WIZARD (Broken Butterfly) END

By Ghnufa_14

180K 13.5K 628

Yang bersinar di malam hari hanyalah kunang-kunang, namun yang ku lihat malam itu adalah sesuatu yang lain. b... More

Prolog
Kekuatan
Surat Misterius
Wizard Academy
Turnamen Penyambutan
Sekolah
Es dan Api
Menara Lex Talionis
Ujian Bersama
Rekan
Informasi
Peringatan
Pembalasan
Menara Pengorbanan
Sora
Death Master
Tangan Kanan Pemburu Underworld
Moon Gate
Teman yang menghilang
Underworld
Perjalanan Menuju Ujung Cahaya
Cahaya Terakhir
Gadis Api
Sang Penegak Pilar Cahaya
Hutan Mistis
Kastil Putih
Rahasia Dea
Merah Diatas Putih
Dunia Keabadian
Sang Penjaga Alam
Gerbang - Gerbang Dunia
Anak-anak Bayangan
Darah Terkutuk
Gerbang Neraka
Menara Pembalasan
Jiwa Yang Terlelap
Rasa Kematian Yang Manis
Pertemuan Yang Tenang
Pulau Awan
Kawah Matahari
Pohon Kehidupan
Dinding Pengorbanan
Takdir Yang kejam
!!!
Para Dewi
Dinginya Hari Penuh Darah
Negeri di Penghujung Utara
Jantung Kegelapan
Rencana B
Arti Dari Sebuah Ikatan
Akhir Terbaik
Epilog
~~~
pengumuman!

Kupu-Kupu

11.6K 566 23
By Ghnufa_14

Cuaca pagi ini sangat dingin. Terpaksa aku harus mengenakan baju tebal untuk menghangatkan tubuhku. Kekeras kepalaan ku untuk berada di luar, duduk di ayunan dekat pohon cemara kembar samping pagar yang sudah membuat bokong ku membeku. Mereka yang mendengar alasan ku yang dengan nekat keluar rumah di tengah cuaca dingin hanya untuk menggambar sudah bosan untuk memperingatkan, terutama pelayan pribadi ku yang sangat keras kepala dan suka mencari ribut dengan tuannya, walau pada akhirnya dia akan menyerah.

Menurut ku dengan berada di ruangan terbuka dan bernafas langsung dengan alam dapat mengalirkan ide-ide yang lebih berkilau dari emas, sangat disayangkan jika aku tidak mendapatkan momen-momen terbaik di tiap garis gambar ku.

Taman luas ini mengelilingi sebuah rumah bercat gelap yang suram, apa lagi dengan hadirnya musim dingin yang membekukan udara dan apapun yang dilaluinya. Jendela-jendela yang tertutup rapat itu seolah memandangku dengan tatapan kosong tak bernyawa, luasnya taman dengan pepohonan cemara yang mengelilinginya dan pagar berukuran tinggi yang menutup diri dari dunia luar.

Keluarga ku bisa dikatakan adalah orang berada, ayah ku memimpin sebuah perusahaan terkenal di Tokyo dan memiliki beberapa cabang lain seperti di Shibuya, Shinjuku, dan Hokkaido. Karena pusatnya berada di Tokyo kami terpaksa tinggal di kota besar dan padat tersebut.

Pernah seorang berkata 'walaupun kaya tidak menentukan orang itu bahagia' yap, aku merasakannya, walaupun aku hidup berkecukupan aku tak merasa bahagia. Jika boleh memilih antara tinggal di kota ini dengan fasilitas mewah atau tinggal di rumah sederhana nenek di desa, aku akan senang hati memilih tinggal dengan nenek di desa. Lebih baik berpanas dingin di tengah ladang daripada berkutat di depan komputer yang tidak bisa mati.

Apalagi di sana ada orang-orang yang mengisi kehidupan kecil ku, cahaya untuk ku. Tiga teman terbaik sepanjang hidup dan mati ku. Sayang sekali, di sini, seolah langit membawakan mendung untuk seluruh jenis kehidupan. Aku tidak pernah merasakan yang namanya kehangatan yang sesungguhnya, semuanya sangat berbeda. Entah karena pengaruh cara hidup di dua tempat berbeda, atau hanya kebetulan saja orang-orang di sekitarku sangat membosankan.

