Setelah sesi foto-foto, aku dan Nandini langsung balik ke Jakarta. Untungnya, jalanan tidak terlalu macet. Jadi, aku bisa sampai di kost menjelang sore. Nandini menghentikan mobilnya di dekat kostku karena di depan kost ada seorang cowok yang memarkir Honda CBR250RR warna merah tepat di depan gerbang. Suara mesin motor meraung-raung tanpa henti, dan memekakkan telinga.
"Eh, ada Pangeran Nampan Berkuda Besi," kataku sambil melepas sabuk pengaman.
"Kok nampan?" tanya Nandini.
"Menurutku sih dia jauh dari tampan, tapi kalau menurut pacarnya dia paling ganteng sedunia," balasku.
Nandini tertawa. "Dia ngapain sih? Norak banget."
"Itu kode buat manggil pacarnya. Sambil pamer kalau dia punya motor besar," balasku.
Aku keluar dari mobil, lalu berjalan menuju bagasi. Kubuka pintu bagasi Nissan March Nandini, kemudian kuambil tas kertas berisi baju jahitan dari Riyanti, yang kemarin kuambil di rumahnya. Saat aku menutup pintu, si Pangeran Nampan melewatiku. Cewek yang diboncengnya melambai ke arahku. Aku membalas lambaian Venna, salah satu penghuni lantai dua.
"Ban mobilmu kempes tuh!" teriakku sambil mengamati ban belakang mobil Nandini sebelah kiri yang kempes.
"Oh, ya? Pantes tadi agak enggak enak. Kiirain karena jalannya enggak rata," kata Nandini sambil melepas sabuk pengaman, lalu keluar dari mobil. Dia mengecek ban yang kumaksud.
"Gimana nih? Dekat sini ada tukang tambal ban, enggak?" tanyanya penuh harap.
"Aku enggak tahu," balasku.
"Masa sih harus telepon Papa, tapi dia lagi ke Bekasi," kata Nandini sambil memandangi ponselnya.
"Katanya mau belajar cara mengganti ban?"
"Iya pengin, tapi rasa malas selalu menang," jawab Nandini santai.
Aku memutar bola mata. "Gimana kalau kamu lagi naik mobil sendirian, lewat jalan yang kanan kirinya hutan, jauh dari mana-mana, terus ban mobilmu bocor?"
"Ye, ngapain aku lewat jalan kayak gitu?"
"Siapa tahu kamu mau cari Tarzan."
"Ngapain aku cari Tarzan?"
"Kali aja Tarzan-nya mirip Travis Fimmel di iklan celana dalam Calvin Klein," jelasku.
"Ah, itu sih seleramu. Jadi, gimana dong?" tanya Nandini.
Minta tolong siapa ya? Nungguin bapaknya Nandini bisa lama. Aku enggak yakin kalau ada anak kost yang tahu cara mengganti ban mobil. Sebenarnya, di depan kost ada kost campur. Kemungkinan besar ada seseorang yang bisa ganti ban mobil, tapi aku tidak kenal satu pun penghuninya. Masa sih ketok pintu terus nanya siapa yang bisa gantiin ban mobil? Ah, aku ingat seseorang yang tinggal di dekat sini dan bisa mengganti ban mobil. Tapi, aku tidak yakin kalau dia ada di rumah. Ini kan hari Minggu, kemungkinan besar dia pergi. Tapi, tidak ada salahnya sih menelepon dia. Kuambil ponsel dari dalam tas, lalu menghubunginya.
"Halo," sapaku.
"Halo."
"Mm ... kamu di mana?"
"Rumah."
"Bisa minta tolong, enggak?"
"Enggak," balas Kai singkat.
"Ya sudah kalau begitu," balasku.
"La...!" serunya buru-buru.
"Iya, tolongin dong," pintaku.
"Minta tolong apa, sih?"
"Gantiin ban mobil."
"Aku enggak tahu kalau kamu bisa nyetir."
"Aku enggak bisa nyetir. Mobil temanku bocor. Dia enggak bisa ganti sendiri."
"Teman kamu cowok atau cewek?"
"Emang kenapa?"
"Enggak apa-apa."
"Kalau jawabannya transgender?"
