heart of terror

By queenrexx

105K 17.5K 7.8K

cover by the talented @BYBcool *** Sembilan orang itu disebut Venom, sekelompok teroris yang perlahan-lahan t... More

before you read
2 - cops and their own drama
3 - just another normal day for bunch of terrorist
4 - charles kale is trying his best
5 - why so serious, district aguare?
6 - our bonding time includes threat, wrestle, and cuddle
7 - we're destroying our homeland 'cause why not
8 - dumbest reason to get married
9 - here comes the big boss *dramatic explosion in the background*
10 - richy rich people not so richy anymore
11 - media, or also known as the biggest trash talker ever
12 - seven minutes in heaven, forever in hell
13 - another bonding time ft. grocery shopping
14 - fuck queen, long live bellezza
15 - death dresscode
16 - ask this v important issue as (not) anonymous
17 - who the frick let alpha name things? smh
18 - do you feel like a young god? because they do
19 - district vioren aka the WEAKEST district asking for help?! *fake gasp*
20 - my tech brings all the boys to the yard
21 - he's beauty he's grace he'll punch u in your face
22 - S I K E
23 - when trickster got tricked while tricking
24 - connor.exe has stopped working
25 - a quest to the deadly shoes, now with sequel
26 - lieutenant charles works hard but the devil works harder
QnA answers!!
27 - f is for failure we did together
28 - knock knock children it's murder time
29 - kale brothers, drama, and more drama
30 - goddamn which side you actually pick
31 - our favorite angry boy, truly an icon
32 - headline: local cinnamon roll trying to look tough
33 - a good day for work (unless you're cop or smth)
34 - join the alliance of asshole to be the assholest to ever asshole
35 - someone's DEAD, charles is STRESSED, connor is lying AGAIN
36 - *slides $5 to essence* tell me about the aliens
37 - "fank you" is when u can't decide whether to say fuck/thank you
38 - 2 bros sitting in the darkness 0 feet apart 'cause they're suicidal
39 - IS THIS YOUR KING?!
40 - HELL YEAH HE IS
41 - help, i have 11 main characters and this story is a disaster
42 - tracing the sharp edges of you
43 - last chill chapter of the goddamn story
44 - i'm here to ruin your day
45 - a completely makes sense ending
last a/n
QnA & a bit info
characters' info
GUESS WHAT

1 - nine dangerous dorks

10.4K 1K 469
By queenrexx

SEMBILAN belas tahun adalah batas usia minimal seseorang untuk dapat memperoleh kartu identitas serta surat izin berkendara di Negara Arterierrn. Terlalu tua, menurut Max. Ia yang baru genap berumur tujuh belas bahkan sudah bisa mengemudi truk monster lebih baik ketimbang mayoritas orang dewasa. Tetapi peraturan tetaplah peraturan—dan warga Distrik Petrova merupakan pengikut taat hukum yang berlaku di negaranya.

Hela napas berat terembus keluar dari hidung Max. Seorang polisi tilang kini tengah berjalan ke arah mobilnya, hendak meminta sesuatu yang sama sekali tidak dimiliki Max. Apalagi kalau bukan kartu identitas dan surat berkendara?

"Siang." Sapaan singkat si polisi memaksa Max menurunkan kaca jendela mobilnya. "Tunjukkan surat izin berkendara Anda."

Pemandangan di luar mobil yang tampak agak gelap menyadarkan Max kalau ia masih mengenakan kacamata hitamnya. Baru saja ia ingin berpura-pura buta jika tidak ingat orang buta tidak bisa menyetir mobil.

"Ah, baiklah. Tunggu sebentar," jawab Max akhirnya.

Tidak perlu panik. Max masih punya senjata rahasia, yaitu mengulur-ulur waktu. Ia pakarnya dalam bidang ini. Sederhana memang, tetapi trik ini telah menjebak ratusan polisi dari berbagai distrik. Jauh lebih baik daripada harus langsung menodongkan senjata.

