Jatuh hati bukan perkara yang mudah untuk menemukan makna, terkadang butuh waktu yang tidak sebentar juga untuk meyakinkan perasaan sendiri apakah ini benar jatuh cinta.
Lardo pov
Perlahan kupejamkan mata ini untuk sejenak mencari titik kedamaian dalam hati. Aku menghela nafas panjang dan kembali membuka mata untuk melihat realita kehidupan.
Mungkin di luar sana orang menganggapku badboy dengan segala ulahku di semester 1 SMA. Ya, saat itu aku melampiskan segala amarah yang menguasai hati tanpa bisa di redam oleh logika. Aku sering nongkrong bersama orang-orang nakal dan menyimpang dari gaya hidup. Sering terlibat tawuran dan hal-hal yang tidak semestinya di lakukan oleh anak seumurku. Saat itu hidupku sangat kacau, ketenangan bukan lagi hal mudah yang aku dapatkan melainkan hal paling sulit untuk menggenggamnya.
Adelardo Radmilio Emery, seorang lelaki tampan, anak bungsu pengusaha kaya, periang, penurut, tidak banyak tingkah dan pastinya bukan player. Opini itu pantas diterima olehku saat belum menjadi pria yang suka membuat kegaduhan di kelas, bolos sekolah, keluar masuk ruang BP, dingin, dan cuek terhadap perempuan. Selama enam bulan itu hidupku di penuhi dengan kesenangan semu yang hanya membuatku tak karuan. Kalau bukan karena aku anak seorang pemilik sekolah, sudah pasti aku sudah tidak di catat sebagai siswa di SMA Emery's School Jakarta. Saat mengetahui perilaku nakalku, papa tak habis pikir bukan kepalang karena perubahan sikapku.
Flashback On
Aku berjalan santai menuju kamar namun langkahku terhenti saat papa memanggilku dengan tatapan dingin.
"Radmi papa mau bicara!" Ucapnya sembari bersidekap.
"Ngantuk Pa, ngapain ke sini? Bukannya lagi sibuk sama istri barunya." Ucapku dingin sembari menaikkan sebelah alis.
Kulihat air muka papa berubah merah padam. Aku tahu dia saat ini ingin menamparku sekarang juga.
Dia menghampiriku dan memeluk diriku dan secepat kilat aku melonggarkan pelukan itu.
"Pa kalau ga ada yang penting. Lardo mau ke atas. Cape." Aku kembali ingin berjalan namun tanganku di cekal oleh papa.
"Kasih papa kesempatan buat bicara sama kamu. Ini tentang masa depan kamu nak. Maafin papa, papa tahu kamu masih benci sama papa. Tapi jangan bikin diri kamu jadi gini?"
"Gini apanya?" Balasku singkat.
"Papa udah tahu semuanya kelakuan kamu di sekolah dan papa mohon stop atau papa-"
"Atau apa pah? Atau papa mau ninggalin aku lagi kayak papa dengan teganya ninggalin mama saat dia butuh papa. Kemana di saat mama dan kakak berjuang sendiri melawan sakit jantungnya. Papa sibuk dengan wanita jalang itu dan satu lagi gak pantes disebut papa dan suami yang baik, karena di saat anak dan istrinya meninggal papa sibuk dengan pernikahan bersama wanita itu. Itu yang namanya papa hah? Sekarang papa atur kehidupan aku." Aku tertawa hambar sebelum melanjutkan perkataanku. "Kenapa diem pah. Bener kan? Dan papa tahu Lardo benci sama papa semenjak mereka ninggalin Lardo dan papa menikah di hari aku kehilangan orang yang aku cintai." Aku bicara dengan nada tinggi untuk menyalurkan energi negatif dari hatiku.
"Nak, papa salah. Tapi saat itu papa gak tahu kalau-"
"Udah pah. Aku udah dewasa dan asal papa tahu aku udah lama tahu papa selingkuh semenjak mama drop. Itu yang namanya suami-"
Plak...
Ucapanku terhenti karena papa mendaratkan tangannya tepat di pipiku cukup keras membuatku meringis. "Cukup Lardo. Semuanya sudah terjadi dan kamu ga bisa nyalahin papa terus. Sekarang kamu cuma punya dua pilihan. Stop jadi anak nakal atau papa jodohin kamu sama Carissa gadis yang ga kamu cinta." Ancam papaku.
"Tampar aku pah, tampar. Kalau perlu pukul aku karena itu ga akan bikin aku berubah. Aku cuma butuh mama dan kakak di sini. Bukan papa." Jawabku dengan tatapan tajam sembari menampar pipiku sendiri berkali-kali.
