WIZARD (Broken Butterfly) END

By Ghnufa_14

180K 13.5K 628

Yang bersinar di malam hari hanyalah kunang-kunang, namun yang ku lihat malam itu adalah sesuatu yang lain. b... More

Prolog
Kupu-Kupu
Kekuatan
Surat Misterius
Wizard Academy
Turnamen Penyambutan
Sekolah
Es dan Api
Ujian Bersama
Rekan
Informasi
Peringatan
Pembalasan
Menara Pengorbanan
Sora
Death Master
Tangan Kanan Pemburu Underworld
Moon Gate
Teman yang menghilang
Underworld
Perjalanan Menuju Ujung Cahaya
Cahaya Terakhir
Gadis Api
Sang Penegak Pilar Cahaya
Hutan Mistis
Kastil Putih
Rahasia Dea
Merah Diatas Putih
Dunia Keabadian
Sang Penjaga Alam
Gerbang - Gerbang Dunia
Anak-anak Bayangan
Darah Terkutuk
Gerbang Neraka
Menara Pembalasan
Jiwa Yang Terlelap
Rasa Kematian Yang Manis
Pertemuan Yang Tenang
Pulau Awan
Kawah Matahari
Pohon Kehidupan
Dinding Pengorbanan
Takdir Yang kejam
!!!
Para Dewi
Dinginya Hari Penuh Darah
Negeri di Penghujung Utara
Jantung Kegelapan
Rencana B
Arti Dari Sebuah Ikatan
Akhir Terbaik
Epilog
~~~
pengumuman!

Menara Lex Talionis

4.1K 326 13
By Ghnufa_14

Unik kesehatan anehnya penuh hari ini, bilik-bilik yang dibatasi tirai sebagian besar setengah disibakkan dan memperlihatkan para murid yang terbaring diatas ranjang kayu sederhana dengan balutan perban dan adonan aneh yang menutupi beberapa bagian tubuh mereka. Para perawat yang berlalu-lalang di ruangan besar itu menyambut kami dengan wajah datar, salah seorang perawat mengantarkan kami ke bilik yang kosong, meminta kami untuk menunggu selagi dia mengambil beberapa alat dan bahan.

Egi membaringkan ku dengan lembut diatas tempat tidur yang agak keras itu, ternyata sama saja dengan yang ada di asrama. Lelaki itu duduk di bangku kecil samping tempat tidur, senyum tersungging di wajahnya tak luntur, beberapa kali perawat yang lewat di luar bilik akan disapahnya dengan ramah.

Aku menarik tubuh untuk duduk, sambil meringis memperhatikan pergelangan kaki ku yang membiru. "terimakasih," kata ku akhirnya, walau bukan keinginan ku untuk dibawa kesini, aku harus tetap berterima kasih atas tawarannya. "telah membawa ku ke sini."

Mata hitam bara lelaki itu menatapku beberapa saat, lalu kegembiraan berkelebat di matanya. "tidak masalah, sudah tugas laki-laki melindungi perempuan."

Aku tersenyum kaku, tidak! Aku tidak mungkin bisa akrab dengan orang seperti ini. akhirnya aku mendiamkannya, merunduk memandangi tangan diatas pangkuan, untung saja Egi tidak mencoba membuat percakapan selagi kami menunggu perawat kembali. Wanita perawat itu muncul hampir lima belas menit kemudian, entah apa yang membuatnya begitu lama. Egi berdiri dari bangku saat perawat itu duduk dan memeriksa kaki ku, dia mengambil mangkuk berisi adonan mirip krim berwarna keabu-abunya dan mengoleskannya di sekitar pergelangan kaki.

Rasa panas menjelajar cepat di memar membuat ku nyaris menghentakkan kaki ku. perawat itu mengambil beberapa helai daun layu dan meletakkannya di atas salep. Selesai dengan ku, perawat itu berbalik menatap Egi yang masih berdiri di ujung tempat tidur.

"apa kau juga terluka?" tanya perawat itu.

Egi menggeleng cepat. "aku cukup kuat untuk kembali sehat setelah melawan naga!"

Sial. Dia pasti senang dengan pencapaiannya hari ini.

"jadi kalian bukan dari kelas Alkimia?"

Aku melirik Egi yang sama melirik ku juga. "bukan." Kata kami serempak.

Perawat itu menghela nafas panjang dan berdiri sambil membereskan peralatannya. "sepertinya kelas Flora dan Fauna juga mengalami masalah, ya?"

"tidak, ini kesalahan normal." Kata Egi. "kami menjalani tes kecil, mencari kristal dan menghadapi Hewan Gaib!"

Perawat itu mendesah, wajahnya tampak lelah. "mereka masih saja melakukan sesuatu yang berbahaya."

"apa yang terjadi di kelas Alkimia?" aku menyadari kami belum masuk ke kelas itu sejak awal.

"hanya beberapa ledakan kecil." kata perawat itu dan melangkah keluar bilik.

Setelah dia pergi aku menoleh ke arah Egi, memasang tatapan tajam. "kau boleh pergi."

Dia menatapku dengan kedipan bingung, apakah dia sepolos itu? "kau mengusirku?"

Aku meringis. "bukan." Aku tidak ingin menjadi kasar, sepertinya mulai sekarang aku harus lebih banyak bersabar. "kau seharusnya mengikuti kelas selanjutnya."

"mungkin akan ditunda beberapa saat, pasti ada anak yang terluka dari kelas ku juga." katanya dengan santai dan nyaris duduk kembali di bangkunya saat seseorang tiba-tiba masuk ke bilik kami.

