My Cute Office Girl

By clarisayani2

4.5M 260K 12.1K

Menceritakan seorang Office Girl yang bekerja di salah satu perusahan properti terbesar di Indonesia, di bawa... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Chapter 46
Chapter 47
Chapter 48
Chapter 49
Chapter 50 (End)
Extra Part 1
Extra Part II

Chapter 16

74.6K 4.8K 126
By clarisayani2

Alena masih tidak dapat bergerak di tempatnya karena pelukan tiba-tiba dari lelaki asing itu. Lelaki asing itu memeluk Alena begitu erat hingga sulit untuknya sekadar menarik napas. Ia bahkan bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang memburu begitu cepat. Sungguh, ia membeku dan deg-degan. Tubuh lelaki ini sangat keras serta berotot sehingga ia kesulitan menarik diri. Jelas, tenaga Alena takkan bisa mengimbangi.

Brughh...

Selang beberapa detik, tiba-tiba Kris mendorong tubuh lelaki itu dengan kencang sampai dia terjungkal ke belakang. Pelukan mereka terlepas hanya dengan satu entakkan kekuatan Kris. Dia tampak berapi-api sambil menyorotkan tatapan tajam.

"Kamu sudah gila, Van?!" Kris langsung menarik Alena ke arah belakang punggungnya. Sedang lelaki itu tengah mengaduh sakit tidak kalah terkejut saat entakkan sahabatnya membuatnya terpelanting cukup keras.

Tubuh Kris membentengi mereka berdua. Satu tangan Kris terjulur ke belakang menggenggam erat lengan Alena, namun genggamannya kali ini sama sekali tidak menyakiti pergelangan tangannya, tidak seperti dulu.

Alena tidak dapat melihat wajah lelaki itu sebab tertutupi oleh tubuh Kris. Saat ini Kris terlihat seperti mencoba melindunginya dari serangan musuhnya. Tanpa sadar, Alena meringis geli membayangkan momen aneh nan canggung ini. Ia mencoba melongokkan kepala ke depan di samping tubuh Kris untuk menatap lelaki itu, tetapi tangan Kris langsung menoyor kepalanya kembali agar balik pada posisi.

Alena tidak tahu ada apa di depan sana karena pandangannya diputus ke arah depan tertutupi sepenuhnya oleh tubuh Kris. Dan gilanya, ia mulai menurut saja. Situasi saat ini benar-benar hening sepertinya tidak ada yang berniat bersuara, tapi rasa penasaran yang menggunung itu diabaikan mengingat pemandangan punggung sexy milik Kris tepat berada di depan bola matanya.

Ia bahkan bisa merasakan wajahnya menghangat seketika menahan malu.

Rasanya tangan Alena begitu gatal menahan hasrat tubuhnya yang terlalu menggila ingin menyentuh punggung tegap Kris. Dan benar saja... Secara refleks, tangan Alena terulur ke sana. Ke punggung Kris tanpa bisa ia cegah.

Alena bisa merasakan tubuh Kris seketika menegang.

Aduh... jablay... pliss...

Buru-buru Alena langsung menarik tangannya memposisikannya kembali ke sisi tubuh. Tidak perlu bertanya mengapa ia jadi sebodoh dan setidak- waras ini. Otaknya sedang berpiknik ke Hawai. Kosong tidak ada di kepala.

"Dude, what's wrong with you?!" akhirnya salah satu dari mereka berucap. Suara lelaki itu yang terdengar meringis di depan sana.

"Bagaimana bisa kamu menyentuh karyawanku secara tidak sopan seperti itu? Sebagai Bosnya, aku merasa berhak untuk melindungi bawahanku!" desis Kris tajam.

Alena menjinjitkan kakinya untuk membisikkan sesuatu ke telinga. "Anda pun sedang menyentuhku saat ini. Hanya ingin mengingatkan saja," bisiknya pelan di telinga Kris.

Kris menolehkan kepalanya sedikit. "Aku 'kan Bosmu, bukan orang asing."

"Tapi Anda kan bukan pacar saya yang bisa menyentuh semau Anda. Status Anda dan lelaki itu sederajat. Kalian berdua sama-sama orang asing yang tidak seharusnya menyentuhku. Ya... kecuali jika Anda menyukaiku." Goda Alena di telinga Kris yang ke luar dari mulutnya secara asal. Dan kata-kata itu pun sontak membuat Kris melepaskan genggamannya di lengan Alena secara kasar.