Tangan lelaki itu terjulur ke dashboard kursi penumpang di sebelahnya, perlahan mulai membongkar isinya. Ada belasan kaset musik lawas, buku-buku berisi lirik lagu, jurnal bergambar norak, tiga kotak parfum yang sudah kosong, sebotol minyak zaitun yang tinggal seperempat, perban sobek, dan masih banyak lagi benda-benda tak berguna lain. Setelah semua dikeluarkan, Max melirik si polisi bernama Greta Casales itu—tertulis di name tag-nya—lantas menggaruk-garuk pipi.

Salah satu alis tipis Greta terangkat. "Tidak ada?" Ia menebak, tak sedikitpun terlihat heran.

"Aku ingat aku selalu membawanya," ujar Max serius. "Biarkan aku mencari lagi."

Perhatian Max kini tertuju ke arah ransel asing yang tergeletak di jok belakang. Dengan gerakan santai, ia meraih tas itu dan mulai menumpahkan isinya yang tak seberapa. Hanya kaus ganti, ponsel, dan granat—ups.

Dasar. Ini pasti punya Valor. Atau Ray! Max menyumpahi kedua nama itu dalam hati. Segera saja ia singkirkan granat berjumlah tiga butir tersebut ke dekat pedal sambil berharap agar tidak secara tak sengaja menarik cincin peledaknya. Maaf-maaf saja, Max tidak mau mobil cinta pertamanya ini berakhir dalam ledakan.

Sementara itu, Greta Casales masih senantiasa bertengger di sisi mobil. Entah sejak kapan buku catatan serta pena telah berada di genggamannya. Menilai dari ekspresi sang polisi yang kelihatan bosan, sepertinya ia sudah sering berurusan dengan pengendara sejenis Max; remaja berusia ilegal tanpa izin berkendara resmi yang kerjaannya cuma menambah tugas polisi tilang.

Waktu merangkak cepat selama Max mengobok-obok tas tanpa arti, mencari apa yang kira-kira bertekstur mirip kertas, dan tidak punya kemampuan buat menghasilkan ledakan. Hasilnya? Tentu saja nihil. Tiga menit berharga Greta Casales terbuang sia-sia, yang ironisnya, justru berharga bagi Max. Si pengemudi belia menghitung lagi sampai detik ketiga (kenapa? Karena itu tanggal lahirnya) sebelum asal melempar tas kosong tersebut kembali ke tempat semula. "Kurasa ... " Max memijat pangkal hidungnya dengan gestur super-ekstra-menyesal-dan-sumpah-takkan-mengulangi-lagi. "Aku meninggalkan surat-suratku di rumah."

"Sudah kuduga," dengus Greta. "Siapa namamu, Nak? Sebutkan juga plat mobilmu."

Aduh, sial. Max mengacak-acak surai dirty blonde-nya tanpa ampun. Pemberian waktuku yang kurang atau Atlas yang memang lamban?

"Cepatlah. Jangan buang waktuku."

Sudah kulakukan sejak tadi, batinnya jengkel. Max berdeham beberapa kali—lagi-lagi mencoba mengulur waktu yang diyakininya tinggal sebentar sampai 'pertunjukan'. Diam-diam, kedua matanya mencuri pandang ke arah gedung pertokoan sejauh sembilan meter dari lokasi mobilnya terparkir. Atlas lelet! Apa yang dia tunggu?

"Hei, Nak. Kalau kau tidak segera mengatakan namamu, aku tidak akan segan—"

"Tunggu dulu. Diam sebentar," potong Max cepat-cepat.

Greta menatapnya kesal. "Apalagi?"

"Sepertinya aku mendengar sesuatu."

Bukan Max namanya jika tidak punya timing sempurna guna menambah efek dramatis. Tepat setelah ia mengatakan itu, kaca-kaca gedung pertokoan yang barusan diintainya pecah secara beruntun disusul oleh kemunculan lidah api. Orang-orang di seputar jalan refleks berteriak panik; tak terkecuali Greta Casales. Max praktis bebas pengawasan saat polisi itu berlari menuju lokasi gedung. Oh, rupanya mereka punya destinasi yang sama, tetapi Max tidak yakin alasan mereka juga senada.

oOo

Sepanjang hidupnya mengabdi menjadi teroris—yang sebenarnya belum lama-lama amat—Atlas paling benci ketika disuruh meledakkan sesuatu dengan bom molotov. Maksudnya, bom itu bahkan tidak meledak! Hanya menimbulkan sedikit kebakaran dalam jarak tertentu tergantung jumlah takarannya.

