My Cute Office Girl

By clarisayani2

4.5M 260K 12.1K

Menceritakan seorang Office Girl yang bekerja di salah satu perusahan properti terbesar di Indonesia, di bawa... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50 (End)
Extra Part 1
Extra Part II

Chapter 28

71K 4.2K 239
By clarisayani2

Alena menggeliatkan tubuhnya. Membuka mata perlahan dan betapa terkejutnya ia ketika lagi-lagi terbangun di tempat yang berbeda setiap paginya. Tempat ini bukanlah tempat tidur yang dirancangnya kemarin. Bukan pula sofa yang seingatnya ditiduri semalam.

Ia mengedarkan pandangan—linglung— masih belum sepenuhnya sadar. Kaca dinding dengan setengah tirai yang terbuka?

Kamar ... Kris?!

Bagaimana bisa aku tidur di sini!?!

Menengok ke bawah tubuhnya, ia langsung memeriksa pakaiannya hanya untuk memastikan saja meski ia sudah tahu pria itu bilang tubuhnya tidak menggairahkan.

"Jangan khawatir. Tubuh SD kamu masih belum bisa membangunkan adikku sedikit pun," ucap seseorang yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Siapa lagi kalau bukan si Kris...

Kris mengernyit geli melihat Alena masih menyibak-nyibakkan selimut putih tebal di atas tubuhnya seraya menggerak-gerakkan area bawah selangkangan.

Pemandangan pagi yang sungguh di luar norma kebiasaan. Menakjubkan.

"Nggak ada salahnya jika ingin memastikan. Dengan kadar kemesuman yang ada di otakmu itu, tidak menutup kemungkinan kamu melakukan hal yang iya-iya terhadapku!" kata Alena mengubah posisi— duduk dan menyandarkan kepalanya di atas kepala ranjang ketika sudah yakin tidak ada rasa sakit apapun di bawah sana.

Kris tersenyum miring menghampiri ranjang dimana Alena masih berusaha mengumpulkan kesadarannya secara utuh. Alena yang tadinya tidak begitu memerhatikan Kris, akhirnya mau tidak mau, matanya pun menatap lekat tubuh kekar khas pria dewasa itu.

Kulit Kris tidak terlalu putih cenderung agak kecoklatan dengan otot-otot keras di beberapa bagian perut ratanya menandakan ia sering melakukan olahraga khusus dan rutin untuk menjaga bisep kotak-kotak itu. Orang biasanya memanggilnya dengan sebutan roti sobek.

Belum lagi rambut basah dengan tetesan-tetesan yang menyempurnakan pandangan pagi ini. Tahi lalat yang terdapat di bagian dada kiri Kris pun tidak luput dari pandangannya. Alena menelan ludahnya sendiri dengan gugup. Hanya satu kata yang dapat menggambarkan tubuh itu, Sempurna...

"Aku tahu kamu menyukai apa yang kamu lihat sekarang," Kris menekan salah satu otot yang terbentuk pada perutnya dengan sempurna itu. "Bagus, kan? Mau coba raba nggak? Mumpung gratis nih. Besok-besok udah dipasang tag harga."

Alena dengan cepat mengalihkan matanya ke arah lain. "Sama sekali nggak tertarik!"

"Atau... mau lihat pemandangan lain? Keajaiban dunia yang mampu menghadirkan Dedek bayi. Mau nggak?" tambah Kris mengangkat alis dengan jahil.

"Nggak ada receh," Alena hendak turun dari ranjang, namun Kris langsung meraih pinggang Alena dan kembali mendaratkannya ke tempat semula.

"Aku belum selesai bicara, Alena Baby..." sambil menangkup dan menekan kedua sisi pipi Alena dengan kedua tangannya. Alena menepis, sesekali menoleh ke samping menghindar sebisa mungkin supaya matanya tidak ternodai. V-Line Kris terlalu nyata untuk dihiraukan.

Gilaa... terbentuk seperti model L-Men diiklan.

"Alena... lihat dong ke arahku. My baby, can you see me?" Alena merinding mendengar suaranya. Dadanya pasti akan segera meledak di detik selanjutnya.

"P-Pak, jangan kekanakan!"

Kris menatap Alena, tersenyum nakal penuh arti sembari memegang ujung handuk yang dilipatkan untuk mengeratkan lilitannya. Hanya dengan tarikan pelan, sudah pasti lilitan itu akan terlepas dan mengekspos sisi lain tubuhnya yang katanya ingin diperlihatkan Kris pada Alena.