Delapan tahun tidaklah cukup untuk membuatku bahagia di lingkungan baru, aku tidak bermaksud merasa tak bersyukur—aku senang bisa tinggal dengan orangtua ku setelah sebelumnya hanya dapat bertemu dengan mereka beberapa kali dalam satu bulan—tapi, tolong! Bisakah aku membawa teman-teman ku ke sini?! Katakan kalau aku tidak bisa beradaptasi, itu benar dan juga tidak. Aku bisa hidup di tengah kota seorang diri, dengan kehidupan yang membosankan dan orang-orangnya yang kaku seperti patung dan bergerak sesuai perintah seperti robot.

Menyebalkan sekali.

Tinggal di kota membosankan, aku selalu saja sibuk tak karuan. Jadwal hidupku diatur dengan ketat, mulai dari bangun hingga tidur lagi. Di hari libur bahkan tidak memiliki waktu untuk bersenang-senang. Berfikir untuk liburan sekedar ke mall? Tentunya bisa, sayangnya aku tidak memiliki cukup kekuatan untuk bangkit dari tempat tidur dan berakhir menghabiskan hari menonton anime atau menghabiskan selusin komik. Mungkin juga karena efek dari kesendirian ku dan terlalu menikmati apa yang ku suka tanpa mempedulikan sekitar, aku sepertinya sudah terjerumus dalam kehidupan dalam mimpi sampai-sampai tak tahan satu hari saja tidak memejamkan mata ku sejenak dan berkhayal dalam dunia fantasi ku. Kata ibu jika aku terlalu terjun dalam dunia khayalan, aku akan menjadi buruk di kenyataan. Sayangnya telinga ku telah tersumbat oleh kerikil yang dilemparkan para Trol.

Ya, aku tahu kalau aku mulai gila.

"masih bermain-main di luar ternyata."

Mendengar ucapan itu membuat ku langsung memutar kepala. Seorang gadis kecil berdiri di tengah taman, memakai sweater pink, rok selutut abu-abu, tak lupa dengan stoking putih dan bot pink. Gadis muda yang cerewetnya minta ampun sayangnya berstatus sebagai adikku, Mandorva Sheran Elbihara. Terkadang aku heran dan juga kesal, kenapa dia selalu bisa tampil mencolok di rumah suram ini? Bahkan ketika mendatangi beberapa acara besar perusahaan keluarga dia dapat menjadi tokoh utama yang selalu mendapatkan pusat perhatian, dan aku selalu tampil sebagai karakter pendamping yang tidak menarik dan sama suramnya yang dunia.

Kami memang berbagi darah dan daging yang sama, namun ku rasa tidak untuk kepribadian kami. Bagaikan api dan air, langit dan bumi. aku dan Sheran tidak akan pernah cocok. Namaku Mandorva Pira Elbira. Sedikit lebih pendek dari nama adikku, terkadang jika ada orang yang menanyakan namaku aku hanya akan menyebut 'Pira' saja. Terkadang aku iseng bertanya kepada ayah kenapa dia memberikan nama anak-anaknya dengan tiga kata yang membuat perkenalan menjadi waktu membaca pidato, dan beliau nyaris melempari ku dengan berkas-berkasnya yang segunung.

Aku hanya menatapnya datar, kemudian melanjutkan gambarku. Hal itu membuat pipinya menggembung merah, aku akui dia manis, tapi karena terlalu sering melihatnya begitu jadi rasanya mual.

"Huh, jangan abaikan aku! Dulu kakak periang tapi sekarang pendiam, dingin pula." Celotehnya, dan segera ia berlari masuk ke rumah dan tak lupa untuk membanting pintu dengan kencang.

Aku hanya menghela nafas berat. Ku taruh buku sketsa di sebelahku dan menatap langit yang penuh awan kelabu. Aku berpikir keras tentang ucapan adikku tadi.