Berdasarkan hal tersebut, Atlas jadi terpaksa menyeret-nyeret sekarung bom molotov selama ia membakar ini-itu di dalam bangunan. Alpha, temannya yang bertanggung jawab atas segala bom rakitan yang mereka punya, berkali-kali bersumpah kepada Atlas kalau ia sudah menggunakan media paling ringan sebagai tubuh bom molotovnya. Memang betul botol beling itu ringan. Namun, lain ceritanya jika ia harus mengangkut puluhan botol beling sekaligus dengan risiko 'pecah berarti terbakar'.

Wajah Alpha harus lebih sering dirajam surat protes.

Selang beberapa menit berlalu, jejeran toko-toko di lantai satu telah berubah menjadi barisan pemanggang raksasa. Api menyulut liar, mengusir orang-orang agar menjauhi teritorinya.

Seringai puas terlukis bangga di balik masker oksigen Atlas. Baru saja ia hendak berbalik saat telinganya menangkap suara tangisan.

Aneh. Ia mengernyit. Apakah apinya kurang besar untuk mengganggu paru-paru mereka? Keingintahuan Atlas pun mendorongnya untuk mengecek salah satu toko yang berjarak paling dekat dengannya. Asap tidak jadi masalah sebab ia mengenakan alat bantu pernapasan dan kacamata pelindung, begitu pula dengan kostumnya yang didesain anti-api.

Sesaat setelah Atlas menemukan sumber tangisan tersebut, ia tercenung.

Adalah seorang anak-anak, tampak berusia tidak lebih dari tujuh tahun atau bahkan kurang. Tubuh kecilnya yang terbalut kain tipis bersembunyi di balik sebuah manekin gosong—pertahanan terakhirnya dalam menghalau lidah api yang semakin ganas. Dan yang lebih mengenaskannya lagi: ia sendirian. Tidak ada seorang pun di sana yang akan menemaninya terbakar.

Tangis si bocah mengeras ketika matanya menemukan sosok Atlas di luar toko; kentara sekali sedang berusaha menarik perhatian si pemuda supaya berperan menjadi pahlawan dan menyelamatkannya. Sayang, harapan tinggal harapan. Atlas bukanlah tokoh baik di kehidupan anak itu maupun di kehidupan sebagian besar orang. Dalam satu gerakan cepat, Atlas beranjak pergi, mengabaikan sepenuhnya tangisan pilu si bocah malang sebagaimana ia mengabaikan sisi kemanusiaannya.

Bagi Atlas yang sudah sering menonton penderitaan seseorang, kejadian barusan dapat dilupakannya semudah membalik telapak tangan. Fokusnya kembali berkumpul dan ia sudah menetapkan target area selanjutnya: tangga. Dalam peristiwa kebakaran atau bencana lain, tangga merupakan akses turun-naik yang jauh lebih aman dari lift—Atlas sudah memperkirakannya.

Mereka kira mereka akan selamat, tetapi Atlas telah berdiri di dasar tangga. Setelannya yang mencolok dan mencurigakan pastilah menjadi alasan utama mengapa orang-orang itu mendadak berhenti di tengah jalan.

Atlas tidak mau menunggu lama untuk melemparkan bomnya ke arah mereka. Minyak tumpah berceceran; api merespons dengan membakar. Teriakan bernada penderitaan itu lagi-lagi terulang. Atlas diam-diam menertawakan kebodohan orang-orang yang berusaha menerjang api hingga jatuh terjerembab ke lantai satu, dan sebagian yang lebih bodoh kembali naik ke lantai dua demi menghindari api.

