Aku menaruh cangkir berisi gula dan teh celup di bawah keran air panas dispenser, lalu menekan tuas warna merah. Setelah terisi penuh, kuambil cangkir itu dan kuputar badanku.
"Lagi bete, ya?" tanya Cesta sambil menatapku.
"Aku pengin membunuh seseorang."
"Siapa?" tanyanya, lalu menyeruput teh dari cangkirnya.
"Enggak tahu."
Michelle berjalan mendekati kami dengan wajah ditekuk. "Baca, deh," ujarnya sambil menyodorkan ponsel.
Cesta mengambil ponsel dari tangan Michelle, lalu kami membaca pesan itu.
"Temanku umurnya 25 tahun, masih single dan ganteng. Suami idaman. Kukenalin, ya?"
Teman Michelle juga mengirim swafoto seorang cowok berkulit putih dan berambut cepak di gym. Dia memakai kaos kutung yang memperlihatkan otot-otot lengan.
"Dangdut enggak, sih?" cetus Michelle sebal.
"He's so full of himself," sahut Cesta.
"Cowok yang tidur di gym," ujarku sambil mengaduk gula.
"Temenmu nyebelin. Emang kenapa kalau kamu jomblo?" tanya Cesta.
"Orang-orang itu sadar enggak sih kalau menyinggung perasaan," kataku.
"Mereka kasihan sama aku, padahal aku enggak butuh dikasihani," ujar Michelle.
"Justru aku mengasihani orang yang bertahan dalam toxic relationship," timpalku.
"Kayak Mbak Marga," tukas Cesta sambil mengembalikan ponsel ke pemiliknya.
"Atau Erika." Michelle menyebut teman kuliahnya yang jadi korban kekerasan pacarnya. "Kok dia mau diperlakukan kayak gitu sama Boby?"
"Sebenarnya Erika pengin putus, tapi Bobby ngancam mau bunuh diri. Dia kan cowok posesif. Erika juga dilarang temenan sama aku," ungkap Cesta.
"Biarin bunuh diri, kan Bobby yang nanggung dosa," balasku.
"Untung akhirnya mereka putus," tambah Michelle.
"Kenapa sih orang-orang enggak mencintai diri sendiri?" tanya Cesta.
Aku mendecak kesal. "Kalau ada orang yang mencintai diri sendiri malah disebut egois. Atau orang yang menghargai diri sendiri malah dibilang sombong."
"Aku berangkat, ya," balas Michelle. Dia memutar tumit, lalu berjalan menuju tangga.
Aku dan adikku langsung masuk ke kamar kami. Habis mandi dan sarapan, aku memaksa diriku berangkat ke kantor. Sampai di depan rumah Kai, aku tidak melihat mobilnya diparkir di pinggir jalan atau di halaman. Tapi, ada Honda Scoopy warna merah di pekarangan.
Apa Kai berangkat duluan tanpa ngasih tahu? Baguslah, aku bisa berangkat sendiri.
Tiba-tiba, Kai muncul sambil membawa dua helm. Dia menggantung kedua benda itu ke spion motor, lalu menuntun motor keluar dari halaman.
Kai menatap wajahku lekat-lekat dengan mimik serius. "Kenapa?"
Aku menggeleng.
"Kamu kayak pengin membunuh seseorang," ujarnya tanpa mengalihkan tatapannya.
"Ini resting bitch face-ku," ujarku sambil menunjuk wajahku dengan telunjuk kanan.
Alisnya terangkat. "Apa?"
"Muka jutek khas Kristen Stewart dan Anna Kendrick," balasku. "Mobil kamu di mana?"
"Bengkel. Kemarin diserempet motor. Hari ini kita naik motor," ujarnya.
"Aku naik bus saja."
Dahinya berkerut. "Kenapa?"
"Aku enggak suka naik motor."
"Tapi kamu sering naik ojek, kan?" tanyanya.
"Itu kalau enggak ada pilihan lain. Dadah." Aku beranjak pergi.
Dia menahan lenganku. "Nanti kamu telat."
Kulirik jam tanganku. Sudah hampir pukul setengah sembilan. Hanya ada dua pilihan, naik bus dengan konsekuensi telat atau naik motor. "Aku ambil jaket dulu."
Aku balik ke kost untuk mengambil jaket. Ketika aku kembali Kai menungguku dengan senyum lebar.
"Wah, kamu ngembarin," katanya girang.
Aku memandang oversized army jacket warna hijau tua yang kupakai. Satu-satunya jaket berpenutup kepala yang bisa dipakai. Kualihkan tatapan mataku ke Kai dan aku baru sadar jaketku mirip dengan jaket yang dipakai Kai.
Sialan!
"Kayaknya bikin kamu seneng tuh gampang banget, ya. Cukup pakai baju atau jaket kembar," sindirku.
Sudut-sudut bibirnya kembali membentuk senyum. "Bahagia itu sederhana. Apa yang bikin kamu bahagia?"
"Banyak. Di antaranya adalah ketika manusia enggak mencampuri urusan orang lain. dan para pelaku kejahatan seksual dihukum mati."