Kris mendongakkan kepala Alena agar balas menatapnya.

Alena mulai panik. "K-kris, aku tidak mau melihat pemandangan Dede bayi." Alena menggeleng. "Maksudku... i mean, i don't want to see anything. Aku tidak mau pemandangan lain apapun! Hushh... Jangan mendekat." Usir Alena mengibaskan tangannya agar Kris menjauh.

Tapi, bukan Kris jika ia akan berhenti ketika orang lain menyuruhnya berhenti dan mengganggu kesenangannya. Lagipula untuknya, mengganggu Alena adalah salah satu kesenangan Kris akhir-akhir ini.

Kris meraih tangan kanan Alena dan menuntun tangan itu pada lilitan handuk. Alena menutup matanya menggunakan tangan kiri. Ia berusaha meronta dan menarik tangannya kembali menjauhkan. Dan hasilnya, nihil.

"Kris, lepaskan!"

Ini pelecehan! Astaga...

"Jika kamu mencoba menarik tanganmu seperti itu, handuknya bisa terlepas langsung, Al." Ucap Kris masih tidak berhenti tersenyum mesum.

"Apa yang ingin kamu lakukan?! Aku-aku bisa melaporkanmu dengan perbuatan tidak menyenangkan dan perlakuan tidak senonoh!" sentak Alena, namun tangannya tidak bergerak ataupun mencoba menariknya dari genggaman tangan Kris di handuknya. Ia takut akan perkataan Kris yang mengatakan handuknya bisa langsung terlepas jika ia melakukannya.

"Oh... benarkah? Kamu bahkan terlihat menyenangi apa yang kamu lihat beberapa detik yang lalu. Lalu, kenapa sekarang jadi perbuatan tidak menyenangkan? Lagipula, apa kamu pernah mendengar orang yang dimasukkan ke penjara hanya karena mereka menempelkan tangan seseorang ke handuk yang dikenakannya?"

"Tidak! Tapi kamu ingin menunjukkan sesuatu yang akan menjurus ke arah sana. Jika kamu melakukannya, itu akan menjadi perbuatan yang melanggar hukum, kamu tahu, kan? Nggak usah pura-pura bodoh!" geram Alena.

"Oh, begitu ya. Karena sekarang aku belum melakukan apapun, itu artinya kamu bisa membatalkan pelaporan itu, bukan?" suara Kris terdengar lebih serius.

"Ya, ya! Tentu! Jika kamu menghentikan niatanmu untuk mempertunjukkan apapun di dalam sana, aku pasti tidak akan mungkin melaporkanmu." Sahut Alena antusias masih menutup matanya menggunakan satu tangan. Dadanya berdebar keras. Kris gila. Dia tidak waras!

"Kalau begitu ... sampai ketemu di pengadilan!" Tidak menunggu lama setelah ucapan terlontar, lilitan sialan handuknya pun ditariknya menggunakan tangan Alena dan tangannya sendiri.

Alena langsung memekik dan menempatkan satu tangannya lagi menutupi wajahnya.

"Akh... Sial! KAMU GILA, KRIS! KAMU GILAAA!!" Ia histeris sambil mengentak-entakkan kakinya pada kasur.

Kris semakin tergelak puas melihat pemandangan pagi saat ini. Hiburan kekanakan yang teramat menyenangkan. Gadis itu menutup kedua matanya, menempatkan kedua tangan itu begitu rapat di wajah mungilnya.

"Kamu serius akan melewatkan pemandangan ini, Al? Kamu nggak penasaran dengan bentuknya?" goda Kris lagi seraya mengusap-usap rambut Alena.

Alena menepis tangan Kris dari rambutnya kasar. "Tidak mau! Kamu jangan merenggut kesucian mataku seperti ini, Kris!" Selamat tinggal panggilan, 'Bapak'

Tanpa henti, Kris masih tertawa geli. Ia meraih kedua tangan Alena dan menjauhkannya dari wajah Alena. Alena menggeleng-gelengkan kepalanya kuat dengan mata yang masih tertutup menolak perlakuan tidak senonoh yang coba Kris tunjukkan. Matanya sudah berair, dan setetes air mata meluncur jatuh yang langsung diseka Kris. Ia merasa kasihan, tapi ini juga menyenangkan. Gimana dong?