"Tanyain sama teman kamu yang transgender itu, dia bawa dongkrak atau enggak," usul Kai.
Aku menjauhkan ponsel dari wajahku, lalu bertanya ke Nandini, "Bawa dongkrak, enggak?"
"Enggak," jawab Nandini.
Aku menempelkan ponsel ke telingaku. "Enggak bawa," kataku.
"Oke. Kamu di depan kost, kan? Tunggu ya!"
"Oke. Makasih."
Beberapa menit kemudian, Kai muncul sambil membawa dongkrak diikuti oleh Mahessa.
"Itu Mahessa," bisikku.
"Masih ganteng," balas Nandini.
Mereka berdua sudah berdiri di hadapan kami.
"Mana ban serepnya?" tanya Kai.
"Di bagasi," jawab Nandini sambil berjalan ke belakang mobil untuk membuka bagasi, diikuti oleh Mahessa. Ternyata, Mahessa masih memiliki kekuatan yang sama, membuat Nandini jadi salah tingkah. Sahabatku itu tiba-tiba kesulitan berjalan dengan high heels. Dia berkali-kali kehilangan keseimbangan sehingga hampir jatuh.
Mahessa mengambil ban serep itu, sedangkan Kai memasang dongkrak, lalu melepas ban mobil. Kemudian, dia memasang ban baru. Setelah itu, Mahessa memasukkan ban bocor ke dalam bagasi.
"Makasih ya," kata Nandini.
"Kamu pasti temannya Lalitya yang transgender," kata Kai.
Nandini melirikku seakan-akan bertanya, 'dia ngomong apa sih?'
"Enggak usah didengerin," timpalku.
Kai mengulurkan tangannya. "Kai, tetangga sekaligus teman kantornya Lalitya."
Aku baru ingat kalau mereka belum pernah berkenalan. Meskipun keduanya pernah bertemu waktu aku ikut fashion show.
"Nandini," kata Nandini sambil menyambut uluran tangannya.
"Masih ingat aku, kan?" tanya Mahessa.
Nandini menatap Mahessa dengan ekspresi tidak percaya, lalu mengangguk. Dulu Nandini tidak memiliki nyali untuk menatap Mahessa. Setiap berpapasan dia selalu menundukkan kepala. Sepertinya sekarang sudah ada kemajuan. Itu karena seiring pertambahan usia, kita menjadi lebih percaya diri atau sekarang perasaan Nandini sudah berubah?
"Kalian habis dari mana?" tanya Mahessa lagi.
"Nikahan Calista. Masih ingat dia, kan?" tanyaku.
"Anaknya agak tomboi, kulitnya putih, pakai kacamata?"
"Iya," balasku.
"Teman kita banyak yang datang?"
"Enggak, cuma dikit," jawabku.
Mahessa menatap langit, yang semakin lama semakin gelap.
"Mm... aku balik dulu ya sebelum hujan," pamit Mahessa.
"Hati-hati, ya!" balasku.
"Yuk!" pamit Mahessa sambil menatap Nandini.
"Iya," balas Nandini. Matanya terus mengikuti punggung Mahessa yang semakin jauh hingga dia masuk ke halaman rumah Kai.
"Aku juga balik ya. Dadah!" pamit Nandini.
"Oke. Hati-hati ya!" balas Kai.
Nandini berjalan menuju pintu mobil, lalu masuk. Beberapa menit kemudian, dia menyalakan mesin mobil dan meninggalkanku dan Kai.
"Aku balik ya," pamitku, lalu memutar badan ke arah kost.
"Tunggu dulu! Kamu belum bilang makasih," kata Kai.
Aku membalik badan dan berhadapan dengannya.
"Kan Nandini sudah bilang makasih," balasku.
"Wah, kamu cantik sekali hari ini," kata Kai. Matanya berbinar kagum.
"Cuma hari ini? Perasaan dari lahir sudah cantik," balasku.
"Aku tahu, tapi hari ini kamu lebih cantik dari biasanya. Bajunya pas buat kamu," kata Kai.
Aku memutar bola mata, lalu berjalan menuju kost.
