Cahaya matahari yang menyinari bumi dengan murah hati mengiringi langkahku. Warna lensa kacamataku berubah menjadi gelap setelah aku berjalan beberapa meter dari kost. Sementara hawa panas menerpa tubuhku yang bernaung di bawah payung.
Enaknya naik ojek atau jalan kaki sampai halte?
Kulihat Kai muncul dari halaman. Dia berhenti melangkah saat melihatku.
"Mau ke mana?" tanyanya.
"Balai Kartini."
"Ngapain?"
"Aku ikut bazar majalah Karla."
"Aku mau ke Tebet. Bareng, yuk. Atau mau jalan kaki sambil mikir?" guraunya.
Berarti dia melewati tempat yang kutuju. Lumayanlah bisa ngadem. "Oke."
Kututup payungku dan kulipat. Lalu, aku masuk ke mobil dan meletakkan benda itu di lantai. Sesudah aku memasang sabuk pengaman, Kai menyalakan mesin dan mobil bergerak pelan.
"Apa pemikiran hebat yang kamu dapatkan hari ini?" tanyanya.
Aku menoleh. "Kayaknya nggodain aku bikin kamu bahagia, ya?"
Dia tergelak. "Kamu terlalu serius. Aku kasihan sama otakmu karena kerja terlalu berat."
"Justru aku kasihan sama orang yang punya otak, tapi enggak pernah dipakai. To find yourself, think for yourself," ungkapku. "Cogito ergo sum," tambahku.
"Saya berpikir maka saya ada."
"Iya."
"Carpe diem," cetusnya tanpa mengalihkan pandangan mata dari Jalan Gatot Subroto yang ramai lancar.
"Seize the day."
Dia menoleh. "Kamu juga harus menikmati hidup."
"Setiap orang menikmati hidup dengan cara sendiri. Ada yang suka pesta semalam suntuk, ada yang memilih diam di rumah dan membaca buku. Kamu pikir aku enggak menikmati hidup?"
Mulutnya terkatup rapat.
Mobil berhenti di depan Balai Kartini. Kulepas sabuk pengaman, lalu kubuka pintu mobil. "Makasih," ujarku, lalu turun.
Aku masuk ke Kartika Expo dan menuju stanku. Di sana, aku melihat Yolanda sedang duduk di kursi sambil menatap ponsel. Aku mengajak mantan teman kuliahku itu berbagi stan demi menekan biaya sewa. Dia berjualan kain batik karena bosan menjadi pegawai. Kami sesama pengusaha pemula yang masih berjuang.
"Di luar panas, di sini dingin," ujarku sambil mengambil oversized army jacket dari dalam tas dan mengenakannya.
Dia mendongak, lalu bangkit dan merapikan sack dress satin warna krem yang dipakainya. "Jangan jutek, nanti calon pembeli kabur."
"Enggak janji."
Yolanda terkekeh, lalu pergi ke resepsi pernikahan temannya.
Kuhempaskan pantat di kursi yang tadi dia duduki, lalu kulemparkan pandangan mataku ke sekeliling ruangan. Suasana masih sepi karena bazar baru saja dibuka. Bazar fashion dan kuliner ini dimulai Jumat lalu. Selain bazar, juga ada fashion show, talk show dan demo masak.
Hari ini adalah hari terakhir. Sejauh ini jualanku baru laku sepuluh. Dua jam berlalu dan belum ada pembeli. Sejak tadi hanya ada beberapa pengunjung yang melihat-lihat. Aku pun mengusir kejenuhan dengan membaca berita di ponsel.
"Baca apa?"
Aku menengadah dan melihat Nandini berdiri di hadapanku.
Kumasukkan ponsel ke tas. "Chris Cornell bunuh diri."
Dia duduk di karpet dan meletakkan tas plastik di atas karpet. "Oh, ya? Kenapa?" tanyanya sambil mengambil kardus dari dalam tas itu, lalu mengulurkannya padaku.
Kuterima kardus itu dan kubuka. "Depresi."
"Kayaknya kamu pernah pengin bunuh diri," ujarnya.
