WIZARD (Broken Butterfly) END

By Ghnufa_14

180K 13.5K 628

Yang bersinar di malam hari hanyalah kunang-kunang, namun yang ku lihat malam itu adalah sesuatu yang lain. b... More

Prolog
Kupu-Kupu
Kekuatan
Surat Misterius
Wizard Academy
Turnamen Penyambutan
Sekolah
Es dan Api
Menara Lex Talionis
Ujian Bersama
Rekan
Informasi
Peringatan
Pembalasan
Menara Pengorbanan
Sora
Death Master
Tangan Kanan Pemburu Underworld
Moon Gate
Teman yang menghilang
Underworld
Perjalanan Menuju Ujung Cahaya
Cahaya Terakhir
Gadis Api
Sang Penegak Pilar Cahaya
Hutan Mistis
Kastil Putih
Rahasia Dea
Dunia Keabadian
Sang Penjaga Alam
Gerbang - Gerbang Dunia
Anak-anak Bayangan
Darah Terkutuk
Gerbang Neraka
Menara Pembalasan
Jiwa Yang Terlelap
Rasa Kematian Yang Manis
Pertemuan Yang Tenang
Pulau Awan
Kawah Matahari
Pohon Kehidupan
Dinding Pengorbanan
Takdir Yang kejam
!!!
Para Dewi
Dinginya Hari Penuh Darah
Negeri di Penghujung Utara
Jantung Kegelapan
Rencana B
Arti Dari Sebuah Ikatan
Akhir Terbaik
Epilog
~~~
pengumuman!

Merah Diatas Putih

2.6K 232 3
By Ghnufa_14

Brukk!!

Pukulan itu telak mendarat di wajah seorang pria berbalut armor sehitam arang, tidak mempermasalahkan pukulan dari sosok anak muda di hadapannya. Dia tersenyum tenang seperti biasa.

"Sebenarnya apa yang kau inginkan!?" Teriak pria muda di hadapannya dengan wajah memerah.

Kesatria hitam itu hanya menyeringai dan menjawab dengan tidak kepedulian yang kentara. "Aku hanya ingin melihat, orang seperti apa yang membuatmu memihak kegelapan untuknya."

"Kau melanggar perjanjian!!!" tudingnya dengan kemurkaan.

"Tapi aku tidak sampai membunuhnya, kan?"

"Kau!!!" tidak memperdulikan perbedaan ukuran tubuh mereka juga kekuatan masing-masing, lelaki muda itu menarik jubah yang tersemat di punggung lelaki berarmor dan menatapnya tajam. "Aku tidak akan memaafkanmu jika kau melakukannya lagi."

Suhu di sana seketika memanas, api biru berkobar menyelimuti tubuh lelaki muda tersebut. Segera saja lelaki beramor di hadapannya mundur mengambil jarak. "sudah lah, Egi." Katanya sembari memperbaiki jubahnya. "rencana masih berada di jalannya."

Api biru yang menyelimuti tubuh pria muda itu—Egi—seketika padam dan suhu di sekitar kembali ke menjadi normal. Pemuda itu mendengus, melipat tangan di depan dada sembari menatap tajam pria di hadapannya.

"Gadis api yang menyerang ku saat itu." katanya tenang, menyeringai saat melihat reaksi Egi yang menegang. "Ia memiliki kekuatan yang hebat, ada sesuatu di dalam dirinya yang bersembunyi."

Egi membelalakkan mata tak percaya, wajahnya memucat dan dia menatap lelaki itu dengan hati-hati. "Apa maksud mu?"

"Kemungkinan besar, ia adalah reinkarnasi dewi Verall." Lelaki itu mengidikan pundaknya tetapi kemenangan terlihat jelas di iris kelamnya. "Alasannya karena ia pengguna api hitam. Dalam sejarah, hanya ada satu orang di Underworld yang memilikinya dan dia telah lama mati di tangan Dewi Verall, dewi itu pun yang menyerap kekuatannya."

"Jadi kau harus mengawasi gadis itu." tambahnya. "Jika benar ia dewi Verall, tangkap dan bawa dia pada ku."