"Cukup nak. Cukup. Oke papa salah tapi please. Kalau kamu ga mau berubah karena papa, fine. Tapi kamu harus ingat mama dan kakak kamu, jangan buat mereka sedih nak. Papa mohon. Papa ga akan paksa kamu buat tinggal bareng papa lagi. Terserah kamu sayang datang kapan saja. Maafin papa Radmi." Ucap papa lirih sembari memelukku erat.
Ku dengar papa menangis, jujur aku sangat merindukan ini, pelukan hangat dari seorang ayah. Dengan segala energi yang tersalur dari pelukan papa dan memori tentang keluarga ini, aku putuskan untuk kembali seperti Radmi bukan Lardo.
Aku mengurai pelukan.
"Pah Lardo ga akan mau di jodohin sama Carissa. Titik." Jawabku penuh penekanan.
"Berarti pilihan kamu ga jadi anak nakal lagi." Papa menatapku penuh selidik.
Aku hanya menganggap samar dan berlalu ke kamar.
"Akh..." Aku mengacak rambutku frustasi.
"Kenapa hidup gue jadi gini. Mah Radmi kangen mama yang selalu ada buat aku. Kak gue kangen sama lo. Kenapa kalian ninggalin Radmi sendiri. Maaf pah tapi aku belum sepenuhnya maafin papa, gue ga mau tinggal bareng papa apalagi cewe jalang itu." Tanpa sadar air mataku lolos membasahi wajahku.
Aku memang tipe orang yang mudah menangis. Terkesan banci tapi itu aku yang dulu sebelum pribadiku berubah.
Menangis bukanlah hal yang perlu di lakukan bagi lelaki? Itu salah, karena perempuan ataupun lelaki memiliki hasrat sedih atau senang yang membuatnya menangis. Aku memang suka menangis walaupun hanya meneteskan setitik air mata. Bagiku hal itu mampu menjadi senjata ampuh meredakan kesedihan. Ini kali kedua aku menangis saat kematian mama dan saudara kembarku.
Fashback off
"Gue harus berubah dan jangan balik lagi kayak dulu. Bukan karena papa tapi ini gue lakuin supaya mama dan lo tenang di sana. Ini semua berkat lo Lish, yang tanpa lo sadari perlahan buat gue jadi Radmi yang dulu. Pertama kali gue ketemu cuek banget sampe bikin lo kesel. Tapi sekarang lo bikin gue jatuh hati yang belum pernah gue rasain sebelumnya. Makasih ya Lish." Aku bergumam dalam hati.
Lardo Mi Amor : Besok udah mulai sekolah dan gue mau jemput lo besok. Oke PETIT.
Alisha Ma Petit : Ga mau ah gue. Ntar lo telat lagi. Males sama cowo kang janji. Enakan kang seblak.
Lardo Mi Amor : Lo tahu kan gue ga suka di tolak. Tunggu gue. Awas aja lo berangkat duluan. Gue pecat jadi pacar nih.
Alisha Ma Petit : What? Hello. Pacar pura-pura yes. Udah ah gue ngantuk ge. Ganggu aja lo. Kalau lo di sini gue pukul lo. Sayang.
Lardo Mi Amor : Sekarang udah berani panggil sayang yah. Ckckck Bodo gue mau chat lo juga.
Lardo Mi Amor : P
Lardo Mi Amor : P
Lardo Mi Amor : P
Alisha Ma Petit : Ga jelayy lo. Idih deh najis. Alay lo. Bukan sayang pea. Sayang karena lo ga ada di sini jadi ga bisa pukul lo. Gue mau bocan oke.
Lardo Mi Amor : Have a nice dream Putri Qory kesayangan Lardo.
Alisha Ma Petit : Uek.
Lardo Mi Amor : Lo hamil? Kan gue ga ngapa-ngapain lo. Oh iya gue lupa pas pulang nonton lo ketiduran di mobil dan kita. Kita kebablasan Lish. Tenang gue tanggung jawab honey.
Aku terkekeh mengirim pesan kepada Alisha. Bisa kubayangkan raut wajah Alisha yang menggemaskan saat memakiku dengan sumpah serapahnya.
Alisha Ma Petit : Tapi sayangnya gue ga ngerasain sakit di bagian manapun. So, gue masih virgin. Dasar cowok aneh, rese, nyebelin. MESUM. Ewh...
Lardo Mi Amor : Makasih sayang. Sana bobo kasian debay kita. Udah makin dewasa nih ya sama aku.
"Yah dia off. Yaudah kirim aja." Aku melihat ponsel dan mendapati Alisha telah menonaktifkan aplikasinya. "Alisha, Alisha. Lo selalu bikin gue happy cuma karena lo marah-marah." Aku tak hentinya tersenyum sambil menatap foto Alisha di layar ponselku yang kuabadikan sebagai wallpaper.