Aku menyendok sesuap nasi goreng. "Waktu itu aku masih peduli dan mendengarkan opini orang tentangku. Aku hanya ingin dimengerti, tapi yang mereka lakukan hanya menghakimi dan membuatku sedih. Tapi... kupikir kalau aku benar-benar bunuh diri, mereka tetap akan menghakimiku. Why don't they go f**k themselves!"
"Orang menghakimi manusia lain karena merasa lebih baik dari orang itu," ujarnya sedih.
"Kemudian aku sadar, aku tidak akan pernah bahagia kalau peduli pada perkataan negatif orang tentangku. Ada kutipan sadis, tapi ngena, 'Orang lain itu seperti kotoran. Mereka bisa memupukmu dan membantumu berkembang sebagai manusia atau mereka bisa menghambat perkembanganmu dan membuatmu layu dan mati'."
Nandini memilin mie goreng dengan garpu plastik. "Bener banget, tuh."
Pukul empat sore, Cesta dan Michelle datang. Stanku yang berukuran mungil jadi terlihat semakin sempit. Di sini ada tiga rak kayu. Dua rak berisi daganganku, sedangkan satunya lagi memajang jualan Yolanda. Di bagian depan ada meja untuk kain batik temanku dan satu maneken. Di antara dua rakku ada satu cermin panjang untuk melihat seluruh badan.
Yolanda tiba-tiba muncul. "Laku berapa?"
"Belum laku," jawabku lemah.
"Makan, yuk," ajaknya.
Aku, Nandini dan Yolanda pergi ke tempat makan yang ada di sisi kanan area bazar. Sementara Cesta dan Michelle menunggu stan. Food court tampak lengang karena belum jam makan malam. Kami menyantap makanan di meja bundar. Aku duduk di tengah, sedangkan Nandini dan Yolanda saling berhadapan.
"Masih ingat Wilma, angkatan kita? Dia nikah lagi, lho," cetus Yolanda.
"Artinya dia pernah nikah, lalu pisah?" tanya Nandini.
Yolanda mengangguk. "Sebelumnya dia nikah dan punya anak, lalu cerai. Sekarang nikah lagi."
"Mantan suaminya, teman kumpul kebonya?" tanyaku.
"Bukan. Dia selingkuh dari tunangannya, lalu diputus." jawab Yolanda sambil menyingkirkan sawi dari mangkuk yamie ayam. "Sudah ngomong enggak pakai sayur kenapa dikasih sayur," omelnya.
"Tunangannya kurang hebat di ranjang?" candaku.
Mereka tertawa.
"Justru lebih hebat dari selingkuhannya, tapi kurang tajir," ungkap Yolanda.
"Terus dia nikah sama selingkuhannya?" tanya Nandini sambil memotong siomay tahu.
"Dia putus sama selingkuhannya, kemudian dapat cowok lain dan nikah," kata Yolanda.
"Kenapa cerai? Kurang apa dia?" tanyaku.
Yolanda mengangkat bahu.
"Kayaknya dia jenis orang yang impulsif. Mungkin dia bakal cerai lagi. Tapi, bisa juga sih dia cerai karena pernikahannya toxic," timpalku.
"Kamu sih cari aman," sindir Yolanda. "Kalau kelamaan mikir, nanti cowok yang kamu suka kabur."
Kuletakkan sendok dan garpu ke mangkuk berisi bihun kuah. "Jika cewek lain memilih untuk mencium banyak katak sebelum menemukan Pangeran Katak. Aku memilih untuk menguji apakah katak itu memang layak untuk menyentuh bibirku dengan bibirnya. Enggak ada yang benar dan salah karena setiap orang menanggapi segala sesuatu dengan cara berbeda."
Mendadak aku mendengar suara familier, "Kamu membuat cangkang yang susah ditembus siapa pun untuk melindungi hatimu dan enggak sadar kalau itu melukai orang lain."
Aku menengok ke kiri dan melihat Kai berjalan di dekat meja tempat aku makan. Mataku terbelalak. Kini dia berdiri di depanku dan menatapku tajam.
