My Cute Office Girl

Por clarisayani2

4.5M 260K 12.1K

Menceritakan seorang Office Girl yang bekerja di salah satu perusahan properti terbesar di Indonesia, di bawa... Más

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50 (End)
Extra Part 1
Extra Part II

Chapter 24

74K 4.8K 221
Por clarisayani2

Ketukan terdengar.

"Masuk," sahut Kris di dalam ruangan. Matanya masih tertuju ke laptop di depannya, mengecek satu per satu E-mail yang masuk.

"Selamat pagi, Pak Kris." Sapa seorang pria dengan map coklat di tangan.

Kris mendongak ke arah sumber suara seraya tersenyum dan menyapanya balik.

"Bagaimana? Apa Anda sudah menemukan data lengkapnya?" tanya Kris to the point pada laki-laki yang bernama Erwin itu.

"Sudah, Pak." Kris menunggu dengan semangat sembari menegakkan duduknya. Erwin mengeluarkan sebuah kertas di map tersebut.

"Nama lengkapnya, Alena Diandra Baby...," suara pria itu mulai membacakan informasi yang didapatnya.

"Baby?" potong Kris mengerjap geli. Ia tersenyum samar sambil mengusap-usap bibir bawahnya. Baby...

Erwin menghentikan infonya menatap Kris dan merespon dengan anggukkan kecil.

"Lanjutkan,"

"Usianya 20 tahun. Tingginya 165, berat 47 kilogram,"

"Wooaa..." potong Kris lagi sedikit excited.

Erwin menatap Kris jengah. Sedari tadi bosnya terus-menerus menginterupsi. Lelaki itu menggerutu dalam hati. Kris menatap Erwin sambil tersenyum tanpa beban. Ia menjentikan jarinya menyuruhnya agar kembali melanjutkan.

"Dia dibesarkan di desa kecil, di Bandung. Jaraknya dapat ditempuh sekitar 3 jam-an dari kotanya. Orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan enam tahun lalu. Dia hanya tinggal berdua dengan Neneknya sepeninggalan mereka. Nona Alena lulus SMA dua tahun lalu, namun karena ekonomi keluarganya yang merosot setelah kepergian Neneknya, dia tidak melanjutkan studinya."

Kris mendengarkan dengan seksama dan tenang tanpa berniat memotong informasi yang dikatakan oleh informannya. Erwin adalah kepercayaannya untuk mencari seluruh informasi yang dia butuhkan. Tiga hari yang lalu ia menyuruhnya untuk mencari informasi mengenai Alena dan seluruh latar belakang gadis itu yang perlu diketahuinya.

"Dua tahun yang lalu, dia pindah ke Jakarta dan menetap bersama keluarga tantenya yang bernama Megie dan Dinara Evangeline, anaknya."

"Dinara?" gumam Kris. Ia merasa pernah mendengar nama itu.

Apa wanita itu yang mengusir Alena?

Dua puluh menit telah berlalu. Selesainya Erwin menginformasikan seluruh latar belakang Alena kepada Kris, ia pamit dan keluar dari ruangan CEO.

Kris meminta Erwin meninggalkan kertas dan mapnya untuk ia simpan sendiri. Ia mengamati beberapa foto Alena dengan seragam SMA. Di foto itu, senyum membingkai raut Alena, dan itu terlihat sangat menawan. Sial. Mengapa dia terlihat sangat manis?!

Cukup lama memerhatikan semua foto Alena, Kris merapikan datanya dan menempatkan semuanya di laci meja kerjanya.

***
"Alena, semalam hape kamu nggak aktif. Kamu ke mana?" tanya Vika yang melihat Alena duduk di kantin termenung sendirian. Alena hari ini terlihat lesu dan tak bersemangat.

Alena menoleh pada Vika sebentar. "Ponselku lowbatt semalem," kemudian matanya beralih lagi ke gelas di depannya.

"Lesu banget kayaknya. Kenapa? Urusan hati? Pak Kris lagi?" tanya Vika penasaran.

"Dia salah satunya, tapi sekarang aku lebih mengkhawatirkan diriku sendiri." Alena menatap Vika serius. "Kamu tahu Vik, semalam aku nginap di apartemennya."

Vika melotot. "Di apartemennya?! Apartemen siapa maksud kamu? Pak Kris? OMG!" Pekik Vika begitu nyaring. Alena langsung membekap mulut Vika agar tidak rusuh dan menjadi perhatian para karyawan yang mulai menoleh ke arah mereka.

"Itu mulut!" decak Alena. "Iya, kemaren aku nginep di tempatnya." Vika mendengarkan Alena dengan antusias. "Aku diusir Dina. Aku keluar dari rumah, terus pingsan di jalanan. Kebetulan Pak Kris lewat lihat aku kehilangan kesadaran. Menyedihkan banget kan, ya?" kata Alena perlahan menjelaskan.