"Kamu terlalu serius. Nih." Kai mengulurkan helm warna shocking pink bergambar Hello Kitty. Tapi, aku malah menutupi rambut dengan penutup kepala jaket. Lalu, kuterima helm itu dan kuperiksa dengan saksama. Tidak ada bau aneh. Kondisinya juga masih bagus.
"Ritual sebelum memakai helmnya masih lama? Itu helmnya Cella. Dia enggak punya penyakit menular," sindirnya. Aku memberinya tatapan memperingatkan. Dia melipat kedua tangannya. "Ah, iya. Kamu benci warna pink. Apa warna favoritmu? Besok aku beliin helm baru."
"Jangan repot-repot. Ayo!" balasku sambil memakai helm.
Kai memakai helm warna hitam, lalu duduk di atas motor dan menyalakan mesin. Aku membonceng di belakangnya dan meletakkan tangan kananku di behel sepeda motor.
Dia menengok ke belakang. "Sudah pegangan?"
"Sudah."
"Pegangan apa?"
"Belakang. Ayo berangkat!" kataku, lalu kutarik penutup muka helm ke bawah.
Kai mengalihkan pandangan matanya ke depan, lalu menjalankan sepeda motor. Saat sampai di tikungan, dia mengerem mendadak karena ada angkot berhenti tiba-tiba untuk menaikkan penumpang. Ban sepeda motornya berdecit. Dan, badanku terdorong ke depan. Spontan tangan kiriku mencengkeram bahunya. Sementara tangan kananku masih di tempat yang sama.
"Eh...!" pekikku kaget.
Dia menengok ke belakang dan membuka penutup muka helm. "Bonceng motor yang benar itu kamu pegangan pinggang orang yang boncengin," ujarnya.
"Aku tahu. Tapi, masa kalau naik ojek peluk si tukang ojek. Seandainya, tukang ojeknya Valentino Rossi sih masih bisa dipertimbangkan," balasku.
Dia tertawa tertahan. "Aku bukan tukang ojek. Dan, aku lebih ganteng dari Valentino Rossi."
"Valentino Rossi emang enggak ganteng, kali."
"Ayo pegangan," ujarnya sambil menepuk pinggangnya dengan kedua tangan.
"Modus!"
"Apa?"
"Ayo jalan," kataku.
Dia kembali fokus ke depan.
Kuletakkan kedua tanganku ke pinggang Kai. Dengan cueknya dia menarik kedua tanganku, lalu melingkarkannya ke perutnya. Kemudian, dia menyalakan mesin motor.
Kupikir jantungku akan berdebar kencang. Ternyata detak jantungku tetap normal. Aku malah merasa nyaman. Mana yang lebih berbahaya? Jantung yang berdenyut melebihi kecepatan detak jantung normal atau rasa nyaman?
Arrrgh...!
Sepeda motor itu kembali bergerak menembus lalu lintas Jakarta yang padat merayap. Setengah jam kemudian, kami sampai di kantor. Jam di absensi menunjuk pukul 08.55 waktu aku menempelkan jempol kanan.
Ruangan masih kosong ketika kami masuk.
"Nanti aku balik sendiri. Soalnya, mau ketemu teman," ujarku.
"Oke," balasnya sebelum masuk ke kantornya.
Sekarang aku harus mencari teman yang bisa kutemui. Aku duduk di kursi, lalu mengambil ponsel.
Lalitya: Nanti ketemuan, yuk.
Nandini: Aku ada acara kantor. Males!
Siapa lagi yang bisa kuajak ketemu? Cesta pasti pergi sama Manuel. Kayaknya Michelle janjian sama temannya. Calista dan Yolanda ada di Bogor. Selain mereka siapa yang nyambung kalau ngobrol. Ada satu nama yang terlintas dalam pikiranku. Aku langsung menghubunginya.
Pulang kantor, aku bertemu Tristan di mal yang terletak di dekat kost. Kami mengobrol sambil makan malam di food court. Suasana tempat ini sangat ramai. Suaraku dan Tristan harus bersaing dengan obrolan pengunjung yang memadati meja di sekeliling kami.
Aku mengambil daging sapi dan kuah soto Betawi dari dalam hot pot, lalu memasukkannya ke piring berisi nasi putih. "Ngapain ke Jakarta?"
"Aku butuh uang. Ada lowongan?"
Kusendok sesuap nasi soto, lalu kumasukkan ke mulut dan kukunyah. "Kalau mau cepat dapat duit, kamu bisa jadi gigolo atau stripper," candaku sambil menatapnya.
Matanya melebar. "My mum will kill me."
"Jangan jadi beg-packer."
Tristan mengangkat gelas kertas berisi soda. "Orang tuaku tidak mendidikku untuk mengemis. Aku tidak akan mengemis demi traveling," ujarnya, lalu menyedot isinya.
"Termasuk mengemis cinta, kan?" godaku.
Dia tertawa. "Any news?"
"I have lunch buddies now and, they're good so far."
"Good for you."
"Gimana denganmu? Kamu jadi vegetarian atau berhenti minum?"