"Kamu... benar. Aku terlalu sibuk melindungi diriku sampai mengabaikan perasaan orang yang benar-benar tulus. Masalahnya enggak semua orang bisa dipercaya," ujarku.
Alisnya terangkat. Lalu, dia menyodorkan payung warna biru bermotif polkadot putih. "Payungmu ketinggalan."
"Kamu enggak perlu balikin sekarang dan keluar duit buat bayar tiket masuk," kataku sambil menerima payung itu, lalu menaruhnya di atas meja.
"Aku pengin lihat-lihat."
"Tahu dari mana kalau aku di sini?"
"Tadi aku ke stanmu. Kata Cesta kamu lagi makan."
"Pasti kamu yang namanya Kailash?" tanya Yolanda sok tahu.
Kai menoleh ke arah Yolanda.
Aku menunjuk Yolanda dengan tangan kanan. "Ini Yolanda teman kuliahku."
Kai mengulurkan tangannya yang langsung disambut Yolanda. "Panggil saja Kai."
"Balik yuk, biar Cesta sama Michelle bisa makan," usulku.
Kami meninggalkan food court. Kupercepat langkahku karena kulihat stanku penuh orang. Ada tiga cewek sedang melihat-lihat. Cesta berdiri di luar stan sambil memasang resting bitch face, sedangkan Michelle mengawasi calon pembeli dengan wajah ditekuk.
"Jelek," ujar seorang cewek berambut panjang berombre hijau sambil meletakkan blus batik berlengan tulip warna kuning.
"Barang murah," sahut seorang cewek berambut bob pirang.
Kukepalkan kedua tanganku.
Sabar! Orang sabar disayang Tuhan.
Seorang cewek berambut cokelat panjang membalik badan, lalu tersenyum.
"Hai," sapa Jessica.
"Hai," balasku.
Kedua temannya ikut-ikutan memutar tubuh mereka. Ternyata mereka teman Kai yang pernah kutemui di Anyer, Anna Wintour wannabe dan cewek kenes berambut panjang.
"Kai," seru si cewek berambut ombre, sumringah.
"Hai," balas Kai.
Kedua teman Jessica langsung cipika cipiki dengan Kai. Sementara Jessica mematung dan menghindari kontak mata dengan mantan pacarnya.
"Kalian masih pacaran?" tanya Anna Wintour palsu.
Maksudnya? Meskipun hanya pacar pura-pura Kai, entah kenapa pertanyaan itu membuatku sewot.
Kai merangkulku. "Masihlah," ujarnya.
"Jaketmu bagus. Pasti beli di Stradivarius," cewek berambut ombre mengomentari jaket yang kupakai. Jaket yang mirip dengan milik Kai, tapi sekarang kumodifikasi dengan tempelan mirip bordir.
"Bukan," jawabku.
"Bershka?" tanya Anna Wintour wannabe.
"Bukan, tapi...." Aku belum selesai menjawab Jessica langsung menyahut, "New Look!"
"ITC Kuningan," balasku cepat.
"Oh," kata Anna Wintour palsu dengan ekspresi ngeri.
Aku ingin menonjoknya, tapi dia terlihat seperti seorang drama queen yang suka membesarkan masalah.
"Bagus," timpal Jessica.
Entah sebagai permintaan maaf atas perlakuan temannya atau menurut dia memang bagus. I don't give a shit. Berteman dengan mereka pasti sangat melelahkan.
"Cabut, yuk!" ajak si rambut ombre.
"Dadah," pamit Jessica.
Anna Wintour wannabe memutar tumitnya yang beralaskan pump shoes motif leopard berpernis merah di bagian bawah. Christian Louboutin? Kok dia mampu beli sepatu yang harganya setara dengan dua bulan gajiku. Aku enggak pengin sepatu itu. Aku cuma iri dengan orang bergaji gede. Selama ini aku belum pernah mendapat gaji dua digit. Tapi, siapa tahu dia pakai barang palsu.
"Kamu kenapa?" Suara Kai menyadarkanku.
Aku menggeleng, lalu menyingkirkan tangannya dari bahuku.