"Itu—itu tidak mungkin." Suara Egi serak, tatapan matanya tidak fokus.

Lelaki berarmor itu mendesah. "ini sesuai perjanjian."

Iris kelam Egi menyala menjadi merah. "dalam perjanjiannya kalian tidak akan menyentuh milikku!"

"sayangnya dia juga adalah tujuan dari perjanjian ini." lelaki itu tersenyum tenang, mengidikkan pundak. "nah keputusan ada ditanganmu. jika kau melanggar, tahu sendiri akibatnya."

Egi mencengkram genggaman tangannya dengan erat, mata merahnya berkilat. "aku tidak akan menyerahkannya, apa pun yang akan terjadi."

Lelaki berarmor itu sesaat terkejut, lalu kemudian tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang runcing. Dia tertawa, serak dan keras, sama sekali tidak terdengar seperti tawa manusia. "kau benar-benar seorang kesatria!" seru lelaki berarmor itu. "ksatria yang melindungi Tuan Putrinya, hingga rela mengorbankan teman-teman dan orang yang seharusnya diprioritaskan."

"prioritas adalah pilihan ku." jawab Egi serak, matanya tak gentar dari lelaki itu.

Lelaki berarmor itu masih tersenyum. "kalau begitu, tidak masalah jika aku melukai salah satu dari mereka?" lelaki itu semakin menyeringai, Egi mengerutkan keningnya. "kau sengaja, bukan? Membiarkan seseorang mengikutimu."

Tiba-tiba wajah Egi memucat. "semua orang sedang ada di dalam Kastil, mereka tidak mungkin keluar dari dinding. Mereka tidak tahu caranya!"

"kecuali memang ada yang sudah mengawasimu dari awal." Lelaki itu berputar, Egi hendak menerjangnya karena panik. Namun tiba-tiba lelaki berarmor itu sudah di belakangnya, dengan seseorang menggerang di dalam genggaman tangannya yang terangkat.

"wah," desis lelaki berarmor itu. menatap pemuda yang diangkatnya dengan sangat muda. Pemuda itu menggeliat mencoba melepaskan diri dari cekikan si kesatria hitam. "kau dengar, nak? Ini sungguh menggelikan? Apakah kau akan tetap percaya dengan orang yang kau sebut teman ini?"

"kau—" Egi berputar, mata merahnya membesar. "Zaki—"

Pemuda dalam genggaman ksatria hitam itu, Zaki, meringis dengan wajah kesakitan. Berupaya menatap Egi yang ada di balik punggung si kesatria hitam, mata hitam pemuda berambut coklat itu memancarkan banyak emosi.

Egi menggigit bibirnya, perasaan gundah menyerangnya. "hei—"

"nah, Egi, kau ketahuan." Potong ksatria hitam itu. "kau harus menyembunyikan identitas mu, kau tahu itu? jika kau ketahuan, kau harus segera menutup mulutnya. Kau tahu bagaimana caranya?"

"tunggu!" seru Egi, wajahnya panik. "lepaskan dia!"

"kenapa harus?" si kesatria memiringkan kepalanya. "jika ku lepaskan, anak ini akan memberitahu teman-temanmu yang lain siapa dirimu sebenarnya. Mengapa kalian terus di serang dalam perjalanan. Mengapa satu persatu teman mu meninggal. Bagaimana respon teman-teman mu yang lain? bagaimana jika gadismu mengetahuinya? Kau tidak akan dipercaya selamanya."

Perkataan itu seperti menampar Egi dan membuatnya terdiam begitu lama. Mata merahnya terus menatap wajah Zaki yang kesakitan, Zaki berupaya menggunakan kekuatannya untuk melepaskan diri. Namun kekuatannya seolah di tekan hingga dia tidak bisa merasakannya, seolah dia memang tidak memiliki kekuatan itu.

"E—Egi," panggil Zaki terbata. Cengkraman kesatria itu di lehernya terus menguat, menyendar udara masuk ke paru-parunya. "ke—napa?"

