Aku langsung berjalan cepat menuju jembatan penyeberangan.
"Kenapa tadi enggak bawa sandal apa sneakers, sih?" omelku karena tidak bisa berjalan cepat dengan sepatu yang kupakai.
Meskipun sudah jam masuk kantor, masih banyak pekerja kantoran berlalu lalang baik di jembatan penyeberangan maupun di trotoar. Beberapa di antara mereka ada yang berjalan dengan langkah cepat. Ada juga yang berjalan dengan santai dan membuatku ingin berteriak agar mereka berjalan cepat. Aku berkali-kali melirik jam tanganku. Untungnya, aku bisa sampai di tempat wawancara tepat pukul sepuluh.
"Pagi, Mbak. Saya ada janji wawancara," kataku pada seorang resepsionis berwajah masam yang duduk di meja resepsionis.
Dia memberiku selembar kertas. "Tolong diisi. Nanti kalau sudah selesai, balikin ya," kata cewek yang memakai baju satu ukuran lebih kecil itu tanpa senyum.
Aku mengambil kertas yang dia berikan, lalu mencari tempat duduk. Di ruang tunggu ada satu sofa panjang dan dua sofa tunggal. Ada seorang cewek yang duduk di salah satu sofa tunggal. Dia sedang mengisi kertas seperti yang kupegang. Aku menyimpulkan kalau dia adalah pesaingku dalam perebutan posisi Media Research Analyst di LSM yang bergerak dalam pembangunan desa ini. Aku duduk di sofa tunggal lain yang menghadap sofa yang diduduki cewek itu. Cewek berkacamata dengan rambut yang dikuncir ekor kuda itu mendongak, lalu tersenyum. Aku membalas senyumnya.
Aku membaca kertas yang diberikan oleh resepsionis. Lembar itu berisi beberapa pertanyaan singkat untuk psikotes. Sainganku sudah menyerahkan lembaran kertas ke resepsionis dan diminta masuk ke dalam untuk wawancara. Sementara aku masih fokus pada lembar jawaban. Setelah selesai menjawab semua pertanyaan, aku menyerahkan lembaran itu ke resepsionis. Dia memintaku masuk ruangan di sebelahnya. Di dalam ruangan itu ada seorang cewek berwajah bulat yang menyambutku. Dia memintaku duduk menghadap komputer.
"Mbak Audrey ini ada tes ya. Dikerjain di Word kalau sudah selesai di save ke Document, nama file nya nama lengkap Mbak!" perintah cewek itu.
"Oke, Mbak," balasku.
Cewek itu meninggalkanku. Tanpa membuang waktu aku langsung mengerjakan tes. Perhatianku teralihkan saat pintu di dekatku terbuka lebar. Sainganku keluar dari ruangan dengan wajah tegang. Dia melihatku, tapi hanya diam saja, tanpa senyum. Aku kembali memusatkan perhatianku pada tes yang sedang kukerjakan. Sepuluh menit kemudian, si wajah bulat datang dan memintaku masuk ke dalam ruangan di dekatku.
Aku masuk dan melihat ada seorang bule perempuan kira-kira berusia empat puluhan tahun duduk bersama seorang pria kulit hitam berkacamata. Bule itu berpenampilan sederhana, nyaris tanpa makeup. Wajahnya mengingatkanku pada Anita Roddick, pendiri The Body Shop. Rambut ikalnya digerai tanpa sentuhan sisir. Sangat berbeda dengan dua pegawai yang kutemui tadi. Mereka sama-sama full makeup.
"Have a seat please!" kata perempuan itu ramah. Aku duduk di depan mereka dengan gugup. "Well, I am Gertrude and this is Jackson," perempuan itu memperkenalkan dirinya dan cowok yang wajahnya mirip Didier Drogba.
"Hello. It's a pleasure to meet you," sapaku.
"So, tell me about yourself!" kata Gertrude.
"I am Audrey Lalitya Arundati. You can call me Lalitya." Aku memperkenalkan diriku. Setelah itu, Gertrude menghujaniku dengan berbagai pertanyaan mulai dari kenapa aku tertarik dengan pekerjaan ini hingga apa kelebihan dan kelemahanku, sedangkan Jackson hanya diam saja. Aku berusaha menjawab semua pertanyaan dengan baik.
"Ok. Any question?" tanya Gertrude.
"No," jawabku singkat.
"Ok. Thank you for coming. We will contact you later," kata Gertrude sambil mengulurkan tangannya.
"Ok. Thank you," balasku.
Kami bersalaman, lalu aku bersalaman dengan Jackson. Aku keluar ruangan dan langsung ke toilet. Paduan antara AC yang dingin dan grogi membuatku kebelet pipis.
Ponselku berdering saat aku keluar dari toilet. Ibuku menelepon.
"Gimana wawancaranya?" tanya Ibu.
"Doain aja keterima," balasku.
"Iya ibu doain. Kamu juga harus rajin berdoa," kata Ibu. "Ya sudah Ibu mau pergi dulu." Ibuku menutup telepon.