'Cuek, pendiam, dingin' Yap, itulah sifat ku sekarang, bahkan di sekolah aku tak punya teman—bukan berarti aku diabaikan, hanya kurang minat untuk membentuk hubungan yang dapat menguras energi—Sifat ku berubah 180 derajat saat kejadian itu. Saat aku akan pindah, dulu aku adalah gadis periang dan bersemangat, bahkan dulu aku disebut-sebut sebagai gadis tomboy, walau sifat itu masih ada sekarang. Ibu ku bahkan kebingungan bagaimana gadis yang dulu bisa membuat orang tertawa hanya dengan memunculkan dirinya sekarang bagaikan awan kelabu yang akan membawa badai.

Mungkin aku kekanakan, tapi aku tidak bisa melupakan masa lalu ku. Hati ku terasa sakit, perasaan sedih dan marah bercampur aduk. Rasanya sangat jengkel untuk membakar rumah dan berteriak di atas menara Tokyo.

Tak lama setelah itu, suara pintu terbuka terdengar di telingaku, aku langsung menoleh ke arah pintu dan mendapati pelayan pribadi ku, Tachibana Sora. Umurnya 17 tahun, ia bekerja disini melayani ku karena orang tuanya juga bekerja disini, anak muda yang cerdas dan berbakat. Ayah sangat menyukainya dan menempatkannya di posisi pelayan khusus untuk ku, sudah 4 tahun ia melayani ku dan tetap sabar walaupun aku sering bertingkah kasar padanya.

"Sebaiknya anda segera masuk, jika tidak anda bisa sakit." Ucapnya dengan ekspresi khawatir.

"Aku sudah biasa." Kata ku dan mengalihkan pandangan.

"Bagaimana jika anda menggambar di dalam saja?"

Aku mendengus kesal, mendelik ke arahnya. Melihat itu Sora hanya terkekeh. Terkadang aku heran, dia tahu segalanya tentangku tetapi selalu berpura-pura tidak mengerti.

Bangkit berdiri kemudian aku berjalan melewatinya tanpa berkata apapun, masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamarku, aku langsung menjatuhkan diriku ke kasur dan—ini bagian yang tidak kusukai—pelayan ku ini selalu mengikuti ku dan itu membuatku risih, kecuali ia ada urusan penting, itu saja mungkin hanya beberapa menit.

"Keluarlah, aku mau tidur."

Ia hanya mengangguk singkat kemudian memutar tubuh, terdengar suara pintu tertutup. Selagi aku membenamkan kepala ke dalam bantal, kemudian bangkit dan menarik guling di ujung tempat tidur, menendang beberapa boneka dan bantal hingga berserakan di lantai lalu menarik selimut.

Mimpi ku rasanya seperti nyata. Aku bertemu dengan tiga gadis teman masa kecil ku, sudah lama kami memang tidak bertemu. Mungkin aku tiba-tiba dilanda kerinduan jadinya bermimpi tentang mereka, tapi ada yang aneh, karena mereka menatapku dengan raut sedih yang kentara. Seperti sedang berduka.

*

Seseorang mengguncang tubuhku. Ku buka mataku perlahan dan ku lihat Sora. beberapa helai rambut coklat gelapnya sudah melewati telinga dan jatuh di samping mata, sekilas dia terlihat seperti salah satu anggota grup band—Sora bisa bermain musik—sayangnya dia terlalu tak tega untuk meninggalkan sisi ku. terkadang aku berfikir, apakah aku berdosa karena menjadi penyebab ketidak berkembangan hidupnya?

"Hari sudah mulai sore, nona. Anda harus segera mandi, sebentar lagi guru privat anda akan datang." Ucapnya, tak lupa dengan senyuman hangatnya.

Aku hanya mengangguk, kemudian mengambil pakaian dari lemari ku dan segera masuk ke kamar mandi, kulihat Sora sedang merapikan tempat tidur ku. Pernah kulihat ia hendak membersihkan lemari pakaian ku tapi segeralah ku cegah, untung belum sempat ia buka. Rajin sekali dia. Terkadang aku heran, kenapa dia sangat patuh terhadap ku? Bahkan melebihi kepatuhannya terhadap ayah.

Selesai mandi aku segera ke perpustakaan kecil di rumahku. Sebuah ruangan kecil dengan dindingnya penuh oleh buku-buku yang membuat perut ku bergejolak ingin memuntahkan isinya. Aku tak terlalu suka membaca, hanya ibuku saja yang berkehendak untuk membuatnya.