Di tengah langkahnya menaiki tangga berselimut api bagaikan iblis neraka, alat komunikasi yang terpasang di telinga Atlas tiba-tiba menyambungkan suara perempuan. Bunyinya, "Di mana kau?"

"Sedang ke lantai dua." Atlas menjawab hampir tanpa jeda. "Ada apa? Pemadam kebakaran sudah datang?"

Bellezza, si penelepon yang diketahui Atlas tengah berlokasi di trotoar di depan gedung, samar-samar mendengar lantunan sirine khas di ujung jalan—Max menyebutnya sebagai alarm kematian. Sekali lagi, gadis itu memantau jalan raya demi memastikan keakuratan informasinya. "Sudah dekat. Tetapi kemacetan sepertinya akan menghambat mereka."

"Baiklah. Aku tinggal membereskan dua lantai lagi. Kabari aku kalau mereka sudah sampai di sini."

"Ya. Bergegas."

Sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Atlas, meninggalkan Bellezza tanpa banyak pilihan kecuali menikmati tampang para korban dalam keriuhan yang sedang berlangsung. Nah, bukannya Bellezza punya fetish aneh terhadap wajah orang-orang yang dipenuhi luka, air mata, dan noda hitam akibat asap; ia hanya suka melihat betapa mereka tampak kehilangan harapan, menderita menunggu pertolongan pertama yang selalu datang terlambat.

Kau tahu apa yang datang lebih terlambat? Penyesalan para dokter ketika napas pasien sudah berhenti.

Sebuah kurva tipis melengkung di bibir Bellezza saat pandangannya berhenti pada lubang besar yang terdapat di salah satu kaca. Atlas-lah yang menciptakan lubang tersebut dengan lemparan botolnya guna memberikan akses masuk yang lebih mudah bagi dua rekan mereka yang lain. Kata 'mudah' mungkin agak tidak tepat mengingat bentuk lubang yang bergerigi runcing sewaktu-waktu bisa melukai orang yang nekat melewatinya. Namun, sejak awal akses ini memang tidak pernah diperuntukkan untuk umum. Bellezza tahu Atlas membuatnya khusus untuk si duo kaki kijang—Ray dan Valor. Hanya orang-orang selincah mereka yang mampu melompat memasuki lubang pada kaca sambil membawa ransel tanpa menarik perhatian.

Kedua pemuda itu tidak dipilih untuk menempati posisi nomor dua dari garis terdepan tanpa alasan. Selain karena kecepatan mereka dalam berlari, dinamika kerja sama antara Ray dan Valor terjalin begitu baik hingga mencapai tahap di mana mereka mampu berkomunikasi lewat sekadar bertukar tatap.

Oh, jangan lupakan juga fakta bahwa mereka berdua punya sudut pandang jeli dan jalan pikiran tak terduga. Contohnya sekarang.

Valor sedang sibuk-sibuknya mengisi tas dengan uang hasil curian dari kasir restoran yang telah ditinggalkan pemiliknya ketika Ray muncul dari dalam dapur sambil membawa amplop tebal berwarna cokelat. "Resep rahasia!" Ia berseru senang. "Kau tahu apa artinya?"

"Berisik, keparat," gerutu Valor tanpa menoleh. Sepasang netra amber terpatri kokoh ke arah lembaran uang di genggamannya.

"Satu tebakan tidak akan melukaimu, Valor."

Gerutuan lagi, kali ini diselingi sumpah serapah yang mungkin sanggup membuat telinga preman jalanan berdarah. "Lelang ilegal?" Valor akhirnya menebak.

Ray mengerjap beberapa kali. "Sebenarnya, aku ingin bilang kalau kita bisa membuat menu makanan baru mulai besok, tetapi idemu boleh juga," katanya sambil terkekeh, secuil pun tak menaruh peduli pada umpatan kasar kawannya. "Omong-omong, berapa yang kau dapat?"

"Satu juta perry." Valor bergumam. "Seperti yang diharapkan dari sebuah restoran ternama."

"Hebat. Restoran ini pasti bernilai lebih mahal dibanding harga diri wanita-wanita di Distrik Geldorie."