"Lihat sedikit saja. Setelah itu aku akan berhenti. Ayolah, Al. Sebagai partner satu rumah, bukankah kita harus saling mengetahui dalaman masing-masing?"

Alena menggelengkan kepalanya lagi tidak menyetujui ide gila Kris.

"Aku tidak akan berhenti jika kamu tidak ingin melihatnya. Sedikit saja. Imut lho ini bentuknya. Kita harus segera berangkat ke kantor juga, kan?" kata Kris seraya merentangkan kedua tangan Alena.

"Jangan konyol, Kris. Aku nggak mau!" Alena masih meronta meminta dilepaskan dari cengkeraman tangan Kris yang sebenarnya tidak erat namun Alena tak mampu untuk melepaskan diri.

"Ya sudah. Kalau gitu biar aku telepon Rusni, hari ini kamu nggak bisa masuk. Sepertinya kan kamu bakal kesiangan dan kita akan terlambat. Oh... aku benci orang yang malas dan sering terlambat," ucapnya santai.

Alena langsung membuka matanya pasrah. "Bagaimana kamu bisa sekejam itu?!" Jeritnya nyaring. Dan betapa kagetnya ia ketika melihat tubuh Kris.

Sial!

Tubuh yang tadinya Alena pikir polos tidak memakai satu helai benang pun ternyata mengenakan celana kolor abu-abu pendek.

Selamat, Alena... Kamu memulai pagimu dengan penuh pikiran yang terpuji!

"Kamu... kamu tidak telanjang bulat? Aku pikir... kamu tidak memakai apa-apa di dalam sana!" pipinya serasa terbakar karena malu sekarang.

"Kenapa? Kamu sekarang berubah pikiran jadi ingin melihatnya?"

Alena menggeleng kuat. "Bukan begitu! Perkataanmu benar-benar membuatku memikirkan hal yang tidak-tidak!"

"Tidak-tidak seperti apa? Memangnya aku mengatakan apa? Aku hanya ingin memperlihatkan dalamanku saja. Iya, kan?" jawab Kris melepaskan tangan Alena dan mengecup sekilas bekas cengkeramannya di pergelangan Alena yang sedikit memerah. Kemudian Kris berbalik ke lemarinya.

Alena terkesiap namun tak ingin terlalu memikirkan hal gila yang baru saja dia lakukan. "Tapi, tidak seharusnya kamu membuat pikiranku membenarkan apa yang ingin kamu tunjukkan. Kamu bilang Dede bayi tadi!" teriaknya kesal. Pita suaranya rasanya akan putus berlama-lama berargumentasi dengan pria mengesalkan itu.

"Pikiranmu saja yang memang perlu dilaundry." Timpal Kris lagi seraya mengambil kemeja hitam dan celana bahan berwarna senada di dalam lemari pakaiannya dan mengenakannya satu per satu tanpa rasa canggung di hadapan Alena.

Alena memutar bola matanya malas. Apa hanya dia yang berpikir ke arah sana? Ucapannya jelas mengarah ke sana. Memang sulit berdebat dengan Kris. Lelaki itu selalu saja memiliki jawaban untuk setiap perkataan yang dilontarkannya. Tidak pernah sekali pun ia jadi pemenang dalam semua perdebatan tidak penting dengan Kris. Ia akan menjadi si bodoh yang kehabisan kata pada akhirnya.

"Masa bodo!" Alena melemparkan bantal ke arah Kris.

"Ih... selingkuhan jangan marah gitu dong." Satu bantal kembali terpelanting ke arah Kris membuat lelaki itu tergelak kencang. Ia memunguti bantal itu, dan meletakkan ke atas kepala Alena. "Biar adem kepalanya."

"Haihh..." Alena memukul lengan Kris. "Lagian, kenapa aku bisa tidur di kamar sini sih. Seharusnya kalau mau niat baik, jangan setengah-setengah. Aku kan ada kamar sendiri."

"Maksudmu ke kamar atas balkon?! Beuh, enak sekali Anda kalau ngomong. Mindahin kamu ke sini aja rasanya aku udah mau pingsan. Tulang aku hampir rontok semua." Keluh Kris. Tidak ada lagi keformalan di antara mereka, terkikis habis oleh kebersamaan yang nyaris setiap hari dihabiskan keduanya.

Alena lagi-lagi memutar bola matanya. Tidak menimpali.