Alena tahu dia akan melakukannya. Tentu saja dia tidak akan terima dituduh menyukai seorang office girl. Jadi reaksi spontannya tidak begitu menyakitkan, karena ia sendiri sudah memperkirakan.

Kris memutar tubuhnya menghadap Alena. Dia tersenyum, sambil membungkuk sedikit menyeimbangkan tinggi mereka. "Jangan bermimpi aku akan menyukai seorang office girl ceroboh sepertimu!" bisiknya tepat di telinga Alena.

Kata-kata itu berhasil menohok tepat ke ulu hati hingga rasanya sampai ke dasar jantung. Padahal niat hati hanya ingin bercanda. Ia juga sadar diri siapa dirinya di sini tanpa Kris menegaskan status pekerjaannya juga. Sebelum Alena berhasil membalas, sedetik kemudian tubuh Kris tersingkir ke arah samping akibat dorongan tiba-tiba di bahunya dari arah belakang. Dia, lelaki asing itu yang mendorong tubuh Kris. Posisi Kris tergantikan oleh lelaki itu yang sekarang berdiri tepat di depan Alena.

Air muka Alena yang sendu, tak mampu ditutupi dan ia pun merasa terselamatkan dengan kehadiran lelaki itu. Setidaknya mungkin Kris tidak akan menyadari perubahan ekspresinya dalam sekejap. Kenapa dia terus saja mengingatkannya bahwa ia tidak pantas untuknya dan tidak akan pernah pantas?

Ia tahu, ia yang salah. Memang ia yang salah...

Kata-katanya selalu saja berhasil membuatku jatuh, sejatuh-jatuhnya.

"Kamu Alena, bukan? Apa kamu tidak ingat aku?" tanya lelaki itu pada Alena tanpa menghiraukan Kris yang meringis hampir terjungkal di samping. Dada Alena yang masih terasa sesak akan ucapan menyakitkan yang terlontar dari bibir Kris, berusaha ditekankan. Ia memusatkan perhatiannya pada lelaki asing itu.

Alena mengangguk, lalu menggeleng tanpa bersuara.

"Apa maksudnya anggukan dan gelengan itu? Aku tidak mengerti," ucapnya menggaruk kecil kepalanya.

"Iya, aku Alena. Tapi tidak, aku tidak ingat siapa dirimu."

Lelaki asing itu menangkup wajah Alena. "Coba kamu perhatikan lagi," pintanya penuh harap.

Alena terkesiap dengan sentuhan tiba-tiba lelaki itu di kedua pipinya. Ia sedikit mundur, menatapnya lekat berusaha mengingat-ingat seraya tetap mencoba menetralkan ekspresinya setenang mungkin. Bisa gawat jika orang kota yang terkenal dengan kehidupan dewasanya tahu— bahwa sentuhan kecil ini sudah berhasil membuatnya ketat-ketir.

Si Alena meuni ndeso pisan...

Wajahnya, hidungnya, matanya. Lelaki ini benar-benar terlihat sangat tampan dan familier. Tapi, karena ia memiliki ingatan yang sangat buruk sehingga apapun tentangnya tidak bisa diingatnya. Ia bisa mendengar samar gebrakan di meja, namun tidak diacuhkan. Begitu juga dengan lelaki itu yang tak memedulikan. Mereka berdua terlalu sibuk saling adu pandangan mencangkul memori masa silam.

"Gadis SMA, motor pespa, kegelapan di tengah sawah...," katanya mengukir senyum.

Tunggu... loading~

"Kamu ... Kak Vano?!!" pekik Alena nyaring tidak percaya dengan ingatan yang melintas di kepala.

Lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya antusias. Alena pun secara spontan berhambur ke dalam pelukannya tanda balasan pelukan yang tidak ia anggap sebelumnya. Alena memeluknya dan tidak menunggu lama Vano pun langsung membalas pelukan hangat itu. Alena sendiri tidak tahu kenapa ia memeluk lelaki yang bernama Vano ini. Apa karena ia senang melihatnya, ataukah karena ia membutuhkan sebuah pelukan untuk penopang dari sesak yang ia rasa.

Tapi selang beberapa detik kemudian..

Brakk....

Sebuah kursi terjungkir balik dengan dentuman yang cukup kencang beradu dengan lantai. Sontak mereka pun menguraikan pelukan. Alena melihat Kris di samping kursi itu yang sedang menatap ke arah luar sebelum tatapannya kembali lagi pada kursi itu.

"Aduh, aku nggak sengaja menendangnya." Cicit Kris, tapi ekspresi wajahnya mengatakan sebaliknya.

