Hari Sabtu dan Minggu selalu kutunggu. Senin adalah hari yang paling bikin malas. Seperti biasa, aku bangun pagi dengan enggan. Saking malasnya aku berangkat ke kantor tanpa mandi. Jam kantorku agak ajaib, masuk pukul enam pagi dan pulang pukul tiga sore. Aku bekerja di Media Monitoring yang memantau berita untuk klien. Kami memantau berita klien sekaligus pesaing klien dan industri yang dijalani klien. Nah, ringkasan berita itu ada yang sudah harus diterima oleh klien pada pukul sembilan pagi, baik dalam versi bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Ketika aku berangkat, jarum jam hampir menunjuk ke angka enam. Anak-anak kost ada yang baru bangun, ada yang sudah mandi dan bersiap-siap berangkat kerja. Aku berpapasan dengan Michelle yang baru saja menjemur handuk. Dia bekerja sebagai guru SD, jadi berangkat kerja lebih awal dari yang lain.
"Manohara kemarin bawa masuk cowoknya," kata Michelle, sambil memandang ke bawah, lalu membungkuk untuk meminggirkan gelas yang ada di depan kamar Manohara agar tidak kesenggol.
Manohara adalah julukan yang kami berikan untuk salah satu anak kost. Nama aslinya Manda, anak kuliah, yang wajahnya mirip sama Manohara. Orangnya cantik dan seksi, tapi joroknya minta ampun. Setiap kali habis mencuci pakaian, tempat cuci pasti berantakan. Dia juga suka meninggalkan gelas dan piring bekas di depan kamarnya. Tanpa peduli meskipun ada semut yang mengerubuti.
"Biasa," balasku. "Duluan ya," kataku sambil berjalan menuju tangga yang mengarah ke dapur.
Prang. Aku mendengar suara gelas pecah yang diiringi pekikan Michelle, "Oh, no!"
Aku menoleh ke belakang. Michelle sedang memunguti pecahan gelas yang tersebar di depan kamar Manohara. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Michelle si Ratu Clumsy pagi-pagi sudah memecahkan gelas.
Aku menuruni tangga yang bentuknya melingkar dengan hati-hati. Biasanya jam segini Mbak Yani dan Mbak Emi sedang sibuk di dapur, entah mencuci piring atau menanak nasi. Mbak Emi yang sedang mengelap piring melihatku dan langsung berjalan ke kamarnya untuk mengambil kunci pagar. Dia berjalan ke halaman dan membuka gembok. Aku mengambil sepasang sandal dengan kaki kananku dan memakainya. Ini adalah trikku agar tanganku tetap bersih.
"Makasih, Mbak," kataku sambil keluar dari halaman kost.
"Iya, Mbak," balas Mbak Emi sambil menutup pagar, lalu mengunci gemboknya.
Aku membenarkan letak tas yang kucangklong dan bersiap untuk berangkat.
"Pagi, Lalitya," sapa pemilik Oliver. Sampai sekarang aku belum tahu namanya.
"Pagi juga," balasku sambil memandang cowok yang memakai kaos oblong, celana pendek dan sneakers. Sepertinya, dia sedang mengajak Oliver jalan-jalan. Lalu, aku membelai kepala Oliver. Anjing itu menjulurkan lidah karena haus.
"Kailash. Panggil saja Kai." Cowok itu memperkenalkan dirinya tanpa diminta. Lalu, dia memamerkan senyum manis. "Kamu ngekost di sini?"
"Iya," jawabku. Aku melirik jam tanganku dan baru ingat kalau aku harus segera berangkat agar tidak telat. "Sorry, aku harus berangkat, nih."
"Kamu kerja di mana?" tanya Kai.
"Dekat sini," jawabku singkat. Kai manggut-manggut. "Aku berangkat dulu, ya." Aku melambaikan tangan ke arah Kai dan berjalan menuju kantorku.
"Hati-hati, ya!" teriak Kai.
