Love Me If You Dare

By Kimikara

388K 46.8K 1K

Lalitya seorang cewek yang menganggap dirinya misanthrope (pembenci manusia) dan alien yang tidak terhubung d... More

Part 1 Extraordinary Day
Part 2 Who Are You?
Part 3 Manic Monday    
Part 4 You Again
Part 5 Mr. Right vs Mr. Wrong    
Part 6 In or Not?
Part 7 My Neighbor, My Officemate
Part 8 When He Sees Me
Part 9 New Kid on the Block
Part 10 It's Showtime
Part 11 Those Girls
Part 12 Nothing is Free in This World
Part 13 Never Forget Your Old Friend
Part 14 And When He Smiles
Part 15 His Crazy Ex-Girlfriend
Part 16 Prince Charming vs Monster
Part 17 Love Moves in Mysterious Way
Part 18 Arrgh!
Part 19 It's You Again
Part 20 Are You Gonna Be My Girl?
Part 21 Happy Birthday Kailash
Part 22 My Untamed Heart
Part 23 A Good Book vs a Shirtless Guy
Part 24 Spread Your Wings
Part 25 Sunset Rendezvous
Part 26 Heart of the Sunrise
Part 28 The Art of Loving
Part 29 You Don't Own Me
Part 30 How My Heart Behaves
Part 31 A Rainy Day and Saturday
Part 32 One Sunday Morning
Part 33 Hello Mr. Heartache
Part 34 Don't Waste Your Heart
Part 35 Frog Prince
Part 36 Su Ex Novia
Part 37 A Girl in A Plaid Pleated Skirt
Part 38 When We First Met
Part 39 As Beautiful as Stars in the Sky
Part 40 Are You Strong Enough to be My Man?
Part 41 Say It with Sunflower
Part 42 Bon Voyage
Part 43 I Don't Want to be A Bride
Part 44 The Young Man and The Sea
Part 45 Don't Mess with My Heart
Part 46 Should I Kiss You or Should I Kill You?
Part 47 Past, Present and Future
Part 48 Kiss You Tonight
Part 49 Books, Boys and Broccoli
Part 50 Love at Thousandth Sight
Part 51 Que Sera Sera (Final Chapter)
Author's Note

Part 27 ¡Hasta Mañana!

6K 848 77
By Kimikara

"Kai datang jam berapa? Kenapa enggak bisa ditelpon?"

Konsentrasiku menerjemahkan artikel tentang Raja Ampat yang ditulis salah satu kontributor Plesiran di Papua Barat langsung buyar. Aku mendongak dan menatap Bu Mariana yang berdiri di depan mejaku.

"Saya enggak tahu, Bu."

"Oh," jawabnya singkat, lalu dia memutar tumit dan melangkahkan kaki ke kantornya.

Dari tadi orang terus bertanya kepadaku Kai datang pukul berapa. Jam sudah menunjuk ke angka sebelas, tapi dia belum muncul. Jumat malam, Kai pulang ke Bali. Dia selalu menyempatkan diri untuk ke Bali sebulan sekali. Biasanya dia naik penerbangan terakhir dari Denpasar pada Minggu malam. Tapi, kali ini dia balik Rabu pagi karena Senin kemarin hari kejepit. Jadi, dia memperpanjang liburannya. Seharusnya sekarang dia sudah sampai di Jakarta.

Kuraih ponselku untuk mengirim pesan kepadanya.

Kamu di mana? Ngantor jam berapa?

Beberapa saat kemudian, ponselku berdering. Caller ID menunjukkan nama Kai.

Bukannya balas pesan, kenapa malah nelpon?

Aku bangkit dari kursi dan berjalan keluar dari ruangan, mencari tempat yang sepi.

"Halo," sapaku sambil mengayunkan kaki menuju teras belakang. "Kamu di mana?"

"Bandara." Ucapannya bersaing dengan suara pengumuman dan gemuruh mesin pesawat terbang.

"Bandara mana?"

"Cengkareng. Tadi pesawatnya delay tiga jam."

"Siapa suruh naik si Raja Delay?"

Dia tertawa.

"Lain kali kalau mau datang telat bilang sama Bu Mariana atau Melanie, dong!" usulku.