Kepala Valor perlahan menengadah dan Ray tiba-tiba kesulitan mengingat psikopat mana yang tatapannya sekeji lelaki ini. "Ray," ujar Valor, suara gelap dan mengancam. "Label di tubuh mereka tertulis gratis."

Lantai bergemuruh saat Ray terbahak. Tanpa perlu mengingatkan satu sama lain, keduanya segera minggat dari sana dan melesat menuju sasaran lokasi terakhir mereka: lantai tiga—lantainya para pedagang emas. Barulah setelah dari situ mereka akan keluar melalui tangga darurat. Atlas telah menginformasikan kepada mereka sebelumnya mengenai koridor gedung dan jalur keluar dengan kobaran api seminim mungkin, jadi baik Valor maupun Ray tidak perlu repot-repot mencari lagi.

Sementara itu di luar gedung, keadaan jauh lebih riuh berkat sirine mobil polisi, ambulans, dan pemadam kebakaran yang mulai berdatangan di sepanjang jalan. Keramaian massa yang terjebak kepanikan seketika membuat lalu lintas mendadak macet parah, tetapi tidak ada orang yang cukup waras untuk memprotes hal itu karena kebanyakan dari mereka kini berlomba-lomba menjauhi lokasi ledakan.

Andromeda duduk sambil bertopang dagu di dalam sebuah kafe yang lengang, sesekali menguap karena earphone yang menyumpal kedua telinganya terus-menerus mendendangkan lagu mellow. Selama beberapa saat, tiada hingar bingar yang benar-benar mengusiknya sampai suara Ray dari earphone itu sendiri—yang nyatanya merupakan alat komunikasi alih-alih pendengar musik biasa—terdengar. Kapanpun lelaki itu membutuhkan bantuannya, musik otomatis akan berhenti dan membiarkan sang pencuri andal berbicara.

Lagu rock kesukaan Andromeda baru mau memasuki reff ketika panggilan Ray meluncur masuk. "Anda menghubungi Departemen Malas Basa-Basi, ada yang tidak bisa saya bantu?" Andromeda menjawab di dering pertama.

" ... Boleh minta sedetik? Aku mau tertawa."

Ada bunyi pukulan benda tumpul disusul "aduh!" nyaring. Andromeda diam-diam berterima kasih atas kerja sama tidak langsung dari Valor. "Sebutkan lokasimu," pintanya.

Ray lekas menegaskan bahwa dirinya dan Valor telah berada di ambang pintu keluar di bagian belakang gedung. Memang tinggal selangkah lagi untuk kabur menuju mobil yang sudah siap sedia dikemudikan Max, hanya saja mereka harus terlebih dahulu mendapat konfirmasi dari Andromeda yang mengawasi area belakang kalau tidak ada petugas yang berusaha masuk lewat pintu serupa.

"Polisi dan pemadam kebakaran sepertinya masih sibuk di area depan gedung. Belum ada tanda-tanda keberadaan mereka di sini. Tapi cepat atau lambat, mereka pasti akan datang mengecek bagian belakang," jelas Andromeda serinci mungkin. Lagu bisa direplay, misi mereka tidak. "Keluarlah sekarang."

"Baik. Terima kasih, An."

Pintu darurat lantai tiga di gedung seberang jalan serta merta terbuka. Dua laki-laki yang sudah sangat dikenal Andromeda bergegas menuruni tangga berbentuk zigzag dengan cara masing-masing—Valor yang melompati tiga anak tangga sekaligus dan Ray yang meluncur mulus di pegangan tangga. Sekilas, didapatinya ibu jari Ray teracung penuh arti ke arahnya sebelum memasuki mobil yang akan membawa mereka menjauh dari TKP beserta barang-barang hasil curian mereka.