Dasar cowok! Lihat cewek pamer punggung langsung dibilang cantik. Gaun berlengan tiga perempat yang kupakai memang memperlihatkan bagian punggung, meskipun bagian depannya tertutup. Aku menyebutnya baju Sundel Bolong. Dari depan gaun ini memberi efek elegan dan konservatif, tapi dari belakang memberi efek seksi dan berani.
"Makan yuk! Kan kamu janji mau traktir." Kai menagih janjiku yang belum terpenuhi.
Aku berhenti, lalu melirik jam tanganku. "Ini baru jam tiga," balasku sambil memutar badan.
"Nanti malam, bukan sekarang. Jam tujuh, gimana?" ajak Kai.
"Oke, tapi jam lima ya. Gimana?"
Perutku sudah agak lapar. Tadi belum terlalu kenyang karena antrean makanan yang mengular membuatku malas. Jadinya, aku hanya makan dua tusuk sate dengan tiga iris lontong dan semangkok bakso. Soalnya, dua makanan itu antreannya paling sedikit.
"Oke, jam lima," balas Kai.
Tepat pada pukul lima sore, kami bertemu di depan rumah Kai. Mobilnya sudah di parkir di pinggir jalan, tapi aku tidak melihat Kai. Ternyata, dia menungguku di dalam mobil. Dia sedang asyik menatap ponsel. Aku langsung masuk ke mobil dan duduk di sampingnya.
Dia menoleh. "Siap?"
Aku mengangguk sambil meraih sabuk pengaman, lalu memakainya.
"Ah!" teriaknya sambil menepuk jidat.
"Kenapa?" balasku.
"Ada yang ketinggalan. Sebentar, ya."
Dia keluar dari mobil dan berjalan menuju rumahnya. Kulepas sabuk pengaman yang kupakai dan tetap duduk di dalam mobil. Aku membuka tas untuk mengambil notes, lalu membaca resolusi 2017-ku satu persatu. Dari dua puluh butir baru tiga yang berhasil kuwujudkan, yaitu pekerjaan dengan gaji tinggi dan jam kerja normal, memiliki clothing line sendiri, membaca satu buku setiap bulan. Meskipun gajiku saat ini tidak tinggi, tapi lumayanlah. Bisnisku sih masih jalan di tempat, namun setidaknya aku sudah memiliki usaha sendiri. Untuk soal membaca, sebenarnya dulu aku bisa membaca lima buku dalam sebulan. Sayangnya sekarang agak sulit untuk menyelesaikan satu buku.
Oh, iya! Aku masih harus mewujudkan tujuh belas poin lainnya. Jangan khawatir Lalitya, masih ada waktu.
"Serius amat," kata Kai, yang sudah duduk di kursi pengemudi.
Aku tidak tahu kapan dia masuk. Dia sedang memasang sabuk pengaman. Notes yang kubaca langsung kutaruh di tempat botol yang ada di sampingku. Setelah itu, aku memasang sabuk pengaman.
Kai menyalakan mesin mobil, lalu kami langsung meluncur ke restoran mie tarik. Suasana restoran masih sepi karena belum jam makan malam. Jadi, kami tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan pesanan kami.
Aku mencicip kuah mie tarik tom yam pesananku. Gila pedas banget! Kalau dimakan risikonya sakit perut. Sudahlah, aku lebih mencintai perutku daripada uangku.
"Mas!" Aku melambaikan tangan ke arah pelayan cowok yang sedang berdiri di dekat kasir.
Dia mendekatiku. "Ada yang bisa dibantu, Mbak?"
"Mas, pesan mie tarik goreng satu," balasku.
Pelayan itu mencatat pesanan. "Ditunggu ya Mbak. Terima kasih." Dia meninggalkan mejaku.
"Kenapa?" tanya Kai.
"Ini pedas banget. Aku enggak mau menyiksa perut," balasku. "Kalau kamu mau, makan saja."
Ponselku berdering. Ada rentetan pesan masuk dari nomer tak dikenal. Aku langsung mengeceknya, dengan harapan yang mengirim pesan adalah calon pembeli.
Hai!
Apa kabar, Lalitya?
Ini Jessica.
Arrrgh...! Mau ngapain dia? Dia dapat nomer teleponku dari mana? Aku menyesal dengan keputusanku menjadi pacar pura-pura Kai. Aku tidak mau terseret dalam drama Kai dan Jessica.