"Kenapa?"

"Biar orang enggak nanya terus."

"Lain kali aku bilang kamu."

Aku sampai di teras dan menghempaskan pantat di sofa panjang. "Aku bukan sekretarismu."

"Kamu mau jadi sekretarisku?" tanyanya.

Ogah!

"Kalau kamu berani bayar seratus dolar per jam, aku mau," balasku.

"Gimana kalau seratus ribu per jam?"

"Sorry, enggak menerima rupiah. Hanya menerima dolar, euro sama poundsterling."

"Oke. Nanti kita bahas lagi kalau aku sudah sampai di kantor." Dia mengakhiri pembicaraan kami.

Aku kembali ke ruanganku dan melanjutkan pekerjaanku. Kai baru datang ke kantor pas jam makan siang berakhir. Pulangnya, dia naik bus bareng aku karena tidak membawa mobil. Kami naik Transjakarta dari Terminal Blok M dan berhasil mendapatkan kursi berdampingan. Bus yang kami tumpangi berjalan pelan menembus kemacetan ibu kota.

Kubuka tasku untuk mengambil earphone dan ponsel. Setelah memasang earphone ke kedua telingaku, aku memutar musik secara acak. Lalu kumasukkan ponselku ke dalam tas yang ada di pangkuanku tanpa menutup ritsletingnya.

Tanpa diduga Kai mencopot earphone dari telinga kiriku. Aku menoleh kaget.

"Ayo kita dengerin musik favorit Lalitya," ujarnya sambil memasang earphone ke kuping kanan.

Kupindah earphone yang kupasang di telinga kanan ke indra pendengarku sebelah kiri. Suara Norah Jones yang selembut bisikan mengalun pelan dari ponselku.

Come away with me in the night
Come away with me
And I will write you a song
Come away with me on a bus
Come away where they can't tempt us
With their lies

Berbagi earphone dengannya membuatku seolah-olah berperan dalam drama Korea. Kenapa tiba-tiba aku meromantisasi suasana? Tapi biasanya di drama si cowok digambarkan sebagai sosok yang dingin dan kaku, sedangkan Kai jauh dari kesan dingin. Dia hangat dan super kepo. Selain itu, adegan klasik dalam drama ketika si cewek mengantuk dan tidur di bahu si cowok. Kenyataannya ada seorang cewek yang sebentar lagi akan mendaratkan kepalanya di pundakku. Salah satu hal yang kubenci dari naik bus adalah saat penumpang yang duduk di sebelahku mengantuk dan kepalanya menempel di bahuku. Sebelum itu terjadi, aku menyenggol cewek itu. Dia tersentak kaget.

"Maaf, Mbak," ujar cewek berambut sebahu itu.

Wajahnya tampak lelah, sedangkan matanya merah dan sayu. Dia terlihat seperti orang yang tidak tidur selama berhari-hari. Mungkin dia zombie. Istilah ini kugunakan untuk pekerja yang berangkat pagi dan pulang malam. Mereka berangkat dengan mata merah akibat kurang tidur, dan pulang kantor dengan mata merah karena capek dan kebanyakan menatap layar komputer. Kadang tatapan mata mereka kosong dan jiwa mereka seakan terlepas dari raga. Sebagai mantan zombie, aku memahami apa yang mereka rasakan.

"Enggak apa-apa, Mbak," balasku.

Kutarik pandangan mataku ke depan. Pemandangan di hadapanku adalah perut seorang cowok yang kira-kira seumuran denganku. Dia terpaksa berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Setiap naik angkutan umum aku selalu berharap ada cowok kece sedang membaca buku fisik. Ini akibat aku mengikuti akun Instagram @hotdudesreading, meskipun tidak semua cowok dalam akun itu benar-benar menarik. Kayaknya teori Cesta kalau cowok-cowok di dalam akun itu settingan memang benar. Atau mungkin mereka hanya ada di belahan dunia yang lain?