Tubuh Egi tersentak, tangannya jatuh ke samping tubuh. Mata merahnya membesar. "apa yang harus ku lakukan?" gumam pemuda itu, pikirannya terus berkecamuk, hingga dia mengingat sosok gadis muda dengan mata biru yang selalu menatapnya tajam dan ketika gadis itu menggenggam tangannya dengan penuh keyakinan. Dia tahu, apa yang sudah dibuat oleh pikirannya sangatlah salah, dia tahu dia akan egois dan pilihan itu tidak akan pernah termaafkan.

"hei," gumam Egi, merundukkan kepalanya. Dia mengayunkan tangannya, api biru menyala dengan kobaran yang kuat. Dia kembali mendongak, mata merahnya menyala. "lepaskan teman ku."

Lelaki berarmor itu menyeringai. "apa yang kau katakan?"

Egi menghentakkan kakinya, rumput di bawahnya terbakar cepat. Sekelilingnya menjadi panas. Mata merahnya terbuka lebar. "lepaskan teman ku!"

"kau yakin?" goda si kesatria, mengangkat semakin tinggi Zaki ke udara.

"urusan ku mengamankan posisi ku." Egi mengernyit tajam. "jadi lepaskan dia."

Kesatria itu menyeringai, dia mengayunkan tubuh Zaki dan melemparkannya ke samping Zaki. Egi segera berdiri di depan Zaki, mengayunkan tangannya yang berselimut api ke arah si kesatria hitam. "ini terakhir kalinya aku memperingatkanmu, berhenti menyentuh teman-teman ku!"

Kesatria itu masih menyeringai tenang, mengangkat pundaknya tak peduli dan berbalik. Dalam sekejap menghilang dalam bayangan. Egi menghilangkan apinya, lalu berbalik, menatap Zaki yang memegangi lehernya, mencoba mengembalikan nafasnya.

"kau tidak apa?" tanya Egi datar.

Zaki menatapnya tajam, masih berusaha bernafas. "kau bisa saja membiarkan ku terbunuh," Zaki menarik nafas lagi. "sejak awal kau hanya peduli dengan dirimu sendiri."

Egi memutar matanya, hendak menarik tangan Zaki untuk berdiri, namun Zaki menyentakkan tangannya dan berdiri sendiri. Egi mengaidikkan pundaknya dan melangkah memasuki pepohonan.

"bagaimana kau bisa mengikuti ku?" tanya Egi, melirik ke belakang. "gerbang itu hanya satu pintu."

Zaki berdehem, mengelus lehernya. "kau lupa apa kekuatan ku? gerbang itu tidak setinggi langit."

Egi mendengus, ya, dia melupakan bagian itu. "terserah apa kau akan mengatakannya pada yang lain."

Zaki merengut. "kau ingin aku mengatakannya?"

Kepala Egi berputar, keningnya mengernyit. "kau harap apa?" pemuda itu melotot, merendahkan suaranya. "kau ingin aku berlutut di hadapan mu dan memohon agar tidak menyebarkan rahasia ini?"

Zaki berdecak tak percaya, dia memang tidak dekat dengan Egi sejak mereka di akademi. Bahkan dia jarang berbicara padanya, dia memang tahu jika Egi memiliki sikap yang buruk. tapi dia tidak pernah menyangka seburuk ini.

"lalu mengapa kau menyelamatkan ku?" tanya Zaki.

Terdengar desahan dari pemuda pengendali api itu, dia mengidikkan pundak. "hanya ingin."

Zaki mencibir, lalu mempercepat langkahnya. berjalan disamping Egi. "aku sangat marah dan benci pada mu." katanya. "tapi mendengar perdebatan mu, sepertinya kau punya alasan kuat untuk berkhianat dan aku yakin kau bukan tipe orang yang akan mengorbankan teman mu untuk tujuan mu sendiri."

"dari mana kau tahu itu?" kata Egi, mengangkat salah satu alisnya. "jangan menilai ku atau kau akan kecewa."

