kerjaan di dekat sini.
Aku turun dari mobil dan disambut oleh Paijo. "Wof... wof...!" Labrador cokelat itu berdiri di balik pagar.
Mbak Mar muncul dengan tergopoh-gopoh dan membuka gerbang kayu.
Aku menebarkan pandangan ke garasi. Di sana hanya ada Honda Jazz putih milik Mas Gentala. "Pada ke mana, Mbak?"
"Sarapan di luar."
"Mas Gentala ikut?"
"Iya."
Kai mendekatiku sambil menyeret koperku. Sementara Paijo berdiri di hadapanku sambil mengibaskan ekor. "Duduk!" Paijo duduk sambil menggonggong.
"Diam!" Paijo diam, lalu menjulurkan lidah.
"Mingkem!" Kali ini Paijo tidak mematuhi perintahku. Pelajaran selanjutnya adalah mengajarinya untuk menutup mulut. Aku mengalihkan perhatianku ke Mbak Mar. "Mbak tolong bawain koperku ke kamar."
"Iya, Mbak."
"Aku bawain," Kai mengajukan diri.
Aku berpaling ke Kai. "Mbak Mar ini temannya Xena, wanita perkasa."
"Aku saja, Mbak." Kedua tangan Kai memegang handle koper yang berisi buku dan barang-barang yang sudah memenuhi kamar kostku. Berat koper itu kira-kira dua puluh kilogram.
Kasihan juga sih kalau Mbak Mar mesti naik tangga sambil bawa koper.
"Biarin, Mbak. Dia punya cita-cita jadi kuli angkut," timpalku.
Mbak Mar dan Kai tertawa.
"Lalitya lucu ya," balas Kai.
Mbak Mar mengangguk.
"Ayo." Aku masuk ke dalam rumah, lalu naik ke atas. Kai mengekor di belakangku. Kami sampai di lantai dua dan berpapasan dengan Mbak Kiki. Dia mengeong, lalu menggosok-gosokkan badan ke kakiku.
"Hai, Mbak Kiki." Aku membungkuk dan mengelus kepalanya. Kemudian, aku berdiri dan berjalan ke kamar diikuti oleh kucing itu dan Kai. Begitu masuk kamar pandangan mataku langsung tertuju pada tumpukan buku, sketsa dan pensil warna berserakan di atas meja. Kugantungkan tasku ke sandaran kursi, lalu kurapikan mejaku.
"Apa ini?"
Kubalik badanku. Kai berdiri di depan peta dunia yang kutempel di tembok. Dia mencabut salah satu push pin yang kupasang di peta. "Merah artinya tempat yang sudah dikunjungi, kuning tempat yang pengin dikunjungi, hijau tempat yang enggak bakal dikunjungi."
Kai mengembalikan push pin warna merah. Aku mendekatinya untuk mencari tahu apakah dia mengembalikan benda itu di tempat yang benar atau tidak. Push pin itu diletakkan di Bratislava padahal seharusnya di Budapest. Kutaruh push pin itu ke tempat semula. Aku memutar badan. Kai mendatangi Mbak Kiki yang mendekam di sudut ruangan. Mata biru kucing itu menatapnya tajam, seolah-olah ingin memastikan apakah Kai ini teman atau musuh. Kai berjongkok dan membelai kepala Mbak Kiki. Biasanya ketika ada orang asing kucing itu langsung kabur atau ngumpet di kolong. Tapi, kali ini dia diam di tempat.
"Biasanya dia kabur kalau ada tamu, Mbak Kiki enggak gampang percaya orang," ujarku.
"Binatang peliharaan itu mencerminkan pemiliknya."
"Maksudmu ibuku enggak gampang percaya orang?"
Tangannya berhenti bergerak. Dia berdiri dan berjalan ke arahku. "Aku enggak ngomongin ibumu."
"Mbak Kiki kucing Ibu, bukan kucingku."
"Kirain dia kucingmu." Kai memutar tubuh dan melangkahkan kaki. Matanya memandang sekeliling kamar.
Sepertinya dia tidak tertarik untuk keluar dari kamarku. Aku harus segera membawanya pergi dari sini.
"Maaf, Mas ini bukan museum."
"Aku enggak boleh lihat istananya Lalitya? Kamu kan sering masuk kamarku."
"Kamarmu itu mirip pasar, semua orang boleh masuk. Kalau kamarku mirip batcave-nya Batman. Ayo turun." Kutarik tangannya agar dia keluar dari kamar dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananku memegang daun pintu. "Jangan sampai orang tuaku lihat kamu di sini."