Anak laki-laki berwajah bulat itu terengah-engah, saat melihat ku dia membuang mukanya yang memerah sambil menggumamkan kata maaf. aku mengabaikannya dengan memejamkan mata sambil bersantai di kepala tempat tidur, ku dengar percakapan Egi dan anak baru itu.

"apa yang kau lakukan disini?!" bisik kesal anak baru itu. "kelas selanjutnya akan dimulai!"

"jangan berisik, Dio." Kesal Egi, dia jauh lebih berisik. "di sini unit perawatan!"

"aku tahu." Anak bernama Dio itu membuat ku prihatin, aku tidak bisa membayangkan hari-harinya yang harus mengurus pemuda berkekuatan api itu. "tapi pelajaran selanjutnya dengan kelas 1-A."

"Apa—" Egi segera bangkit, saat itu juga dia menoleh kearah ku. wajahnya tiba-tiba berkerut namun dia tetap mempertahankan senyuman di wajahnya. "oh, maaf, Pira. Ku rasa aku harus kembali terlebih dahulu."

Aku berusaha untuk tidak mendesah. "ya, silakan."

Segera setelahnya kedua pemuda itu menghilang dari bilik ku. aku kembali bersandar di kepala tempat tidur dan memejamkan mata. Sepertinya aku terlelap sejenak, karena saat membuka mata pergelangan kaki ku sudah kembali seperti semula dan aku kedatangan dua orang tahu tak diundang.

Ryoko yang pertama menyadari jika aku bangun segera mendesak nyaris memeluk ku jika aku tidak memasang tangan di depan tubuh, menyadari penolakkan ku dia mundur dengan wajah berkerut. membuatku menjadi merasa bersalah.

"Bagaimana bisa kau dekat dengannya?" kutatap Alva yang menyulut disampingku, mata birunya berkilauan. "biasanya kau tidak tertarik pada lawan jenis mana pun. Bahkan senior dari Klub Basket harus membuang buket bunganya ke tong sampah belakang sekolah!"

Ku tatap gadis itu datar. "Dia menolongku saat melawan monster itu."

"oh, benarkah?" goda Alva, aku berniat membekukan kepalanya jika saja Ryoko tidak segera menengahi kami.

"jam makan siang sudah berakhir dan kami membawakan makanan mu." Ryoko menyerahkan nampan berisi makan siang, aku menerimanya dengan suka cita. "jam berikutnya seharusnya kelas Alkimia namun karena katanya terjadi suatu insiden jadinya dikosongkan." Ryoko menatap kaki ku. "sepertinya kakimu sudah lebih baik, apakah kau ingin kembali ke kamar?"

Makanan yang dibawa Ryoko sepertinya didapatkannya dari kantin di akademi, ada lebih banyak lauk dan cemilan penutupnya. Makan siang itu kandas dengan cepat tanpa ku sadari, sepertinya terluka dan terlelap membuat tubuh ku jauh lebih lapar. Ku turunkan kaki ku dari kasur, ketika menginjak lantai marmer yang dingin tidak lagi terasa sakit. Ternyata efeknya jauh lebih hebat dari obat-obatan modern.

"tidak perlu," kata ku. "aku mau ke perpustakaan."

"kalau begitu kami akan menemani mu." kata Ryoko, membantu ku berdiri, walau sebenarnya tidak perlu tapi aku tetap membiarkannya.

"maaf kawan, bukannya tidak setia tapi ada tempat menarik yang ingin ku kunjungi." Kata Alva tiba-tiba, yang dihadiahi tatapan tajam dari Ryoko. Gadis itu bergidik sekilas, memasang wajah bersalah. "aku sudah berjanji lebih dulu dengan Dini, Ilyas, dan David!"

"kau punya teman baru?" tanya ku, tidak heran sih melihat sifatnya itu.

Alva menatap ku dengan tatapan senang dan senyum kaku yang menyebalkan. "tentu saja! aku bukannya batu es berjalan!"

Sebelum sempat aku membekukannya Anak setengah Vampir itu berlari cepat keluar bilik, sepertinya kecepatannya bertambah berkali-kali lipat dari sebelumnya. Menyisakan ku dengan Ryoko, akhirnya hanya kami yang pergi ke perpustakaan akademi. Perpustakaan Akademi hanya dibuka selama jam pelajaran berlangsung dan selalu ramai oleh—terutamanya—anak-anak baru. Helaan nafas ku bercampur dengan udara berdebu dan bau dari buku-buku tua, aku sudah menyembunyikan diri di salah satu lorong yang dipenuhi rak-rak buku tinggi. Sorot redup cahaya matahari mengintip dari balik jendela berbingkai tinggi di ujung lorong, menyinari ku seolah aku adalah patung tua yang terlantar.

Aku mendesah, menangkup wajahku dengan tangan dan memandang deret buku berbagai sampul di hadapan ku. Perpustakan ini sangatlah luas, memiliki ruangan-ruangan berukuran besar, dan lantai-lantai lain. hampir ku pikir dapat tersesat di labirin perpustakaan ini, setiap sudut ada beberapa senior yang menjadi anggota perpustakaan membantu untuk menemukan buku-buku yang diinginkan. Tapi aku tidak menggunakan jasa mereka, setidaknya aku tidak mengatakan secara pasti buku apa yang ku inginkan. Aku hanya menyebutkan Tumbuhan Gaib, Sejarah Sihir, Dunia Lain. dan kami mendapatkan berlusin lemari-lemari tinggi berisi ribuan buku tebal, mungkin waktu hingga kelulusan tidak cukup untuk menemukan apa yang ku inginkan.

