My Cute Office Girl

By clarisayani2

4.5M 260K 12.1K

Menceritakan seorang Office Girl yang bekerja di salah satu perusahan properti terbesar di Indonesia, di bawa... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50 (End)
Extra Part 1
Extra Part II

Chapter 23

72.5K 4.6K 160
By clarisayani2


Kebersamaan kita adalah hal yang sulit untukku jelaskan hanya dengan sebuah untaian kata.
Maaf, karena kujatuh terlalu dalam.


***
Alena perlahan membuka mata ketika merasakan hangatnya matahari membelai kulit. Ia terkesiap, melihat wajah Kris tepat di sampingnya. Dia tertidur di kursi malas dengan jemari yang saling bertautan di meja kecil yang berada di tengah mereka.

Perlahan dan hati-hati, Alena mencoba melepaskan tangan Kris dari tangannya. Ia menatap Kris lebih lama, ketika ingatan semalam berputar di kepala. Lelaki tampan di sebelahnya memeluknya begitu erat, memberikan ketenangan ke dalam hatinya. Memberikan kekuatan tersendiri untuknya. Di balik sifat iblisnya, ternyata terdapat sosok malaikat yang begitu menenangkan hati Alena ketika berada di dekapannya. Ia merasa dunianya sudah cukup lebih baik mengetahui lelaki itu sedikit memedulikanya.

Alena menyisirkan jemarinya pada wajah tidur Kris yang terlihat begitu mempesona di bawah sorotan mentari pagi. Ia mengulas senyum melihat pahatan Tuhan yang begitu sempurna.

Jika aku bisa terlahir kembali di kehidupan berikutnya. Aku harap kita bisa dipertemukan dengan situasi yang berbeda. Aku dan kamu yang bisa menjadi satu. Bukan dia dan kamu. Sementara aku cuma sebatas pembantumu.

Alena tidak pernah berharap banyak dari orang lain. Ia hanya ingin dianggap keberadaannya. Dan ia tahu tidak banyak orang menganggapnya. Tapi, semalam dengan sedikit perhatian dari Kris membuat Alena berpikir, hidupnya tidak semenyedihkan yang dibayangkan. Walaupun ia sadar betul, perlakuan Kris terhadapnya bukanlah karena rasa sayang seperti yang dimiliki hatinya.

Alena melepaskan sentuhan tangannya dari wajah Kris. Ia tidak ingin menakuti Kris dengan perasaan konyolnya, yang ia mulai percaya, ini namanya ... cinta.

Alena beranjak dari kursi. Meregangkan tubuhnya sebentar, lalu memasuki ruangan apartemen Kris. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan yang masih terlihat remang karena tirai-tirai masih tertutup, dan lampu ruangan yang belum dinyalakan.

"Apa ibu Michel masih tidur?" ia menoleh ke arah kamar.

Alena menyalakan lampu, berjalan membuka gorden supaya sinar matahari pagi bisa menembus kaca jendela dan mengaliri seluruh sudut ruangan. Ia melihat jam dinding yang baru menunjukkan pukul 5.30AM.

Membasuh wajah dan menggosok gigi telah selesai dilakukan. Ia seperti biasa hanya menyanggul rambutnya dengan sembarang. Setelah selesai, ia pun bergegas ke dapur mencari bahan makanan untuk sarapan pagi ini.

Alena membuka kulkas Kris yang dipenuhi begitu banyak makanan dan ditata dengan rapi. Terpesona. Satu kata yang menggambarkan apa yang dilihatnya sekarang. Kulkasnya berisi surga dunia. Banyak buah-buahan di dalamnya. Tetapi ia hanya mengambil beberapa butir telur dan mengeluarkan sosis dari kulkas.

Alena memutuskan membuat nasi goreng untuk sarapan. Selain karena praktis tidak terlalu rumit, nasi goreng juga adalah makanan yang sudah sangat dihapal Alena bahan-bahan pembuatannya sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk dimasak.