Vika mangut-mangut. "Kadang aku itu aneh lho Len, ke Pak Kris. Dia kan bisa bawa kamu ke rumah sakit, kenapa harus ke apartemennya? Pak Kris itu kayak nggak bisa jauh dari kamu lama-lama. Dia akan ngomel-ngomel nggak jelas kalau yang beresin ruangannya bukan kamu, padahal kan, kesannya nggak penting banget. Mau siapa kek yang bersihin, yang penting kan rapi. Terus juga, dia selalu dateng pagi banget ke kantor. Padahal dulu-dulu, jarang banget. Dia baru sampe kantor, kalau Afifah udah selesai beresin ruangannya. Tapi sekarang, dia udah nangkring aja di kursinya pagi-pagi nyuruh inilah, itulah sama kamu. Merasa nggak sih?" tutur Vika. "Dia suka kamu deh kayaknya." Vika mencolek pipi Alena.

Alena terdiam sejenak sebelum membalas. "Aku juga berpikir kayak gitu tadinya, tapi sekarang sudah enggak. Aku nanyain dia mengenai itu. Dia malah bilang aku itu demam butuh obat, karena berhalusinasi dan mengatakan hal konyol. Itu artinya memang dia hobi aja nyiksa aku. Mungkin hiburan tersendiri kali buat dia," kata Alena menggedikkan bahu.

"Lagian, seaneh apapun perlakuan dia ke aku menurut orang, itu nggak merubah apapun. Kita nggak lebih hanya sebatas CEO dan office girl. Cuma kebetulan si office girl ini dengan nggak tahu dirinya malah memiliki rasa sama orang hebat kayak dia. Jika dia berbuat baik, itu karena faktor rasa kemanusiaan aja. Alias, dia cuma kasihan sama aku. Nggak lebih dari itu. Dia langsung kok yang bilang begitu. Baper dan ngayal ketinggian juga nggak boleh. Pas jatuh, nanti sakit."

"Nggak ada yang tahu hati terdalam manusia, Len. Kamu nggak bisa menyimpulkan hati seseorang hanya karena ucapan yang terlontar dari bibir. Kadang hati dan bibir suka nggak sinkron. Jangankan sama bibir, sama otak aja kadang nggak sejalur. Kita nggak bisa langsung berpikir perlakuannya hanya sebatas rasa kemanusiaan aja, hanya karena bibir dia mengatakan itu. Yang mengenalnya aja belum tentu tahu apa yang dirasakan hatinya," ucap Vika menimpali lagi memberikan pencerahaan seperti biasa pada Alena.

Alena mendengarkan Vika, lalu ia tersenyum tipis. "Aku menyukainya Vik, kamu tahu itu. Tapi, aku nggak ingin berharap perasaan aku bisa disambut olehnya. Kamu tahu ketika kita berharap banyak kepada seseorang, lalu tidak kesampaian? Rasa sakitlah yang akan kamu dapatkan. Just pain, nothing else. Hidupku sudah sangat sulit sekarang, apa aku juga harus merasakan sakit lagi karena cinta yang nggak kesampaian? Aku tidak ingin menyimpulkan atau mengharapkannya. Aku cukup mengikuti arus yang entah bagaimana akhirnya antara aku dan dia." Pandangan mata Alena menerawang kosong ke depan.

Vika mendengarkan setiap kata yang dikatakan gadis di sampingnya.

"Istilahnya, seperti ini. Kamu tahu semur jengkol?" tanya Alena menoleh pada Vika kembali. Vika mengerutkan keningnya bingung, tapi ia mengangguk.

"Kamu tahu Pizza?"

"Tentu! Siapa yang nggak tahu Pizza sih, Len."

"Nah... kalau misalkan Pizza sama Semur Jengkol dicampurkan, bisa tebak rasanya gimana?"

"Nggak kebayang deh. Ancur pasti. Lagian mana ada orang yang mau Semur Jengkol sama Pizza dikombinasikan gitu. Terlalu bertolakbelakanglah rasanya," jawab Vika bergidik membayangkan rasa Pizza dan Semur Jengkol.

"Itu yang aku maksud. Semur Jengkol dan Pizza nggak akan pernah bisa disatukan. Dan walaupun tetap dipaksakan, rasanya pasti aneh dan membuat orang bergidik ngeri hanya dengan membayangkannya saja."

Alena tersenyum miris. "Dan aku di sini seperti Semur jengkol, dan dia adalah Pizza-nya. Kita bukan berasal dari lingkungan atau dunia yang sama. Kita manusia, tapi dengan kehidupan yang berbeda. Dan kita akan selalu seperti itu. Semur jengkol dan Pizza nggak akan pernah bisa ditempatkan berdampingan di meja yang sama. Mereka memiliki tempatnya masing-masing. Pizza di restoran mewah dan mahal, sedangkan Semur jengkol akan selalu terpajang di Warteg yang tidak akan pernah luput dari hinaan orang-orang karena baunya. Semur jengkol adalah makanan yang dijadikan bahan olokan semua orang, sementara Pizza adalah makanan yang selalu di eluk-elukan banyak orang." Alena menjelaskan perbedaan antara dirinya dan Kris.

