Ini bukan masa lalu mereka lagi, ya.
Jansen mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia mengembuskan napasnya perlahan agar bisa meredakan emosinya.
Setelah dirasa sudah cukup tenang, Jansen pergi dari dapur Dimas. Dia melangkah menuju kamar yang ditempati Lana. Ya, dia tahu Lana di kamar itu karena pintu terbuka dan dia melihat Lana berdiri di depan jendela.
Jansen masuk dan dia mengunci pintu agar Lana tidak bisa lari darinya.
Dia mendekati Lana. Menyentuh bahu Lana yang kaku.
"Lana, maafkan aku," ucap Jansen dengan pelan. Dia memutar tubuh Lana. Lana menatap Jansen dengan sedih.
"Lana...."
"Aku tak ingin bicara apa pun padamu. Kau penipu!" Jansen menundukkan kepalanya sebentar. Lalu dia menatap wajah Lana yang pucat, mata Lana juga sayu.
"Kenapa kau menipuku? Kau sudah tahu ibu kandungku siapa, tapi kau tidak memberitahu aku." Lana menepis tangan Jansen.
"Akan aku jelaskan, Lana...." Lana menggeleng.
"Aku sudah tahu. Bahkan sudah tahu apa alasanmu menikahi aku. Jansen, kau tak perlu berpura-pura lagi. Aku tahu kau tidak peduli padaku. Jangan baik padaku hanya karena Loly. Sama saja kau tidak tulus." Lana melangkah mendekati tempat tidur. Duduk di sana. Jansen mendekati Lana. Dia merogoh saku celananya dan mengambil cincin Lana.
"Lana...." Jansen tidak melanjutkan ucapannya saat Lana mengambil cincin itu, lalu membuangnya.
"Pergi saja dari sini!" usir Lana, dia mengusap pipinya dari air mata.
Jansen duduk di sebelah Lana, dia membingkai wajah Lana.
"Aku takut," bisiknya lalu memeluk Lana. Lana menolak pelukan itu, dia memaksakan senyumnya.
"Lana, Dimas itu berbahaya. Dia tidak seperti yang kau lihat. Dia itu jahat."
"Kalau dia jahat, lalu bagaimana denganmu?" Jansen menunduk lagi.
"Maafkan aku, Lana. Bukannya aku tidak senang kau hamil, hanya saja—" "Tidak kau anggap juga tidak masalah," potong Lana membuat Jansen semakin cemas.
"Lana, sejujurnya hanya kau istriku."
"Ya, sebentar lagi juga akan kau ceraikan. Aku sudah tahu tujuanmu datang ke sini. Aku setuju kita berpisah. Itu, kan kemauanmu, Jansen."
"Awalnya begitu, tapi aku berubah pikiran. Lana, entah kenapa aku menjadi takut kalau kau tidak ada di dekatku." Lana mengusap air matanya. Dia menatap Jansen penuh tanya.
"Aku sudah bertemu dengan ibunya Andrea dan Amora," ucap Lana membuat Jansen tertegun. "Bu Dania menceritakan banyak hal padaku tadi siang."
"Apa saja yang dia katakan padamu? Jangan pernah percaya pada apa yang dia katakan, Lana! Kau tahu kenapa dia di tahan?"
"Dia di rumah sakit jiwa!" Jansen menatap penuh tanya.
"Lana, aku tidak tahu kenapa dia bisa di rumah sakit jiwa. Tapi yang harus kau tahu, dia orang yang sangat berbahaya. Aku akui, aku memang salah karena tidak jujur padamu soal ibu kandungmu. Tapi Lana—" Lana menutup mulut Jansen menggunakan tangannya.
"Besok saja ceritanya, aku ngantuk karena ceritamu tidak ada yang menarik. Aku ingin tidur." Jansen mengangguk. Dia menangkap tangan Lana, lalu mengecupnya.
Langsung saja Lana tersipu malu. Lana akui, dia memang tidak bisa marah pada Jansen.
"Tidurlah," kata Jansen mengecup kening Lana membuat Lana menghangat. Lana berbaring, dia menepuk disebelahnya agar Jansen berbaring disebalahnya.
Jansen tersenyum, dia menuruti kemauan Lana. Dia melepas sepatu dan kaos kakinya. Lalu berbaring di sebalah Lana.
Jansen menatap Lana yang kini sudah memejamkan matanya. Dia tidak melakukan apa pun, hanya menatap Lana. Entah kenapa dia menjadi terharu sampai tidak sadar air matanya sudah menetes.
"Lana...." desah Jansen, Lana langsung membuka matanya.
"Kau menangis?" tanya Lana dengan pelan. Jansen tersenyum. Dia menarik Lana ke dalam pelukannya, memeluk Lana dengan erat.