Nasi goreng sudah selesai ia masak. Ditatanya di piring lalu diletakannya di meja makan. Alena menggoreng telur, lalu sosis. Terdengar derap langkah kaki dari belakang. Ia pun langsung membalikan tubuhnya menghadap ke arah sumber suara.

Di sana, ia melihat Kris berjalan ke arahnya seraya tersenyum. Rambutnya agak berantakan, khas bangun tidur. Kris belum menyurutkan senyum sehingga ia membalas senyum itu, tetapi langsung pudar tatkala matanya melihat Michel pun ada di belakangnya. Michel telah bangun dari tidurnya dan berjalan mendekati Kris. Kris mengalihkan tatapannya dari Alena pada Michel yang sudah berada di depannya.

"What about my morning kiss?" tanya Michel mengerucutkan bibirnya. Kris tersenyum, mendekatkan bibirnya ke wajah Michel dan mencium sudut bibir Michel tak lebih dari satu detik. Alena yang tak sanggup melihatnya, segera mengalihkan pandangannya ke telur di penggorengan. Ia menghela napas panjang menetralkan hatinya.

"Kamu abis dari mana bangun cepet?" tanya Michel sambil mengapit lengan Kris.

"I-iya. Dari beranda, lihat matahari pagi." Jawab Kris ragu. "Alena, apa yang sedang kamu masak?" tanya Kris pada Alena mencoba mengalihkan obrolan. Kris melepaskan apitan tangan Michel dengan lembut dan berjalan mendekati meja makan. Wajah Michel memendung, meski tidak berlangsung lama.

"Nasi goreng," sahut Alena seraya menempatkan telor mata sapi ke masing-masing piring. Ditambahkannya potongan sosis ke sebelah nasi gorengnya.

"Aku ke kamar mandi dulu. Kalian tunggu di meja. Kita sarapan bareng ya," Kris berlalu dari dapur.

Michel berjalan ke meja makan. Alena menempatkan satu piring nasi goreng di meja depan Michel, lalu piring Kris di sampingnya. Yang terakhir piringnya yang ditempatkan di seberang milik mereka.

"Kamu bisa memasak dengan baik, Alena?" tanya Michel untuk menghangatkan suasana yang terdengar hening.

"Iya, sedikit. Saya hanya bisa memasak bahan-bahan yang mudah diolah saja, bu." Jawab Alena sambil mendudukkan tubuhnya di kursi.

"Benarkah? Kamu tidak bisa masak western food? Maksud saya, makanan luar negeri gitu." Michel memperjelas ucapannya karena pikirnya Alena tidak akan mengerti maksud perkataannya.

Entah kenapa nada suaranya tidak terdengar mengenakan di telinga Alena. Namun, Alena segera mengenyahkan pikiran-pikiran buruk di kepalanya tentang Michel. Wanita itu seorang malaikat cantik tanpa sayap yang terlihat rapuh, tidak sama dengan rubah-rubah itu yang dikenalnya.

"Gimana saya bisa masak makanan luar negeri, sedangkan saya saja tidak tahu makanan mereka. Kalau Ibu Michel menyuruh saya memasak tumis kangkung, nah baru saya jago masaknya. Saya lebih suka makanan khas Indonesia sih, bu."

Michel tersenyum. "Oh... begitu. Kita berkebalikan. Saya sendiri tidak bisa memasak makanan khas Indo. Kris tidak terlalu suka makanan kampung. Jadinya saya les memasak agar bisa memuaskan lidahnya." Ucap Michel menginformasikan betapa sempurnanya dia menjadi seorang kekasih Kris Liem.

Gak nanya sih, Bu.

Tapi, wajahnya merespon Michel dengan senyuman. Bagaimanapun juga, wanita itu memang terlihat sangat mencintai Kris. Sudah pasti dia akan melakukan apapun untuk menyenangkan kekasihnya.

