Burning Desire

By TheRealRJune

292K 6.6K 176

21+ Konten dewasa, mohon kebijaksanaan pembaca ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ๐ŸŒผ SLOW UPDATE, setiap 2 pekan. More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26

Part 10

11.4K 270 1
By TheRealRJune

     Seperti pasangan kekasih pada umumnya, Ian dan Irene banyak menghabiskan waktu bersama. Bedanya, kisah cinta ini hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Mereka menyadari betapa salahnya hubungan mereka, namun tidak membuat keduanya tidak bisa saling menyayangi.

     Hari ini, Irene menemani Ian mencari beberapa perlengkapan kantor. Pulangnya mereka mampir ke warung makan yang sejalan dengan rumah Irene untuk membeli nasi bungkus titipan ibunya.

     "Bu, nasi campurnya 2 ya, pakai ayam goreng" kata Irene kepada ibu gemuk penjual nasi campur itu.

      "Siap, mbak" ujar si ibu semangat. Ibu yang terkenal ramah ini memang gemar menggoda para pembelinya. Atau sekedar mengobrol basa-basi.

      "Bapak pakai sayur, nggak?" teriak Irene pelan pada Ian yang duduk di dalam mobil.

      "Nggak usah" jawab Ian berjalan pelan ke arah Irene. Ibu penjaga warung melirik sekilas lalu tersenyum ke Irene

      "Ibunya lagi ke luar kota ya, mbak?" tanya Ibu itu sambil menyendokkan kuah sayur.

      "Eh, apa bu?" Irene bingung mendengar pertanyaan itu. Ia tidak merasa bahwa ibu ini mengenalnya apalagi keluarganya.

      "Biasa gitu kalau ibunya nda dirumah pasti nggak masak. Jadi mbak beli nasi untuk bapaknya" ujar si Ibu melirik ke arah Ian.

      Bapak, tanya Irene dalam hati masih bingung. Ia menatap si ibu dan Ian bergantian.

      "Ini, mbak. Tiga puluh ribu" si Ibu menyodorkan nasi bungkus itu ke tangan Irene, kemudian Ian membayarnya.

       "Maksudnya tadi dibilang belikan untuk bapak saya apa, ya?" tanya Irene saat mereka sudah di dalam mobil.

       "Saya disangka bapakmu" jawab Ian pelan. Irene berpikir sejenak. Sedetik kemudian ia tertawa. Ia tak berpikir sejauh itu.

       "Lucu, kah?" goda Ian menggenggam tangan Irene kuat.

       "Gara-gara muka saya terlalu baby face kali ya, sampai dibilang anak bapak" kata Irene tersenyum manja.

       "Mungkin. Atau bisa juga karna muka saya yang tua"
       "Tapi, mungkin karna panggilan kamu ke saya, bapak. Jadi disangkanya saya bapak kamu" lanjut Ian.

       "Masalahnya dimana? Emang gak boleh panggil bapak?" tanya Irene sinis.

       "Boleh, tapi aneh aja. Kita pacaran panggilannya bapak. Pernah nemuin orang pacaran panggilannya begitu?" Irene menggeleng malu.

       "Yah kita kan one of a kind lover. Bapak hati-hati ya pulangnya, makasih buat hari ini. Dahh" ujar Irene sesampainya di depan rumah. Ian menahan tangannya.

       "Tunggu, Ren. Kita omongin soal ini dulu ya" cegah Ian. Irene menatapnya bingung.

       "Mulai sekarang, kita nggak usah pake saya-bapak lagi. Panggil nama atau aku-kamu aja, gimana?" tanya Ian serius.

       "Bapak yakin? Nanti jadinya saya nggak sopan dong manggil kamu gitu"
       "Yah daripada bapak, orang nggak tahu dong kalau kita pacaran" Irene mengernyitkan dahinya.

       "Bukannya bagus kalau nggak ada yang tahu? Bapak mau semua orang tahu kalau saya selingkuhannya bapak?" tanya Irene menahan emosi.