"Tidurlah," katanya. Lana hanya mengangguk.
Jansen melonggarkan pelukannya saat dirasa Lana sudah tidur. Dia baru sadar kalau tubuh Lana mungil.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan perasaan ini, Lana. Rasanya aku tidak pantas." Jansen mengelus rambut Lana.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi besok dan besoknya lagi. Tapi aku berharap kau tidak pergi dariku. Maaf kalau aku yang terlalu gengsi mengakuinya." Jansen mengecup puncak kepala Lana.
★∞★
Pukul enam pagi
Di rumah Dimas
Lana membuka matanya saat dia merasa sesak. Orang yang pertama dia lihat adalah Jansen. Lana duduk dan melepaskan tangan Jansen dari perutnya.
Lana mendorong Jansen membuat Jansen terbangun. "Ah, maaf...." kata Lana, dia menggigit bibirnya pelan.
"Lana, kau sudah bangun?"
"Baru saja." Jansen menarik Lana sehingga Lana berbaring lagi.
"Jangan," bisik Lana serak. "Jangan menyamakan aku dengan Andrea. Aku tidak suka. Hatiku sakit mendengar kau menyebutku Andrea saat itu."
Senyum Jansen menghilang, dia menggenggam tangan Lana.
"Aku tidak tahu kapan melakukan itu. Tapi, maafkan aku. Mungkin karena aku mabuk." Lana mengangguk.
"Lana! Buka pintunya!" Lana dan Jansen saling menatap. Jansen duduk dan dia turun dari tempat tidur. Dia mendekati pintu dan membuka pintu.
"Kau mengganggu orang saja!" geram Jansen. Dimas menatap Jansen tidak suka.
"Lana, ayo ikutlah denganku. Aku akan membawamu bertemu dengan Andrea!" Mendengar nama Andrea, Lana langsung turun dari tempat tidur. Dia berlari mendekati Jansen dan Dimas.
"Mana, di mana dia?" tanya Lana. Dimas menarik tangan Lana, tapi Jansen juga menarik tangan Lana.
"Jangan, Lana."
"Jansen, lepaskan aku!" Lana menarik tangannya, tapi Jansen menggeleng.
Dimas menarik tangan Lana, mau tidak mau Jansen juga harus ikut.
Dimas melepaskan tangan Lana saat menyadari pergelangan tangan Lana yang memerah. Dia membuka pintu kamarnya, mendekati pintu rahasia, dan membuka pintu itu.
"Ayo masuk, Andrea ada di sana." Lana menatao Jansen, Jansen hanya mengangguk. Dimas tersenyum licik.
Lana melangkah dengan cepat karena tidak sabaran. Sampai mereka bertiga melihat sosok seorang wanita yang duduk di kursi roda.
"Andrea...." desis Jansen melepaskan tangan Lana membuat hati Lana terasa ngilu.
Bahkan Jansen mendekati Andrea dan Lana tidak suka hal itu.
"Andrea...." ucap Jansen mengerutkan keningnya. Dia tidak ada niat apa pun, hanya ingin memastikan saja. Tapi Jansen tersenyum.
Jansen menyentuh kening Andrea membuat Lana terbakar cemburu. Dia menunduk, lalu memutar tubuhnya. Lana melangkah pergi dari ruangan itu. Bahkan dia berlari, keluar dari rumah Dimas.
"Andrea, aku kenalkan istriku pad—" Jansen terdiam saat tidak melihat Lana di ruangan itu. Sementara Dimas hanya tertawa pelan.
"Lana...." desis Jansen melangkah pergi dari ruangan tempat Andrea.
"Lana!" jeritnya. Dia melihat ke kamar, tidak ada.
Jansen mengambil kunci mobil dan sepatunya. Dia juga mengambil tas selempang milik Lana, lalu keluar dari rumah Dimas.
Dia mendekati mobilnya, membuka pintu belakang dan dia tertegun dengan apa yang dia lihat.
"Aku tidak tahu pergi ke mana, jadi aku masuk ke mobilmu karena—" ucapan Lana membuat Jansen bernapas lega. Jansen masuk ke dalam mobil, lalu dia memeluk Lana.
Dia tahu Lana tidak mengerti banyak hal. Bahkan saat Lana terluka, bisa-bisanya dia kabur ke dalam mobil Jansen. Padahal niatnya dia ingin kabur jauh.
"Jangan pergi," kata Jansen. "Aku hanya ingin bersamamu karena hanya kau istriku." Lana tidak menjawab, dia malah menangis seperti anak kecil dipulakan Jansen.
★∞★
Semoga suka!
Vote dan koment kalau suka. Kalau nggak suka juga vote aja, wkwk(^v^)
Terima kasih!
12 September 2017