Di tengah obrolan, Kris kembali menuju dapur. Ia berjalan menuju kursinya, tatapannya terarah pada Alena yang sedang mengobrol dengan kekasihnya.

Dia terlihat sangat manis...

Kris mendudukkan tubuhnya di kursi dekat Michel. "Sayang, hari ini kamu kerja?" tanya Michel sambil menyentuh rambut Kris yang agak basah di bagian depan.

"Iya. Hari ini kamu pergi ke tempat syuting?"

Michel menggeleng. "Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu." Jawab Michel. Alena yang melihat itu memutar bola matanya mencoba menulikan indra pendengar dan menyendok nasi goreng begitu berapi-api. Pagi-pagi sudah diberikan tontonan ala Romeo dan Juliet saja.

"Tapi hari ini aku akan sangat sibuk di kantor. Ada meeting penting dengan Mr. Jhonson," kata Kris tidak berbohong. Hari ini memang ia ada meeting dengan Jhonson mengenai kerja sama pembangunan apartemen yang direncanakan.

Michel mendesah kecewa. "Kalau begitu aku akan menemanimu di kantor sampai meeting kamu dimulai."

Kris mengangguk pasrah. Michel dan Kris memulai santap paginya. Sementara nasi goreng di piring Alena sudah hampir semuanya ludes ditelannya.

"Lumayan," ucap Kris saat memasukan nasi gorengnya ke dalam mulut.

"Ini enak kok, Kris." Sahut Michel.

"Memuji orang tidak ada dalam kamusnya, ibu Michel." Timpal Alena.

"Walaupun ini lumayan enak, tapi tidak seenak pasta yang biasa Michel masak." Sahut Kris tersenyum miring. Michel tersenyum senang mendapat pujian dari Kris.

Alena bangkit dari duduknya dan mencondongkan tubuhnya untuk menarik nasi goreng Kris. "Jika tidak enak, sini! Aku masih bisa menghabiskan semuanya." Ketus Alena yang berusaha mengambil nasi goreng milik Kris.

Kris menjauhkan piringnya dari jangkauan Alena. "Aku percaya kamu bisa menghabiskan milikku juga. Kamu bahkan bisa memakan piringnya sekaligus. Tapi, ini milikku, dan kebetulan aku begitu lapar."

Alena semakin geram. "Balikin nggak?"

"Tidak mau!"

"Kalian benar-benar rusuh!" decak Michel. Alena kembali mendudukkan tubuhnya dengan perasaan dongkol.

"Anda sendiri dengar kan, Bu? Kata-katanya tidak pernah terdengar menyenangkan di telinga. Ada saja tingkahnya yang membuatku jengkel. Entah itu menyiksa fisikku dengan hal-hal kekanakan, atau menyiksa batinku dengan ucapan menyakitkan. Kadang aku benar-benar ingin mencekiknya!" sungut Alena menatap tajam Kris. Alena kesal telah dibanding-bandingkan dengan Michel. Jelas Michel selalu baik dalam segala bidang.

Kris langsung tersedak mendengarnya. "Kamu sedang berencana membunuhku, Al?"

"Jika memang ada kesempatan, why not?" Jawab Alena mengedikkan bahu.

Kris semakin terbatuk-batuk di kursinya. Alena beranjak dari kursi mengambil air minum di dispenser.
"Mau minum?"

"Tidak! Telan saja di tenggorokanmu!"

"Okelah, Pak. Kebetulan aku hanya basa-basi," ucap Alena sambil meminum air mineral di gelasnya. "Ahhh... Segarnyaaa," celetuk Alena seperti sedang mengiklankan sebuah produk.

Kris dengan tatapan kesalnya pada Alena memegang tenggorokannya yang terasa perih. Giliran Michel yang beranjak dari kursi mengambilkan Kris air putih. "Minum dulu. Makanya, sudah dong. Jangan tengkar terus kayak anak kecil."

Kris meminum air yang disodorkan Michel tanpa melepaskan tatapan kesalnya pada Alena. Gadis itu nampak tak acuh.