Alena cuma memutar bola mata malas untuk melihatnya. Ia tidak mengerti dengan perasaannya sekarang. Rasanya terlalu campur aduk. Di sisi lain ia begitu menyukainya hingga rasanya ia ingin berhambur ke pelukannya. Tapi di sisi lain, ia juga begitu membenci sifat semena-mena Kris sampai kadang tangannya begitu gatal ingin mencekiknya.

Entahlah...

"Oh iya bung, kamu masih ingat dengan gadis desa yang aku ceritakan tiga tahun lalu?" tanya Vano menatap Kris.

"Hmm..." Kris hanya berdeham.

"Gadis di depan kita, dia gadis itu, Alena. Dunia benar-benar sempit. Ini seperti sebuah keajaiban," jelas Vano antusias. Sedangkan Kris terlihat malas untuk mendengarkan.

"Aku ingat, waktu itu kamu mengatakan dia terlihat seperti seorang Dewi. Apa seiring zaman berganti, jenis gadis yang dianggap terlihat seperti Dewi penampakannya jadi seperti ini? Aku pikir ia memiliki tubuh yang semampai dengan buah dada besar. Tapi ternyata..." Kris menggantung kalimatnya seraya men-scan tubuh Alena dari ujung kaki sampai kepala. Kemudian, dia menyeringai tipis. Jelas, Alena sangat tahu arti seringaian itu. Sial!

Dia sedang merendahkannya sekarang.

"Memangnya kenapa? Alena datang di kegelapan menerangi jalanku saat itu dan menolongku. Semua orang memiliki definisi berbeda-beda tentang seorang Dewi. Dan menurutku, Dewiku tidak pernah berubah. Dia adalah Alena." Vano tersenyum lebar menatap Alena.

Kata-kata Vano seperti selembar plester yang ditempelkan pada luka hati Alena. Benar-benar menyejukkan jiwa. Tidak seperti kefrontalan si Kris yang selalu berhasil meleburkannya.

"Makasih, Kak..." Alena menggumam pelan.

"Eh, aku loh yang makasih. Kalau nggak ada dewiku alias kamu, aku nggak ngerti malam itu akan gimana."

Alena menunduk dan tersenyum kecil ketika kilasan kejadian antara dirinya dan Vano tiba-tiba menembus kepala. Tiga tahun lalu. Saat itu ia hendak pulang ke rumah dari tempat temannya pada malam hari, ia melihat Vano di pinggir jalan desa tampak kebingungan panik. Karena jalan itu berada di tengah sawah, penerangan di sana juga sangat minim kecuali lampu mobil yang dibiarkan menyala.

**
Seorang gadis SMA menghentikan motornya saat ia hendak pulang menuju tempat tinggalnya ketika melihat seorang lelaki melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Meski takut, ia tetap mendekati melihat dia tampak frustasi.

"Apa kamu butuh bantuan?" tanya Alena seraya mematikan mesin motor vespa yang dikendarai.

"Iya, mobil saya kehabisan bahan bakar. Saya juga lupa jalan pulang. GPS juga nggak berfungsi. Sinyal handphone kosong. Kayaknya saya nyasar deh," jelas Vano, lesu.

"Jarak ke tempat pengisian bahan bakar dari sini lumayan jauh. Jam segini juga jarang ada kendaraan yang lewat, Kang."

"Terus gimana?" raut kebingungan kian terpeta jelas di wajah putihnya.

"Ya... Paling besok pagi kalau mau minta bantuan ke warga di sini biar mobilnya jalan. Tapi kalau sekarang udah pasti nggak bisa."

Lelaki itu mendesah lemas, "Apa tidak ada penginapan di sekitar sini?"

Alena terkekeh, "Di sekitar sini? Orang bodoh mana yang akan membangun sebuah penginapan di tengah persawahan kayak gini? Siapa yang mau menyewanya, kerbau?"

Lelaki itu tertawa mendengar jawaban asalnya. "Itu artinya saya harus tidur di mobil sampai pagi dong..."

Gadis itu terdiam sejenak, "Kalau Akang mau, Akang bisa nginap di rumah saya untuk malam ini."

"Beneran?" ada binar antusias di sana, sebelum menunjuk mobilnya. "Lalu, gimana dengan mobilnya?"

"Di desa kita aman, Kang." Ucap Alena penuh keyakinan.

Vano jelas langsung menanggapi dengan senang. "Terima kasih banyak atas tawarannya. Kalau gitu, saya ambil barang-barang dulu di dalam mobil."

Gadis itu hanya mengangguk dan motor vespa tua itu pun berlalu meninggalkan persawahan membonceng si lelaki yang tersenyum semringah menikmati gelapnya pemandangan.