Zaki mengidikkan pundaknya. "kau dekat dengan Dio, bukan?" kata Zaki lagi. "kau yang memaksa Dio membawa Melly dan Sarah agar tidak terlibat dengan Jordi ketika kita di akademi, kau sudah menduga jika pada akhirnya kita semua akan mati di tangan Dea. Kau pikir bisa menyelamatkan mereka dari kematian itu semisal mereka mengabaikannya, kau juga tidak ingin ikut terlibat."

"bisa dikatakan rasa kemanusiaan itu cukup merepotkan." Egi mendesah. "aku hanya tidak ingin merasa bersalah. Ketiga anak itu selalu ku lihat karena kami di kelas yang sama, aku sudah memperingatkan Jordi tapi laki-laki itu tetap keras kepala."

"jadi mengapa kau bergabung akhirnya?" tanya Zaki, Egi hanya menatapnya dengan satu alis terangkat. Zaki berseru tertahan. "oh! Kau budak cinta!"

Egi berdecak. "tutup mulutmu!"

Zaki menggelengkan kepalanya. "ku pikir hanya Jordi yang bisa membuat para gadis menjadi budak cintanya, tapi di sini kau lah budak cintanya!"

"ku bilang tutup mulutmu!" seru Egi kesal, wajahnya sedikit memerah.

"serius? darimananya kau suka gadis itu?" seru Zaki bingung. "dia memang cantik, tapi tidak secantik Faradiba atau Ryoko, dia juga tidak semanis Alva dan Valery. Atau keren seperti Sarah dan Dini. Dia biasa-biasa saja, seperti Sirti—ah, tidak! Sirti juga imut, hanya sangat disayangkan sifatnya."

Egi berdecak, ternyata Zaki sangat memperhatikan para gadis. "semua orang memiliki tipenya sendiri."

Zaki menyeringai. "biar kutebak, kau suka gadis pembangkang, tidak patuh. Bergairah untuk membuatnya tunduk pada mu?"

Egi mengibaskan tangannya. "berhenti mengurusi urusan orang lain!"

Tapi Zaki sudah tertawa lepas melihat wajah Egi yang semakin memerah. Mereka terus melangkah menyusuri hutan yang berada di luar dinding Kastil Putih, mereka hampir sampai ketika Zaki tiba-tiba berhenti, menatap dinding putih yang hampir mereka dekati.

Pemuda itu berbalik, tersenyum lebar. "kau mungkin menyebalkan, Egi." Zaki menghela nafas. "tapi kau menganggap yang lain teman mu, bukan? Kalau begitu kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan memberitahu rahasia ini pada siapa pun. Seperti yang kau katakan pada orang itu, urusan mu akan kau urus sendiri!"

Egi mendengus, perasaannya benar-benar legah. "ya, terimakasih."

Zaki mengulurkan tangannya. "sekarang mari benar-benar berteman!"

Egi tersenyum kecil. ya, mungkin tidak buruk benar-benar menjalin hubungan dengan anak-anak yang lain, kesempatan ini sangat jarang terjadi padanya. Ketika dia serius dan menganggap seseorang penting baginya, selain dirinya sendiri. dia harus memanfaatkan itu.

Egi membalas jabatan tangan Zaki, kedua laki-laki itu tertawa dengan lepas. Mereka kemudian berbalik, dua langkah setelah itu, darah menciprat wajah Egi dan tubuh Zaki jatuh diantara semak-semak dengan kepalanya yang terlempar jauh.

*

Menjelang malam ku pikir tempat ini akan gelap, namun kenyataannya tidak. Sebenarnya aku sudah menduganya, sesuatu seperti menyingkirkan kegelapan di Kastil ini. mungkin karena dindingnya, pilar-pilar raksasa itu, atau mungkin bangunan kastilnya sendiri yang mengeluarkan cahaya. suasananya tidak tampak seperti malam hari, walau langit sudah gelap. Bahkan aku bisa melihat bulan purnama yang seolah sangat dekat karena ukurannya yang berkali-kali lipat daripada yang biasa terlihat di bumi dan juga taburan bintang yang berkedip beberapa kali seolah-olah hidup.