"Pira." Sosok Ryoko muncul di ujung lorong, di tangannya terdapat buku bersampul kulit kehijauan. Dia menghampiri ku dan berjongkok di sampingku sembari mengulurkan buku itu dengan pandangan mengernyit ragu.

"ada apa?" kata ku menerima buku itu.

"lihat," dia membuka beberapa lembar kertas kekuningan dan berbau apak, sebuah huruf berada di atas kertas bertuliskan 397—sebuah halaman—dan di tengah-tengahnya tertulis Pohon Kehidupan.

Aku sontak terbelalak, ini dia yang ku cari. sejak perkataan Master Naval di kelas, aku yakin Pohon Kehidupan yang dia maksud sama halnya dengan salah satu tempat—mungkin—yang dikatakan oleh teman masa kecil ku, Pohon Kehidupan. Aku yakin Pohon Kehidupan yang dimaksud ini sama, tapi bagaimana teman-teman ku bisa menemukan kata-kata aneh itu, Pohon Kehidupan dan Menara Talionis. Kedua hal itu bukan sekedar istilah acak yang mereka katakan di mimpi ku, bukan? Saat hendak membaca lebih jauh, panggilan di kejauhan yang bergema memanggil anak-anak dari kelas 1-E untuk berkumpul di aula utama akademi.

Dengan enggan aku melangkah turun ke lantai dasar perpustakaan, Ryoko menawarkan untuk meminjam buku itu yang dengan senang hati ku lakukan. penjaga perpustakaan ialah wanita muda berwajah panjang yang tampak membosankan, tipikal orang yang tidak ramah dan sangat teliti. Name tag di dada kirinya bertuliskan Rimera Chad, sepertinya aku akan bertemu dengannya cukup sering setelah ini. usai mendapatkan buku ku, kami bergegas menuju tempat pertemuan.

Aula sudah dipenuhi anak-anak dari kelas ku ketika aku dan Ryoko sampa, tapi aku belum menemukan batang hidung Alva saat berkumpul dalam rombongan. Sosok Sosok Master Margial berada di depan barisan menghitung kami satu persatu, sekitar sepuluh menit kemudian barulah dia meminta kami untuk mengikutinya.

Kami menuju ke pelosok hutan yang mengelilingi akademi, ada jalan setapak yang memotong hamparan pepohonan. Cukup jauh dari akademi yang membuat kami mengeluh karena harus berjalan kaki, jalanan itu berliku dan menukik seolah mengarahkan kami ke bawah gunung, mengikuti jalan yang semakin menyelam ke kedalaman hutan sesuatu mulai terlihat di antara hamparan pepohonan mirip pohon raksasa tua berkilau perak.

Ujung jalan yang kami telusuri mengarahkan kami ke sebuah lembah dengan tanah yang lembab dan sebuah menara berdinding abu-abu polos berdiri tegak dengan menonjol. Ketinggiannya tak terkira karena saat kami berada dibawakan kepala ku harus mendongak hingga nyaris mungkin mematahkan leher. Aneh. Dari jauh menara itu tampak tidak terlalu tinggi dari pepohonan sekitar, namun saat di bawah sini menara itu tampak menembus awan diatas sana.

Master Margial meminta kami berkumpul di depan pintu gerbang menara yang sepertinya terbuat dari baja ringan yang diukir dengan sedemikian rupa. "seharusnya jadwal tur ini akan di akhir jadwal kalian hari ini, namun karena ada insiden yang terjadi di kelas Alkimia kita akan melakukannya sekarang.

Master Margial berputar ke arah menara, mendongak. "yang di hadapan kalian saat ini adalah bangunan terpenting yang dimiliki Wizard Academy. Menara Lex Talionis."

Suara bergemuruh di sekeliling ku perlahan teredam oleh suatu kekosongan asing dalam pikiran ku. ini sungguh sangat kebetulan sekali, baru saja aku mendapatkan buku yang berisi Pohon Kehidupan dan sekarang di hadapan ku merupakan menara Talionis—namanya memang agak berbeda, namun aku yakin sama dengan yang dikatakan teman-teman ku—bangunan itu sedingin arti dari namanya. Keberadaannya di depan mata ku sekarang dan cerita Pohon Kehidupan sepertinya benar-benar berkaitan dengan teman-teman ku yang mengatakan cerita aneh.

Jika apa yang mereka katakan benar. Apakah sungguh-sungguh, tubuh mereka tersembunyi di dalam menara ini? oh, ya ampun, Pira! Kau benar-benar sangat dekat untuk membuktikan kebenaran itu!

Salah satu dari kami mengangkat tangannya, aku tidak bisa melihat sosoknya karena berdiri paling depan, tapi hanya mendengar suaranya. Sosok itu adalah laki-laki. "Bagaimana bisa tempat ini tidak terdeteksi oleh pemerintah?"

"Area Wizard Academy telah di pasang pelindung. Sehingga membuatnya tidak bisa dideteksi oleh alat canggih sekali pun." Beberapa detik dengan keheningan yang tegang, Master Margial kembali melanjutkan dengan penekanan. "bahkan hutan-hutan di sekitar sini juga dilindungi, sehingga makhluk yang diliarkan di sini tidak bisa di lihat dari dunia luar."

Dia mengatakannya seperti hal lumrah dan telah disepakati sejak awal, tapi aku ragu mereka memiliki kontrak kerja sama yang nyata dengan pemerintah di sekitar ini. bangunan ini juga, akademi ini juga aku yakin dibuat atas keinginan satu pihak, lagipula mereka penyihir, manusia di luar sana mudah untuk mereka kelabui dan kendalikan sesuai keinginan mereka.

