Burning Desire

By TheRealRJune

292K 6.6K 176

21+ Konten dewasa, mohon kebijaksanaan pembaca šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼ SLOW UPDATE, setiap 2 pekan. More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26

Part 8

11.3K 281 4
By TheRealRJune

      Sholat Jumat hampir selesai, Irene undur diri untuk sholat Dzuhur dan mengganti pakaiannya untuk resepsi siang hari. Irene mengenakan dress brokat berwarna biru dongker. Membiarkan rambut sebahunya terurai. Tak lupa memoleskan make up dan lipstick merah tipis pada bibirnya.

     Acara cukup ramai dengan kedatangan kawan suami Dwi yang seorang pekerja batubara. Irene melemparkan pandangan keseluruh tempat mencari Ian. Matanya terhenti mendapati Ian yang duduk sendirian dipojok ruangan dengan mata tertutup. Ia terlihat sangat lelah. Irene menghampiri Ian dan membangunkan pria itu.

    "Pak?" panggil Irene pelan. Tidak ada reaksi dari Ian. Irene menggerakkan pelan pundak Ian.

    "Pak, bangun" Ian mulai sadar dari tidurnya. Ia mengusap matanya lalu tersenyum ke Irene.

    "Eh, Ren. Maaf saya ketiduran"
    "Bapak capek banget, ya? Maaf ya, pak" Irene merasa tidak enak.

    "Nggak kok, jangan minta maaf. Saya cuma ngantuk aja" ujar Ian menghibur.

    "Bapak kalo ngantuk tidur aja. Saya bilangin Dwi ya, pinjem kamar disini buat bapak tidur"
    "Janganlah, saya nggak enak. Udah, nggak apa-apa"
    "Saya yang nggak enak sama bapak, gimana dong?" Irene menatap Ian tak enak hati. Ia merasa kasihan melihat Ian seperti sekarang.

    "Kalaupun saya tidur sekarang, saya harus mikir nanti malam tidur dimana" ucapan Ian membuat Irene semakin merasa tidak enak membawa Ian kemari. Ia tidak memikirkan hal itu karna ia berencana menginap di rumah Dwi.

    "Oh iya. Yah, gimana dong?" tanya Irene khawatir.

    "Bentar ya, bapak tunggu sini" Irene bangkit meninggalkan Ian dan berbicara kepada Dwi soal masalah yang ia hadapi.

    "Ada hotel sekitar sini, 15 menitan lah ke kanan. Hotelnya warna ungu. Kamu kesana aja, kasian temen kamu pasti capek. Kamu juga pasti capek, kan?" ujar Dwi menenangkan Irene.

     "Aku sebenernya pengen lama disini, tapi aku nggak enak sama dia, Wi" Dwi tersenyum melihat temannya itu.

     "Udah nggak apa-apa. Aku udah makasih banget kamu mau dateng pagi-pagi kesini. Kamu mending nginep di hotel aja, kalo disini pasti ribut kamu gak bisa istirahat"
     "You sure?"
     "Of course, cantik. It's okay, don't worry" ujar Dwi memeluk erat Irene. Setelah memberikan info ke Ian mereka pun pamit kepada Dwi dan keluarga juga teman-temannya.

      Sekitar 15 menit, mereka tiba di hotel yang dimaksud Dwi. Hotel berbintang tiga berwarna ungu itu terlihat sepi. Mungkin karna kota ini bukan kota tujuan wisata sehingga tak banyak pengunjung. Setelah memakirkan motor, Ian menuju meja resepsionis untuk check in. Irene menunggu di sofa lobi utama dengan lelah menyandarkan punggungnya.

      "Selamat Siang, pak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis cantik itu pada Ian. Dengan senyum Ian membalas dan memesan kamar premium untuknya. Ian terlihat menimbang akan memesan dua kamar terpisah atau tidak. Ia tidak ingin terlihat tidak sopan pada Irene jika memesan satu kamar tapi juga karna Ian tidak membawa banyak uang untuk memesan dua kamar.

      "Premium yang dua ranjang ya, mba" pinta Ian pada resepsionis yang langsung memproses pesanan Ian.

      Setelah mendapat kunci dan nomor kamar, Ian menghampiri Irene yang terlihat hampir tertidur. Dengan hati-hati ia mengajak Irene untuk mengikutinya kedalam lift.

      "Ren, saya ambil satu kamar, nggak apa-apa, kan? Tapi dua ranjang kok, tenang aja" tanya Ian khawatir.

      "Oh. Nggak apa-apa, pak. Bagus malahan. Saya juga nggak bakal berani tidur di kamar sendirian" jawab Irene polos. Ya, Irene tidak berani menginap ditempat baru sendirian.