"Tunggu."
Aku menengok ke belakang. Dia menatap bagian belakang pintu dengan mata melebar, lalu mengedipkan mata. Di balik pintu kamarku ada foto Travis Fimmel waktu dia muncul dalam iklan celana dalam Calvin klein. Aku lupa sejak kapan gambar yang kuambil dari internet itu kutempel di situ. Sampai sekarang aku tidak berniat untuk mencopotnya.
"Jangan terpesona," kataku.
"Enggak bakal." Dia keluar dari kamarku dengan sukarela.
"Kamu bakal diapain kalau orang tuamu lihat aku di kamarmu?" tanyanya waktu kami sudah mencapai koridor.
"Disuruh nikah."
Alis kanannya terangkat. "Ayo kita masuk lagi."
Kucengkeram bahunya. "Menikah itu kata kerja, jadi butuh tindakan dan usaha bukan hanya mengandalkan perasaan. Perasaan itu bisa berubah." Aku berjalan menuju tangga dan menuruni anak tangga. "Ibuku menikah dengan Bapak karena memenuhi amanah bapaknya sebelum meninggal, sedangkan Bapak menikahi ibuku demi cinta. Pernikahan mereka bisa bertahan sampai bertahun-tahun karena keduanya berusaha untuk menjaga komitmen. Sampai sekarang aku belum menemukan alasan yang kuat kenapa aku harus menikah."
Dia mengangguk. "Jangan khawatir aku juga belum siap nikah. Menikah itu bukan untuk main-main."
Kami sudah mencapai lantai satu. Dan, mendapat tatapan mata penuh tanda tanya dari orang tua dan saudaraku.
Sialan!
"Siang, Om, Tante," sapa Kai.
"Siang," balas Ibu.
Aku menarik tangan Kai. "Kai mau pamit dia ada kerjaan."
"Permisi," pamit Kai.
Kai dan aku berjalan beriringan keluar rumah. Kami langsung menuju mobilnya.
"Sampai ketemu hari Minggu," ucapnya sebelum masuk mobil.
Aku mengangguk. Setelah mobil Kai bergerak, aku masuk ke rumah dan menuju ruang keluarga. Ibu menyambutku dengan tatapan mata tajam. Dia berdiri di samping Bapak sambil memasang wajah serius.
"Ngapain dia di atas?" tanya Bapak.
"Bawain koper. Kasihan kalau Mbak Mar yang bawa, nanti punggungnya sakit lagi," balasku.
Bapak mengangguk, lalu beranjak dari tempat dia berdiri.
"Ingat ya jangan macam-macam. Kamu sudah dewasa, tapi kamu tetap anak Ibu," ancam Ibu.
"Suruh nikah saja, Bu," sahut Mas Gentala yang sudah duduk manis di depan TV.
"Mas Gentala saja yang nikah," balasku.
"Ogah," balasnya.
Ibu menggerakkan kaki dan berhenti di sofa. Lalu, dia duduk di sebelah kakakku. "Kalian harus menikah."
Kutaruh pantat di kursi makan. "Seandainya suatu hari nanti aku menikah itu kulakukan berdasarkan keinginan sendiri bukan karena seluruh dunia menyuruhku melakukannya."
"Setuju, Mbak!" seru Cesta yang sedang memberi makan Paijo di teras.
"Orang jaman sekarang nikah kayak main-main. Baru tiga bulan sudah cerai," ujar Ibu.
Cesta masuk ke ruang keluarga dan mencuci tangan di wastafel. "Kan banyak orang yang menikah karena terpaksa."
"Ibu juga dipaksa nikah," kata Ibu.
Cesta duduk di samping Ibu. "Kenapa mau?"
"Ibu pengin punya anak," jawab Ibu.
"Jaman sekarang kalau pengin punya anak enggak perlu berhubungan seks apalagi nikah," kataku.
"Pakai inseminasi buatan," timpal Cesta.
"Ssst.... berisik," kata Mas Gentala.
Ibu mengulurkan tangan ke arah Mas Gentala. "Sini remote-nya."
"Aku baru nonton," protes kakakku.
"Tiap malam kamu terus yang nonton. Gantian," kata Ibu.
Ibu dan kakakku kalau rebutan remote mirip anak kecil. Kadang sampai diem-dieman.
Aku bangkit dari kursi.
"Ikut." Cesta berjalan di belakangku.