Master Margial menggiring kami ke lobi utama yang sepertinya dapat menampung hingga seribu orang, di dalam sana sebuah tangga melebar menuju dua lorong lain di lantai berikutnya, sedangkan di samping tangga besar itu terdapat dua lorong yang nyaris tersembunyi di balik patung hewan mirip serigala dengan lengan-lengan besar. master Margial mulai memperkenalkan setiap sudut, ruangan, di setiap lantai seperti pemandu wisata.

Sudah jelas saja satu lantai dapat menampung ratusan ruangan, persimpangan dan koridor yang tidak memiliki akhir, dinding marmer yang dingin menggantung lukisan-lukisan dan ukiran penuh yang menyakitkan mata. selagi berjalan menembus koridor Master Margial menjelaskan sejarah singkat tentang Menara Talionis yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu, dibangun oleh penyihir-penyihir hebat zaman dahulu yang ingin menyimpan harta mereka ditempat yang aman. Memiliki 100 lantai dengan penjagaan ketat di lantai-lantai teratas, ada ruangan-ruangan terkunci yang dilarang memasukinya. sedangkan ruangan-ruangan yang pintunya terbuka lebar menampung banyak prasasti dan artefak-artefak kuno yang kelihatannya sudah ada lebih lama dari usia menara ini.

Ada dua jalan yang menghubungkan antar lantai di menara, elevator dengan model klasik dan tangga yang tersebar di beberapa sudut. Master Magial memaksa kami untuk menaiki puluhan hingga ratusan anak tangga yang menyebabkan banyak keluhan setiap kali kami akan memasuki lantai baru. Setelah beberapa jam akhirnya kami diizinkan untuk beristirahat di lantai sepuluh yang menjadi akhir dari perjalanan kami, beruntung menara ini menyediakan bangku-bangku panjang di beberapa sudut koridor dan aula-aula kecilnya.

Aku mengambil tempat di salah satunya, anak-anak lain kebanyakan memilih duduk di lantai atau berkeliaran sambil melempar komentar terhadap barang-barang kuno atau kerangka makhluk hidup yang dipajang dalam kaca. Membuka buku yang kupinjam, halaman di mana menampakkan Pohon Kehidupan berada. Pikiran ku kembali melayang ke pada mimpi itu, membuat ku merinding memikirkannya, bagaimana semua ini bisa saling berhubungan?

"aku baru tahu, ada anak yang masih tertarik dengan buku saat kita sedang melakukan tur." Master Margial muncul entah dari mana dan mendudukan dirinya disampingku, dia melirik buku yang terbuka diatas pangkuan ku dengan alis terangkat. "oh, Pohon Kehidupan. Kalian sudah belajar sejauh itu?"

"tidak, Master Naval menyinggungnya beberapa dalam pelajaran pertama." kata ku seadanya, "apakah master tahu sesuatu?"

"aku mungkin guru Sejarah Sihir, tapi sayangnya pengetahuan tentang Pohon Kehidupan tidak dibeberkan dengan jelas di buku mana pun." Master Margial melirik ke sekumpulan anak laki-laki yang mengelilingi kerangka makhluk berukuran nyaris menyentuh langit-langit. "Pohon Kehidupan sangat dirahasiakan, dengan banyak alasan yang bahkan tidak ku ketahui."

"kalau begitu, apa saja yang boleh diketahui?" kata ku setengah berharap.

Mata hitam Master Margial menatapku dengan tatapan aneh, kemudian menunduk dengan percikan keraguan di wajahnya dan menghela nafas singkat. "Pohon Kehidupan, seperti namanya, tidak sembarangan pohon, tetapi hidup dalam kehidupan itu sendiri." Nona Margial menjeda, melirik kearah buku yang terbuka di pangkuan ku. "pohon itu merupakan perwujudan dari 4 dewi, Soulus dewi Penciptaan, Lumay dewi Semesta, Terata dewi Kehidupan, Verall dewi Kematian. Letak keberadaannya disembunyikan, bahkan dalam buku yang kau pegang hanya menjelaskan sejarah-sejarah yang berhubungan dengan Pohon Kehidupan."

Aku mendesah, membalik-balik beberapa lembaran yang berisi utuh semua tulisan. Sepertinya tidak banyak yang bisa kuharapkan dari buku ini. "apakah menara Talionis ini juga memiliki sesuatu yang disembunyikan?"

Master Margial menatapku dengan tatapan menyelidik, iris hitamnya menyorot tajam. "tentu saja, anakku. setiap bangunan yang disejarahkan memiliki rahasianya tersendiri. Ada yang kau inginkan dari tempat ini?"

"Tidak." Aku mengalihkan pandangan dan mengidikan pundak. "hanya bertanya."

"ada," kata Master Margial kemudian, aku meliriknya yang tidak sedang menatap ku. "terutama lantai 99 dan 100, ada ruangan milik Dea yang tidak pernah dimasuki oleh orang lain selain dirinya."

Setelah itu aku memutuskan untuk menghentikan tanya jawab ini dan berterimakasih. Aku harus berhati-hati tidak seharusnya aku mempertanyakan itu dengan semua orang, mereka akhirnya akan sadar jika aku sedang menelusuri sesuatu. Terutama dari para Master, mereka pasti akan segera curiga jika aku mengetahui sesuatu.

Belum jauh aku menghindari Master Margial sosok Sirti muncul dari salah satu lorong, pandangan kami segera bertemu dan dia dengan riang melompat-lompat kecil menghampiri ku. sejak awal aku selalu bertanya-tanya, mengapa gadis berwajah kecil nan manis ini tampak begitu bersemangat, walau dia tidak menunjukkannya secara berlebihan seperti Alva maupun salah satu temanya yang jika tidak salah bernama Valery.

"mau berjalan bersama?" tawarnya setibanya dia di hadapan ku.