Sora berada di belakang ku dan mengambil ahli untuk membuka sepasang daun pintu kayu yang menuju perpustakaan. Di sana ku lihat seorang wanita yang umurnya berkisaran 30 tahun, namanya Mohubara Shiyu. Ia mengajar matematika, pelajaran yangs sayangnya menyenangkan bagi ku, padahal ku harap aku membencinya.

"selamat sore, Mohubara-sensei." salam ku dan kemudian duduk di depannya.

"selamat sore, Pira-chan." balasnya dengan senyum hangat sambil mengambil buku tebal dari tasnya. Melihat tumpukan buku yang mengisi tas hitam itu awalnya membuat ku mual, setelah kesekian kalinya melakukan pertemuan aku mulai tidak memperdulikannya.

Les ini berjalan sampai pukul 04.00 sore. Setelah itu gurunya langsung berganti, yang ini seorang pria, usia nya sekitar 40 tahun, namanya Tsukaru Teruji. Ia mengajar Bahasa Inggris, dan aku berhasil membuatnya selalu mendesah saat aku melakukan kesalahan yang sama—selalu—di beberapa kata, dan les ini berjalan hingga pukul 06.00.

Kegiatan berganti dengan makan malam bersama seluruh keluarga, mereka akan setia menunggu ku menyelesaikan pelajaran. Sheran duduk manis di samping ayah, setiap kali mendekati ruang makan suaranya yang cempreng akan terdengar menembus dinding. Sheran adalah pengganti diri ku di masa lalu untuk sekarang, yang menjadi penghangat suasana keluarga kami yang kaku. Tak heran Sheran menjadi favorit ayah dan ibu, tidak hanya karena sifatnya yang manis namun gadis itu juga penurut dan cerdas. Berkat itu apapun yang diinginkannya bagaikan hujan yang turun dari langit.

Makan malam menjadi salah satu waktu yang dimanfaatkan ayah ku untuk dekat dengan anak-anaknya. Sebagai seorang pemimpin perusahaan besar waktu yang dia habiskan kebanyakan di kantor, bahkan terkadang dia tidak pulang ke rumah selama berminggu-minggu. Membuat ayah menjadi sosok yang agak kaku tapi tetap berusaha untuk terlihat ceria dan menyenangkan, dia selalu menanyakan kegiatan anak-anaknya walau jawaban kami selalu sama setiap saat.

"apakah kita punya waktu untuk pergi ke rumah nenek akhir minggu ini? atau akhir bulan?" tanya ku tiba-tiba, yang membuat kedua orangtua ku dan Sheran menghentikan makanannya.

Ibu yang pertama berdehem sambil membersihkan bibirnya, membenarkan letak kacamata nya yang besar. "kenapa tiba-tiba?"

"tidak, hanya saja," ku alihkan pandangan ke piring ku yang setengah kosong. Aku pun tidak tahu mengapa mempertanyakan ini sekarang. "aku hanya ingin menemui nenek dan teman-teman, sudah lama sekali sejak terakhir kita berkunjung ke sana."

"maaf, sayang, tapi sepertinya tidak bisa." Geleng ibu, kembali membenarkan letak kacamatanya yang selalu tampak longgar. "hampir mendekati musim dingin, nenek dan kakekmu pasti sibuk mempersiapkan ritual dan festival. Mereka pasti akan sangat sibuk."

Diam-diam aku mendesah, "oke, baiklah." mengidikkan pundak berpura-pura tidak peduli lagi. Kita memang tidak bisa mengendalikan apa yang akan terjadi, lagi pula keluarga ibuku adalah salah satu keluarga tertua di daerahnya yang kerap mewakili dalam setiap tradisi turun-temurun yang masih dipertahankan. Lagi pula daerah tempat tinggal kakek dan nenek bisa dikatakan desa pedalaman. Aku terkadang heran, bagaimana ayah ku yang seorang anak kota dapat bertemu dengan ibu yang anak desa.