       "Nggak gitu, jangan marah dulu, maksud saya kalau diluar. Kalau di kantor atau di antara teman-teman ya tetep panggil bapak. Walaupun ini backstreet, seenggaknya kita punya panggilan khusus gitu, lho" jelas Ian. Irene berpikir sejenak mencerna baik-baik perkataan Ian.

       "Panggilan sayang gitu maksudnya? Kayak orang-orang?" goda Irene.

       "Iya, kurang lebih gitu"
       "Yaudah, mulai sekarang kalau kita berdua aja, nggak ada lagi bapak dan saya, oke?" ujar Irene tersenyum. Ian mengangguk mantap membalas senyum Irene.

        "Sampai ketemu besok, ya sayang. Hati-hati kamu" Irene melambaikan tangannya lalu turun dari mobil. Meninggalkan Ian yang sedang senyum-senyum sendiri mendengar Irene memanggilnya sayang.


*****************************

        Berkat kejadian 'dikira bapak' beberapa waktu lalu, kini mereka memiliki panggilan sayang untuk diri mereka. Ian, lebih tepatnya, yang selalu memanggil Irene dengan sebutan sayangku, pacarku atau cintaku. Tapi Irene terkadang lupa memanggilnya sayang. Ia terus memanggilnya bapak atau kamu. Irene memang tidak romantis, pikir Ian tak mau membuat masalah.

       Tak terasa kini usia hubungan mereka sudah yang kedua bulan. Dengan pintar dan rapih mereka menyembunyikan hubungan mereka dari orang-orang terdekat. Dani, yang sering berada disekitar mereka juga tak merasa curiga sedikit pun.

       Hari ini, Irene sedang pergi bersama Vanya, teman baiknya sejak SMA. Vanya anak yang baik dan memiliki kepribadian yang menyenangkan, sifat keduanya pun tak jauh berbeda. Hanya saja Vanya terlihat seperti gadis nakal karna ia perokok dan berbicara kasar. Irene tak ambil pusing soal pendapat orang mengenai sahabatnya itu, karna ia tahu Vanya gadis yang baik terlepas dari bagaimana ia menjalani hidupnya.

      "Aku mau ketemu pacarku ih, kamu gimana?" tanya Vanya duduk bersebelahan dengan Irene di bangku mall. Terlihat berbagai macam belanjaan hasil buruannya.

      "Antar aku pulang, lah" jawab Irene santai.

      "Nyusahin banget. Minta jemput si om aja ya, njing" ujar Vanya lagi. Vanya tahu mengenai hubungan Ian dan Irene, ia hanya tidak tahu bahwa Ian sudah menikah.

      "Dia lagi istirahat kasian ah. Kamu ketemu pacarmu aja, biar aku pulang pesen GOJEK aja" Irene mengeluarkan ponselnya untuk memesan ojek online. Seketika Vanya merebut ponselnya dan menelpon Ian.

      "Halo, Om? Ini Vanya, aku nggak bisa antar pulang Irene, om jemputin dia, ya?" cerca Vanya pada Ian yang baru saja bangun. Irene mencoba mengambil ponselnya namun gagal.

      "Oh, gitu. Yaudah tunggu, saya cuci muka dulu. Telponnya kasihkan Irene, dong" balas Ian berdiri mengambil handuk kecil di ranjangnya.

      "Oke Om makasih. Nih" ujar Vanya menyerahkan ponsel Irene. Dengan hati-hati Irene menjawab telpon dari Ian. Ia takut Ian marah padanya.

      "Halo sayang?" sapa Irene.
      "Ehm, kamu dimana?" tanya Ian.
      "Aku di Plaza. Sayang baru bangun, ya?"
      "Iya, aku cuci muka dulu baru jemput kamu. Lain kali kalau mau minta jemput, kamu aja yang ngomong langsung, jangan suruh orang, ya sayang" ujar Ian lembut. Irene menatap tajam Vanya yang tersenyum tak bersalah.

       "Iya sayang, itu Vanya yang nelpon, maaf ya"
       "Nggak apa-apa, yaudah nanti aku telpon lagi kalau OTW. Dahh" Ian mematikan telponnya dan segera berganti pakaian.