Lebih baik menjauh dari aula ini untuk sementara, karenanya aku mengikuti Sirti memasuki salah satu koridor berukuran besar dengan dinding abunya yang dipasangi potret orang-orang yang tampaknya memiliki hubungan dengan Menara Talionis.

"Kau sudah melihat sejauh mana?" tanya Sirti tiba-tiba.

Aku mengeryit. "apanya?"

Dia menatapku sambil berkedip lalu tertawa singkat. "sulit ya berbicara dengan mu?"

Perkataannya semakin membuat ku bingung, kami memasuki salah satu ruangan yang segera kami temukan setelah melewati koridor itu. pintu ruangan itu terbuat dari kayu entah jenis apa yang menimbulkan kilauan keemasan ketika ditimpa cahaya, dengan ukiran penuh selayaknya pintu-pintu klasik di akademi. Pintu itu tidak seberat yang kubayangkan, dapat berayun mudah ke dalam dan menampakan ruangan dengan banyak prestasi yang terbuat dari batu atau kulit hewan terpanjang dalam kaca di barisan meja atau etalase maupun dalam bingkai-bingkai di dinding, terlihat sangat tua.

Kami menghampiri setiap prasasti yang ada, tulisan itu sangat kecil dan terlihat di ukir—untuk yang berdasar batu—dengan sangat berantakan. Nyaris terhubung satu sama lain dan membuatnya terlihat seperti goresan dari tangan-tangan yang nakal.

"otak ku tidak akan bisa mencapai kejeniusan ini, tapi Faradiba mungkin bisa mengerti semua ini dengan cepat tentu saja karena dia pintar. Kalau Dini dia mungkin mengerti beberapa karena negara asalnya juga penuh sejarah-sejarah kuno yang rumit, kalau Valery—ku rasa—dia juga sama saja dengan ku." keluh Sirti yang sampai mendekatkan wajahnya di kaca. "kau suka sejarah?"

"tidak juga."

Sirti menarik wajahnya, entah mengapa dia menatapku dengan pandangan bosan. Apakah aku keliru? "apa kau bangga dengan kemampuanmu?"

Pertanyaan membuat ku terkejut, sampai-sampai mungkin terukir di wajahnya yang membuatnya mendesah berat. "kau hanya mau berbicara dengan orang yang sama hebatnya, bukan?"

Aku mengeryit lagi. "apa maksud mu?"

Sirti kembali mendesah, berkacak pinggang, dia memunggi ku. "semua orang menonton dalam pertandingan itu, mau tak mau mereka pasti akan menaruh perhatian kepada siapa saja yang memiliki kemampuan yang hebat atau pun pemenangnya."

Sepertinya aku tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya, karena dia berbalik dan menaikkan dagunya. "kau mungkin tidak menonjolkan diri mu di kelas maupun setiap tanya jawab dari pada Master, tapi kau akan tetap merasa dirimu hebat setelah pertandingan itu. karenanya kau tidak mau berbicara dengan anak-anak lain di kelas kecuali dengan mereka yang hebat juga, seperti Alva dan Ryoko, kau hanya sering terlihat dengan mereka berdua. aku tahu jika Alva memiliki kekuatan yang sangat luar biasa dan satu-satunya pemilik kekuatan itu, aku tahu alasanmu mau bergaul dengannya. Lalu Ryoko, aku tahu jika pengendalian kekuatannya tidak terlalu baik—sebenarnya, menurut ku sih buruk—kecuali pengetahuan dan otaknya yang bekerja sangat cepat."

"tunggu," potong ku cepat. Apa-apaan anak ini? bagaimana bisa dia menyimpulkan semua omong kosong itu dalam kepalanya? "sepertinya kau salah mengira."

"benarkah?" dia memicingkan mata sipitnya yang semakin menjadi sipit. "sepanjang pertemuan kita, kita selalu makan bersama di kantin! Tapi kau tidak pernah mau berbicara pada ku maupun teman-teman ku! awalnya ku pikir kau hanya malu dan pada akhirnya akan berbicara setelah beberapa kali pertemuan, namun kau tetap diam! Bukannya aku tidak tahu, ya!? Setiap malam Ryoko dan Alva selalu mengunjungi kamar-kamar kami untuk bermain bersama, dan kau selalu menitipkan alasan kepada mereka jika kau ingin cepat tidur saja. maksud mu, kau tidak suka bermain bersama kami, bukan?"

Astaga. Baru kali ini aku mendengar seseorang membuat begitu banyak kesimpulan tentang diri ku. haruskah aku meluruskan semua ini? tapi rasanya sulit menemukan kata-kata yang cocok untuk memperjelas maksud ku kepada orang seperti Sirti.

"sekarang pun kau tetap diam!" bentak Sirti, yang sama sekali tidak mengejutkan ku. "aku memang tidak pintar dan pengendalian kekuatan ku tidak juga bagus-bagus amat. Valery juga selalu banyak bicara dan tidak mau menunjukkan kemampuannya, Faradiba cerdas dan pengendalian airnya cukup baik. Dini sangat hebat dengan pengendalian kekuatannya! Aku sudah jelaskan bagaimana tingkat kemampuan teman-teman ku, apakah selanjutnya kau akan memilih?"

"sepertinya kau salah sangka." Akhirnya, aku mencoba untuk menjawab. Ku harap perkataan ku bisa dimengerti olehnya. "aku tidak sombong, tapi beginilah aku. Kau bertanya tentang diri ku pada Alva atau pun Ryoko mereka pun tidak akan mengerti karena aku memang tertutup, aku tidak memilih teman! Aku hanya tidak tahu harus melakukan apa saat bersama orang lain! kau yang mudah bergaul mungkin tidak akan mengerti."