Ia menoleh ke sisi ranjang di sebelahnya. "Artinya, kita tidur satu ranjang memakai selimut yang sama?" tanya Alena tidak ada habisnya ketika melihat sisi sebelah kanannya yang terlihat berantakan tanda tempat itu memang ditempati semalam. Alena tahu, ia tidur seperti orang mati dan tidak berpindah-pindah tempat ketika sudah berbaring di satu tempat sehingga sudah pasti sisi berantakan di sebelahnya bukan ia yang buat.

"Begitulah..." Jawab Kris singkat sambil mengancingkan kemejanya.

Ada rasa senang dan sedih berkecamuk dalam hati Alena sekarang. Entahlah. Ia merasa senang karena Kris tidak melakukan apapun atau menyentuhnya saat dia tidur. Tapi ia juga merasa getir mengetahui tidur di satu ranjang yang sama dan berbagi selimut berdua bersama, namun itu tak mempengaruhi sisi lelakinya. Bagaimanapun juga ia adalah seorang wanita. Dan sebagai wanita, tentu ia merasa agak tersakiti mengetahui orang yang sangat disukainya tak memiliki sedikitpun nafsu terhadapnya.

Alena melihat ke bawah tubuhnya sendiri.

Cukup masuk akal memang. Tidak ada yang benar-benar menarik dalam tubuhku. Bahkan buah dadaku saja tidak lebih besar dari jeruk mandarin.

Alena mendesah. "Baiklah..." desahnya lesu, lalu beranjak dari tempat tidur Kris dan langsung keluar tanpa menoleh—meninggalkan Kris yang sudah bersiap-siap untuk bekerja.

"Ada apa dengannya? Apa dia marah karena aku tidur satu ranjang di sebelahnya?" gumam Kris kepada dirinya sendiri melihat gelagat jengkel Alena.

***
Setelah 20 menit, Alena sudah menyelesaikan semua ritual mandi dan tetek bengeknya. Kaus berkerah berwarna merah dan celana jeans telah selesai ia kenakan. Menyisir rambutnya dan membiarkan rambut hitam legam panjang itu tergerai. Mengambil tas selempang kemudian meraih sepatu converse usangnya— dikenakannya dengan gesit.

Alena membuka kenop pintu, keluar dari kamar balkonnya dan masuk ke dalam apartemen Kris.

"Alena," panggil Kris membawa sebuah kotak di tangannya saat ia telah sampai di dalam.

Alena menoleh ke si empunya suara. "Ada apa?"

"Ini untukmu," ucap Kris seraya menyodorkan kotak tersebut.

"Sepatu?" tanya Alena menatap Kris.

"Hum,"

"Untuk apa?"

Kris menggaruk tulang di pangkal hidungnya sebal. "Memang biasanya sepatu itu gunanya untuk apa, Al?" tanya Kris jengah.

"Ya, tergantung. Saat kamu ingin keluar, kamu bisa mengenakannya. Saat kamu kesal, kamu bisa melemparkannya kepada orang yang membuatmu kesal. Fungsinya cukup banyak. Tergantung situasinya."

"Saat kamu lapar, kamu bisa memakannya, begitu?" timpal Kris sebal. Ia mengangkat satu tangan menyerah. "Terserah apa katamu saja. Tapi sekarang, aku ingin kamu mengenakannya. Bisa?"  Kris mengeluarkan sepatu itu dari kardusnya. Ia membuang kardus sepatunya sembarang.

Sepatu sneakers wanita merk Adidas berwarna putih dengan corak hitam.

"Gantilah dengan sepatu ini," pinta Kris sambil menyodorkan sepatunya pada Alena.

"Maksudmu, kamu memberikannya untukku? Aku tidak bermaksud menolak, tapi itu terlihat mahal. Jadi, aku tidak bisa menerimanya. Lagipula sepatu converseku masih bisa aku kenakan," tolak Alena sambil memperlihatkan sepatunya yang sebenarnya terdapat bolong kecil di bagian sampingnya.

"Ini murah. Aku mendapatkan diskon hingga 80% karena sekalian membeli sepatu untukku juga."

Ya... hanya 2,5 juta. Kata Kris dalam hati.

"Gitu ya? Tapi itu kelihatan kayak mahal," ucap Alena belum mengambil sepatu itu di tangan Kris.