Dia mengangkat kebab vegetarian pesanannya. "Tidak secepat itu. Perubahan butuh waktu," ujarnya, lalu memasukkan kebab ke dalam mulut.
"Dan, keinginan untuk berubah harus datang dari dirimu."
"Yup. I think we have a same thought."
Aku mengaduk-aduk hot pot yang tinggal berisi kuah. "Maybe you're my soul brother," gurauku.
"Are you okay my soul sister?" tanyanya.
Aku mendongak. "I need vacation."
"Kamu nunggu apa?"
"Aku belum bisa cuti dan butuh travel buddy karena belum berani traveling sendiri," ungkapku.
Mata birunya berbinar. "I can be your travel buddy."
"Aku lebih milih cewek biar bisa sekamar."
Dia memasang tampang jahil. "Kita bisa berbagi kamar."
"No, thank you."
"Kamu masih berpikir kalau cowok bisa lebih berbahaya dari ular?" tanyanya.
"Seorang cewek harus bisa melindungi dirinya sendiri. Mungkin kamu memenuhi syarat lain. Kamu bisa nyetir dan suka makan?"
"Yes."
"Good. We'll become Dora the Explorer and her cousin, Diego Marquez. Do you know them?"
Dia menjentikkan jari. "Ah, serial TV favorit keponakanku, Dora the Explorer dan Go, Diego Go!"
Kuangkat botol minumku, lalu kuteguk isinya. "Can... I... ask you something?Aku butuh opini dari sudut pandang cowok."
Dia mengelap sisa-sisa saus yang menempel di bibirnya. "Katakan."
Aku mulai menceritakan apa yang terjadi antara aku dan Kai. Tapi, aku tidak menyebut siapa cowok yang kubicarakan.
"Are we talking about Kailash?" tanyanya.
Aku mengangguk.
Dia berpikir sejenak. "I think he likes you. Tapi, mungkin dia sudah tidak tertarik atau menyerah karena dia pikir tidak ada harapan. Lalu, muncul seorang cewek yang lebih meyakinkan. Apa yang sudah kamu lakukan?"
"Enggak ada."
Tristan menyandarkan badan ke kursi, lalu bersedekap. "Do you love him?"
Aku menggeleng. " Love is a strong word. Aku enggak akan sembarangan mengucapkan kata itu. But, I like him."
"You should tell him," usulnya.
"I will."
Dia menyipitkan matanya. "When?"
"Later. I have to make sure is he worth my heart and my time."
"You're thinking too much," ujarnya.
"I'm a deep thinker."
Tristan memutar bola matanya.
Kuraih ponselku. Jam di ponsel menunjuk pukul 20.55. "Time to go home."
"Let's go," ujarnya.
Kami berjalan bersama sampai di jembatan penyeberangan, lalu berpisah. Tristan pulang ke apartemen temannya naik bus, sedangkan aku berjalan kaki ke kost. Waktu sampai di dekat rumah Kai, aku tidak melihat mobil Larissa. Berarti malam ini mereka tidak bertemu atau dia sudah pulang.
Kenapa aku harus peduli?
Kupercepat langkahku saat melewati rumah Kai dan tanpa menoleh ke kanan. Aku berhenti berjalan karena kurasakan tepukan di pundak yang nyaris membuat jantungku melompat. Tahu-tahu Kai sudah berdiri di depanku.
"Jangan jalan sambil melamun," ujarnya sambil melipat kedua tangan.
"Aku berpikir bukan melamun. Katanya Friedrich Nietzsche pernah bilang, 'Semua pemikiran hebat terbentuk saat berjalan kaki,'" balasku.
"Kenapa balik jam segini?" tanyanya.
Aku menatapnya tajam. "Emang kenapa?"
Tangan kanannya bergerak ke atas, lalu dia menggaruk kepala. "Ini sudah jam tidurmu, kan?"
"Jam tidurku sudah ganti."
Dia tersenyum sinis. "Jadi... apa pemikiran hebat yang muncul dari jalan kaki malam ini?"
"Mulai besok aku mau berangkat sendiri, tapi pulangnya nebeng kamu."
Alisnya terangkat. "Kenapa?"
"Life goal-ku adalah hidup sehat dan bahagia. Bukan nikah sama CEO atau orang kaya."
"Apa hubungannya?" tanyanya sambil mengerutkan dahi.
"Jarak dari kost ke halte kan setengah kilo. Terus dari terminal ke kantor juga segitu. Ditambah naik turun tangga penyeberangan. Lumayan kan buat olahraga," terangku.
Dia menatapku penuh selidik. "Kamu enggak cari alasan buat menghindariku, kan?"
Ups, ketahuan, deh!
Aku membuang muka. "Enggak. Aku balik, ya." Aku mengayunkan kaki. Tapi, baru dua langkah, Kai mencekal tanganku. Aku terpaksa berhenti.
"Kamu marah sama aku?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Tapi... lama-lama aku bisa marah," jawabku sambil melirik tangannya yang masih memegang tanganku.
Dia melepaskan tanganku. "Selamat malam."
"Selamat malam," balasku. Kutarik pandangan mataku ke depan dan kulanjutkan perjalananku ke kost.