Aku menoleh ke belakang dan melihat Kai sedang melambai ke arahku sambil tersenyum. Kemudian kualihkan tatapanku ke depan dan berjalan dengan tergesa-gesa. Sampai di kantor, aku langsung absen, lalu berlari menuju ruanganku.
"Pagi, Pak." Aku menyapa dua seniorku, Pak Barry dan Pak Musa yang duduk di depanku.
Komposisi meja kantorku tidak asyik karena tanpa sekat. Pemandanganku adalah dua seniorku itu. Meskipun, mayoritas pegawai di sini adalah cowok, tapi tidak ada eye candy.
"Pagi," jawab Pak Musa yang duduknya tepat di hadapanku.
"Sudah sarapan belum?" tanya Pak Barry sambil memasukkan sesuap bubur ayam ke mulutnya.
"Belum, Pak. Entar aja," jawabku sambil menyalakan komputer.
Tenggorokanku terasa tersumbat sehingga aku berkali-kali berdeham. Batuk yang sudah hampir setahun dan tak kunjung sembuh.
"Tuh batuk kenapa dibiarin? Ke dokter gih!" saran Pak Barry.
"Belum sempat, Pak," jawabku. Padahal, sebenarnya aku malas. Ibu juga sudah berkali-kali menyuruhku ke dokter.
Jarum jam menunjuk ke angka delapan, perutku sudah keroncongan. Aku berjalan ke dapur untuk mengambil sarapan, lalu kembali ke tempat dudukku. Sarapan sambil bekerja sudah menjadi kebiasaanku karena tuntutan pekerjaan. Kantor menyediakan sarapan untuk staf media monitoring, sedangkan bagian lain tidak mendapat jatah karena mereka masuk pukul sembilan.
Pukul dua belas siang, pegawai keluar untuk sholat dan makan siang. Aku memilih untuk membeli makan siang dan balik kost untuk makan dan mandi. Sudah setahun lebih aku bekerja di sini dan tetap tidak memiliki partner in crime. Beberapa cewek yang bekerja di sini tidak ada yang setipe denganku. Aku malah lebih sering mengobrol dengan pegawai cowok terutama yang sudah berkeluarga. Mereka menganggapku sebagai anak. Mereka juga sering memberiku makanan dan menasehatiku tentang banyak hal.
Satu jam kemudian, aku kembali ke kantor. Kebetulan hari ini sedang tidak banyak pekerjaan. Pukul tiga teng, aku langsung absen dan naik angkot ke tempat kursus fashion design. Dari kantorku cukup naik angkot sekali. Les berlangsung selama lima bulan, dengan jadwal Senin, Rabu dan Jumat pukul tiga sampai pukul lima sore. Aku sudah dua minggu mengukuti kursus. Yah, aku memang tidak pengin menjadi pegawai selamanya. Aku ingin memiliki clothing line sendiri.
Lima menit kemudian, aku sampai di tempat kursus. Tempat kursus itu berada di ruko dua lantai, berbagi dengan sekolah modeling. Aku masuk ke dalam dan disambut seorang cewek berambut keriting.
"Hai, Mbak Lalitya. Kelasnya sudah mulai lho," kata Mbak Yuli resepsionis di tempat kursus.
"Oke, Mbak," kataku sambil berjalan menuju tangga.
Kelasku ada di lantai dua. Pintu kelasku masih terbuka lebar, artinya masih ada murid yang belum masuk kelas. Aku masuk ke dalam kelas.
"Sore, Bu," kataku sambil berjalan menuju tempat duduk yang masih kosong.
Bu Sekar yang sedang menggambar croquis (baca: kroki) di papan tulis menoleh. "Sore," balas perempuan berkulit gelap itu.
Jumlah peserta kursus hanya lima orang. Semuanya perempuan dari berbagai usia dan pekerjaan. Ada yang ibu rumah tangga, pemilik toko online, mahasiswi yang sedang menunggu wisuda, mahasiswi semester akhir dan aku satu-satunya pekerja penuh waktu. Aku duduk di belakang Bu Vera, istri seorang polisi yang sering pindah kota karena mengikuti suami. Dia ingin membuka usaha sendiri dan mumpung suaminya dinas di Jakarta dia memanfaatkan kesempatan untuk kursus desain.