        "Anjir, kena semprot aku gara-gara kamu!" bentak Irene sesaat telponnya mati. Vanya hanya tertawa.

        "Sorry, nggak maksud. Udah malem mau pake GOJEK bahaya kali, Ren. Mending si om aja suruh jemput"
        "Ya tetep aja aku nggak enak dong, ngerepotin dia gitu"
        "Eh, bego, dia pacarmu kan? Mana ada sama pacar sendiri ngerepotin. Aneh"
        "Meskipun pacar sendiri kalau ngerepotin ya ngerepotin"
        "Dia juga nggak masalah, kan? Buktinya dia mau jemput kamu. Berarti dia nggak ngerasa direpotin"
         "Tau ah males ngomong sama kamu, sempak firaun"
         "Anjing! Eh, kamu sama si om udah ngapain aja?" tanya Vanya tanpa basa-basi. Irene berpikir sejenak lalu menjawab pertanyaan itu hati-hati.

        "Belum sampai yang aneh-aneh, sih. Why?"
        "Aku mau tau aja sejauh mana. Ceritain dong"
        "Emm, udah pegangan tangan, pelukan, cipokan juga. Itu aja" Vanya menatap sinis ke Irene. Ia tak percaya hanya sejauh itu yang mereka lakukan.

        "Bohong! Apa lagi?" Irene berdehem enggan menjawab.

        "Udah nyusu?" skak Vanya membuat Irene tak bisa berkata-kata.

        "Tuh kan, nggak mungkin cuma cipokan doang. Terus kamu nggak mau lebih dari itu?" tanya Vanya lagi.

        "Lebih apa? Ya segitu aja udah cukup. Lagian aku masih nggak berani, Nya" jawab Irene menunduk malu. Baru Vanya hendak melanjutkan pertanyaannya, ponsel Irene berbunyi. Telpon dari Ian.

        "Sayang, aku udah deket Plaza. Kita ketemu dimana?" sapa Ian.

        "Lho katanya telpon kalau OTW. Aku keluar aja dulu, ketemu di pertigaan deket Plaza aja" jawab Irene berdiri mengajak Vanya pergi.

        "Iya aku lupa. Okee sayang, dahh" Ian mematikan telponnya.

        Vanya dan Irene berjalan ke parkiran motor, Vanya melanjutkan percakapannya tadi.

        "Yah, aku tau kamu takut, tapi pasti dia mau lebih, deh. Seumuran dia pasti ngerti kebutuhannya sendiri. Pelan-pelan aja, Ren, sekalian sembuhin trauma kamu"

        "Iya, aku pelan-pelan, kok. Nggak tau ya, kadang pas dia mulai pegang toketku aja, aku udah kebayang mukanya Sam. Jadi ku tepis gitu tangannya" jelas Irene memakai helmnya.

        "Jangan gitu juga, kasian dianya. Udah ayok naik" Vanya menstater motor maticnya. Dijalan, Vanya menasehati Irene agar mencoba mengobati traumanya bersama Ian.

        Vanya melihat mobil Ian sudah terparkir di pinggir jalan. Ia menghentikan motornya di depan mobil Ian. Sebelum Irene pergi Vanya menasehatinya sekali lagi.

        "Lakuin aja yang dia mau, aku yakin dia baik sama kamu, dia cuma mau bantu traumamu aja. Tapi inget, you can't lose your virginity, kay?"

        "Yes, bitch" ujar Irene melambaikan tangannya. Ia berjalan kearah mobil Ian. Vanya tersenyum dan menjalankan motornya melaju entah kemana.

        "Hai sayang" sapa Irene begitu masuk kedalam mobil dan memeluk Ian sebentar. Ian menjalankan mobilnya.

        "Vanya mau kemana?" tanya Ian.
        "Pacarnya lagi sange, jadi ngajak ketemuan, biasa. Jatahan dulu ya kan"
        "Aku mau juga, nah" goda Ian mengelus paha kanan Irene.

       "Mau jatahan sama Vanya juga? Sono gih, kalau dia mau" canda Irene menepis tangan Ian.