"Mahal apanya? Hanya kelihatannya saja mahal. Ini bahan KW. Kalau kamu tidak ingin memakainya, aku bisa langsung membuangnya ke tempat sampah." Ucap Kris agak kesal.

Alena mendelik dan langsung mengambil sepatu tersebut di tangan Kris.

"Bagaimana mungkin kamu ingin membuangnya?! Dasar sombong. Banyak sekali orang yang membutuhkan alas kaki, tapi kamu malah ingin membuangnya!"

"Makanya kamu pakai saja tanpa perlu banyak bertanya."

Alena berjalan ke sofa untuk mengenakan tanpa banyak bicara lagi sesuai titah.

Kemarin memang Kris pergi ke mall hanya untuk membelikan sepatu baru untuk Alena. Ia melihat sepatu Alena yang sudah worn out dan ada bolong kecil terdapat di bagian pinggir sepatunya. Ia memilihkan sepatunya hampir satu setengah jam lamanya di sela-sela jadwal padat di kantor. Dan ia membelikan tiga pasang sepatu karena tidak tahu ukuran kaki Alena. Setelah mengukurnya semalam saat gadis itu terlelap di sampingnya, ia jadi tahu yang mana ukuran sepatu yang harus diberikannya kepada Alena.

Kris bersimpuh di kaki Alena dan membantu memakaikan sepatu Alena di bagian kiri. Sementara Alena di bagian kanannya. Alena menatap wajah Kris tersipu. Ia yakin wajahnya sekarang sudah memerah.

"Jangan menatapku lapar seperti itu. Aku takut," ucap Kris seraya menalikan tali sepatunya.

Alena mendengkus dan langsung mengalihkan pandangannya.

"Bagaimana ini bisa sangat pas ukurannya? Kamu benar-benar hebat," ucap Alena menatap takjub sepatu itu yang membalut kakinya begitu pas.

Kris tersenyum puas mendapatkan respon antusias Alena. "Well, aku tahu semuanya tentangmu." Kata Kris sembari berbalik mengambil kunci mobil sportnya.

Alena beranjak dari sofa dan mengikuti Kris keluar untuk berangkat bekerja.
Kris memutar tubuhnya lagi menghadap Alena dan hampir saja mereka bertabrakan.

"Ikat rambutmu. Aku tidak suka kamu menggeraikannya seperti itu. Kamu boleh menggerainya ketika kamu sedang berada di apartemen saja," titah Kris tidak ingin dibantah.

Alena cengok. Maksudnya apa merintah dia seenaknya seperti itu?! "Tapi...,"

"Tidak ada bantahan!" suara Kris tegas, meraih lengan Alena dan mengeluarkan tali rambutnya. "Mau aku ikatkan, atau kamu ikat sendiri?"

"Aku aja!" Alena segera merebut ikatannya di tangan Kris. Pagi yang rusuh terlewatkan.

***
Tok..Tok..

"Masuk," sahut Kris di sofa. Ia tersenyum ketika melihat siapa yang ada di sana. Bibirnya terbuka mengucapkan hai tanpa suara.

Alena masuk ke ruangan Kris membawakan nampan berisi dua teh dan satu kopi untuk tamu yang duduk bersama dengan Kris di dalam ruangan. Satu orang lelaki dan seorang wanita di sebelahnya. Lalu ada Kris, dan juga Viona sedang mendiskusikan sesuatu.

Alena menaruh satu per satu kopi dan tehnya di meja—di hadapan mereka. Kris membantu meletakkan cangkir ke hadapan tamunya, sambil dengan sengaja menyentuh punggung tangan Alena secara diam-diam. Membuat kening Alena mengkerut jengah.

"Jadi, Pak Kris. Menurut Anda bagaimana? Apa Anda cocok dengan penataan ruangannya?" tanya lelaki itu.

"Wait, i can't focus." Sahut Kris jujur. Melihat Alena membuatnya jadi sulit berkonsentrasi pada pembicaraan.

Alena membungkuk sedikit kemudian keluar dari ruangan selesainya meletakkan minuman. Ia juga agak risi melihat tatapan terang-terangan Kris.

Kris pun kembali fokus pada pembicaraan yang sempat terhenti.

"Acaranya sabtu depan. Dan menurut saya sejauh ini terlihat cukup baik. Akan banyak sekali klien saya yang datang ke acara ulang tahun perusahaan. Jadi, tolong semuanya disiapkan secara matang. Saya juga ingin kolam renangnya dibersihkan secara merata tanpa ada dedaunan satu pun di sana." Kris menginstruksikan.