Beberapa saat kemudian, Celia seorang mahasiswa semester akhir, masuk ke ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia duduk di bangku yang masih kosong. Dasar, anak jaman sekarang, udah telat langsung masuk aja enggak pakai nyapa, omelku dalam hati.
Aku mengecek ponselku dan melihat ada pesan masuk dari Tristan. Terakhir ngobrol sama Tristan sehari sebelum wawancara kerja yang sampai sekarang tidak ada kabar.
Tristan : What's up?
Lalitya : Hi. Where are you?
Tristan: Luang Prabang, Laos. Gimana wawancaranya?
Lalitya : Enggak ada kabar.
Tristan : Jangan menyerah!
Lalitya : Jangan khawatir, aku belum menyerah.
Tristan : That's my girl. GTG. I'm going to drink with my friends.
Lalitya : Don't drink too much, or you will get wrinkle on your face and belly beer.
Tristan : Ok, Mum.
Lalitya: I'm not your mother.
Tristan : I know, you're too young to be my mother. TTYL.
Aku meletakkan ponselku di atas meja. Hidup ini memang aneh. Aku tidak tahu kenapa aku bisa mengobrol apa saja dengan Tristan, orang yang baru kukenal satu bulan lalu. Padahal, ada orang-orang yang sudah kukenal bertahun-tahun dan kami tidak pernah mengobrol.
Aku bertemu dengan Tristan sebulan lalu ketika liburan ke Thailand bersama Cesta dan Michelle. Akibat tergiur tiket murah kami kurang mempersiapkan segala sesuatunya. Ini diluar kebiasaan karena biasanya aku selalu merencanakan liburan berbulan-bulan sebelumnya. Kami membeli tiket penerbangan murah Jakarta-Phuket hanya 299 ribu dan tiket Bangkok-Jakarta seharga 500 ribu. Kami tidak mendapat tiket murah untuk penerbangan Phuket-Bangkok, dan terpaksa berangkat ke Bangkok terpisah. Cesta naik pesawat, aku dan Michele naik bus yang berbeda dengan jam keberangkatan berbeda.
Tristan adalah backpacker yang lebih cocok menjadi model pakaian dalam Calvin Klein. Dia kutemukan sedang tidur nyenyak di kursiku. Kami duduk sebelahan di bus. Sebenarnya, saat memesan tiket bus aku minta bangku tunggal agar tidak diganggu penumpang lain. Sayangnya, Mr. Pu, agen yang mengurus transportasi selama di Phuket, bahasa Inggrisnya kurang bagus dan tidak mengerti maksudku. Untungnya, Tristan adalah teman perjalanan yang tidak menyebalkan walau awalnya kami sempat rebutan tempat duduk. Kebetulan dia bisa bahasa Indonesia (dengan logat ala Cinta Laura) karena pernah bekerja di Jakarta selama tiga tahun. Dia enggan menyebut pekerjaannya. Dia hanya menyebutnya "boring job with great money."
"Oke, sekarang kalian bikin rancangan dengan elemen desain klasik elegan," terang Bu Sekar.
Aku langsung fokus ke depan dan mendengarkan penjelasan Bu Sekar mengenai elemen klasik elegan yang menonjolkan keanggunan pemakainya. Dengan warna netral dan bahan berkualitas tinggi. Bu Sekar juga memberi contoh elemen kasik desain sambil menggambar di papan tulis. Dia menggambar little black dress rancangan Givenchy yang dipakai Audrey Hepburn di film "Breakfast At Tiffany's."
"Untuk inspirasinya kalian bisa mencari rancangannya Chanel, Donna Karan atau Yves Saint Laurent. Hari ini kalian buat dua desain dulu, sisanya tiga desain untuk PR di rumah," lanjut Bu Sekar.
Siswa kursus mulai sibuk dengan ponsel pintar masing-masing dan mencari inspirasi. Tidak lama kemudian kami mulai menggambar desain sesuai keinginan kami.