Adegan tersebut tak luput dari pengawasan mata CCTV yang terpasang di salah satu lampu jalan. Sosok yang berada di balik kendalinya mau tak mau tersenyum lebar, merasa puas akan hasil kerja si duo kijang yang memang tidak pernah mengecewakan. Namun, keberhasilan Ray dan Valor tidak otomatis membuat tugasnya ikut berakhir. Masih ada seorang lagi yang perlu ia khawatirkan: Atlas. Menurut informasi yang diberikan Bellezza, lelaki itu belum keluar dari dalam gedung. Alat komunikasinya mendadak tidak bisa dihubungi.

"Aku tidak bisa mendapatkan gambarnya, Jasper," keluh seorang perempuan. Usianya tidak mungkin lebih dari dua puluh tahun. "Ray bilang Atlas terakhir kali berada di lantai tiga, kini semua CCTV di sana sudah terhalang asap."

Kontras dengan si perempuan, ekspresi pemuda yang dipanggil Jasper malah kekurangan unsur cemas. "Atlas itu banyak akal, walau bukannya tidak mungkin ia bakal tewas juga." Jemarinya menari di atas papan keyboard. "Lucille, kita coba cek CCTV lantai empat."

Tampilan gambar di salah satu layar komputernya berubah dari gumpalan asap abu-abu kehitaman menjadi sebuah koridor. Hal yang sama pun terjadi dengan belasan komputer yang lain. Lucille dan Jasper memandang satu persatu komputer seteliti mungkin, mencari keberadaan sosok lelaki yang mereka cemaskan takkan selamat.

"Oh, itu dia!" seru Lucille seraya menunjuk monitor yang menampilkan bagian dalam sebuah toko. Gelangnya berkerincing. "Syukurlah!"

Perasaan tak-terlalu-lega turut membanjiri hati Jasper. Tepat sebelum ia sempat berkata-kata lebih jauh, ia menyadari ada yang janggal pada rekaman CCTV itu. Atlas sedang berjongkok di balik meja kasir. Tidak hanya seorang diri melainkan bersama beberapa pengunjung lain. Pakaian khusus serta masker oksigen yang awalnya ia kenakan telah dilepas entah sejak kapan, alhasil menyisakan dirinya hanya memakai celana panjang dan kaus hitam—setelan yang sangat tidak efektif digunakan ketika kau habis membakar sebuah gedung.

"Apa ... yang ia lakukan?" Sedikit, cuma sedikit, keterkejutan mampir sejenak di wajah minim emosi Jasper.

Kekontrasan ekspresi antara mereka lagi-lagi terjadi ketika Lucille justru menunjukkan raut sumringah. "Kau sendiri yang bilang dia banyak akal, 'kan?" katanya riang. "Atlas sedang berlindung. Ia bertingkah seperti korban agar orang-orang tidak curiga."

"Terus? Ujung-ujungnya ia tetap—"

Omongan Jasper tertahan di tenggorokan ketika pintu ruangan mendadak dibuka dengan keras, dan tak lama dibanting menutup kembali sebelum Jasper maupun Lucille sempat protes. Mereka sama-sama memandang ketus si pelaku yang masih bisa-bisanya memasang tampang tak bersalah. "Yo." Ia menyengir kuda. Tangan kanannya menjinjing seplastik penuh berisi makanan ringan.

"Sudah berapa kali kukatakan agar mengetuk pintu dulu sebelum masuk, Alpha?" decak Lucille.

Tangan Alpha yang bebas merogoh kantong dan menunjukkan kartu hotel. "Buat apa? Aku punya kuncinya."

Lucille memutar bola matanya lalu kembali menatap monitor. Toko tempat Atlas berlindung tampak bergetar seolah mau ambles. Ia sontak menahan napas, diliriknya Jasper yang masih setia memasang tampang ogah-ogahan.

"Oh, belum selesai, ya?" Alpha meletakkan plastik makanannya di atas nakas kemudian berjalan menghampiri Jasper dan Lucille. "Kenapa Atlas masih berada di dalam gedung? Max terlambat menjemput?"

"Tidak. Dia yang terlambat keluar dan berakhir terjebak di sana," sahut Jasper.