Sirti menatap ku selama beberapa saat. "tidakkah kau berniat berubah?"

Oh, astaga?! Apakah aku salah memilih kata-kata lagi?! Aku berusaha untuk tidak menunjukkan kekesalan ku dan hanya menghembuskan nafas perlahan. "ku pikir begitu."

"kau tidak serius." kata Sirti keras, dia berputar menatap sekelilingnya. "kau hanya perlu menjawab."

Aku sungguh tidak mengerti apa yang dia bicarakan, apakah semua anak yang memiliki kemampuan beradaptasi yang baik memiliki sifat yang sama? kalau begitu lebih baik aku membuat klub ku sendiri.

"jadi, apa yang kau sukai?" kata Sirti akhirnya setelah—kupikir—kami berdiam diri cukup lama.

"seni." Jawabku cepat. "mungkin lebih ke lukisan."

"kalau begitu, mari kita cari." tanpa memperdulikan jawaban ku Sirti segera kembali melangkah mengelilingi ruangan ini, di ujung ruangan yang luas itu dia berhenti di sebuah lukisan besar berbingkai emas yang terpajang hampir seukuran dinding. Di dalam lukisannya terdapat sebuah pohon yang dibuat seolah bersinar seperti matahari, empat orang bersayap terbang di atasnya, dan di bawah pohon terdapat tubuh-tubuh yang seolah tertunduk dan terlilit oleh akar pohon. Gambaran itu indah, dengan sedikit bumbu kengerian.

"nah bagaimana menurutmu?" tanya Sirti, suaranya lebih ramah daripada sebelumnya. tapi aku ragu kekesalannya terhadap ku sudah sirna.

"bagus." Komentarku.

Gadis cina itu mengerutkan wajahnya. "akan ku beri saran," katanya dengan serius, berpose seperti guru. "jika seseorang bertanya pada mu, apalagi pendapat, usahakan menjawabnya panjang lebar. setidaknya jangan dua sampai lima kata, rangkailah kalimat mu sebelum kau mengutarakannya."

Aku hanya mengangguk. Bagus, sekarang aku punya guru privat dalam kelas pengubah sifat dalam satu hari.

"Kalian menyukainya?"

Suara baru itu membuat kami refleks menoleh ke sumber suara, sosok Dea sudah berdiri bersandar di salah satu pilar tidak jauh di belakang kami. Kemudian dia berjalan mendekat, gaun putihnya yang panjang hingga menyentuh lantai berkibar saat dia melangkah, ketukan dari sepatu berhak tingginya menggema di dalam ruangan. ini kali kedua ku setelah melihat dirinya di pembukaan hari pertama, ku pikir dia bukan tipikal Kepala Sekolah yang akan menelusuri gedung sekolahnya untuk memeriksa bagaimana anak muridnya berkembang.

Wanita bagaikan malaikat itu berhenti di tengah-tengah antara aku dan Sirti. Sosoknya yang tinggi dengan kecantikan jelita, rambut seputih dan selembut bulu tergerai hingga ke pinggangnya, tangannya yang tak tertutup apapun terjulur ke arah lukisan kuno yang terlukis indah diatas batu putih besar dalam bingkai itu.

"Namanya adalah Pohon Kehidupan." Ucapan singkat itu membuat perutku melilit.

"Empat wanita bersayap itu adalah dewi dunia underworld. Mereka lah yang menciptakan Pohon Kehidupan." Jeda beberapa detik saat tangannya seolah adalah sehelai bulu yang di sapu di permukaan batu, aku merasakan aliran energi aneh yang seolah sedang menyerap lukisan itu. "Pohon Kehidupan awalnya digunakan untuk mencerahkan kehidupan, berubah menjadi kegelapan yang menghancurkan saat dikendalikan oleh dewi Verall, Dewi Kematian, yang menginginkan kehidupan."

Suatu kegembiraan yang menyengat dari iris emas itu membuatku bergidik. "Dewi lainnya mencoba menghentikan, tapi kekuatan dewi Verall terlalu besar. namun pada akhirnya ketiga dewi lainnya berhasil melumpuhkan dewi Verall dengan menidurkannya. Saat dewi Verall menghilang, Pohon tersebut menjadi tak terkontrol dan menghancurkan dunia underworld. Hal itu dikarenakan kekuatan para dewilah yang membuat Pohon itu dapat hidup, Pohon Kehidupan tidak dapat dimusnahkan. Pilihan yang diambil oleh tiga dewi yang tersisa akhirnya mengharuskan Pohon itu untuk disegel dan disembunyikan di tempat terpencil."

"bagaimana keadaan tiga dewi itu setelahnya?" tanya Sirti, yang mengejutkan hanyut dalam cerita.

"Soulus, Lumay, Terata. Mengorbankan jiwa mereka sebagai kunci untuk menyegel Pohon Kehidupan, bersama jiwa Verall yang mereka miliki."

Aku kembali melihat gambaran itu. Memperhatikannya dengan saksama. Jiwa sahabat ku terkurung di sana, aku mengernyit saat baru menyadari sesuatu. Dan tubuh mereka terkurung di sini. Bagaimana bisa hal itu terjadi?

Semakin lama aku memperhatikan lukisan itu, cahaya di antara riak pohon rimbun itu seolah memanggil ku, tanpa sadar tangan ku ikut terjulur ke arahnya. "Tiga jiwa agung tengah terkunci di dalamnya berharap sang kegelapan dapat terluluh hatinya dan segera menghancurkan kegelapan yang lebih peka."