      Sampai mereka di lantai tiga, Irene menyuruh Ian berjalan didepan menunjukkan kamar mereka. Setelah membuka pintu kamar, seraya Irene menyerbu masuk, melepaskan wedges yang ia pakai dan mengganti dengan sandal hotel dan berlari kecil ke kamar mandi.

      "Kenapa, Ren?" tanya Ian khawatir.
      "Kebelet pipis, pak" teriak Irene membuat Ian tersenyum geli.

      Ian menaruh tas mereka di meja dekat ranjang lalu melepas jaketnya dan kini mengenakan t-shirt dan celana jeans. Irene belum mengganti pakaian dan terlalu lelah bahkan untuk menghapus riasannya. Ia duduk di tepi salah satu ranjang dan menyalakan TV. Mencari acara yang bisa menghilangkan bosan. Ian keluar dari kamar mandi dan duduk di tepi ranjang satunya. Mereka terdiam.

      Perasaan aneh dan canggung memenuhi kamar. Hanya suara TV yang tidak jelas yang terdengar menutupi suara nafas berat keduanya. Tak tahan tersiksa keheningan ini, Ian memberanikan diri membuka suara.

      "Kamu nggak ganti baju, Ren?"
      "Oh? Iya, pak. Entar aja masih capek" jawab Irene gugup.

      "Ganti aja sekarang, sekalian hapus make up kamu, jadi bisa langsung tidur" perintah Ian. Irene mengangguk setuju. Ia berjalan menuju meja didepan Ian untuk mengambil pakaian ganti.

      Ian memandangi punggung Irene. Lekukan tubuhnya terlihat sempurna dalam dress itu. Meskipun bokongnya sangat tepos, tetap membuat Ian merasakan kering di kerongkongannya. Irene yang tak sadar menjadi pemandangan manis Ian berbalik mengejutkan Ian yang matanya tak lepas dari pinggul kecil Irene.

     "Hayoo, bapak liatin apa?" goda Irene membuat Ian salah tingkah.

     "Apaan? Saya nungguin kamu pilih baju. Lama banget" jawab Ian ditengah-tengah kegugupannya. Irene melihat bosnya itu salah tingkah malah lebih menggodanya lagi.

      "Bapak liatin badan saya yang kayak model ini, kan? Ngaku aja"
      "Model apa? Model rumah?" Ian beranjak dari duduknya dan berjalan menjauh menuju jendela. Irene yang belum puas mengerjai bosnya itu pun mengikuti Ian. Ia mendekatkan wajahnya ke tubuh Ian.

      "Model Victoria Secret. Bapak aja nggak kedip sambil liatin saya kaya gini" Irene menggerakan kepalanya naik turun dari kaki hingga kepala Ian.

      "Lap dulu muka kamu, Ren. Geli saya liat bibir kamu" kata Ian dengan ekspresi jijik. Irene mundur lalu duduk di tepi ranjangnya.

      Ia mengambil tissue basah dan menyeka bibirnya dari lipstick merah yang ia kenakan. Ia tahu, Ian benci dengan lipstick. Ada sejenis trauma dalam diri Ian yang membuatnya benci pada benda wajib milik kaum hawa itu. Setelah merasa bibirnya bersih Irene memanggil Ian.

     "Udah bersih, pak. Udah kembali suci"
     "Gitu lebih bagus" ujar Ian berjalan kembali menuju ranjangnya. Sekilas ia melirik Irene yang sedang tersenyum. Bibirnya tidak meninggalkan bekas lipstick lagi.

      "Bagus gini atau gini, pak?" goda Irene lagi memaju-mundurkan bibirnya dengan cepat membuat Ian kehilangan akal. Ia benar-benar sudah gila.

       "Kamu yang minta, ya" ujar Ian sebelum melemparkan dirinya ke ranjang Irene dan mencium bibir Irene dengan ganas.

        Irene terkejut tapi dengan cepat mengendalikan diri lalu membalas ciuman Ian. Ciuman penuh nafsu yang membangkitkan gairah itu kini makin panas. Irene menggigit bibir bawah Ian memberikan setruman kecil pada otaknya. Lidah Ian menyentuh bibir bawah Irene meminta ijin menelusuri rongga mulut Irene. Dengan senang hati Irene membuka mulutnya dan memainkan lidah masing-masing.

       Posisi Irene yang sedikit menyandar pada sandaran ranjang membuat gerakan mereka kurang leluasa. Ian menarik pinggang Irene membiarkan tubuhnya kini terbaring sempurna. Ian menindih tubuh kecil Irene. Tangan Irene mulai menjelajah kedalam kaus Ian, mengelus kasar punggung kekarnya. Erangan pelan keluar dari mulut Ian membuat Irene semakin naik libido.