Michel terlihat sudah selesai. "Aku mandi dulu ya," kata Michel melangkahkan kakinya kembali ke kamar. Wanita itu hanya meninggalkan meja tanpa menaruh piringnya ke tempat cucian piring, tidak seperti Alena yang langsung membawa piring kotornya untuk dibersihkan. Tak lupa juga Alena membersihkan kompor yang terlihat berantakan. Kris masih belum selesai dengan santap paginya, memperhatikan Alena yang sedang membereskan dapurnya dengan gesit. Ia tersenyum sambil menyuapkan sendok terakhir nasi goreng ke dalam mulutnya.

Alena membersihkan rempah-rempah di piring terlebih dahulu sebelum menaruhnya di bak untuk dicuci. Ia mengambil piring Michel juga. Kemudian akan mengambil piring Kris, namun dihentikan olehnya.

"Biar aku saja," ucapnya mengambil alih piring kotor bekas ia pakai.

Kris melakukan hal yang sama dengan Alena. Membersihkan sisa kulit cabai yang menempel di piring sebelum menaruhnya di tempat cucian piring.

"Alena, biarkan saja, tidak perlu dicuci. Nanti ada bibi yang beresin ke sini." Ucap Kris yang dibalas gelengan oleh Alena.

"Memangnya kita lagi makan di restoran ya tinggal bayar terus langsung cabut? Kalau sudah makan, ya harus dibereskan. Jangan hanya bisanya mengandalkan orang lain saja. Well, kalau dilihat dari sudut pandang kalian, tentu saja dapat dimengerti jika kalian terbiasa meninggalkan meja setelah selesai mengenyangkan perut. I see, mister." Sahut Alena secara ketus dan mulai menyalakan keran air.

"Itulah kenapa aku membayar pembantu. Tidak perlu kamu yang melakukannya. Gimana kalau nanti malah bersikap ceroboh lagi seperti biasa? Sudah, taruh saja di sana, Al." Kris menyuruh Alena untuk tak perlu repot-repot membersihkan piring-piringnya. Kris tidak ingin Alena melakukan semuanya. Ia tidak rela Alena melakukan semua pekerjaan itu. Alena bukanlah pembantunya!

"Anggap saja aku sedang merangkak jadi pembantumu hari ini. Anda bisa membayarku jika Anda mau. Tidak usah khawatir, aku tidak akan memporak-porandakan dapurmu."

Kris mendengkus. Alena bukanlah gadis biasa yang akan mendengarkannya sesuai keinginan. Dia cukup keras kepala di balik sifat polosnya. Akhirnya karena merasa percuma berdebat dengannya, Kris menggulung bajunya sampai siku dan berdiri di sebelah Alena berniat membantu.

Suara Alena terdengar begitu ketus. Kris yakin gadis itu masih marah kepadanya akan ucapan yang dilontarkan beberapa saat lalu. Dia memang sepemarah itu. Cepat sekali tersulut emosi.

Alena menoleh jengah merasakan tubuh Kris berdempetan dengannya. "Apa yang sedang Anda lakukan? Minggir. Anda membuatku gerah!"

Kris menarik pipi Alena. "Nggak usah Anda-Andaan!"

Kris tidak menjauh dari Alena. Ia malah meneteskan sabun cuci piring ke busa di tangannya mengikuti Alena. Ini adalah pertama kalinya Kris mencuci piring kotor selama hidupnya. Ia tidak pernah melakukannya karena bukanlah tugasnya membersihkan cucian piring kotor seperti ini. Tapi melihat Alena membersihkan semuanya, hati Kris tergerak untuk membantu hal yang tak pernah disentuhnya.

"Kamu marah, Al?"

Alena tetap bungkam, tidak menghiraukan.