"Tapi, kamu bukan Semur jengkol. Dia pun bukan Pizza! Kamu adalah Alena, dan dia adalah Kris." Sahut Vika. "Kalian memiliki hati dan otak. Kalian bisa menentukan hidup kalian. Bukan seperti semur jengkol ataupun pizza yang harus dibawa si pemilik untuk berdampingan satu meja bersama. Kamu lebih dari itu, Alena. Just remember, nothing is impossible di dunia ini!" lanjutnya lagi.

Seperti biasa, Vika selalu berada di belakang untuk menopangnya ketika Alena sudah tidak percaya lagi dengan perasaan dan harapan semu yang dimiliki hatinya terhadap Kris. Alena bukan tidak mengharapkan cinta darinya, ia hanya mencoba membohongi dirinya sendiri dan Vika— jika dia tak pernah mengharapkan balasan untuk cintanya.

Alena menarik pipi Vika gemas. "Kamu benar-benar sangat pintar berkata-kata!" Alena kehabisan kata untuk membalas Vika. Gadis itu selalu mempunyai jawaban mengenai kegundahan di hati Alena.

Vika meringis menerima tarikan di pipinya. "Awh. Sakit!" Alena melepaskan. "Oh ya, Len. Tadi kamu bilang di usir sama Dina?" tanya Vika melanjutkan obrolan yang sempat tertunda. Alena mengangguk lemah.

"Kamu udah dapet tempat tinggal baru?"

"Itu yang sekarang aku lagi pikirin. Aku belum ada waktu untuk nyari kost-an," Ia menelungkupkan wajahnya ke meja frustasi.

Vika tertegun sebentar. Kemudian ia menepuk bahu Alena. Alena mendongakkan wajahnya menatap Vika.

"Kamu tinggal dulu aja di kost-an aku sampe dapat tempat tinggal baru untuk malam ini." Kata Vika. Wajah Alena langsung berseri kembali.

"Serius?!" tanya Alena memastikan sambil menggoncangkan bahu Vika begitu antusias. Vika mengangguk tak kalah antusiasnya. Alena pun memeluk sahabatnya itu yang sudah mau menawarkan untuk tinggal di tempatnya malam ini.

***
Waktu pulang sudah tiba. Hampir seharian ini Alena tidak melihat Kris di perusahaan. Sesuai ucapannya, dia akan sibuk sepanjang hari ini.

Alena menghela napas panjang. Ia lelah, membutuhkan asupan energi dengan melihat wajah sosok yang disukainya. Ia merindukan wajah itu saat ini.

Alena melangkah gontai keluar dari lobi perusahaan besar milik Kris menuju halte bus untuk pulang mengambil barang-barangnya di tempat Megie, tantenya. Alamat kost-an Vika sudah tersimpan di kotak masuk ponselnya. Bus datang dan Alena pun bergegas naik ke dalam bus yang penuh sesak dengan para karyawan dan para pelajar.

**
Setibanya di rumah Megie, Alena ragu membuka kenop pintu. Ia merasa agak was-was untuk pulang. Ia takut ucapan menyakitkan yang terlontar dari bibir Dina sore kemarin akan kembali terdengar. Ia takut luka itu membuat hidupnya terpuruk lagi seperti lima tahun silam.

Ia menghela napas berat, menguatkan hatinya. Tapi, sebelum tangan Alena membuka pintu, kenop pintu bergerak menandakan seseorang dari dalam membukanya.

Ternyata Megie dan Dina yang sekarang sedang menatapnya. Perpaduan lega dan kaget terpeta pada wajah mereka berdua.

Apa mereka sedang menungguku untuk mencaci-maki karena kembali lagi ke rumah ini? Aku akan pergi dari sini! Benar-benar akan pergi hari ini...

"Tuh kan, Ma. Apa aku bilang! Gadis bodoh ini pasti akan kembali lagi ke rumah kita. Paling dia lagi keluyuran sama cowok-cowok di luar sana menghilangkan kebosanan," ucap Dina sambil berkacak pinggang.

Megie melotot pada Dina tajam. Lalu Dina menurunkan tangannya dari pinggang, menempatkannya ke sisi tubuhnya sambil mencebikkan bibirnya sebal.

Megie baru saja ingin membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, namun tertahan oleh kata-kata Alena.

"Aku akan benar-benar pergi sore ini, Dina. Jadi kamu nggak perlu khawatir aku akan merusak kebahagian omong kosongmu itu!" Jawab Alena, kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar melewati Dina dan Megie. Terlihat Megie semakin geram pada Dina yang menyulut emosi gadis itu lagi.

Flashback ke pagi ini...

Megie turun dari tangga memegangi kepalanya yang agak berat. Sejak kemarin sore ia tak keluar kamar karena sakit kepala hebat. Ia mengambil air minum di dispenser, lalu membuka tudung saji di meja. Biasanya jam segini, di sana sudah terdapat sarapan yang tersaji di piring. Tapi pagi ini, kosong tak ada apapun di balik tudung saji itu. Megie melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Ia sudah geram dan siap meluncur ke kamar Alena untuk menggebrak-gebrak pintunya. Megie sudah yakin gadis itu bangun kesiangan dan masih leyeh-leyeh cantik di kamarnya.