Makan siang sekaligus diskusi sangatlah tidak cocok, aku bersumpah tidak akan melakukannya lagi. Makan sambil serius? tidak mungkin, perutku melilit rasanya, beruntung tidak berlangsung lama. Aku tidak pernah menyukai rapat, entah itu kegiatan klub di sekolah atau pun rencana-rencana perusahaan ayah, aku berusaha menghindarinya.

Masalah ini sepertinya semakin rumit. Aku masih harus menyelamatkan ketiga sahabat ku, mereka ada di menara Lex Talionis. Satu-satunya cara adalah harus kembali ke akademi, dan aku yakin Dea telah membuat penjagaan yang lebih ketat daripada selanjutnya. Lagi pula mustahil untuk kembali sekarang, karena masih ada satu kesempatan lain, jiwa-jiwa yang terjebak di Pohon Kehidupan. Untung saja aku mengingatnya! Kemudian—entah sejak kapan—aku mulai memikirkan diri ku sendiri.

Aku tidak tahu apakah ini adalah kebetulan atau memang takdir, rasanya agak menjengkelkan. Wilayah Gelap sekarang mungkin sedang ramai, aku bisa saja kabur dan pergi kesana untuk menemui Dea dan membuatnya berbicara rencananya. Setidaknya aku cukup yakin dia mau mendengarkan jika aku memberikan penawaran yang hebat, ternyata yang utama memang harus menyelamatkan nyawa teman-teman ku. percuma saja jika aku berhasil mendapatkan jiwa mereka, tapi tubuh atau raga mereka tetap dalam bahaya dan mungkin akan dijadikan sandera. Jika Dea tahu, dia mungkin akan menghancurkan tubuh teman-teman ku dan mereka benar-benar akan mati. aku tidak bisa membiarkan itu.

Oh, ya, ampun! Ini sangat rumit! Aku tidak pernah menggali otak ku sejauh ini! Oh, tidak Pira! Kau masih harus memikirkan peperangan yang membawa-bawa diri mu, aku harus menyelesaikan hal satu ini yang membuat kepala ku pusing sejak keluar dari Ruang Makan tadi dan menghindari kontak dengan Egi yang tidak menyenangkan. Pemuda itu entah mengapa sangat ingin berada di sisi ku, dia tampak ketakutan dan aku tidak bisa menebak kecemasannya.

"oh! Kau memikirkannya lagi!"suara tawa bergema di telinga ku. "aku tidak tahu kalau kau bisa menyukai seseorang."

Aku berdecak, melotot menatap ke samping arah suara itu berasal tapi tidak menemukan apa pun. Beranjak dari duduk ku di tangga teras Ruang Istirahat yang diberikan Raja untuk kami, turun menuju taman yang terbentang luas. sama sekali tidak ada kegelapan, taman itu terang setidaknya sejauh lahan terbuka, kecuali hutan buatan di ujung sana yang agak gelap. Tapi siapa yang berani berbuat macam-macam di kawasan Kastil Putih ini? hanya orang bodoh!

Keheningan selalu menjadi kedamaian untuk ku, seorang diri di luar kerajaan megah dan indah ini bagaikan mimpi. Sayang sekali aku tidak bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk melihat-lihat, sejak bangun kemarin aku tidak diberi kesempatan untuk menjelajahi setiap sudut Kastil mimpi ini, bahkan aku masih dalam kondisi buruk saat mereka membeberkan banyak informasi yang tidak bisa dimasukkan sekaligus ke dalam kepala.

"megah dan indah?"

"oh, tuhan." Aku mengeram, mengusap wajahku kasar dan duduk di atas rerumputan yang lembab.

"kau hanya belum melihat bagaimana kerajaan ku, lebih megah! Lebih indah! dan lebih kaya!"

"ya, tentu saja." aku memutar mata malas, memilih berbaring menatap langit yang seperti lukisan. Walau tempat ini sangat terang, langitnya tetap hidup. Aku ingin tahu teknologi atau sihir macam apa yang digunakan Kastil Putih, mungkin bisa ku terapkan di kota asal ku.