"Kamu tahu, sarapan buatan kamu tadi itu rasanya sangat enak. Aku hanya ingin menggodamu saja karena menurutku, wajahmu sangat lucu ketika terlihat merah padam menahan kesal seperti itu. Maafkan aku jika itu membuatmu kesal," ujar Kris tulus pada Alena yang mendiamkannya. Hanya percikan air dan dentingan piring saja yang beradu di balik busa mengisi ruangan dapur.

Alena yang mendengar permintaan maaf dari Kris seketika membatu tak bisa berkata. Ia pikir Kris bukan jenis orang yang akan meminta maaf dengan tindakan buruk yang dilakukannya.

Alena menoleh mendongakkan wajahnya menatap Kris. "Aku pikir kamu tidak mengenal kata maaf," ucap Alena seraya terkekeh pertanda ia memaafkan bosnya itu. Ia tidak benar-benar marah pada Kris. Ia hanya agak kesal telah dijadikan bahan perbandingan dengan kekasihnya.

Kris tersenyum lega, ia pun langsung mencubit pipi Alena gemas dengan tangan penuh busanya. Mereka berdua saat ini terlihat seperti pasangan pengantin baru yang sedang membereskan rumahnya bersama. Wajah yang berseri menyiratkan kebahagiaan di masing-masing si empunya mata.

"Hey... Itu kotor!" Alena menjauhkan wajahnya dari Kris.

Kris mengusap pipi Alena dengan punggung lengannya menghilangkan busa di permukaan wajah Alena. "Kamu terlihat sama jeleknya with or without the foam!"

Alena hanya mendengkus sebal, menepis tangan Kris.

"Kenapa kamu tidak pindah ke kamar semalam?" tanya Alena di sela tugas mereka.

"Kamu terlelap di sana. Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu? Kamu benar-benar bisa tidur di mana saja! Jika aku tidak berada di sampingmu tadi malam, mungkin kamu sudah digotong gerombolan nyamuk."

Ya, semalam setelah acara pelukan mereka dan tangis Alena yang mereda, Kris menidurkan Alena di kursi malasnya. Ia pun membaringkan dirinya menghadap Alena seraya mengelus rambutnya untuk membuatnya tenang dan bisa terlelap melupakan rasa sakitnya sejenak. Alena pun perlahan menutup mata, terlelap ke alam mimpinya. Kris yang berada di sebelah Alena bahkan mengusir nyamuk-nyamuk yang terus mencoba menghinggapi tubuh Alena. Ia hanya tidur tidak lebih dari dua jam karena nyamuk-nyamuk sialan itu.

Ia sangat marah mengetahui penderitaan Alena. Tapi, ia bisa apa? Satu-satunya cara adalah berada di sana menenangkan Alena dan mencurahkan kehangatan sebisanya.

Ia melupakan segalanya...

Tentang Michel, tentang status dirinya, tentang status Alena dengan semua perbedaan dan segala dinding kokoh yang seharusnya jadi pembatas untuk mereka. Tapi, semalam Kris hanya mengikuti apa yang ingin dilakukan hatinya tanpa memedulikan kekacauan apa yang akan disebabkan ketika dia mengikuti cara kerja hatinya.

Semalam hanya malamnya dan Alena. Dan itu sudah cukup mengukir tempat tersendiri untuk diingat di relung hati terdalamnya.

Alena hanya tersipu mengetahui jawaban Kris yang terdengar begitu perhatian terhadapnya. "Rasa kemanusiaanmu sungguh tinggi semalam," canda Alena yang tidak ingin terlalu terbawa perasaan.

Kris mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Alena lagi—dihentikan Alena. "Tanganmu kotor, Pak Kris!" seru Alena memegang tangan Kris.

Kris tersenyum miring membersihkan tangannya dari busa lalu sedetik kemudian, ia mengusapkan tangan basahnya ke wajah Alena. Menyapu seluruh permukaan wajah Alena.

Saat Kris berdekatan dengan Alena, tangannya selalu gatal ingin menyentuh gadis itu. Entah hanya sebuah sentilan di keningnya, tarikan di pipinya, atau hanya sekadar mengacak rambutnya yang tak ingin dilewatkan Kris.