Terlihat Dina yang juga sudah rapi dengan setelan kantornya, siap-siap ke dapur untuk sarapan.

"Kenapa, Ma?"

"Jam segini Alena masih belum bangun nyiapin sarapan. Pasti dia kesiangan lagi! Heran deh tuh anak," kesal Megie seraya melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju kamar Alena siap menyemburkan omelan.

Dina duduk di kursi makan tersenyum puas bersiap-siap mendengarkan omelan ibunya untuk Alena. Menurutnya, itu adalah hiburan pagi tersendiri melihat gadis itu sedang diomelin.

Brak..brak...brak...

Terdengar suara pintu yang digebrak-gebrak kencang dari atas. Dina meneguk air minumnya santai sambil mengulum senyum.

"Dina..." Tidak lama, suara teriakkan Ibunya menggema.

Dina langsung beranjak dari duduknya menuju kamar Alena. Tumben sekali ibunya berteriak seperti itu memanggilnya.

"Ada apa sih, Ma? Pagi-pagi udah teriak-teriak aja!" protes Dina sambil mendekati Megie.

Megie berdiri di depan ranjang Alena penuh pertanyaan. Ia tak mendapati gadis itu berada di sana tertidur di balik selimut mickey mouse-nya. Tempat tidurnya kosong dan masih rapi. Megie tahu gadis itu tidak mungkin langsung berangkat ke kantor tanpa menyiapkan sarapan dulu. Dia pasti akan menyempatkan membuat sarapan sekalipun waktunya sudah sangat mepet untuk berangkat bekerja. Megie sudah sangat mengenal keponakannya itu, tapi saat ini gadis itu menghilang tak ada di kamarnya. Dan sarapan pun belum tersedia di meja. Hanya satu yang ada di benak Megie. Gadis itu tidak pulang ke rumah dan sudah pasti Alena memiliki alasan untuk itu dan biasanya Dinalah alasan kepergiannya.

Megie menatap Dina. "Ke mana Alena?" tanya Megie tajam penuh selidik.

"Ng-nggak tahu." Jawab Dina agak panik. Dina sendiri tahu, walaupun ibunya terdengar seperti nenek sihir dan sering mengomeli Alena, tetapi ibunya tidak pernah berniat mengusir Alena atau menginginkan kepergian gadis itu dari rumah ini.

Apa gadis itu tidak pulang semalaman? Astaga... benar-benar!

"Bohong! Kalian pasti bertengkar lagi kan kemarin saat mamah di kamar?" tanya Megie lagi tidak puas akan jawaban yang dilontarkan anaknya.

Dina mengangguk lesu. "Kemarin kami sempat bertengkar, soalnya dia jalan lagi sama Alex. Mama tahu 'kan, aku sayang banget sama dia. Aku hanya minta dia untuk menjauhi Alex. Tapi dia malah nampar Dina," sahut Dina menjelaskan. Tentu saja itu adalah cerita versinya yang dibuat untuk memberatkan Alena.

"Dina, mama tahu gimana perlakuanmu pada Lena. Jika dia sampai turun tangan seperti itu, artinya kamu mengatakan hal yang sudah keterlaluan terhadapnya!" sentak Megie tidak memercayai.

"Aku hanya mengatakan sesuai fakta, Ma. Dia merebut Alex, kebahagiaan aku, dan juga merenggut hidup orangtua yang telah membesarkannya. Apa ada yang salah dengan itu?!" sungut Dina sedikit menyentak.

"Dina!! Bagaimana mungkin kamu mengungkit mereka di depannya lagi?! Kamu pun udah tahu gimana kondisi Alena saat menyembuhkan depresinya atas kepergian mereka. Mama tidak menyangka kamu setega itu padanya, hingga membuka luka lama yang susah payah coba ia lupakan!" Omel Megie geram.

Megie terlihat sangat kesal sekarang. Wajahnya memerah menandakan amarah yang begitu besar terhadap anaknya.

"Aku nggak bisa mengontrol amarahku. Dia berpelukan dengan Alex di depan mataku sendiri!" balas Dina tak kalah keras.

"Alex dan Alex! Berhenti mengatakan nama itu di depan Mama! Alena tidak memiliki siapa-siapa di Jakarta, Dina. Kemana gadis itu akan pergi? Di mana dia tidur semalam? Walaupun Mama memperlakukannya seperti itu, tapi bukan berarti Mama benar-benar ingin dia pergi dari sini!" Megie begitu kesal. Ia mendudukkan tubuhnya di kasur memikirkan keberadaan Alena.

"Udahlah, Ma. Palingan sore juga dia balik lagi,"

"Cari Alena di kantor. Temui dia dan ajak pulang." Titah Megie.

"Tidak mau!"

"Dina!!"

"Iya, iya!"