Langit malam Underworld yang indah ini akan sayang untuk dilupakan apalagi di hancurkan. Hanya tempat ini lah yang dapat membawa ku kembali ke suasana masa lalu ku yang damai, aku tidak ingin tempat indah ini hancur.

"hai, kau masih di sana?" sunyi seperti ini memang menyenangkan, tetapi senandung di telinga agak membuatku bergidik. Wanita cerewet itu benar-benar tidak bisa berhenti menimbulkan suara dalam kepala ku.

"aku tidak cerewet, nona yang dingin!" aku mendesis saat telingaku berdengung, walau suara kencang itu berasal dari alam bawah sadar ku tapi rasanya seperti ia berteriak di samping telinga ku. "sejujurnya aku tidak banyak bicara, hanya saja aku sudah bosan dan beribu tahun tidak berbicara dengan siapapun selain udara kosong. Jadi biarkan aku mengoceh dalam kepala kosong mu ini."

"siapa yang kau bilang kepala kosong?!" kata ku kesal, jika saja seseorang melihat ku berteriak sendiri pasti mereka akan menyebutku gila. Sayangnya aku tidak benar-benar seorang diri.

"kita sudah sama-sama sendiri sejak awal, bukan?" tawanya yang menyebalkan menggema di telinga ku. "kita berjodoh!"

"menjijikan nenek tua egois!" rutuk ku kesal, ku pikir aku bisa menahan perasaan kesal ku pada siapa pun. Tapi tidak dengan dirinya.

"apa maksudmu dengan nenek tua, gadis keras kepala?!" tangan ku sontak menutup telinga walau aku tahu tindakan itu tidak ada gunannya. "aku tahu kalau aku sudah hidup lebih dari seabad, aku hidup abadi! Tapi kecantikanmu tidak akan pernah memudar seperti kaum fana kalian!"

Aku berdecak kesal. Tidak ada gunanya berdebat dengan diri sendiri, nanti aku bakal gila. Kuhela nafas panjang. Menutup mata ku dan memusatkan kekuatan ku. Merasa kehangatan dengan angin dingin yang berhembus menyapu sekujur tubuhku, aku kembali membuka mata. di depan mata ku terhampar tanah putih yang tidak memiliki batas maupun ujung. Lalu pandangan ku tertuju ke sosok wanita yang memiliki wajah yang sama persis denganku, kecuali senyum melengkung yang bengis di wajah pucatnya tidak sama. Juntaian rambut selegam malam mengikal di depan dada dan balik punggungnya. Gaun hitam membalut tubuh tinggi rampingnya yang mengetat memperlihatkan lekuk tubuhnya yang ideal, jelas dia seperti versi diri ku yang sudah dewasa, walau aku tidak yakin aku dapat memiliki tubuh ideal itu.

Gaunnya berayun ketika kakinya yang pucat melangkah mendekat. Dia merunduk disampingku, memutari ku seperti menaiki komedi putar sebelum akhirnya berhenti di belakang ku. kedua tangannya memeluk pundakku, desir suaranya menggelitik telinga ku.

Aku berdecak dan menyentakkan tangannya, wanita yang sekilas mirip ibu ku—aku tahu kalau aku memang mirip ibu—tertawa seolah ada pelawak di sini. Nyatanya dia memang ingin menertawakan ku entah ada dasarnya atau tidak. Ia berdiri sambil berkacak pinggang. Menatapku dengan senyum yang, menjengkelkan.

"keputusan yang bagus!" katanya sambil menyeringai senang, membuat ku teringat dengan ksatria hitam dan penyihir konyol itu. "Jika ingin berdebat enaknya langsung tatap muka."

"Tidak. Lain kali saja." aku mengibaskan tangan ku, berbalik ke arahnya. "Ada yang ingin kutanyakan."

Dia melipat tangan di depan dadanya. Wajahnya yang egois dan sombong benar-benar tampak seperti penguasa kegelapan, tokoh antagonis. "kau ingin tahu cara mengalahkan anak itu? atau bagaimana mengendalikan Penjaga Alam? Walau aku kalah oleh mainan buatan Terata, aku sekarang tahu apa kelemahan dan cara mengendalikannya."