Alena pun membalasnya dengan menempelkan tangannya yang penuh busa ke wajah Kris. Tidak ada kecanggungan. Hanya dua anak manusia yang bersenang-senang dengan hal kekanakan yang terlihat sederhana namun membuat pagi mereka lebih berwarna.

Setelah cukup puas bermain-main dengan busa cucian piring, mereka melanjutkan membereskan dapur dan menata piringnya kembali ke tempatnya.

Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Alena yang menyadari itu langsung lari terbirit ke arah mesin cuci untuk mencari baju bekas pakai kemarin dan jins yang sudah tergantung di sana untuk pergi ke kantor.

"Pak Kris, hari ini saya akan telat. Tolong jangan pecat saya!" seru Alena sebelum kembali ke kamar.

Kris hanya terkekeh geli melihat Alena yang berlarian ke sana kemari. Ia pun berjalan ke kamar untuk mandi sebelum berangkat melakukan aktivitasnya seperti biasa.

Di dalam kamar, Michel tampak baru selesai melakukan ritual mandinya. Tubuhnya masih dibalut dengan handuk. Hampir satu jam, Michel menghabiskan waktunya di kamar mandi.

"Ada apa dengan wajahmu. Kenapa terlihat kucel seperti ini? Sayang, ada busa juga di rambutmu," ucap Michel memberitahu Kris mendapati busa yang menempel di rambut cokelatnya.

"Tidak apa. Aku mandi dulu ya," jawab Kris sambil menanggalkan satu per satu pakaiannya dan berlalu ke kamar mandi.

Tak lebih dari lima belas menit, Kris telah selesai. Ia keluar dengan rambut basahnya yang masih menetes. Ia mengingat sesuatu, saat ini Alena tak memiliki pakaian bersih untuk berganti. Gadis itu pasti akan mengenakan pakaian kotor yang dikenakannya kemarin.

"Cel, bisa pinjamkan Alena pakaianmu? Gadis itu tidak memiliki baju ganti." Pinta Kris.

Michel yang sedang memoles wajahnya berhenti sejenak, menatap Kris seraya menautkan alis. Namun tidak berlangsung lama, ia bangkit dari kursi riasnya dan mengambilkan pakaian untuk dikenakan Alena.

Michel mengeluarkan celana yang sangat pendek dan sebuah kaos transparan khas Michel yang biasa dikenakannya. Kris yang melihat itu langsung tidak setuju dengan baju pilihan Michel.

"Ada baju lain selain ini? Dia tidak bisa memakai celana yang terlalu pendek. Gadis itu bisa saja membawa handuk ke kantor untuk menutupi bokongnya." Kata Kris menjelaskan. Sebenarnya bukan hanya itu alasan Kris. Jika ia boleh jujur, ia pun tidak rela laki-laki lain melihat tubuh Alena yang pasti akan tembus pandang dibalik kausnya.

Michel merasa terusik dengan perhatian Kris terhadap gadis OG itu. Tapi ia mencoba bersikap biasa saja tidak terlalu mengkhawatirkan.

Dia hanya seorang office girl. Kris hanya mengasihani gadis malang itu
Itulah kata yang tak hentinya diucapkan Michel dalam hati.

"Untuk celananya, aku ada semi-jins. Tapi untuk bajunya, aku tidak memiliki atasan yang lebih tertutup dari ini. Kamu tahu isi semua lemariku di sini."

"Tidak masalah. Celananya saja kalau begitu," kata Kris seraya membuka lemari pakaiannya dengan tergesa. Ia takut gadis itu sudah selesai dengan mandinya lalu memakai pakaian kotor.

Kris mengenakan kemeja putih. Disampirkannya dasi merah darah di leher namun belum dipasangkannya.
Michel memberikan celananya. Sementara Kris mencari hoodienya untuk Alena kenakan hari ini.