***
Saat Alena masih bergelut dengan pikirannya, pintu ruangan Kris terbuka memperlihatkan sesosok wanita rubah yang tak lain adalah Viona, sekretaris Kris.

Wanita itu membawa handuk kecil dan baskom yang ia yakini itu adalah air hangat sesuai permintaan Kris. Setelah itu, mata Viona mendelik tajam ke arah Alena. Kemudiam beralih pada lelaki di sampingnya. Vano lebih tepatnya. Alena bisa melihat mulutnya terbuka sedikit, kemudian ia menggigit bibir bawahnya sambil menyunggingkan senyuman penuh arti pada Vano sembari menyampirkan anak rambut merahnya ke telinga.

Alena menoleh ke arah Vano. Dan dia pun tampak menyeringai pada wanita rubah itu meski cuma beberapa detik sebelum matanya kembali lagi menatapnya seraya mengulas senyum hangat.

Alena tidak bisa untuk tidak mengernyit geli. Ia seakan bisa mencium sesuatu telah terjadi di antara mereka.

"Pak Kris, ini handuk dan air hangatnya," ucap Viona dengan suara centilnya.

"Oke. Keluar." Sahut Kris datar. Viona meletakkan baskom tersebut di meja.

Sebelum keluar, rubah itu mendekat ke arah Alena. "Apa yang kamu lakukan di sini? Cepat keluar. Jangan bertingkah seperti wanita murahan di depan mereka." Bisik Viona di telinganya.

"Sepertinya kamu sedang membicarakan dirimu sendiri, Nona Viona." Sahut Alena tidak gentar. Dia mendelik kesal, dibalas Alena seulas senyum santai.

"Viona, bukankah saya menyuruhmu untuk keluar?" desis Kris tajam.

Viona membalikkan badannya dan menunduk pada Kris. "Iya, Pak. Permisi." Wanita itu berlalu keluar, setelah melayangkan tatapan kesal pada Alena.

"Untuk apa handuk dan baskom itu?" tanya Vano penasaran.

"Untuk tanganku." Alena menjawab pertanyaan Vano sebelum Kris membuka suara.

Tanpa aba-aba Vano meraih lengan Alena dengan lembut dan mengamatinya. "Kenapa bisa lebam seperti ini, Alena?"

Alena menatap ke arah Kris sekilas. Kris tampak gusar sambil menahan kesal. Dadanya terlihat turun naik menandakan lelaki itu memang sedang geram. Alena yakin alasannya karena si Kris itu takut jikalau dirinya akan menceritakan kalau itu didapatkan akibat cengkeraman dan kemarahan tidak masuk akal yang ditumpahkannya hari itu tanpa dasar yang jelas.

"Hanya tidak sengaja terbentur dinding," jawab Alena berbohong.

"Kamu harus segera mengompresnya. Sini, biar aku yang bantu kompres lebamnya." Vano meraih baskom dan handuk kecil di meja.

Kris segera melangkah dan mengambil alat-alat itu dari tangan Vano, lalu memberikannya pada Alena. Entah ada apa lagi dengannya. Dia tampak jengkel.

"Dia memiliki tangan. Dia bisa melakukannya sendiri!" ketusnya.

"Iya, Kak. Aku akan melakukannya sendiri," sahut sinis Alena sambil menatap Kris kesal. Permusuhan masih membentang lebar di antara mereka berdua. "Kalau begitu, saya permisi." Pamitnya segera, seraya menunduk sedikit untuk keluar.

"Alena, tunggu..." Vano hendak menghentikan langkah Alena, namun tiba-tiba si Kris itu merangkul bahu Vano secara kasar dan menuntunnya ke sofa.

"Kita sudah lama tidak bertemu. Ayo berbicara di sofa," ucapnya pada Vano sambil mengibas-kibaskan tangannya ke arah Alena— mengusir agar ia cepat keluar dari ruangannya.

Dia mulai sinting lagi...

"Tapi aku...,"

Alena bisa mendengar protesan Vano, tetapi ia tetap melangkah keluar dari ruangan CEO angkuh itu. Lama-lama berada di sekitarnya bisa mengakibatkan serangan gila. Ia juga tidak sudi harus berdekatan dengannya terlalu lama.

**
"Bagaimana kabarmu?" tanya Kris melepaskan rangkulannya di bahu lelaki bernama Vano ketika di ruangan itu hanya menyisakan mereka berdua. Kris pun sudah agak lega Vano dan Alena tidak lagi saling bertukar pandangan.