Aku menoleh ke kanan. Cewek tadi kembali tertidur dengan posisi kepala bersandar di kursi. Kualihkan perhatianku ke sisi kiri. Kai menyandarkan punggung dan kepalanya ke kursi. Matanya terpejam. He looks so cute and peaceful like a sleeping baby animal. Dan, dari ponselku terpancar suara Imogen Heap melantunkan,

Why d'ya have to be so cute?
It's impossible to ignore you

Must you make me laugh so much
It's bad enough we get along so well
Say goodnight and go

Kuraih ponsel dari dalam tas, kuangkat benda itu, lalu kutekan ikon kamera untuk mengambil gambar Kai. Kenapa aku merasa seperti seorang creepy stalker? Pasti gara-gara dengerin lagu tentang menguntit seseorang. Aku menurunkan ponsel, tapi mataku masih memandang obyek yang sama.

Lagu Goodnigt and Go berakhir dan digantikan oleh teriakan Serj Tankian diiringi raungan musik metal yang dimainkan System of A Down.

Wake up (wake up)
Grab a brush and put a little make-up

Hide the scars to fade away the shake-up (hide the scars to fade away the...)
Why'd you leave the keys upon the table?
Here you go create another fable

Lagu berjudul Chop Suey itu membangunkan Kai. Dia menoleh ke arahku, bola matanya membesar.

"Aku enggak tahu kalau kamu suka musik metal," ujarnya.

Aku mengangkat bahu.

Senyum tipis menghiasi wajahnya, lalu dia melanjutkan tidur.

Untungnya, dia tidak bangun waktu aku memotretnya. Mau ditaruh di mana mukaku kalau ketahuan. Dia bakal menggodaku habis-habisan.

Ponselku berkedip, menandakan ada pesan atau email masuk. Aku langsung mengeceknya.

Tristan: What's up?

Lalitya: Ngantuk, tapi enggak bisa tidur.

Tristan: Why?

Lalitya: Aku lagi di bus.

Tristan: Awas copet!! Stay Alert!!

Lalitya: Makanya aku enggak tidur. Gimana kabarmu?

Tristan: Baik. By the way, kita baca apa bulan depan?

Lalitya: Ada ide?

Tristan: I found Uncle Tom's Cabin by Harriet Becher Stowe in my hostel.

Lalitya: Oke, kita baca itu.

Tristan: Good. I have to go. TTYL.

Lalitya: Oke.

Kutaruh ponselku ke dalam tas. Dan, aku kembali mengamati penumpang yang memenuhi bus.

Aduh!

Perutku terasa ditusuk-tusuk. Kulirik jam tanganku. Saat ini pukul 20.00. Sudah melewati jam makan malamku. Pantas perutku bergejolak. Bus berhenti di halte untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Halte berikutnya adalah tujuanku. Kumatikan musik di ponselku, kulepas earphone dari telingaku, lalu kutepuk pundak Kai. Dia bangun.

"Sudah sampai?" tanyanya sambil melepas earphone, kemudian mengulungkan benda itu kepadaku.

"Sebentar lagi," balasku sambil memasukkan ponsel dan earphone ke dalam tas.

Aku berdiri sambil memeluk tas. Kai ikut-ikutan beranjak dari kursi. Kami berjuang dengan susah payah untuk mencari celah demi mencapai pintu bus. Begitu bus berhenti, kami menunggu giliran turun. Aku mendaratkan kaki di halte terlebih dulu, sedangkan Kai menyusul di belakangku. Kami berjalan bersama menyusuri jembatan penyeberangan.

"Aku mau beli makan dulu," ujarku ketika kami sampai di depan pasar. Tempat aku biasa berburu makan malam.

"Ayo kita makan bareng?"

Aku meliriknya. "Kamu enggak makan di rumah?"

"Enggak. Mau makan apa?" tanya Kai.

Kami berdiri dan mengamati warung-warung tenda di hadapan kami. Aku membaca tulisan yang tertera di tenda-tenda itu, "bakmi Jawa", "pecel lele", "seafood", dll. Di dunia ini ada manusia yang setiap hari bertanya "apakah hari ini bisa makan?" atau "hari ini makan berapa kali?". Tapi, ada jenis manusia lain yang memiliki pertanyaan berbeda, "hari ini mau makan apa?" atau "mau sarapan apa?", "makan siang di mana?", "makan malam sama apa?"