Pupil Alpha bergerak memindai tampilan monitor yang lain. Tanpa diduga-duga, responsnya justru berbanding terbalik dengan dua insan yang sedang dilanda pikiran negatif itu—minus Jasper, sebab ia selalu berpikiran negatif. "Sebenarnya Atlas punya dua pilihan untuk kabur dari sana," katanya santai. "Masih ada tangga darurat. Kalian lihat? Api baru menyentuh pertengahan tangga menuju lantai empat, itu jarak yang cukup aman untuk melompat tanpa berakhir cedera—setidaknya untuk seseorang yang terlatih seperti Atlas. Entah kenapa ia lebih memilih pilihan kedua."

Jasper tertegun sebentar. Benar juga. Orang-orang enggan keluar lewat tangga darurat semata-mata karena terlalu takut untuk bergerak. Sayang sekali. Padahal koridor lantai empat masih bebas dari api ... kira-kira untuk lima menit ke depan.

"Lalu, pilihan kedua itu apa? Menunggu lantai empat ambles?"

"Bukan. Dia menunggu itu." Alpha terkekeh saat melihat kedatangan orang-orang berseragam khusus dari balkon bagian depan.

Lucille mengerjap-ngerjapkan maniknya tak percaya. "Kau pasti bercanda."

Petugas pemadam kebakaran dengan cepat mengevakuasi orang-orang yang terjebak di dalam toko itu. Alpha tertawa keras saat mendapati Atlas mengedipkan sebelah mata ke arah CCTV, atau lebih tepatnya ke arah Jasper, Lucille, dan dirinya.

"Jadi, dia meninggalkan kostum dan masker oksigennya di dalam gedung supaya polisi bisa melacaknya?" Jasper berdiri dan meregangkan kedua tangannya. "Sebelum itu terjadi, aku permisi mau lompat dari balkon."

Lucille berjengit pelan. Keinginan hidup Jasper rupanya sudah menciut kelewat jauh.

"Jasper, bro." Alpha mengerang. "Aku yang mendesain rancangan kostum Atlas, ingat? Ada tombol penghancur darurat untuk menghilangkan jejak."

Hela napas panjang berbau kekecewaan mengembus keluar dari mulut Jasper. "Baguslah," rintihnya setengah hati.

Alpha mendengus guna menutupi kekehannya. Sejujurnya, ia tidak ingat sudah berapa kali dirinya memadamkan impian Jasper untuk segera menjemput ajal. "Lupakan, kau bisa bunuh diri lain hari," ucapnya sambil menarik kerah baju Jasper dan mendudukkannya kembali ke kursi. "Sekarang ayo rayakan keberhasilan bom rakitanku sambil berpesta junk food!"[]

A/N:
rose are red
violet are blue
if wattpad psychopath are loved
why can't terrorist too?💣

(say hi to my new kids!)

uuuh oke, ini pertama kali rex bikin action. i'm sorry, i know chapter 1 belom fokus di adegan action-nya, but i'm trying to improve so ... give me your opinion? ;-;

regards,
Queen Rex💥

Continue Reading

You'll Also Like

7K 1K 31
𝐕𝐄𝐑𝐎𝐍𝐈𝐊𝐀 adalah perempuan dengan banyak rahasia . . . Tetapi 𝐉𝐀𝐍𝐔𝐀𝐑 tidak menyangka kalau rahasia-rahasia itu mencakup tindak kriminal...
3.8K 596 6
BUKU KETIGA MIND TRILOGY [END] MINDFRAME Genom-genom dihancurkan dan dibentuk kembali. Manusia jenis baru bermunculan. Masing-masing tanpa sadar berb...
20.2K 1.9K 10
Setelah kemarin dipaksa mendekam hingga tiga minggu lamanya di sebuah ruang bawah tanah, keluarga mafia terkemuka, Dozoura, akhirnya kembali menghiru...
HISTRIONICS By Aesyzen-x

Mystery / Thriller

3.6K 931 16
[Thriller - Misteri - Action] Ersa dihadapkan dengan dendam masa lalu kakaknya, sosok yang Ersa kira menghilang tanpa jejak pada 2015 kembali muncul...