"Seperti yang kamu lihat, aku masih hidup dan bernapas dengan baik." Balasnya.

"Aku sedikit senang mendengarmu masih hidup." Ucap Kris menuju sofa untuk duduk.

"Sedikit? Dasar!" Vano berdecak jengah. "Dude, nggak nawarin kopi atau semacamnya?"

Kris terdiam sejenak...

"Begini, mesin pembuat kopi kami sedang rusak," ia menggaruk kecil kepalanya. "Omong-omong, ada hubungan apa kamu sama Viona?" tanya Kris mengalihkan pembicaraan.

Vano menyeringai, "Ternyata kamu lihat ya. How smart," Ia terkekeh. "Well, nggak ada hubungan apa-apa, hanya bersenang-senang." Sahut Vano seraya menyilangkan kakinya dan melihat-lihat seisi ruangan Kris yang besar dan tertata rapi.

"Sudah berapa kali?" tanya Kris lagi, dan dibalas dengan acungan satu telunjuk oleh Vano. Mereka seolah saling mengerti lontaran kata ambigu itu. Berselang sedetik, dia kembali membuka satu telunjuknya lagi sambil tersenyum miring.

"The fuck... How could you?!" Kris membelalak, kemudian menggeleng-geleng. "Sekretarisku saja kamu embat. Benar-benar manusia kotor."

"Kami tidak sengaja bertemu di kelab malam. Wanita itu datang padaku. Dan terjadilah pertempuran di ranjang," Vano mengangkat bahu, berucap santai.

"Bagaimana bisa?"

"Apanya? Bagaimana bisa kami berakhir di ranjang, atau bagaimana kami melakukan pertempuran ranjangnya? Kamu ingin mendengar detail ceritanya, huh?" sahut Vano dengan jahil.

"Sialan!" desis Kris, dibalas kekehan renyah oleh Vano. "Bagaimana kabar orangtuamu?" tanya Kris, lagi - lagi mengganti topik pembicaraan tidak bermutu Vano.

"Mereka baik, sangat baik malah."

"Ayahmu masih sibuk dengan rumah sakitnya?"

Ya, ayah Vano adalah pemilik sebuah rumah sakit swasta di Jakarta.

"Ya... begitulah. Kamu tahu rumah sakit itu adalah hidupnya."

"Kamu serius tidak ingin meneruskan pekerjaannya, bung? Rumah sakit itu bertambah besar, dan aku pikir jika kamu mengelolanya, mungkin akan berjalan semakin lancar. Walaupun kamu terlihat bodoh, tapi aku tahu kamu cukup pintar." Ledeknya.

"Terima kasih atas pujianmu!" sahut Vano sarkas, lalu membuang napas. "Rumah sakit bukanlah bidangku. Aku bahkan merasa mual berada di sana terlalu lama. Aku tidak tertarik sama sekali. Aku malah ingin fokus mengembangkan perusahaanku yang dari nol aku bangun."

Kris mengangguk, "Well, Orangtuamu kan tidak pernah mempermasalahkan pekerjaanmu. Mereka terlihat mendukung semua keputusanmu. Kamu memiliki orangtua yang hebat. They are the best, you know." Kris tersenyum hambar.

Vano mengangguk setuju. "Mereka merindukanmu, aku yakin. Mampirlah ke rumah sekali-kali." Ia lantas menyematkan rokok di sudut bibir. "Lalu, bagaimana dengan Nyonya Liem?"

Kris tersenyum tipis. "Ibuku jarang di Indonesia. Dia sedang sibuk dengan perjalanan keliling dunianya."

"Wow, Ibumu benar-benar bisa memanfaatkan kekayaannya dengan baik." Vano berucap takjub.

Kris hanya tersenyum miring, tidak membalas.

Continue Reading

You'll Also Like

7.3M 345K 51
Setelah kejadian enam tahun lalu, Rika harus rela menjadi single parent untuk anaknya, Raka. Raka Matteo, hanya anaknya itu lah yang menjadi tujuan d...
1.6M 14.8K 24
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
1.1M 66.2K 35
FOLLOW DULU SEBELUM BACA Revan mencintai Shilla, tapi hanya tangis yang tercipta. Memilih mundur dan kabur sebagai upaya mengubur rasa. Bukan membaik...
5.6M 275K 51
Cerita ini bisa membuatmu gila!! Hati-hati jadi SARJANA BUCIN🚫🚫 [Follow dulu sebelum baca] *** Ini tentang Ana si gadis polos dan pekerja keras. Da...