"Tentu, Pak Kris. Kami akan pastikan pesta ulang tahun perusahaan Anda akan berjalan dengan baik tanpa hambatan." Jawab pria itu lagi meyakinkan bossnya.

Kris mengangguk, mempercayakan semuanya pada bawahannya mengenai pestanya yang akan dihela nanti.

Kris sedang berbicara dengan salah satu penata ruangan dan pengurus untuk ulang tahun Global Corp Group minggu depan. Ia tampak tidak ingin apapun merusak kemegahan pesta itu. Ulang tahun perusahaan yang sudah berdiri hampir seumur hidupnya adalah sesuatu yang sangat penting untuknya. Akan banyak sekali undangan yang hadir di sana. Mulai dari pegawai yang bekerja dengan sangat baik di perusahaan, hingga kolega-kolega penting di dalam maupun luar negeri. Belum lagi kehadiran para keluarganya dan teman-temannya yang sudah pasti akan menghadiri acara penting itu.

***
Alena baru saja mendudukkan tubuhnya di atas kursi pantry, sebelum terdengar Rusni memasuki ruangan pantry dan menyuruh semua staff OG dan OB berkumpul untuk mengumumkan sesuatu.

"Begini, semuanya... Sabtu depan akan ada pesta ulang tahun perusahaan yang akan diadakan di gedung hotel bintang lima. Acaranya outdoor dan indoor. Karena tamunya katanya cukup banyak, sehingga kami membutuhkan beberapa staff di sini untuk membantu jadi pelayan selama acara berlangsung yang akan ditempatkan di dalam dan luar ruangan. Bayarannya pun lumayan besar. Jika ada yang minat, kalian bisa mengatakannya sekarang. Saya akan mendatanya satu per satu." Ujar Rusni kepala kebersihan perusahaan.

Beberapa OG dan OB terlihat berpikir dan menimang-nimang tawaran dari Rusni. Apalagi mengetahui bayaran yang cukup besar katanya. Tak butuh lama. Alena mengacungkan tangannya setelah berpikir beberapa detik. Diikuti Vika dan beberapa karyawan lain. Orang-orang yang tidak ikut bergabung mengangkat tangan ke udara so pasti adalah orang-orang yang sudah memiliki kekasih ataupun keluarga, dan lebih memilih menghabiskan waktunya bersama yang terkasih. Kecuali Vika tentunya. Gadis itu memiliki kekasih, namun karena Alena ikut, dia pun jadi tidak tega membiarkan Alena bekerja sendiri di sana.

Kata-kata bayaran cukup besar itu begitu menggiurkan. Untuk apa ia melewatkan pekerjaan seperti ini sementara ia tidak memiliki aktivitas lain di rumah. Ia seorang jomblo sejati. Malam minggu bukanlah malamnya menghabiskan waktu bersama orang tercinta. Tinggal bersama satu atap dengan Kris, tidak membuatnya lupa lelaki itu memiliki seorang kekasih. Lelaki itu mungkin tak akan melewatkannya begitu saja di rumah bersama dengan Alena. Dia pasti akan keluar untuk berkencan bersama kekasihnya. Dan minggu ini sudah pasti dia tidak akan berada di rumah karena pesta ulang tahun perusahaan yang tengah dipersiapkan saat ini.

"Baiklah. Semua nama yang ikut sudah saya catat. Jika diantara kalian ingin membatalkannya, paling lambat hari kamis." Kata Rusni.

"Oke..." Jawab para karyawan kebersihan secara bersamaan.

"Lanjutkan pekerjaan kalian," ucap Rusni dan berlalu keluar dari pantry.

Setelah kepala kebersihan berlalu, Vika mendekati Alena.

"Alena, gimana kost-an barumu? Nyaman nggak?" tanya Vika ketika kerumunan sudah mulai bubar.

"Iya... Nyaman banget. Tempat tinggal gratis, makan gratis, kebutuhan juga semuanya sudah ditanggung sama yang punya tempat tinggal," ucap Alena tidak berbohong.

"Huh?! Kost-an macam apa itu? Jangan bilang kamu...," Kata Vika memicingkan mata curiga.