Saat tersadar aku langsung menarik tanganku, segeralah aku menoleh ke arah dua orang di belakang ku. Dea dan Sirti menampakkan keterkejutan di wajahnya, Dea memperhatikan ku dengan tatapan yang tidak bisa ku tebak setelahnya. Sebuah prestasi mengeluarkan sinar saat tangan Dea hendak menyentuh ku, wanita itu segera berbalik dengan minat yang menghilang. Terpaku sejenak untuk menatap ke sebuah batu di dalam kaca lalu dengan terburu-buru dia berjalan cepat keluar dari ruangan.

Aku menatap Sirti kemudian berlari ke arah prasasti tadi. Tulisan di sana mengeluarkan cahaya untuk beberapa saat kemudian padam secepat kemunculannya, sayang sekali aku tetap tidak bisa membaca tulisan asing itu. Karena penasaran ku ambil ponsel ku dan memotretnya. Mengabaikan peraturan yang tidak mengizinkan siswa mengambil gambar apapun atau menggunakan ponsel itu saat jam-jam pengajaran. Tapi aku berani bertaruh, apapun yang telah terjadi dalam hitungan menit lalu, menyembunyikan sesuatu. Mungkin aku bisa menerjemahkannya.

*

Mungkin aku terlalu terburu-buru, tapi aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Aku perlu petunjuk mengenai sahabat ku yang terkurung entah karena apa. Meminta bantuan dari para guru sepertinya beresiko, entah kenapa aku tidak bisa percaya pada mereka. Karena itu aku pergi ke perpustakaan saat jam pelajaran berakhir, hanya terdapat segelintir orang yang berkeliaran di sana. Salah satu senior menuntun ku ke salah satu bagian di lantai dua yang berisi buku-buku bahasa lain.

Nyaris menguras waktu lebih dari dua jam, untuk ukuran sebuah perpustakaan akademi tempat ini menyediakan buku yang sangat lengkap. Beberapa kali aku menemukan buku-buku yang seperti kamus, tapi tidak mendapati pengertian kata-kata itu dalam bahasa yang ada di prasasti. Aku nyaris menabrak wanita tinggi itu saat aku hendak berbelok di satu lorong.

Wanita itu membenarkan letak cardigan panjangnya, meneliti ku yang tengah menahan ringisan.

"maaf, Master Rimera." Kata ku penuh penyesalan.

Wanita berambut pirang yang digulung tinggi itu mengangguk dan hendak menjauh, tetapi aku segera menahan kepergiannya. Agak ragu menanyakan hal itu padanya tapi sadar jika aku tidak punya pilihan lain jika ingin bergerak cepat.

"ada apa?" tanya Master Rimera.

"apakah anda menyimpan buku tentang prestasi lama?"

Wanita itu mengernyit, menyibakkan rambut pirangnya yang menutupi mata, lalu berjalan melewati ku. "seingat ku, Master Naval baru saja mengembalikan buku-buku catatan terjemahan prasasti." Katanya saat aku mengikutinya turun dari lantai dua, aku tidak bisa menahan diri untuk tersenyum lebar.

Wanita itu kembali ke meja resepsionis, berkutat dengan tumpukan buku di balik mejanya dan membawa beberapa tumpuk buku bersampul merah tua. Dia meletakkannya di atas meja dan menatapku. "tidak boleh dibawa keluar dari perpustakaan jika siswa yang menggunakannya." Peringatnya, aku segera mengangguk, mengambil tumpukan buku itu dan berterima kasih.

Di salah satu meja aku mulai menekuni pekerjaan ku, membuka ponsel dan melihat hasil jepretan ku. Aku tahu butuh waktu lama untuk menyelesaikan hal ini, tebalnya buku dan banyaknya tulisan dalam satu halaman, aku tidak yakin butuh berapa minggu mencari artinya.

Membuka buku-buku yang lain, pasti ada satu perbedaan yang dapat membuat pencarian ini lebih mudah. Seperti kata kunci atau semacam judul. Lama aku mencari akhirnya ku temukan sesuatu yang sedikit mirip. Dalam salah satu daftarnya, terdapat tulisan Prasasti Underworld. Segera aku membuka halamannya yang dipenuhi gambar dan isi juga terjemahan prasastinya.

Ternyata tidak banyak, hanya menghabiskan lima lembar saja. Hingga aku menemukan satu Prasasti yang terlihat mirip dengan yang ku foto.

"Yang tak tertangkap telah muncul siap menumpahkan cahaya bulan dan membuka gerbang yang terkunci. Membebaskan cahaya yang terkurung, membangunkan sang penjaga alam."

"prasasti itu telah muncul selama ratusan tahun," aku nyaris menjerit saking kagetnya saat sosok Master Rimera muncul di sampingku, menyibakkan rambut yang mengganggu wajahnya. "Naval Gilaival cukup ahli dalam bahasa lama Underworld. Prasasti yang berhasil ditemukan dari tempat-tempat tersembunyi di Underworld, meramalkan dan memberi pesan-pesan dari mata-mata yang melihat. Beberapa darinya berjiwa dan akan hidup saat waktunya sudah tiba."

Nona Rimera melirik ku sekilas, tidak menyadari sebelumnya saat aku menyembunyikan ponsel ku. "Dea menjaga semuanya dengan sangat baik."

Sepasang iris coklat itu menatapku dengan kilatan seperti cahaya petir yang memantul di jendela, mendebarkan. Tetapi teralihkan oleh langkah kaki yang membuat Master Rimera beranjak dari belakang ku dan berdiri tegak.