Jika Dina boleh jujur. Ia pun tidak berniat mengusir Alena. Ia hanya sangat kesal terhadapnya. Bagaimanapun juga, Alena adalah saudaranya dan telah merawat segala kebutuhan ibunya dan dirinya selama dua tahun ini. Dina tidak menyangka gadis itu benar-benar tidak pulang semalam.

Flashback end.

Alena telah selesai membereskan semua bajunya ke dalam koper kecilnya yang ia gunakan 2 tahun lalu saat kedatangannya ke Jakarta. Tak lupa juga ia melipat selimut mickey mouse-nya dan memasukan ke dalam paperbag.

Magie dan Dina berada di dalam kamar bersama Alena. Mereka hanya berdiri di dekat pintu melihat Alena kocar-kacir mengemas pakaian. Dina— entah kenapa merasa sedikit menyesal karena perlakuannya kemarin. Sedangkan Megie bingung harus mengatakan apa kepada Alena untuk menghentikan kepergiannya. Ia khawatir, akan tinggal dimana gadis ini.

"Alena, kamu mau pergi ke mana? Bereskan lagi bajumu ke lemari. Nggak ada saudara di sini yang bisa kamu datangi. Berhenti merepotkan semua orang," ucap Megie untuk menghentikan Alena.

Alena sudah selesai mengumpulkan semua barangnya yang memang tidak banyak. "Terima kasih karena telah mengingatkan aku yang tidak memiliki siapa pun di sini, Tan. Terima kasih telah merawat Lena selama dua tahun terakhir ini. Walaupun hidupku cukup berat dengan kelelahan fisik setiap harinya, tapi aku bersyukur tante masih mau menerimaku. Aku sadar, aku tidak mampu menghidupi diri sendiri. Tapi sekarang, Lena tidak ingin merepotkan kalian lagi. Lena sudah mendapatkan pekerjaan, dan sesuai apa yang kalian inginkan, lebih baik Lena pergi dari rumah Tante. Entah bagaimana nasib Lena menghadapi dunia luar kedepannya tanpa bantuan kalian. Maaf karena sudah menjadi beban selama dua tahun di sini." Jawab Alena lirih.

Mata Alena berkaca-kaca. Ia ingin menangis karena merasa tak ingin pergi dari sini, tapi Alena sudah tak kuat menghadapi cemoohan dari Dina setiap harinya.

"Len, Tante...,"

"Terima kasih atas pekerjaan yang kamu berikan padaku, Dina. Aku harap dengan kepergianku dari rumah ini membuatmu puas dan bahagia. Selamat tinggal." Kata Alena memotong ucapan Megie. Ia pun melangkahkan kaki keluar dari kamarnya untuk pergi ke tempat Vika.

Dina dan Megie tak bisa berkata-kata. Tak satu pun dari mereka mencegah kepergian Alena yang terlihat mantap dengan pilihannya. Ada rasa sesak di dada Megie mendengar kata-kata terakhir Alena, namun ia merasa tak pantas untuk mencegah kepergian keponakan yang telah diperlakukannya seperti pembantu selama dia tinggal di rumah ini.

***
Alena merebahkan diri di kasur menatap langit-langit kamar. Ia sudah berada di kost-an Vika saat ini. Kost-an yang tidak terlalu besar. Vika sendiri sedang berada di ruang tamu menonton televisi bersama pacarnya. Alena malas melihat pasangan itu yang terlihat begitu lengket. Ia merasa risi melihat pacar Vika yang terus menerus menyentuh Vika di semua bagian tubuhnya.

Ia belum sempat makan malam. Perutnya sudah berisik di dalam sana minta diisi. Akhirnya Alena bangkit dari tempat tidur menyambar sweater rajutnya untuk dikenakan.

Ia membuka pintu kamar.

Sial!

Alena membulatkan matanya saat melihat Vika dan Deni sedang berciuman di sofa depan TV. Mereka menghentikan aksinya ketika menyadari kehadiran Alena.

"Hey, Len. Kamu mau ke mana?" tanya Vika sambil mengusap tengkuknya canggung. Kekasihnya yang memang tidak tahu malu itu tetap menghimpit tubuh Vika, membuat Alena rasanya ingin sekali menendang wajah menyebalkan itu!

"Keluar. Cari makan. Kalian lanjutkanlah kegiatan nista yang sempat terganggu olehku!" sahut Alena ketus buru-buru meninggalkan. Alena bukan marah karena sahabatnya memiliki kekasih. Ia hanya tidak suka dengan Deni, si bergajulan itu.

***
Alena datang ke sebuah mini-mart yang tidak jauh dari kost-an Vika di depan jalan raya. Ia memilah-milih snack untuk mengisi perutnya. Alena yang sedang sibuk berdiri di deretan roti terlonjak kaget ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

Ia membalikan tubuhnya. "Kak Vano!" Ternyata Vano yang berada di sana. Dia mengangkat tangannya menyapa ramah Alena.

"Hai..." sapa Vano seraya menyunggingkan senyum.