Kris menemukan hoodie berwarna hitam yang bertuliskan OBEY! di bagian depannya. Ia langsung bergegas pergi menuju kamar yang ditempati Alena.

Kris membuka pintu kamar tanpa mengetuk terlebih dahulu. Kamarnya terlihat sudah sangat rapi.

Kris meletakan baju yang dibawanya di atas ranjang. Kemudian... tanpa diduga, pintu kamar mandi terbuka di depannya. Alena terlihat kaget mendapati Kris berada di kamarnya.

"Apa yang Anda lakukan di sini?!" pekik Alena meninggikan suaranya sambil menutup dadanya yang hanya dibalut dengan handuk putih. Rambut basah Alena dibiarkan berserakan di bahu dan punggungnya mengeluarkan kesan seksi bagi siapapun yang melihatnya saat ini. Kulit putih Alena terlihat mengkilat dengan tetesan-tetesan air di rambut basahnya membuat pikiran liar bergentayangan kemana-mana.

Kris menelan salivanya gugup. Berdeham samar. "Aku hanya ingin mengantarkan baju ini," ucap Kris menunjuk baju yang diletakannya di sisi ranjang.

"Oke, terima kasih. Anda bisa keluar!" balas Alena yang masih menutupi dadanya.

Kris memutar tubuhnya berniat keluar dari kamar. Jantungnya terasa ngilu saat ini menahan debaran yang menggila. Tapi, ia menghentikan langkahnya dan memutar kepalanya menoleh ke arah Alena. Alena kembali menutupi dadanya dengan tangan yang sempat ia turunkan.

Kris menyeringai. Membiarkan sisi iblisnya terlihat. "Lumayan," ucapnya, sebelum keluar dan berlalu dari kamar.

Alena mengernyit mencerna maksud perkataan Kris, dan tidak sampai tiga detik, ia mengerti apa maksudnya. "Dasar mesum!"

Kurang dari lima menit, Alena sudah mengenakan baju yang dipinjamkan Kris. Celana semi-jeans dan hoodie kebesaran namun tetap terlihat cocok di tubuhnya.

Mengambil tas selempangnya yang agak basah karena hujan kemarin, ia langsung melesat keluar, dan berangkat bekerja tanpa menyisir rambutnya yang berantakan.

Ia melihat Michel dan Kris yang sedang mengobrol ringan berdiri di ruang tamu. "Ayo berangkat," ucap Michel sembari melangkahkan kakinya menuju pintu keluar setelah melihat Alena siap.

"Cel, kamu tunggu dulu di mobil. Gadis ceroboh ini sepertinya lupa caranya menyisir rambut."

Michel menghentikan langkahnya berbalik pada Kris. Wanita cantik itu mengerutkan keningnya. "Kita bisa menunggu Alena di mobil."

Alena menggeleng. "Aku sudah kesiangan. Tidak perlu disisir. Aku tidak ingin dipecat!" sahut Alena sambil menyisir rambutnya menggunakan jari.

"Siapa yang akan memecatmu jika kamu berada di sini bersamaku?" Kris menatap si ceroboh itu. "Cel, dia tidak akan bisa keluar dari apartemen ini jika kita meninggalkannya. Dia mungkin bisa saja tersesat. Kamu tahu Alena itu sangat payah."

Alena mendelik tajam. Kris hanya mengangkat alisnya apatis.

Michel baru akan membalas ucapan Kris, namun diurungkannya ketika mendengar bunyi ponsel berdering di tas tangannya. Ia mengecek pemanggilnya. Ternyata CEO agency-nya menelepon.

"Kalau begitu aku akan tunggu di mobil." Kata Michel.

"Ini kunci mobilnya," Kris menyodorkan kunci mobilnya.

Pintu sudah tertutup menyisakan Kris dan Alena di ruangan. Kris menyentil kening Alena pelan. "Rambutmu masih terlalu basah. Kamu bisa masuk angin!" seraya menyentuh rambut Alena.