Menghela nafas lega, ku tutup buku-buku itu dan siap berdiri. Seorang pemuda tinggi berjalan dari arah pintu masuk dengan seorang gadis membuntutinya dari belakang, gadis berambut hitam itu melirik ku bertepatan saat aku melihatnya. Senyum manis segera mengembang di wajahnya yang bersemu.

Valery? Apa yang dilakukan gadis itu di sini?

Sosok laki-laki berambut hitam dengan mata tajam dari iris birunya yang segelap dasar samudra itu melirik ku singkat, lalu tatapannya tertuju kepada Master Rimera.

"Jordi?" panggil Master Rimera dan beranjak dari belakang ku. "kau butuh sesuatu?"

Aku mengabaikan pembicaraan mereka, menyusun buku-buku itu dalam tumpukan dan keluar dari perpustakaan. Pintu berdebam akibat dibanting, sembari meringis aku berharap Master Rimera atau Valery dan Jordi tidak terkejut. Apa yang kau lakukan Pira?! Namun bukan karena itu aku terkejut setelahnya, karena aku nyaris saja menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul seperti hantu di hadapan ku.

Untungnya refleks ku cukup cepat dan aku berhasil menghindari tabrakan beruntun, kaki ku berhasil melangkah mundur dengan cepat. Sedangkan lelaki bersurai api itu tersenyum terlalu lebar untuk sebuah tabrakan.

"kita bertemu lagi, aku yakin ini benar-benar takdir!"

Aku tidak tersenyum. "oh, halo Egi."

"apa yang kau lakukan di perpustakaan?" tanya pemuda itu, mengabaikan kode ku jika aku tidak ingin berbicara dengannya terlalu lama.

"membaca buku, tentu saja." aku memutar mata malas, ingin menambahkan 'apa kau terlalu bodoh hingga tidak tahu kegunaan perpustakaan?' tapi ku tahan demi menghindari permusuhan di tahun pertama.

"sepertinya ada yang aneh pada ku akhir-akhir ini," katanya dengan dramatis, sambil menyentuh dadanya seolah sesak nafas dan wajahnya yang ku akui cukup tampan berkerut kesakitan. "dada ku terasa terbakar terlebih lagi sejak bertemu denganmu dan di setiap pertemuan kita."

Aku semakin menatapnya datar, ingin aku menjawabnya dengan keahlian kata-kata ketus ku yang membuat ku tidak memiliki teman di sekolah. Namun kata-kata ku tidak dimulai karena seseorang muncul dari balik punggungnya, atau kurasa dia telah berada di sana sebelumnya. Seorang pemuda dengan rambut coklat yang lembut, iris matanya yang senada dengan rambutnya sedikit lebih gelap. Wajahnya khas orang asia dengan kelembutan di senyumnya, ia menatapku dengan alis bertaut ragu dan menepuk pundak Egi yang sedikit lebih tinggi darinya.

"tolong maafkan dia, anak ini memang agak aneh." Katanya mewakili pikiranku terhadap Egi, ia segera mencengkram lengan temannya yang membuat Egi menoleh ke arahnya dengan alis bertaut tidak suka. "sepertinya kau tengah terburu-buru, maaf menghambat mu sebelumnya. Kami juga harus pergi."

"aku tidak terburu-buru." Balas Egi dengan kekesalan di suaranya.

"sampai jumpa!" kata ku cepat dan melesat melewati kedua pemuda itu sebelum perkataan Egi yang sepertinya tidak ada habisnya untuk menyudutkan ku berlanjut. Aku menutup rapat-rapat telinga ku dari gerutuan dan percekcokan kecil di belakang ku hingga meninggalkan kawasan itu.

*

Dengan langkah lenggang Dea berjalan melewati koridor-koridor gelap, tidak ada pencahayaan sama sekali di sana. di ujung koridor itu menanti pintu kayu besar, pintu itu berayun lembut ke dalam dengan langkah mantap Dea memasukinya. Di baliknya cahaya-cahaya muncul dari lilin-lilin yang menggantung di dinding, keremangan itu membawanya melewati tangga yang menuju dalam kegelapan.

Di ujung tangga pintu lain menyambutnya, dia mendorong sepasang pintu kayu besar dan memasukinya. Cahaya-cahaya menyorot dari langit-langit yang seperti dirambati oleh akar-akar tanaman hitam, di ujung ruangan gelap itu cahaya yang lebih besar menyorot ke sesuatu.

Wanita cantik itu tersenyum sumringah, kelegaan berhembus melalui nafasnya. Dipandangnya tiga tubuh yang terbelit benda hitam yang terjulur dari bawah mereka. Kemudian menatap ke arah ujung lain yang kosong walaupun benda hitam itu juga ada disana.

"Reinkarnasi Soulus, Lumay, Terata. Tiga gadis kecil yang ku temukan dari sebuah desa." Ia kembali menatap tempat kosong itu dan menyeringai. "Verall. Akan ku temukan reinkarnasi mu. Tak akan kubiarkan kau menghalangi ku."

..........

~ghefira~

Continue Reading

You'll Also Like

686K 53.5K 30
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
7K 1K 66
Grasta memiliki mimpi yang sederhana, ia hanya ingin melindungi keluarganya. Namun realita kehidupan jauh dari yang ia harapkan, karena keluarganya t...
520K 77.6K 50
(Petualangan - Fantasi) Namanya Ellysha Seinna Rajasa, seorang gadis remaja yang amat menyukai dunia fantasi dan hal-hal berbau misteri. Sifatnya gal...
Rewinds ✓ By Fai

Science Fiction

419K 26.9K 33
Percobaan mesin waktu yang berawal dari iseng membuat Vene dan Cindy terdampar di dimensi lain-Wozzart-beserta mesin waktu yang rusak parah berakhir...