Aku mendengus. Dia lebih ke licik dari pada pintar. "tidak keduanya." Kata ku kesal. "aku ingin tahu apa yang bisa kau lakukan untuk perang ini."

Perempuan itu tidak sedang menatapku, dia seolah-olah menatap sesuatu di belakang ku. atau mungkin hanya kepala kosongnya. "pulang."

Aku mengernyit, mengerjap. "apa?"

Wanita itu mendengus, kali ini berkaca pinggang dengan wajah bosan. "pulang!" serunya. "aku sudah mati, itu tidak bisa dielak! Walaupun aku bereinkarnasi bukan berarti aku akan jadi tetap aku. Kau harus mencari tahunya sendiri, Pira. Sekarang giliranmu!"

Kening ku semakin berkerut, mungkin sebentar lagi aku akan keriput dan terlihat seperti nenek-nenek. Lalu aku akan kesulitan mencari orang yang menyukai ku dan berakhir sendiri hingga mati tua. "tolong bicara yang jelas!"

"kau harus kembali ke rumah." Dia tersenyum, sepertinya sengaja membuat ku sakit kepala. "hanya rumah yang membuatmu merasa aman. Selama apapun kau tidak kembali ke sana, di sana lah tempat kau seharusnya berada. Disanalah kau akan mendapatkan kedamaian, cinta, kekuasaan, dan keinginan apa pun."

"tapi sebelum itu, ingatlah!" wanita itu menghampiri ku. dia mungkin sepuluh senti lebih tinggi dariku, dia sedikit merunduk, mensejajarkan wajah kami. Senyum di wajahnya beku dan tatapannya seperti ujung anak panah yang mengincar nyawa ku. "rumah sedang dimiliki orang lain."

Mataku mengerjap, kemudian aku sudah kembali ke taman Kastil. Kutarik tubuh ku hingga berdiri dan menatap sekeliling, lalu mendesah berat. "rumah? Memangnya kau pikir dimana rumahku?"

Jika jawabannya ada di rumah, sebenarnya yang menjadi pertanyaan ku ialah bagaimana aku harus menghadapi bangsa Wilayah Gelap? Apakah ada cara untuk menghentikan kekuatan mereka yang sekarang jauh lebih besar dari kami? Dia Dewi, seharusnya dia tahu banyak hal. Tapi Dewi kw ini malah memberi lebih banyak pertanyaan.

Hari semakin larut, sepertinya Wilayah Kosong di depan Kastil Putih kembali ribut. Aku bisa mendengar sayup-sayup suara pertempuran di kejauhan, tapi mereka tidak akan pernah bisa keluar dari sana. aku bangkit berdiri, merenggangkan tubuh kemudian kembali menatap sekeliling. Hanya aku yang ada di luar, yang lain sibuk dengan urusan masing-masing.

Melly terjebak bersama Tetua Agung, dan Dio berhasil memaksa untuk ikut dalam perundingan yang membosankan itu. sepertinya akan ada pasangan baru setelah ini. Ryoko pergi ke perpustakaan Kastil bersama Jordi. Sarah, Dini dan Valery pergi duluan untuk beristirahat, ku pikir Valery akan tetap mengikuti Jordi, namun sejak pengakuannya di danau ketika Faradiba muncul dia sepertinya menjaga jarak dari Jordi. Sisa anak laki-laki lain, Sapta, Ilyas, Zaki, David dan Jeriko—yang dipaksa—pergi menemui Ksatria Kastil Putih untuk berlatih pedang. Aku tidak tahu dimana Egi sejak aku kabur darinya, lalu Alva, yang belum kembali sejak dia pergi sebelum aku bangun. Entah apa yang terjadi, menurut penuturan Ryoko, gadis setengah Vampir itu berlaku aneh sejak kami datang ke Kastil Putih.