"Nggak usah mikir yang aneh-aneh dulu. Aku di sana juga kayak semacam jadi pembantu, gitu. Saling menolong dan menguntungkan atas dasar rasa kemanusiaan sesama makhluk sosial," cerocos Alena menjelaskan.

Vika mengernyit. Kemudin terkekeh geli.

"Aku mampir dong nanti..." Rengek Vika manja seperti biasa di bahu Alena.

"Aduh, gimana ya. Rumit kalau untuk sekarang. Nanti deh, ya?" Jawab Alena bingung harus menjawab apa.

Dia tahu Kris tidak akan senang jika ia membawa orang luar ke apartemennya. Tapi mungkin nanti, semoga saja.

Drett...Drett...

Ponsel di saku Alena berbunyi menandakan panggilan masuk. Tertera nama Kris di layar. Tadi malam Alena sudah menambahkan kontak Kris ke ponselnya—akhirnya. Vika pun menghentikan permintaannya kepada Alena untuk mampir.

"Len, aku duluan ya, mau ke kantin. Nanti nyusul saja," ucap Vika meninggalkan Alena sendiri di pantry.

Alena membalas Vika dengan anggukan. Kemudian ia mengangkat panggilan dari Kris mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Halo?" Jawab Alena.

"Ke ruanganku sekarang."

**
Alena membuka pintu ruangan Kris agak kesal karena kebiasaan buruk bosnya itu. Kris akan langsung mematikan panggilan setelah mengatakan apa yang ingin dikatakan tanpa menjelaskan sama sekali maksudnya.

Dasar Menyebalkan!

"Pak Kris, bisakah Anda mengatakan 'helo' terlebih dahulu saat detik pertama telepon tersambung? Anda tidak diajarkan caranya bertatakrama, ya?" sungut Alena sembari menutup pintu ruangan Kris dari dalam.

"Alena, ayo makan siang bersama. Aku sudah memesan banyak sekali makanan," ucap Kris. Perkataan Alena tidak dihiraukannya bagaikan angin lalu. Dan ternyata ajakan Kris langsung dibalas anggukan senang. Alena melupakan kekesalannya yang baru saja ia tumpahkan. Ia bahkan lupa akan pertanyaan yang ia ucapkan beberapa detik lalu pada Kris.

Beberapa bungkus McDonald's yang berisi burger dan dada ayam goreng sudah memenuhi meja di ruangan Kris. Ada juga french fries lengkap dengan satu minuman soda dan milo. Di samping itu juga ada Sushi yang ditempatkan di box lain. Ruangan Kris saat ini memiliki aroma makanan yang saling beradu memasuki indra penciuman Alena.

"Kamu suka Sushi, Al?" tanya Kris pada Alena yang sudah mendaratkan bokongnya di sofa dengan mata berbinar.

"Aku tidak pernah mencobanya. Tapi aku suka semua makanan," ucap Alena mengambil satu cheese burger dan melahapnya dalam beberapa gigitan langsung lenyap memasuki kerongkongan.

Kris mengambil shusi dan menyodorkannya ke depan mulut Alena memakai sumpitnya. "Aa—Cobalah," Alena yang masih mengunyah menatap Kris tersipu. Momen ini semakin menyenangkan saja untuknya. Ia membuka mulut dan Kris menarik pipi Alena tersenyum melihat bibir tipisnya saling merenggang. Gadis ini terlalu menggemaskan.

"Bagaimana? Enak nggak?" saat sushi-nya sudah dikunyah Alena.

"Rasanya sedikit aneh. Tapi tidak buruk. Makanan luar negeri yang sering aku makan, cuma pizza. Saat aku masih di desa, ayahku akan membelikannya kalau abis pulang dari kota. Selain pizza, lidahku lebih cocok dengan makanan khas pribumi. Seperti nasi timbel ditambah ayam goreng dengan taburan sambal pedas khas Bandung. Ahh... membayangkannya aja seperti masuk ke surga,"

"Sore ini kita makan pizza, kalau begitu. Nasi timbel, aku nggak pernah makan." Kata Kris seraya memasukkan potongan sushi ke dalam mulutnya.

"Okee!!" Pekik Alena girang. Kris kembali menyuapkan potongan shusinya lagi ke dalam mulut Alena. Lagi dan lagi memasukan shusi itu hingga mulutnya benar-benar penuh. Santap siang mereka dihabiskan dengan gelak tawa geli dari sepasang bibir tanda buncahan bahagia mendominasi percakapan.