"Aku sudah terbiasa,"

"Jangan memelihara kebiasaan buruk seperti ini. Tunggu di sini. Boleh anggap ini pekerjaan menuruti perintahku." Kris keluar dari ruangannya membawa pengering rambut. Ia menyentuh rambut Alena, lalu menyalakan hair dryer itu.

Debaran di jantung keduanya terasa begitu nyata. Berpacu begitu cepat. Alena yang merasa gugup mengambil hair dryer itu dari tangan Kris dengan cepat.

"Aku... aku bisa melakukannya sendiri!"

Alena berjalan ke depan cermin yang terdapat di ruang tamu. Kris mendudukkan tubuhnya di sofa— tepat berada di punggung Alena sambil menyilangkan kaki. Ia melihat Alena yang sedang mengeringkan rambutnya. Mata Kris tertuju sepenuhnya pada wajah Alena sambil sesekali tersenyum. Entah, melihat wajahnya mengalirkan kesenangan tersendiri.

Mata mereka saling beradu pandang di pantulan cermin. Alena mengangkat alisnya bingung dengan tatapan Kris.

"Kenapa menatapku seperti itu? Sering, kan, lihat orang cantik?"

Dengan cepat, Kris langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain. Kemudian terkekeh geli, tanpa menimpali.

***
Alena dan Kris tiba di gedung pencakar langit milik keluarga Liem. Mereka keluar dari mobil bersama-sama. Michel memang sudah lebih dulu turun dari mobil berhenti di cafe untuk bertemu dengan CEO agency-nya. Tidak seperti rencana awal, yang ingin menemani Kris sampai meeting dimulai.

Baru juga mereka memasuki lobby perusahaan, mata Kris menangkap sosok Alex yang melambaikan tangannya. Tentu saja untuk siapa lagi lambaian tangan itu ditunjukkan, kalau bukan untuk gadis di sebelahnya, Alena.

Kris mendengkus...

Dia lagi, dia lagi!

"Pagi, Pak Kris." Sapa Alex sopan. Kris hanya mengangguk sedikit dengan wajah masam yang tidak dapat ditutupinya.

"Alena, semalam aku menghubungi hape kamu beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Kamu ke mana? Aku khawatir tidak ada kabar setelah pertemuan kita sore kemarin." Cicit Alex di sebelah Alena.

Kris mendahului—berjalan di depan mereka, namun telinganya masih tersambung dengan obrolan dua sosok di belakangnya.

"Semalam aku hanya ketiduran dan sedikit kelelahan. Maaf membuatmu khawatir," jawab Alena seraya tersenyum.

Sial! Gadis itu bahkan berbohong di depannya menutupi kebersamaan kami. Tidak ingat bu, saya yang mengusir nyamuk semalaman suntuk?! Bagus sekali!

Kris mempercepat laju langkahnya menghindari mereka. Kebersamaan Alena dan Alex seperti menyulutkan kobaran api yang telah menyala. Bisa meledak jika ia berlama-lama menguping percakapan menjengkelkan lebih dari lima menit di sana.

Continue Reading

You'll Also Like

4.4M 164K 49
One night stand yang mereka lakukan, membuat keduanya bertemu kembali dan mengharuskan segera melakukan sebuah pernikahan. Tetapi, gadis cantik namun...
1M 18.2K 16
"Sorry, saya nggak level sama berondong," -Mitha Tri Wahyuni- "Saya bisa bikin kamu menarik kata-katamu barusan," -Revan Widyatama- *** Mitha mengi...
2.8M 259K 67
"Kalau umur gue udah 25 tahun dan gue belum menikah, lo nikahin gue ya?" "Enggak mau ah, lo tepos!" Cerita ini tentang Mayluna dan Mahesa yang sudah...
2.4M 87K 57
Henley setuju untuk berpura-pura mengencani seorang billionaire Bennett Calloway demi bayaran, jatuh cinta tanpa terduga-duga - bagaimana bisa dia te...