Dia mendekati salah satu rak, kemudian melihat pakaian yang digantung di sana. Lalu, dia beralih ke rak lain. Dia mengambil sack dress asimetris berbahan batik lurik warna hitam. "Cocok enggak buat Larissa?"
Apa aku enggak salah dengar?
Aku menggeleng. Lalu, kuambil sack dress tanpa lengan berbahan batik warna hitam dengan sentuhan keemasan dan kuberikan padanya.
Dia mengembalikan gaun asimetris ke rak, lalu menerima sack dress pilihanku. "Ini cocok?" tanyanya.
Sebenarnya Larissa jenis cewek yang akan terlihat bagus ketika memakai baju apa pun.
"Itu paling mahal."
"Dasar!"
"Cewek kayak Larissa enggak mungkin pakai barang murah," ujarku. Alisnya terangkat. "Jangan tersinggung. Aku enggak jelekin pacar kamu."
Harapanku dia akan meralatku dan mengatakan, "Larissa bukan pacarku." Tapi, bibirnya tertutup rapat. Sementara matanya tertuju pada label harga.
"Diskon lima puluh ribu, ya?" tanyanya.
"Lima belas ribu. Batiknya mahal."
"Aku enggak peduli."
"Kamu harus mendukung teman yang sedang merintis usaha," rayuku.
Kai tertawa, lalu menaruh gaun itu ke atas kursi. Kemudian dia merogoh saku celana untuk mengambil dompet. Dia menarik lima lembar uang seratus ribu dan memberikannya padaku.
Beneran?
Kuterima uang itu, lalu kuambil dompet dari dalam tas. Sayangnya, tidak ada uang pecahan kecil. Yolanda dan yang lain kabur entah ke mana.
"Kembaliannya besok, ya?" ujarku tidak enak.
"Gampang."
Kulipat gaun itu, lalu kubungkus dengan plastik bening. Setelah itu, kumasukkan ke dalam tas kertas daur ulang dan kuberikan pada Kai. "Makasih."
"Aku balik, ya."
Aku mengangguk.
Dia membalik badan. Mataku terus mengawasi pergerakannya hingga dia menghilang dari pandanganku.
"Mbak pacaran sama Mas Kai?" tanya Cesta waktu dia kembali ke stan.
"Cewek berambut cokelat tadi mantan Kai dan belum move on. Kai minta aku jadi pacar bohongan," terangku.
"Cowok kayak gitu jangan dianggurin," ujar Yolanda.
"Kayaknya... dia sudah punya pacar," kataku.
"Cewek yang di CFD?" tanya Michelle.
"Iya."
"Background check, Mbak. Kalau perlu sewa detektif," usul Michelle. "Jangan kayak temenku, tunangan sama cowok beristri yang ngaku single.
"Temenmu sih aneh-aneh, Chelle. Balik yuk," ajak Cesta.
"Mau nebeng?" tanya Nandini.
"Mau," seru Cesta.
Mereka pulang, sedangkan aku dan Yolanda menunggu bazar selesai. Pukul delapan malam, Pak Noto menjemputku dan membantu membereskan barang untuk dibawa ke rumahku di Cibubur. Sementara Yolanda pulang ke Bogor.
Jam di mobil menunjuk pukul 22.30 waktu aku tiba di kost. Dari dalam mobil aku melihat Kai berjalan bersama Larissa dan berhenti di depan mobil cewek itu. Lengan kanan Kai melingkar di bahu Larissa.
"Dulu pelukan. Sekarang rangkulan. Besok ciuman?" gumamku.
"Apa, Mbak?" tanya Pak Noto bingung.
"Er... barangnya diturunin besok saja. Ini sudah malam," ujarku. "Makasih. Hati-hati ya, Pak."
"Iya, Mbak."
Aku turun dari mobil, lalu memencet bel. Kutoleh ke kanan dan kulihat Kai berdiri di pinggir jalan, sementara mobil Larissa sudah lenyap. Derit pagar besi yang diseret membuatku menarik tatapan mataku ke depan.
"Makasih," ucapku sambil berjalan masuk ke halaman kost.
"Sama-sama," ucap Mbak Yani.