***
Jam delapan malam...

Bunyi bel apartemen membuat Kris dan Alena langsung melompat bersemangat dari sofa ke depan pintu untuk membukanya. Pesanan pizza yang ditunggu mereka telah sampai.

Dua box pizza jumbo diletakannya di atas meja. Alena mengambil dua gelas dan botol orange juice. Ia taruh di meja supaya tidak mondar-mandir ke kulkas saat memulai santapannya. Setelah semuanya tersedia, Alena langsung mendudukkan tubuhnya di atas kursi.

Kris dengan gemas mengacak rambut Alena yang digelung ke atas. "Sebegitu senangnya, ya?"

"Gitu deh!" Sahutnya riang sambil menatap penuh damba pizzanya.

Kris menatap Alena dalam diam. Ternyata bahagia sesimpel ini. Melihat senyuman hangat yang terurai dari bibirnya tanpa beban. Membuat bibir mungilnya mengembangkan tawa bahagia, dan alasannya karena perlakuannya adalah sesuatu yang begitu tak terjelaskan. Mengapa ini terasa begitu membahagiakan? Semua rasa lelah dan stresnya terkikis perlahan hanya dengan pancaran senang dari Alena.

Apa ia pantas mendapatkan kebahagiaan ini bersama dengan gadis lain dan melupakan cinta lainnya yang selalu berada di sampingnya selama bertahun-tahun? Kenapa Alena harus datang ketika semuanya berada di alur yang seharusnya sudah benar untuk hidupnya? Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan pada titik ini.

"Kris..."

Alena dan Kris langsung membeku di kursinya ketika mendengar suara seseorang yang sudah begitu dihapal. Senyum yang sedari tadi terpatri di bibir Alena tersikat habis tak bersisa. Menyisakan wajah panik dari keduanya.

"Kris, i'm coming baby..." Suara itu semakin mendekati ke arah dapur memanggil berulang kali.

Seketika Kris langsung melesat dari kursinya menghampiri suara wanita yang tengah memanggilnya. Dadanya berdegub kencang. Raut paniknya menyeruak ke setiap inci wajahnya.

"Cel, kamu... kamu datang? Kenapa tidak menghubungi dulu sebelum ke sini?" tanya Kris agak terbata. Mengapa hal ini terulang kembali. Damn it!

"It's surprise, beb." Michel semakin memasuki apartemen Kris sambil bergelayut manja di lengan kekasihnya. Sementara Kris agak panik karena Alena sedang berada di dapur saat ini.

Kemana dia akan berlari? Tidak ada jalan lain untuk keluar tanpa melewati dimana Michel berdiri saat ini. Kecuali jika Alena bisa menghilang.

Michel dan Kris berada di ruang tamu tidak jauh dari dapur. Bahkan dapur dan ruang tamu tak ada penyekat pemisah sama sekali.

Ia meneguk saliva pasrah. Memposisikan dirinya memunggungi ruangan dapur. Tidak sanggup melihat ke arah sana langsung. Dia dan Alena pasti akan tertangkap basah sekarang. Semuanya sudah pasti akan terbongkar. Kris sudah bersiap-siap untuk yang terburuk. Ia hanya perlu menghitung menit sebelum keberadaan Alena terbongkar sedang duduk di sana dengan dua box pizzanya.

Hanya dengan tatapan lurus mengarah ke dapur, mata Michel sudah pasti akan langsung melihat Alena.

Dan benar saja.... Mata kekasihnya saat ini tertuju ke dapur tepat di mana Kris dan Alena tadi berniat menyantap pizza bersama.

Netranya membulat penuh mengarah langsung ke dapur. Mampus...

Game over...

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 177K 33
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
1M 18.2K 16
"Sorry, saya nggak level sama berondong," -Mitha Tri Wahyuni- "Saya bisa bikin kamu menarik kata-katamu barusan," -Revan Widyatama- *** Mitha mengi...
3M 208K 38
"Gue sumpahin tuh dosen dapet istri kayak setan! Biar tahu rasa!" Percayalah, Flora sama sekali tidak bermaksud mengutuk Madhava, dosen galak yang sa...
2.9M 260K 67
"Kalau umur gue udah 25 tahun dan gue belum menikah, lo nikahin gue ya?" "Enggak mau ah, lo tepos!" Cerita ini tentang Mayluna dan Mahesa yang sudah...