Lana menatap kamar pembantu di rumah Jansen dengan kening berkerut. Rasanya tidak seperti kamar pembantu pada umumnya.
"Ini terlalu bagus. Apa aku ke rumah kosong di belakang rumah Jansen saja? Kurasa begitu, karena tempat itu terjauh dari kamar Jansen." Lana melangkah gontai menuju pintu belakang.
Dia memeluk dirinya sendiri saat kulitnya bersentuhan dengan angin malam yang dingin. Semakin dekat, Lana sama sekali tidak ada keraguan untuk tidur malam ini di rumah itu.
"Aku kangen ibu Diamond dan ibu Lyan. Mereka pasti bersenang-senang di sana." Lana berdiri mematung saat sudah ada di depan pintu rumah kecil itu. Dia membuka pintu yang ternyata tidak di kunci.
"Gelap." Lana meraba-raba dinding untuk mencari saklar lampu. Saat sudah menemukan saklar lampu, Lana menekan sehingga ruangan itu sedikit mempunyai penerangan yang remang-remang.
"Sepertinya ini bukan rumah. Tidak ada kamar di sini dan ini lumayan berdebu. Oh, apa itu?" Lana menatap kain putih yang digunakan sebagai penutup sesuatu.
Dia mendekat dan langsung menarik kain putih tersebut.
"Ini lukisan." Lana mengerutkan keningnya. Dia tidak mengenal perempuan di lukisan itu.
Lana mengangkat lukisan yang lumayan besar itu, dia melemparnya ke lantai. Dia melihat ada bingkai foto yang besar.
"Oh, ini Jansen. Siapa wanita ini?" Lana semakin penasaran karena wajah wanita di foto hampir sama dengan di lukisan.
"Apa dia Andrea? Kurasa begitu. Ini pasti foto pernikahan mereka. Ternyata Andrea cantik, wajar Jansen suka." Lana tersenyum kecut.
Lana menatap sekeliling ruangan itu, dia melongok barengan dengan jatuhnya cairan bening dari pelupuk matanya.
Dia baru menyadarinya, bahwa di seluruh dinding ada foto seorang wanita di tempel di sana.
"Wajahnya sama semua. Ini Andrea, wanita yang dicintai Jansen." Lana menunduk, tangannya yang gemetar menyentuh perutnya yang masih rata.
Dengan menguatkan diri, Lana melangkah menuju meja yang ada di ruangan itu. Dia melihat ada beberapa album foto.
Lana meraih tiga album, lalu dia duduk di lantai. Dia membuka album foto dengan jantung yang berdebar tak karuan.
Dibukanya terus, dengan cepat, dan tangan kirinya menutup mulutnya.
Karena tidak tahan, Lana melempar album foto itu ke sembarang arah.
Di setiap foto yang ada, Jansen tampak tersenyum manis dan begitu bahagia bersama Andrea.
Lana membaringkan tubuhnya di lantai yang berdebu. "Apa aku pergi saja dari sini? Tapi aku takut Amora menyiksaku. Kalau dia tahu aku hamil, pasti dia langsung marah besar." Lana menatap jari manisnya. Dia melepaskan cincin pernikahannya dengan Jansen.
"Kenapa kau menikahiku kalau kau sudah punya Andrea? Padahal kau tidak suka padaku. Kenapa?" Lana meletakkan cincin itu di lantai.
"Besok aku akan ke rumah sakit jiwa itu," desahnya pelan, dia memejamkan matanya.
★∞★
Keesokan harinya, Jansen seperti biasa pergi ke kantor setelah dia mengantar Loly ke sekolah.
Tadi dia sama sekali tidak melihat Lana.
Mungkin dia masih tidur.
Jansen menghentikan mobilnya saat melihat mini market khusus menjual perlengkapan bayi.
Seketika dia memikirkan ucapan Lana tadi malam.
"Apa benar dia hamil? Anak siapa? Apa anakku?" Jansen menundukkan kepalanya. Kenangan masa lalu itu muncul lagi dalam ingatannya.
"Lana pasti hanya berpura-pura! Dia tidak mungkin hamil! Dia pasti hanya ingin mencari perhatianku saja." Jansen mengepalkan tangannya. Dia turun dari mobil dan masuk ke dalam mini market tersebut.
"Biar dia senang, aku belikan saja pakaian bayi untuknya." Jansen melihat ada banyak jenis pakaian bayi yang lucu.