"Sudah diputuskan?" tanyanya lagi.

"Belum."

Mm... makan apa, ya? Yang kubutuhkan saat ini adalah makanan yang hangat, tidak pedas, tidak berminyak, rendah lemak dan berkuah. Sesuatu yang tidak akan menimbulkan masalah baru bagi perutku.

"Kamu mau makan mikirnya pakai lama."

"Aku mau makan bakmi Jawa. Kamu mau makan apa?" ujarku.

Bukannya menjawab, dia malah mendahuluiku berjalan ke warung bakmi Jawa. Aku menyusul masuk ke dalam warung yang memiliki empat meja makan, masing-masing meja ditemani empat kursi plastik. Kai menduduki salah satu kursi. Matanya terpaku pada menu makanan. Aku duduk di hadapannya. Dia menyerahkan menu makanan padaku, lalu menatap ponselnya dan asyik mengetik.

Juru masak memasak pesanan dengan menggunakan dua anglo. Sepuluh menit setelah memesan, bakmi berkuah pucat yang berisi ayam, telur dan kol dengan taburan bawang merah goreng dan seledri dihidangkan di hadapanku. Aku memandang nasi goreng milik Kai yang terlihat menggoda dengan irisan cabe rawit, kol, ayam dan telur disertai taburan bawang merah dan seledri. Dia menyantap nasi itu dengan lahap.

"Kamu harus siap-siap," cetusnya.

Aku menatapnya bingung. "Maksud kamu?"

"Kamu kalah taruhan. Jadi, kamu harus siap jadi asistenku saat dibutuhkan," ungkapnya.

Sialan! Aku lupa soal taruhan itu. Kimi finish di urutan berapa sih pas balapan Minggu lalu?

"Jangan bilang kalau kamu sudah lupa soal itu," ujarnya.

"Aku masih ingat," balasku.

Sudut-sudut bibirnya membentuk senyum puas. "Bagus."

Kurogoh tasku untuk mengambil obat mag, lalu kuletakkan obat itu di atas meja.

"Kamu sakit mag?" tanyanya sambil menyendok nasi.

Aku mengangguk.

"Pantes kamu kalau makan pakai mikir dulu."

Aku menyendok bakmi, memasukkannya ke dalam mulut, lalu mengunyahnya. "Kamu mau punya anak?"

Dia mengangkat alisnya. "Kenapa? Kamu mau daftar?"

"Daftar apa?" tanyaku.

"Jadi ibu buat anakku."

"Ih, ogah."

"Ngapain kamu nanya?"

"Apa yang kita masukkan ke dalam tubuh kita, akan mempengaruhi kualitas tubuh. Kalau kamu mau punya anak, kamu harus memilih makanan yang benar. Apa yang kamu makan bisa mempengaruhi kualitas dan kuantitas spermamu," jelasku.

Matanya melebar, sementara tangan kanannya masih memegang sendok berisi sesuap nasi goreng. Sendok itu hanya berjarak beberapa senti dari mulutnya yang terbuka. Dia menurunkan sendok dan meletakkannya ke atas piring.

"Aku enggak tahu kalau kamu ahli sperma," godanya.

"Aku pernah bilang kan kalau membaca itu membuat kita tahu apa yang kita enggak tahu,"

"Kenapa kamu pengin tahu soal sperma?"

Aku memutar bola mata. "Aku enggak cuma baca soal sperma," balasku sebal.

Dia tertawa, lalu meneruskan makan.

"Kata Mahessa kamu pendiam, tapi menurutku kamu cerewet," ujarnya.

"Sebenarnya aku diam karena ada dua alasan. Yang pertama aku enggak suka basa-basi, yang kedua malas ngomong kalau lawan bicaraku orang yang berpikiran dangkal dan sempit. Ngomong sama orang kayak gitu sangat melelahkan. Ujung-ujungnya aku merasa kalau aku ngomong sendiri karena dia enggak menangkap maksudku dan dia akan menyebutku aneh," ungkapku.

Dahinya berkerut.