"belum lama ini aku menghubungi ayah," kata ayah tiba-tiba. Orangtua kandung ayah atau kakek dan nenek dari ayah ku sudah lama meninggal, sejak menikahi ibuku dia menganggap kedua orangtuanya sama halnya dengan orangtua kandungnya sendiri. ini membuat ku terharu. "aku sempat menanyakan tentang tema-teman mu itu—emm­—Arin, Rara, dan Eva, benar? Kakek mu bilang sudah lama tidak melihat mereka."

Aku menatap ayah selama beberapa saat dan mengangguk diam. Makan malam itu selesai seperti biasa, Sora datang mengajakku untuk berlatih fisik—atau bela diri atau kerap kendo di ruangan khusus—ayah yang menyarankan agar aku—sebagai anak perempuan—dapat menjaga diri di luar sana. Dan selesai dengan cepat tanpa kusadari, aku langsung menuju ke kamar dan menghidupkan playstation ku dengan ditemani oleh setoples permen coklat kesukaan. Aku sering berdebat dengan Sora soal kesukaan ku itu, aku sangat suka makan makanan yang manis, bahkan di kamarku belasan toples berisi makanan manis dan gurih tersusun di laci bertingkat di samping tempat tidur. Menjadikan pemuda itu menahan diri keras-keras agar tidak melemparkan semua makanan itu keluar dari balkon.

Bermain hingga malam itu niat ku selagi melupakan perasaan tak mengenakan yang tiba-tiba muncul sejak ayah mengatakan kakek jarang melihat ketiga teman masa kecil ku itu, padahal ku yakin—terutama Rara—bukanlah anak yang tertutup seperti ku sekarang, mengingat sifat mereka terakhir kali mereka bisa saja menjadi perwakilan di desa itu. tapi lebih baik tidak terlalu memusingkannya, lagi pula kami mulai beranjak dewasa dan bisa memilih jalan hidup masing-masing.

Sebuah cahaya aneh bersinar-sinar dari jendela kamar, karena aku mematikan lampu cahaya itu menjadi lebih jelas. Awalnya ku pikir hanya pantulan cahaya dari lampu taman, namun cahaya itu mulai bertingkah aneh dengan berputar-putar di balik tirai jendela. Karena penasaran kubuka jendela dan ku temukan bulan yang bersinar terang.

"Indahnya," gumamku, perhatian ku tertuju ke sesuatu yang terbang di langit. sekilas tampak mirip kunang-kunang raksasa dengan sayap besar, tapi titik kecil yang melambai-lambai di udara terlihat semakin jelas. "itu, kupu-kupu?"

Makhluk kecil bercahaya itu perlahan turun ke arahku, seolah menyadari kalau aku memandangnya, lalu mendarat di atas hidung ku. Sesuatu yang mirip tangan kecil berselaput cahaya terulur menyentuh keningku, aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, seluruh tubuhnya dilapisi cahaya yang membuat ku harus menyipitkan mata, tapi ada sosok dibalik cahaya itu. tampak gelap seperti bayangan, ku rasa itu wujudnya.

Ia menatapku, sepertinya. Kemudian mengumumkan sesuatu yang seolah menjadi satu-satunya suara yang kudengar malam ini.

"Akan ku beku-kan kesedihan mu dan akan ku bakar habis kemarahan mu, gapailah bintang yang hampir padam."

Setelah itu tubuhnya menghilang dalam kerlipan cahaya. Di saat itu juga pandanganku mulai kabur dan aku ambruk menghantam lantai.

...........

Moshimoshi, mina.

halooo, haiiii

Yang pertama udah, nah mari lihat yang selanjutnyaa....

Sampai Jumpa!

Continue Reading

You'll Also Like

141K 11.7K 114
Ini book isinya cuman seputar keseharian keluarga Taehyung & Jungkook ❤️ BIJAKLAH DALAM MEMBACA! Published on,06 June 2019!
Rewinds ✓ By Fai

Science Fiction

419K 26.9K 33
Percobaan mesin waktu yang berawal dari iseng membuat Vene dan Cindy terdampar di dimensi lain-Wozzart-beserta mesin waktu yang rusak parah berakhir...
202K 19.6K 47
•Bittersweet Series 1• _____ Menikah di usia muda, bahkan sangat terlalu muda. Masa depan yang Odit cita-citakan harus pupus. Masa depan yang sudah i...
186K 14.8K 69
baca aja siapa tau betah:)