"Minggu jadi ikut CFD?"
"Jadi. Berarti kita balik kost Sabtu malam."
Aku mengangguk.
***
"Masa olahraga gandengan, sih?" Aku memandang tangan kiri Kai yang menggenggam tanganku. Sementara tangan kanannya memegang tali kekang Oliver.
"Sebenarnya kamu olahraga atau jajan?"
"Jajan sambil olahraga." Kugerakkan kepalaku ke kiri dan kulihat deretan penjual makanan di sepanjang jalan Thamrin.
Kai melepas genggaman tangannya. Aku menoleh. Tangan kirinya bergerak ke atas kepalaku. "Fokus. Jangan nglihatin makanan terus."
"Duitku tinggal seribu. Dapat apa coba?"
"Permen."
Kami melanjutkan perjalanan hingga mencapai Monas. Setelah beristirahat sejenak, kami balik melalui rute yang sama. Ketika mencapai Bundaran HI kami berhenti karena melihat Cesta, Michelle dan Manuel sedang duduk di seberang kolam. Tadi kami berlima berangkat bareng ke CFD, tapi mereka tidak pergi ke Monas. Ketiganya memilih berjalan sampai di Bundaran HI saja.
"Dari tadi di sini?" tanyaku.
"Iya, Cesta jajan terus, tapi enggak dihabisin," ujar Manuel sebal. Cowok bertubuh jangkung itu berdiri untuk memberiku tempat duduk.
Aku duduk di samping Cesta yang asyik menikmati es podeng. "Mau, Mbak?" Adikku menyodorkan gelas plastik padaku.
Aku menggeleng. "Minjem duit dong buat beli es degan."
Cesta menarik kembali gelas yang dia pegang.
"Aku beliin," sahut Kai sebelum Cesta merogoh saku celana.
"Makasih," ujarku.
Kai menyerahkan tali kekang Oliver padaku. Kemudian, dia pergi bersama Manuel. Oliver berdiri di antara Cesta dan Michelle sambil menanti bagian.
"Wof... wof...!" gonggong Oliver.
Cesta menunjuk ke depan dengan sendok plastik. "Venna kasihan banget, tuh."
Aku mengikuti arah yang dia tunjuk. Venna melintas di depan kami sambil berjalan cepat. Wajahnya merah. Peluh membasahi bajunya. Dia ngos-ngosan. Sementara pacarnya sudah lewat lebih dulu sambil berlari.
"Si Pangeran Nampan lagi suka lari. Venna disuruh ikutan. Seminggu sekali mereka lari bareng," ungkap Michelle yang duduk di sebelah kanan Cesta sambil menikmati es krim.
"Tahu dari mana?" tanya Cesta.
"Kemarin dia bilang gitu," kata Michelle.
Untung Kai tidak pernah memaksaku untuk mengikuti apa yang dia sukai.
"Itu Mahessa bukan?" kata Cesta antusias.
Aku menoleh ke kiri. Kulihat Mahessa sedang membidik objek foto dari balik lensa. "Iya."
"Siapa, sih?" tanya Michelle.
"Senior kita. Angkatannya Mbak La yang mirip Nicholas Saputra. Sekarang enggak mirip," kata Cesta.
"Enggak ingat. By the way, Painem akhirnya dapat rumah," kata Michelle.
"Siapa yang adopsi?" tanya Cesta.
"Oppa. Minggu depan dia pindah ke kost Mas Kai."
"Boleh piara kucing di kost?" tanya Cesta.
"Sudah dikasih izin sama Mas Kai."
"Pasti itu modusnya Oppa buat ngambil hati Michelle," tebakku.
"Michelle dimodusin Oppa. Gantian modusin Oppa dong, Chelle," timpal Cesta.
Michelle berdiri. "Modusin apa, Ces?"
"Mau ke mana?" tanya Cesta.
"Cari tempat sampah," balas Michelle.
Cesta berdiri. "Ikut."
Mereka meninggalkan aku seorang diri. Kutebarkan pandanganku ke kolam Bundaran HI untuk mencari sasaran Mahessa. Di antara kerumunan orang yang memadati pinggir kolam, ada seorang perempuan berambut panjang yang memakai yoga pants hitam dan tank top berwarna sama sedang merentangkan kedua tangan. Ternyata objek foto Mahessa adalah Larissa.
"Nih." Kai memberiku segelas plastik air kelapa.
"Makasih." Kuterima gelas itu dan langsung kuminum. Tenggorokanku yang kering langsung basah. "Sekarang Mahessa kerja buat Larissa?"