"Uh-hai," balas Alena mengulas senyum canggung. Ia masih terkejut bertemu dengannya di sini.

"Kenapa kamu bisa ada di sini? Tempat tinggalmu berada di sekitar sini?" tanya Vano.

"I-iya. Kebetulan aku sedang menginap di tempat temanku malam ini. Lah, Kak Vano sendiri ngapain di sini?"

"Apartemenku tidak jauh dari sini," jawab Vano sambil mengambil satu kemasan orange juice di deretan minuman.

Alena hanya mangut dan ber oh-ria saja membalas Vano. Gadis itu selalu bingung ketika bertemu dengan orang baru. Ia takut salah ucap dan menambah list pembencinya.

Alena sudah antre di kasir untuk membayar belanjaan bersama Vano di belakangnya. "Alena, setelah ini ngobrol yuk di taman dekat sini?" ajak Vano.

"Okey." Alena langsung menyetujuinya tanpa pikir panjang. Jika ia pulang sekarang, pasti ia akan jadi kambing congek lagi di sana melihat Vika dan si dedemit sentuh-sentuhan dengan tidak sopannya di depannya.

Vano tersenyum mendengar jawaban Alena.

"Silakan belanjaannya," ucap kasir. Alena menaruh semua belanjaannya di meja kasir untuk dihitung. Ia membeli banyak sekali makanan ringan. Mulai dari roti, snack, ice cream sampai susu beruang.

"Semuanya seratus delapan puluh ribu rupiah. Sekalian isi pulsanya, mbak?"

"Nggak usah, mbak." Jawab Alena sambil merogoh uang di saku jeansnya.

"Tidak usah, Alena. Biar aku saja yang bayar." Vano menoleh pada si kasir, "nih mbak, tolong disatuin." Titah Vano pada si kasir seraya menyodorkan minuman kemasan yang dibelinya.

"Nggak usah, Kak. Aku bawa uang." Tolak Alena cepat.

"Aku memaksa! Simpan saja uangmu."

"Tapi Kak...,"

"Semuanya 220 ribu rupiah, Mas." Suara kasir memotong.

Vano membayar menggunakan kartu mini-mart. Alena yang melihat itu merasa tak enak karena dia membeli banyak sekali belanjaan dan dibayarkan olehnya. Sepanjang perjalanan, ia terus menerus menggumamkan rasa terimakasihnya.

Mereka duduk di salah satu bangku di pinggir taman. Alena membuka bungkus ice cream. Ia menawarkan pada Vano terapi lelaki itu menolak. Vano tidak suka makanan manis.

"Bagaimana kabarmu hari ini? Tadi pagi aku berniat menemuimu. Aku menelepon Kris, dia bilang kamu tidak masuk hari ini. Kenapa?"

Alena menghentikan kegiatan makannya dan menoleh ke samping menatap Vano. "Aku masuk hari ini. Aku baik-baik saja. Semalam aku sempat panas, tapi sudah sembuh sekarang."

Kenapa dia bilang aku tidak masuk? Apa matanya sudah picek sampai tidak melihatku yang jelas-jelas berangkat bersama dengannya. Dasar aneh!

"Ah... Dasar si kunyuk itu!" Vano tampak jengkel karena sudah berhasil dibohongi Kris.

Drett... Drett...

Ponsel Vano berbunyi di sakunya. Ia mengambil ponselnya dan melihat nama pemanggil yang tertera di layar.

"Baru diomongin, sudah muncul aja nih si kupret,"

Alena terkekeh mendengar Vano mengumpat dengan bahasa aneh.

"Halo," jawab Vano menempelkan ponselnya di telinga.

"Where are you, dude? Can we meet? I need someone to talk with right now," ucap Kris di seberang telepon.

"Sorry, but i was busy right now! Aku sedang bersama dengan dewiku." Balas Vano sambil menoleh pada Alena yang tengah sibuk melahap ice creamnya.

"Dewimu? Siapa? Alena?!"

"Memangnya siapa lagi. Aku sudah mengatakan kepadamu, aku hanya memiliki satu dewi dan dia adalah Alena." Sahut Vano lantang.

"Shit!"

Tut.. Tut.. Tut.. Panggilan diputus sepihak oleh Kris.

"Dasar. Dia benar-benar tidak sopan!" dengkus Vano.

"Kenapa?"

"Kris baru saja menelepon mengajak ketemuan malam ini. Aku bilang sedang sibuk denganmu, dia langsung menutup telponnya sepihak tanpa mengucapkan apa-apa. Berandal itu!" Vano berdecak jengkel.

"Oh... Dia memang seperti itu. Semua orang di perusahaan sudah tahu tabiat menyebalkannya." Alena ikut menimpali. "Bagaimana kalian bisa saling mengenal? Aku tidak percaya bisa bertemu lagi dengan Kak Vano setelah tiga tahun berlalu," lanjut Alena.