Jansen memilih perlengkapan bayi mulai dari pakaian, sepatu, kaus kaki, dan lain-lain sampai dia lupa waktu.
Sementara di lain tempat, Lana berdiri mematung di depan ruangan yang pernah dia kunjungi bersama Raya. Lana membuka pintu dan dia melihat Dania duduk di tempat tidur.
Lana masuk dan menutup pintu.
"Kau datang sendirian?" Lana mengangguk.
"Raya benar-benar keterlaluan! Setelah dia mendapatkan uangnya, dia malah kabur. Awas saja nanti!" Lana mendekati Dania yang terlihat kesal.
"Maaf kalau aku mengganggu."
"Tidak. Duduk di sini, Lana." Lana mengangguk. Dia duduk di kursi yang ada.
"Jadi, kenapa kau nekat datang ke sini sendirian, hmm?" Dania mengerutkan keningnya saat menyadari Lana yang tampak kacau.
"Lana, kau baik-baik saja? Apa Jansen menyakitimu? Atau, apa Amora menemukanmu?"
"Aku sudah lama tidak bertemu Amora. Apa dia putrimu? Kurasa begitu karena kalian mirip." Dania tersenyum kecut.
"Ya, jadi Lana ... aku ini adalah—" "Tolong beritahu aku tentang Andrea dan Jansen, Bu." Lana kembali menangis. Kedua tangannya memegangi perutnya.
Seperti menyadari hal itu, Dania tersenyum sinis. "Lana, kau hamil?" Lana mengangguk.
"Lana, entah ini harus kuceritakan atau tidak, tapi sepertinya kau harus tahu. Ini tentang Jansen."
Lana mengangguk saja. Siap mendengarkan apa pun yang akan dikatakan Dania.
"Jansen itu adalah menantuku. Andrea dan Amora adalah putriku. Langsung saja, ya. Lana, kau harus tahu kalau sampai kapan pun Jansen tidak akan bisa menerima kehamilanmu. Sama seperti Andrea dulu. Jansen tidak suka anak kecil, dia tidak suka pada perempuan yang hamil."
Lana menundukkan kepalanya. "Aku sudah memberitahu Jansen, tapi dia tidak percaya. Dia malah mengatakan kalau aku ini pembohong."
"Aku sangat membenci Jansen, Lana. Aku punya alasan kenapa aku membunuh semua anggota keluarganya. Lana, kau harus pergi sejauh mungkin dari hidup Jansen. Dia tidak pernah tulus, dia tidak bisa menerima kehadiran anak kecil dalam hidupnya. Kalau ada, itu hanya berlaku pada Loly karena dia putri Andrea. Lana, Jansen tidak pernah mencintaimu. Dia menikahimu karena dia sudah tahu siapa ibu kandungmu! Dia menipumu!"
Dania menarik tangan Lana sampai Lana berdiri. Lana duduk di tepi tempat tidur.
"Ibu kandungku siapa?"
"Diamond. Tapi itu tak lagi penting. Yang terpenting sekarang, kau harus melindungi kandunganmu."
"Tapi aku tidak tahu harus pergi ke mana. Aku takut bertemu Amora, Bu." Dania menyentuh bahu Lana.
"Amora sedang pergi liburan. Jadi kau aman untuk pergi. Jansen tidak pernah mengharapkanmu dalam hidupnya! Kalau nanti perutmu sudah mulai besar, dia pasti menyuruhmu menggugurkannya. Lana, kau harus percaya padaku karena aku sama sekali tidak berniat jahat padamu. Dia hanya memanfaatkanmu agar Loly senang."
"Aku pergi dulu, Bu." Lana mengusap air matanya dengan kasar.
Dia berdiri, lalu pergi dari kamar Dania dengan langkah yang cepat.
"Kau akan menerima balasannya, Jansen. Kau akan kehilangan Lana dan juga bayimu!" Dania tersenyum sinis, dia meraih ponselnya.
Melacak keberadaan Jansen sekarang. "Oh, percuma kau melakukan itu, haha...."
Sementara itu, Lana terus melangkah sambil menangis.
"Aku harus pergi. Aku akan pulang ke hutan. Tapi aku harus berpamitan dulu pada Loly. Semoga dia sudah pulang." Lana mengusap air matanya dengan kasar. Hatinya terasa sakit dan harapannya sudah sirna untuk mendapatkan kebahagiaan!
★∞★
Vote dan komen kalau suka :) tinggalkan cerita ini kalau nggak suka!
Terima kasih!
5 September 2017