Dia mengangguk. "Aku yang rekomendasiin dia."
"Kamu enggak harus kehilangan seorang klien karena aku. Aku enggak keberatan kalian kerja bareng asal tahu batas."
"Lebih baik aku kehilangan satu klien daripada kehilangan kamu."
Aku tersenyum.
"Kai...."
Aku melihat Larissa berjalan ke arah kami. Mahessa mengekor Larissa.
"Jadi nitip mobil di rumah?" tanya Kai.
Larissa mengangguk.
"Balik yuk, Mbak," ajak Cesta yang tiba-tiba muncul.
"Yuk."
"Mau balik?" tanya Kai ke Larissa dan Mahessa.
"Kita masih mau cari spot buat foto," ujar Mahessa.
Larissa melambaikan tangan. "Dadah."
"Oke." Kai melangkahkan kaki diikuti oleh Oliver.
Kubalas lambaian tangan Larissa, lalu menyusul Kai. Cesta, Manuel dan Michelle sudah berjalan di depan kami.
Aku menoleh ke Kai. "Kata Michelle kamu ngijinin Oppa, eh Michael piara kucing di kost. Kenapa?"
"Dia butuh rumah."
Kutepuk lengan kanannya. "Atas nama Painem aku mengucapkan terima kasih karena kamu mau memberi rumah buat dia meskipun kamu bukan penggemar kucing. You can be so annoying sometimes, but you have a good heart."
Lengan kanannya bergerak hingga mencapai bahu kananku. Dia menarikku agar lebih dekat dan merangkulku.
Betisku mulai terasa sakit akibat kebanyakan jalan. Aku berhenti dan memijit betis kiriku. Kai berhenti melangkah. Cesta dan yang lain masih berjalan di depan.
"Mau digendong?" tanya Kai.
"Mending kamu gendong karung besar di pasar biar dapat duit."
Tawanya meledak.
Aku menoleh ke seberang jalan. Venna duduk di trotoar sambil memegangi dadanya. Napasnya tersengal-sengal. Si Pangeran Nampan duduk di sebelahnya. Perhatiannya tertuju pada ponsel.
Kutarik tatapan mataku ke Kai. "Aku pernah bilang kalau enggak percaya cinta pandangan pertama."
"Menurutmu itu bullshit."
"Aku percaya pada cinta pada pandangan keseribu. The more I know you, the more I love you. You make me want to step out of my comfort zone. But, you never try to change me to be someone else. So, when I'm with you I can be myself. I know that I can be a pain in the ass."
Seulas senyum menghiasi wajahnya. "I know you can be as hard as stone and as cold as ice sometimes, but I love you because you are you."
"Thank you."
"You're welcome."
Dia mengulurkan tangan. Kusambut uluran tangannya dan kembali berjalan. Kami berhasil menyusul Cesta.
"Tuh, ada tahu bulet. Mau beli, enggak?" tanyanya.
"Aku pengin makan nasi. Mau makan apa, Ces?"
Cesta menengok ke belakang. "Sayur bening bayam"
"Di warteg yang di pertigaan?" balasku.
"Iya." Cesta kembali memusatkan perhatian ke depan.
"Mau ikut makan?" tanyaku ke Kai.
"Aku balikin Oliver dulu, ya?"
"Oke."
Kami menyusuri jalan Sudirman di bawah langit biru dan cahaya matahari. Semakin jauh kakiku melangkah, sinar matahari mulai meredup dan awan mendung muncul. Kurasakan tetesan air di kepalaku. Gerimis pun datang. Kami berlari untuk berteduh di bawah jembatan layang, sebelum memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Hidup ini mirip cuaca, tidak ada yang bisa memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi nanti. Kita hanya bisa terus melangkah dan bersiap-siap menghadapi apa yang menanti di depan. Apakah itu kejutan bagus atau hambatan. Begitu juga dengan hubunganku dan Kai. Aku sampai kapan kami akan bersama. Kuharap kami bisa melangkah di bawah terik matahari atau gerimis berdua.
________________
Author's Note:
Tadinya bab ini mau dijadikan bab terakhir. But, I changed my mind. One more chapter is fine. Makasih buat yang sabar menunggu update yang tidak menentu dan baca cerita ini dari awal. Juga untuk yang rajin komen dan vote. Aku kasih bonus ya, kalau ada yang penasaran foto yang ditempel di pintu kamar Lalitya.