Kuraih segelas teh manis panas pesananku, lalu meneguk isinya. "Kadang berhubungan dengan manusia lain itu terlalu melelahkan karena menguras energi. Enggak semua manusia bisa memberimu energi positif, yang membuatmu enggak sabar menunggu hari esok agar bisa bertemu lagi dengan orang itu. Ada jenis manusia yang memberimu energi negatif sehingga kamu ingin cepat mengakhiri hari ini dan berharap besok kamu tidak perlu bertemu orang itu," tambahku.

Dia tersenyum. "Untung aku bukan orang berpikiran dangkal dan sempit, jadi kamu banyak ngomong waktu bersamaku," katanya penuh percaya diri.

Iya sih. Aku enggak sadar kalau selalu memiliki energi untuk membuka mulut ketika bersamanya. Ada kalanya aku menyingkap terlalu banyak informasi kepadanya.

Aku mengangguk. Tangan kananku mencopot obat dari bungkusnya, lalu memasukkan tablet berwarna hijau itu ke dalam mulut. Kuhisap tablet itu hingga lumer, kemudian kuminum segelas teh manis sampai tandas.

"Aku juga masuk jenis manusia yang membuatmu menantikan hari esok?" tanyanya hati-hati. Matanya mengunci mataku, seolah dia ingin menemukan jawabannya melalui indra penglihatanku.

Kualihkan pandangan mataku ke piringku yang sudah kosong, lalu kuangkat wajahku. Aku baru mau membuka mulut, tiba-tiba ada seorang cewek mendekati meja kami. Aroma wangi menguar dari tubuhnya. Wewangian yang familier, tapi aku tidak ingat merek parfum yang dia pakai. Dia adalah cewek yang menyambut Kai waktu kami pulang dari Anyer. Belakangan ini aku sering melihat mobilnya di parkir di depan rumah Kai.

Ngapain dia di sini?

"Hai," sapa cewek bermata belo itu sebelum duduk di samping Kai. "Ini siapa?" tanyanya sambil mengulurkan tangan ke arahku. "Larissa."

Hanya Larissa. Tanpa embel-embel teman atau pacar Kai. Sebenarnya hubungan mereka apa, sih?

Aku menyambut uluran tangannya yang halus dan lembut. "Lalitya."

Kami berjabat tangan singkat.

"Oh, teman kantornya Kai."

Aku mengangguk.

"Aku duluan, ya. Sampai ketemu besok," ujarku.

Kai mengangguk. Seulas senyum mengembang di bibirnya.

"Dadah," balas Larissa sambil melambaikan tangan.

Aku berdiri dan mendekati gerobak tempat seorang pria paruh baya sedang meracik bahan untuk memasak bakmi goreng. Setelah membayar, aku keluar dari warung.

Untung makananku sudah habis, jadi aku bisa kabur.

_____________

Author's Note:

¡Hasta mañana! (bahasa Spanyol) bisa diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai "Sampai ketemu besok" atau "Sampai jumpa besok".

By the way anyway busway, buat yang bilang enggak suka sama karakter Lalitya, enggak apa-apa. Yang penting yang nulis suka. Kalau enggak suka gimana mau lanjutin cerita. And, you have the right to your opinion. Selera orang kan beda-beda. Yes, as simple as that. Penulis sih enggak tahan sama heroine yang meek and weak atau drama queen.

¡Hasta luego!





Continue Reading

You'll Also Like

11.7K 2.3K 44
Kaivan Leo Mahendra adalah pantai yang teduh. Rambutnya serupa gelombang, wangi tubuhnya adalah angin laut yang beraroma garam serta karang, bibirnya...
30.1K 3.3K 45
Aurora; cerdas, disegani, dan ditakuti. Ratu es sekolah yang doyan belajar, membuat manusia lain merasa kecil, dan hobi menyelamatkan lingkungan--sam...
Dialektiva By cand

General Fiction

305K 55.7K 50
Ini cerita tentang Tiva dan kejenuhannya terhadap tipe-tipe mahasiswa yang ada di kampusnya--terutama di kelasnya. Tipe mahasiswa yang caper sama dos...
610K 4.4K 2
Aldric jagoan Salena. Jagoan yang diberikan Tuhan tanpa Salena inginkan sebelumnya, tapi dia syukuri. Jagoan yang Salena sendiri tak tahu siapa ayah...