       "Awas kamu, ya. Sini kamu" Ian menarik tubuh Irene mendekat padanya. Posisinya kini memeluk Ian. Irene mendaratkan kecupan di pipi Ian. Ian mengelus pelan bahu kiri Irene, memberikan kenyamanan padanya.

        Sepanjang jalan mereka tertawa dan saling bercanda. Sesekali Ian mengecup kening Irene karna gemas. Irene juga tak lupa mengecup pipi Ian. Mereka benar-benar tak perduli dengan orang lain dijalan yang melihat mereka. Kaca mobil yang agak gelap juga cukup membantu.

        Pukul 12:15 malam, mereka sampai didepan rumah Irene. Ian menahan Irene diposisi yang sama sejak tadi saat Irene hendak turun.

        "Aku masih kangen kamu" kata Ian. Irene tersenyum menatap mata indah Ian. Ia mendekatkan bibirnya mengecup bibir Ian. Ian dengan senang hati membalas ciuman Irene.

        Mulut mereka terbuka sedikit, membuat lidah Irene menerobos masuk ke mulut Ian mencari lidahnya. Lidah Ian pun kini mengabsen setiap gigi Irene. Saat lidah Ian menyentuh ujung langit-langit Irene, ia menggelinjang menandakan ia sudah terangsang.

        Tangan kanan Ian turun menuju payudara kiri Irene. Ia mengelus pelan payudara dari luar hem yang Irene kenakan. Tangan Irene mulai membuka 3 kancing hemnya, memberikan akses agar tangan Ian leluasa memainkan gunungnya. Jari telunjuk Ian masuk kedalam cup bra Irene mencari pucuk kenikmatan. Ia memainkan puting Irene yang mulai mengeras dengan lembut.

        Ciumannya kini turun ke leher Irene. Ia menghisap beberapa bagian dan meninggalkan bekas kepemilikannya disana. Tangan Irene diarahkannya menuju batang kejantannya yang masih terbalut celana bahan. Meskipun tertutup, Irene merasakan batang panjang yang mengeras. Ia memijit pelan penis Ian, jari kelingkingnya dengan cekatan mengelus biji zakarnya.

        Tangan Ian turun hingga ke selangkangan Irene. Ia menyentuh vagina Irene dan mengusapnya pelan. Celana jeans yang dikenakan Irene menghalangi jarinya untuk memainkan vagina itu. Ia melepaskan ciuman di leher Irene memandang Irene bagai meminta ijin untuk memasukkan tangannya kedalam celana Irene. Irene mengangguk pelan. Ia mencium bibir Irene lagi dan mulai memasukkan jari-jarinya kedalam celana Irene.

       Dari luar celana dalam Irene, ia merasakan bahwa Irene sudah basah. Jari tengah Ian meraba tengah vagina Irene. Menggerakkan jarinya memutar. Irene yang baru pertama kali merasakannya pun melenguh pelan. Ia melepaskan ciuman Ian dan menyembunyikan wajahnya dengan memeluk Ian.

      "Ngedesah aja, sayang" racau Ian.
      "Engghh... ahh..." desah Irene memeluk Ian erat. Ian yang mudah terangsang dengan desahan pun mempercepat gerakan jarinya.

      "Lagi, yang" perintah Ian menikmati bagian basah Irene dan juga desahan sensualnya.

       "Huuhh... ahhh... mmppphhh.." desahan Irene makin nyaring membuat Ian makin cepat menggerakkan jarinya.

       Irene merasakan sedikit perih pada vaginanya. Ia ingin menghentikan tangan Ian tapi ia ingat pesan Vanya. Irene terus mendesah dan memijat batang Ian sebagai balasan perlakuan Ian pada vaginanya.

       "Ahh... ahhhh... shaa.. yhang..." racau Irene menikmati jari Ian dibawah sana tapi juga sakit bersamaan.

       Ian mempercepat gerakannya membuat rasa perih vagina Irene tak tertahan lagi. Tiba-tiba saja Irene mengingat kejadian bersama Sam. Wajah mesum Sam terlintas dan deruan nafasnya di telinga Irene terasa nyata. Irene melepas pelukannya dan menghentikan pijatannya pada penis Ian lalu mendorong tubuhnya. Ian lalu menghentikan aktifitasnya juga. Ia menatap Irene tak mengerti.