      Tangan Ian mencari resleting dress Irene dan membukanya dengan cepat. Menurunkannya sedikit memperlihatkan bahu cantik yang selama ini ia cari. Bibir Ian kini beralih ke leher Irene. Ian menggigit sedikit dan menghisap kuat beberapa bagian dan meninggalkan bekas disana. Tangan kirinya meremas gemas ke payudara kanan Irene.

     "Enghh" Irene melenguh pelan membuat remasan Ian semakin menjadi. Tangan kanannya kini menarik gaun Irene turun hingga ke perutnya. Memperlihatkan payudara yang masih terbungkus bra putih. Tangan Irene bermain di punggung Ian, mencakarnya sesekali untuk memberi setruman kecil untuknya.

      Bibir Ian perlahan turun ke tengkuk Irene lalu menaikan bra yang menutupi keindahan didadanya tanpa membuka bra tersebut. Dua payudara berukuran sedang itupun kini nampak sempurna. Ian meremas kedua payudara Irene dengan kedua tangannya. Lidahnya menjilati pucuk payudara Irene yang mulai mengeras, menggigit pelan dan melintir puting merah muda itu dengan giginya. Irene tak pernah merasakan hal seperti ini. Tubuhnya menggelinjang. Ia sudah basah dibawah sana.

      "Ahh.. mmhhhh..." desahan Irene membuat celana Ian menyempit. Sulit baginya menahan birahi selagi mendengar nafas yang memburu dan desahan indah dari Irene.

      Ian melepaskan ikat pinggangnya dan membuka resleting celana jeansnya. Ia menekankan batang kejantanannya yang mengeras ke perut Irene. Ian menghisap payudara kanan Irene. Memainkan putingnya dengan lidahnya. Tangan kanannya memelintir puting sebelahnya lagi yang sudah menegang.

      "Mmhhh.." desah Irene berusaha keras menahan nafsunya.

      "Saya buka ya, Ren" ujar Ian menarik dress Irene perlahan. Irene menahan tangan Ian yang hendak menurunkan dressnya dan celana dalamnya.

      "Jangan, pak. Saya takut" pinta Irene menatap Ian.

      "Takut apa, Ren?" tanya Ian belum melepaskan tangannya dari pinggul Irene. Dengan malu-malu Irene menjawab pertanyaan Ian.

      "Saya belum pernah ngelakuin ini"

      Ian menghentikan aktifitasnya. Ia memandang Irene penuh dosa. Yang dipandang pun tidak berani membalas tatapannya. Ian membantu membetulkan bra Irene, mengembalikan bra itu ketempat seharusnya. Ia mendudukan Irene yang hanya bisa tertunduk hendak menangis. Ian memakaikan dress Irene, mengaitkan resleting di punggung Irene lalu memeluknya.

      "Maaf ya, pak" ujar Irene menahan air matanya. Ian melepaskan pelukannya dan mengecup kening Irene.

      "Jangan minta maaf, saya yang seharusnya minta maaf sama kamu" Ian merapikan rambut Irene yang berantakan.

      Irene mengangkat kepalanya, matanya sudah memerah dan berkaca-kaca. Ian terkejut dan memeluk Irene.

     "Hei, jangan nangis. Udah udah, ya. Ini bukan salah siapa-siapa. Sekarang kamu tidur ya" ujat menenangkan Irene. Tak lama ponsel Ian berdering, telpon dari Dani.

      Ian menjawab telpon Dani di balkon kamar. Irene merapikan dressnya, menyeka air matanya dan menyelimuti dirinya. Ia bingung dengan dirinya sendiri. Ia sadar apa yang ia lakukan ini salah tapi ia tak merasa bersalah. Memikirkan apa yang baru saja terjadi membuat kepalanya pening, ia memejamkan mata lalu tertidur.

      Setelah selesai menelpon, Ian mendapati Irene sudah tertidur. Ian meletakkan ponselnya, merapikan selimut Irene. Perasaan bersalah menjalar dalam hatinya. Ia tak tahu Irene masih sangat polos. Ada rasa ingin melindunginya. Ian merasa lelah, terlebih sakit pada batang kejantanannya karna 'kentang' tadi, membuatnya mengantuk. Ian memilih tidur di ranjangnya. Mengistirahatkan diri dan pikiran atas kebodohannya barusan.








*Keep voting and reading ya readers ku yang kece.

Jangan lupa komen, kritik dan sarannya aku selalu tunggu*

Continue Reading

You'll Also Like

995K 13.7K 34
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
346K 31K 31
Arvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. Sa...
1.6M 130K 28
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
1.1M 54.6K 48
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...