Aku bersiap kembali ke dalam ketika mata ku melihat sesuatu berputar-putar diatas ku. aku berhenti sejenak, menatap sesuatu yang hitam itu, masih terbang berputar di angkasa. Dia bukan salah satu hewan di dunia ini yang dapat berkeliaran bebas, aku memicingkan mata, sosok itu terbang merendah. Semakin mendekati tanah akhirnya aku bisa melihatnya jelas, aku berdiri sambil berkacak pinggang.

Angin malam menerpa ku ketika dia mendarat, sayapnya terentang memamerkan warna hitam dengan kilauan merah yang indah. walau sayap kelelawar dan tampak seperti iblis yang datang dari neraka, dia memang benar-benar indah, apalagi dengan perawakan gadis cantik darah campuran Alva Rosaliya.

"nah, bagaimana jalan-jalan mu, Al? menyenangkan?" tanya ku sarkatis.

Gadis berambut pirang itu merenggut, tiba-tiba jalannya sempoyongan. Dia berdecak, berhenti, sedikit merunduk. "sial! Lagi-lagi!"

Aku berlari kecil menghampirinya, menatap gadis itu dengan kening berkerut. "kau kenapa? Sakit kepala?"

Alva mendongak, wajahnya meringis. "ya, kepala ku sakit!"

"sudah periksa ke dokter?" tanya aku asal.

Alva berdecak. "Pira! Ini bukan dunia manusia?! Apakah kau lupa!?"

"tapi Raja manusia." Jawab kucepat, mengernyit. "menurut konteks dunia ini."

Alva mengerang, dia berjalan cepat sambil menghentakkan langkahnya. melewati ku sambil menggerutu. "aku akan berbicara pada Tetua Tua itu!"

Aku mengernyit. Berlari kecil menyusulnya. "mereka sibuk, bersama Melly dan Dio. Kau ketinggalan banyak hal!"

Alva memutar matanya, sangat jarang melihat wajahnya cemberut seperti itu. "aku akan mendengar penjelasannya dari Ryoko."

"kenapa tidak dari ku?" kata ku agak tersinggung.

Kepala gadis itu berputar sejenak, salah satu alisnya terangkat. "ingat terakhir kali kau mengajariku Matematika? Kau menjadikan rumus itu susunan abstrak, kau tidak pandai menjelaskan sesuatu!"

Aku mencibir. "kau yang hanya kurang tangkap! Lagi pula jika aku harus menjelaskan rumus yang panjang sambil mencontohkannya dengan jelas di kertas akan merepotkan! Kau hanya perlu mendengar penjelasan dari mulut ku, bukan tulisan tangan ku!"

Alva hanya berteriak kesal kemudian, berlari ke dalam ruang istirahat yang kosong. Melalui pintu disana menuju ke koridor di dalam kastil, aku hanya mengikutinya karena tidak memiliki pekerjaan lain. saat kami melewati koridor di bagian belakang kastil, Alva tiba-tiba berhenti, wajahnya mengernyit, dia jauh lebih pucat dari sebelumnya.

Gadis itu menoleh kearah ku. "ada apa?" tanya ku.

Al menarik nafas. "kau mencium baru darah?"

.........

Next part....
~ghefira~

Continue Reading

You'll Also Like

520K 77.6K 50
(Petualangan - Fantasi) Namanya Ellysha Seinna Rajasa, seorang gadis remaja yang amat menyukai dunia fantasi dan hal-hal berbau misteri. Sifatnya gal...
Rewinds ✓ By Fai

Science Fiction

419K 26.9K 33
Percobaan mesin waktu yang berawal dari iseng membuat Vene dan Cindy terdampar di dimensi lain-Wozzart-beserta mesin waktu yang rusak parah berakhir...
7K 1K 67
Grasta memiliki mimpi yang sederhana, ia hanya ingin melindungi keluarganya. Namun realita kehidupan jauh dari yang ia harapkan, karena keluarganya t...
366K 27.6K 55
Awesome cover by imelda priskila Sudah tamat Piece Of Magic 1 The Return of the Witch (Dulu berjudul Magic World) 4 oktober 2017 - 19 Juli 2018 High...