"Kami teman dari SMA. Kami berdua duo pembuat onar di sekolah. Kami dipersatukan karena takdir hidup sedang mencoba kami saat itu. Aku tidak menyangka dia bisa mengelola perusahaan keluarganya dengan baik seperti sekarang. Aku pikir, dia hanya akan kelayapan saja dengan wanita-wanita cantik di hidupnya." Jawab Vano menjelaskan.

"Apa dia seorang player?" tanya Alena agak kaget. Ia tidak menyangka Kris seperti itu. Vano mengangguk.

"Dia kelas kakap di bidangnya."

"Sepertinya dia sudah berubah karena Michel. Kekasih cantiknya itu."

Wajah Vano saat ini tidak terbaca. Ekspresinya berubah entah mengapa, namun tidak berlangsung lama.

"Hm, aku pikir juga begitu. Aku sering mendengar gosip tentang Kris dan beberapa wanita. Tapi itu memang hanya sebuah gosip yang hanya dibuat-buat oleh orang yang ingin mengambil keuntungan darinya. Dia masih bersama Michel, hubungan mereka pun terlihat tak tergoyahkan. Aku tidak menyangka dia bisa jatuh cinta." Kata Vano mengedikkan bahu.

Alena menautkan alis, "Memangnya kenapa? Kenapa Kakak berpikir dia tidak bisa jatuh cinta?" Alena bingung dengan ucapannya.

"Kris sendiri yang bilang begitu dulu. Dia tidak percaya adanya cinta. Dia lebih suka bersenang-senang dengan banyak wanita, daripada harus serius hanya dengan satu wanita saja. Aku pikir hubungan Michel dan Kris tidak akan bertahan lama sampai sejauh ini, aku pikir dia hanya bermain-main saja dengan wanita itu. Tapi sepertinya tidak." Vano melihat ke depan dengan tatapan kosong.

Alena yang menyadari raut wajah Vano yang menyendu tidak melanjutkan pertanyaan lain lagi walaupun sekarang banyak sekali hal yang Alena ingin tanyakan kepadanya. Alena yakin, pasti ada sesuatu antara mereka. Entah itu apa, Alena pun tidak ingin pusing-pusing memikirkannya.

Namun, Alena merasa getir dengan informasi dari Vano yang menyebutkan Kris adalah seorang playboy dan tidak percaya dengan adanya cinta. Walaupun mungkin itu hanyalah masa lalu sebelum Kris mengenal Michel.

**
Di tempat lain. Kris sedang kelimpungan mencari chargerannya yang entah kemana lenyap bagai ditelan setan apartemen. Setelah mematikan sambungan telepon dengan Vano, ia berencana menelepon ponsel Alena. Tapi ponselnya mati kehabisan baterai. Kris terus saja mengumpat menyebutkan nama hampir seluruh hewan di kebun binatang.

Ia bahkan menelepon Erwin minta dicarikan kontak Alena. Kris menyesal karena tidak menghapal nomor Alena yang seharusnya tidak ia lupakan.

Saat dia melewati televisi menunggu Erwin memberitahukannya, Kris melihat chargernya ada di dekat sana.

Sial! Bagaimana itu bisa ada disitu?"

*
Drett... Drett...

Ponsel Alena berbunyi menandakan panggilan masuk memotong obrolannya bersama Vano. Alena melihat pemanggilnya, tak tertera nama, tapi ia hapal dengan angka terakhirnya.

Kris...?

Ia mengangkat panggilan yang masuk.

"Halo?"

"Kamu ada di mana sekarang? Apa masih bersama Vano? Di mana tempatmu saat ini? Aku akan ke sana!" cicit Kris keras dan tak berjeda di seberang telepon. Dia terdengar begitu rusuh dengan deruan napas yang terengah-engah.

"Iya, aku sedang di taman dekat tempat tinggalku."

"Jangan ke mana-mana. Tunggu di sana!" perintah tegas Kris.

"Apa mak,—"

Tut... Panggilan telah dimatikan.

"Dasar! Benar-benar tidak sopan! Apa maksudnya menyuruhku menunggu di sini?!" sungut Alena pada ponselnya.

"Kenapa, Len?" tanya Vano.

"Ng-nggak kenapa-napa," jawab Alena mencoba mengulas senyum.

"Len, ini sudah larut. Nggak kerasa ya hampir sejam kita ngobrol," kata Vano sambil menatap jam yang melingkar di tangan.

Alena mengangguk mengiyakan.

"Pulang yuk? Aku antar kamu sampe rumah temenmu itu."

"Huh?" Alena menggaruk pipi, "aku di sini dulu deh sebentar."

Vano mengerutkan kening. "Kenapa?" tanya Vano heran.

"Em ... duduk aja. Udaranya seger." Agak ragu menjawab. Sebenarnya bukan hanya sekadar duduk saja. Alena ingin menunggu Kris yang menyuruhnya untuk menunggu di sini. Ia agak merindukan lelaki itu.

"Aku masih ingin menemani, tapi aku harus mengerjakan kerjaan kantor di apartemen." Kata Vano merasa bersalah harus meninggalkan Alena sendirian di taman.

"Jangan dipikirkan. Aku nggak kenapa-napa, Kak. Sebentar lagi, aku juga pulang."