       "Sayang kenapa?" tanya Ian. Air mata Irene terjatuh dari pelupuk matanya. Ian terkejut menahan kepala Irene agar tak tertunduk menangis.

       "Maaf" kata Irene disela ia menahan tangis.

       "Kenapa minta maaf? A.. aku yang salah. Sakit ya? Maafin aku, sayang, maafin aku" ujar Ian panik. Ia benar-benar merasa bersalah.

       "Nggak kok, nggak sakit. Aku masuk ya" ujar Irene tersenyum pada Ian yang menatapnya penuh rasa berdosa.

       "Maafin aku, beneran, aku bego banget" ujar Ian lagi. Irene menyentuh pipi Ian lembut seraya tersenyum dengan manis.

       "Nggak usah minta maaf, aku nggak apa-apa. Kamu pulangnya hati-hati ya, sayang. Dahhh"

       Irene membuka pintu mobil perlahan, saat menurunkan satu kakinya, rasa perih terasa pada selangkangannya. Irene menahan napasnya agar Ian tidak mengetahui rasa sakitnya. Ia berhasil turun dan menutup pintu mobil. Tatapan Ian tak putus melihat gadisnya yang berjalan dengan wajah menahan sakit.

      Sepanjang jalan pulang Ian menangisi kebodohannya. Ia mengikuti nafsunya dan membuat Irene tersakiti.

      "Goblok! Goblok! Kenapa gua gini, sih?! Liat, sekarang Irene kesakitan gara-gara gua sange! Goblok banget gua!" maki Ian pada dirinya sendiri. Ia memukul-mukul stir mobilnya.

      Sampai di ruko pun ia berjalan cepat tak menghiraukan Dani yang menegurnya. Ia berlari ke lantai 3, menatap dirinya di cermin lalu menampar pipinya bergantian sambil memaki diri sendiri. Ia mengambil ponselnya ingin menghubungi Irene tapi ia merasa terlalu bersalah untuk melakukannya. Ia bahkan membiarkan pesan dari istrinya dan menunggu Irene mengabarinya.

      10 menit kemudian, ponsel Ian berdering. Irene menelponnya. Tak perlu waktu lama Ian segera menjawab telpon Irene.

       "Halo sayang?" sapa Ian dengan nada khawatir.

       "Halo, udah sampe?" tanya Irene dengan suara lemah seperti habis menangis.

       "Udah dari tadi. Sayang kenapa? Sakit ya?"
       "Nggak kok. Nggak sakit" jawab Irene bohong. Ia tak mau Ian tahu bahwa ia sangat kesakitan saat ini.

        "Aku video call ya, aku mau liat muka kamu. Bentar" Ian mematikan telponnya lalu menghubungi Irene kembali dengan video call. Irene menjawabnya dan memperlihatkan wajahnya yang lesu.

       "Hai, ganteng" sapa Irene tersenyum mencoba menutupi fakta bahwa ia habis menangis.

       "Sayang habis nangis, kan? Nangis kenapa? Aku nyakitin kamu ya tadi?" tanya Ian. Hatinya remuk. Ingin sekali ia memeluk Irene sekarang.

       "Nggak kok" jawab Irene menahan tangisnya lagi. Ian menjambak rambutnya kasar.

       "Bener, kan, aku nyakitin kamu. Aku emang bego. Maafin aku"













*Habisnya gak enak banget dah perasaan haha tapi maaf ya readers ini juga bikinnya dengan pening pening hehe maaf kalo ada typo atau kesalahan lainnya

Sampai ketemu di part selanjutnya. Aku masih menunggu kritik dan saran kalian. Love you guys😍😍😍😍😍😍😍😍*

Continue Reading

You'll Also Like

236K 16.8K 29
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
718K 140K 46
Reputation [ repยทuยทtaยทtion /หŒrepyษ™หˆtฤSH(ษ™)n/ noun, meaning; the beliefs or opinions that are generally held about someone or something. ] -- Demi me...
2.4M 266K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
6.3M 325K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...