Aku balik ke kost melewati jalan yang sama dengan yang tadi kulewati. Aku berhasil sampai ke kost tanpa bertemu dengan teman sekantorku.
****
Sabtu pagi, aku jalan-jalan bersama Cesta dan Michelle di sekeliling kost. Setelah sarapan di dekat pasar, kami mampir ke taman. Sekarang kami dalam perjalanan balik ke kost. Biasanya hari Jumat sore atau Sabtu pagi aku dan Cesta balik ke rumah orang tua kami di Cibubur. Kemarin hujan turun dengan deras seharian yang diikuti dengan genangan air di mana-mana dan macet. Jadi, kami memutuskan pulang ke Cibubur hari ini untuk menghindari macet. Kami sengaja berangkat agak siang karena malas bangun pagi.
"Eh anjingnya lucu," teriak Cesta saat melihat seekor anjing Golden Retriever berbulu cokelat terang yang sedang berjalan ke arah kami bersama seorang cowok bercelana pendek.
"Anjingnya ganteng," sahut Michelle.
Cesta dan Michelle memang penggemar berat anjing. Aku juga suka anjing, tapi bukan penggemar berat kayak mereka. Anjing dan cowok itu semakin dekat. Wajah cowok itu familier. Ternyata, dia adalah cowok yang memberiku tumpangan beberapa waktu lalu. Cowok itu berhenti di depan kami karena Cesta dan Michelle menyapa anjingnya.
"Hai," kata Cesta sambil membelai kepala anjing itu. Anjing itu duduk dan menjulurkan lidahnya. Kaki depan bagian kanannya juga menggapai-gapai tangan Cesta.
Aku mengamati wajah cowok itu. Dan, masih belum menemukan jawaban kenapa dia familier. Apa karena dia tinggal di daerah sini? Artinya, aku pernah melihatnya sebelum pertemuan kami dua minggu lalu. Ketika Cesta dan Michelle asyik bermain dengan anjing, aku sibuk berpikir.
"Namanya siapa?" tanya Michelle sambil mengajak anjing itu salaman. Anjing itu menanggapi perintah Michelle dengan baik.
"Oliver," jawab cowok itu sambil mengendurkan pegangan tali kekang Oliver. "Kalian tinggal dekat sini?"
"Iya," jawab Michelle.
"Nama kalian siapa?" tanya cowok itu.
"Michelle," kata Michelle sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Cesta," kata Cesta sambil berdiri.
"Yang satu enggak punya nama?" tanya cowok itu sambil menatapku. Dari tadi aku hanya melihat Cesta dan Michelle bermain dengan Oliver. Ngapain juga dia nanyain nama kami?
"Lalitya," jawabku malas.
"Gimana wawancara kerjanya?" tanya cowok itu. Cesta dan Michelle berhenti bermain dengan Oliver dan menatap kami dengan wajah penasaran.
"Masih nunggu pengumuman," jawabku singkat. Sampai sekarang belum ada kabar. Setiap hari aku menunggu kabar dari mereka.
"Kemungkinan besar enggak diterima," kata cowok itu tanpa beban.
Ih sok tahu, batinku. Perkataan cowok itu merusak mood-ku. "Balik yuk, sudah jam sepuluh nih. Kita kan mesti balik Cibubur, Ces. Duluan ya," kataku sambil jalan duluan.
"Oke," jawab Cesta. "Dadah Oliver." Cesta melambai ke arah Oliver lalu berjalan menuju kost.
"Dadah Oliver," kata Michelle sambil berjalan mundur, seolah tidak mau meninggalkan Oliver.
"Dadah juga," kata cowok itu.
Cesta dan Michelle berjalan di sampingku. Kost kami sudah dekat, tinggal sepuluh meter lagi.
"Hayo, cowok tadi siapa?" tanya Cesta penasaran. "Tipemu banget."
"Bukan siapa-siapa dan bukan tipeku," jawabku.
"Ketemu di mana, Mbak? Kok tahu soal wawancara Mbak." tanya Michelle sambil membersihkan sepatunya dari permen karet dengan sebatang kayu.
"Ketemunya pas mau berangkat wawancara," jawabku sambil memencet bel kost kami.
Peraturan di kost kami sangat ketat. Kunci pagar hanya dipegang oleh dua orang pembantu yang berjaga di kost kami. Penghuni kost tidak berhak memegang kunci. Aku sering kasihan dengan Mbak Yani dan Mbak Emi yang jam tidurnya berkurang saat ada anak yang pulang malam atau orang yang berangkat kantor pagi seperti aku.
Mbak Yani membuka pintu pagar dan membiarkan kami masuk. "Darimana, Mbak?" tanya Mbak Yani sambil menutup pagar dan menggemboknya.
"Jalan-jalan," jawabku.
Aku, Cesta dan Michelle berjalan ke kamar kami yang berada di lantai dua. Setelah mandi, aku dan Cesta pulang ke Cibubur naik bus kompleks yang lewat Semanggi pukul dua belas siang. Kami balik ke kost Minggu sore.