Vano kemudian mengangguk dan pamit dengan berat hati meninggalkan Alena sendiri di bangku taman.

Sudah satu jam berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda Kris akan datang. Akhirnya Alena mengangkat bokongnya berdiri memutuskan untuk pulang ke kost-an Vika. Ia begitu kesal pada diri sendiri karena dengan bodohnya ia menunggu Kris di sana. Sepanjang perjalanan, gerutuan tidak hentinya ia lontarkan.

***
Baru saja Alena ingin merebahkan diri di kasur, ponselnya berbunyi di meja nakas samping tempat tidur. Vika sudah terlelap di sebelahnya karena jam pun sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Kris yang meneleponnya...

Ia mengangkat panggilan itu dengan kesal.

Pasti dia mau minta maaf karena nggak bisa dateng!

"Halo!" jawab Alena begitu ketus.

"Kamu di mana? Aku sudah mencarimu di seluruh taman dekat tempat tinggal saudaramu, tapi kamu tidak ada di sana! Apa kamu sedang mempermainkanku?!" omel Kris di seberang telepon.

Kris yang memang sudah kalut, langsung menyambar kunci mobil tanpa menanyakan letak jelas tamannya. Ia langsung bergegas ke tempat Megie dan mencari taman yang berada di dekat sana. Dia datang ke tiga taman, mengecek satu per satu, tapi tidak ia temukan keberadaan Alena. Ia mencoba menelepon Alena berulang kali tapi ponselnya di luar jangkauan.

Seharian tidak melihat Alena membuatnya kelabakan seperti orang gila. Ia merindukan gadis itu. Terlebih lagi mengetahui dia sedang bersama dengan Vano yang membuatnya semakin kelimpungan. Tubuhnya tak terkontrol dan langsung melesat ke tempat di mana pun Alena berada.

Alena langsung menegakkan tubuhnya duduk di sisi ranjang. "Di dekat rumah saudaraku? Maksudmu... rumah tanteku?!" tanya Alena memastikan— keheranan.

"Ya!" sungut Kris terdengar kesal.

"Aku sudah keluar dari rumah itu. Aku tinggal di tempat Vika untuk sementara," jawab Alena terkikik geli mendengar Kris mencarinya di sana.

Sotoy sih! Langsung pasang matiin aja tanpa nanya dengan jelas.

Alena bisa mendengar suara erangan frustasi Kris dari seberang telepon.

"Berikan alamat jelasmu, sekarang!"

Alena mengirimkan alamat Vika kepada Kris. Alena tidak tahu ada urusan apa Kris ingin menemuinya. Ia penasaran meski rasa senang menaungi hatinya saat ini. Anggaplah ia sudah tidak waras merindukan kekasih wanita lain.

20 menit kemudian...

Ponsel Alena berbunyi lagi. Tidak sampai tiga detik deringnya terdengar, Alena langsung menyambar ponsel itu dan mengangkatnya.

"Aku sudah di depan sekarang. Keluarlah," pinta Kris dan langsung mematikan sambungannya seperti biasa.

Alena mengecek penampilannya di depan cermin terlebih dahulu dan membenarkan rambutnya yang sudah berserakan tak karuan. Ia melangkah untuk membuka pintunya, tapi dia mundur berbalik lagi ke depan cermin sekali lagi memastikan penampilannya.

Tidak terlalu buruk.

Alena membuka kenop pintunya.

Kris berdiri tepat di depannya saat ini. Rambut bagian depannya terlihat basah karena keringat. Kemejanya sudah tak beraturan dengan dua kancing atas yang sudah terbuka. Rasa rindu yang menggebu semakin menggila menggelitik seluruh sendi dan dinding perutnya. Untuk beberapa saat mereka hanya saling menatap tanpa mengeluarkan suara. Sebelum sedetik kemudian, Kris menarik tangan Alena keluar dan langsung menenggelamkan tubuh kecil Alena ke dalam dekapannya begitu erat.

Alena terkesiap kaget, tapi ia pun langsung membalas pelukan Kris tak kalah eratnya.

"I miss you, Al." Gumam Kris di punggung Alena dengan dagu yang ditopangkan pada pundaknya.

Seguir leyendo

También te gustarán

5.1M 387K 50
Paris Ariella Ulani harus bertemu kembali dengan mantan pacarnya Keanu Bagaskara, setelah sekian lama menghindarinya. Parahnya lagi kini ia harus bek...
7.3M 462K 50
"Pengen gue semprot baygon biar mampus tuh orang!" Gerutuku setelah keluar dari ruangan Pak El. "Awas lo ntar lama-lama naksir Pak Elvano," Tegur Sis...
5.3M 428K 55
1 Dalam #Chicklit 1 Dalam #CEO 1 Dalam #Comedy 1 Dalam #RomCom 1 Dalam #Campus 1 Dalam #Bucin 2 Dalam #Roman 3 Dalam #Romance 3 Dalam #Perjodohan ***...
16.8M 731K 42
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...