26 Days : Koi of Love [COMPLE...

By MRX-CLAY

88.2K 4.8K 306

Demi perasaan cintanya, ia mencoba peruntungan selama 26 hari. Sebuah mitos yang belum tentu ketepatannya, ta... More

Prolog
1st Day : Abadi
2nd Day : Bebas
3nd Day : Cahaya
4th Day : Demam
5th Day : Embun
6th Day : Firasat
7th Day : Gunung
8th Day : Hinata
9th Day : Ingatan
10th Day : Jujur
11th Day : Kalah
12th Day : Lahir
13th Day : Magatama
14th Day : Naruto
16th Day : Pacar
17th Day : Queen
18th Day : Rival
19th Day : Surat
20th Day : Tragedi
21th Day : Usai
22th Day : Vas
23th Day : Warna
24th Day : Xenophobia
25th Day : Yakin
26th Day : Zaman
Cerita Baru

15th Day : Obat

2.5K 157 7
By MRX-CLAY


Disaat aku terluka, entah itu luka dalam atau luar. Sesuatu yang mengeluarkan darah atau tidak, itu tidak menjadi masalah bagiku. Karena dengan keberadaan Naruto saja, luka itu sudah sembuh dengan sendirinya. Rasa sakit yang awalnya kurasakan, sudah menghilang karenanya. Meski Naruto sendiri yang membuatku terluka, tapi Naruto sendirilah yang juga menyembuhkannya. Yah. Naruto adalah obat bagiku.

Apakah aku juga bisa menjadi obat untuk Naruto?

26 Days : Koi of Love

'Terima kasih sudah datang ke pernikahanku, Hinata!'

PATS. Mata itu terbuka seketika, ia memegang kepalanya yang sedikit terasa pusing, "Ugh. Mimpi buruk." diiringi dengan sinar mentari, yang masuk melalui celah jendela kamarnya.

Matahari sudah mulai menunjukkan sosoknya, dan sudah menjadi kebiasaan bagi seorang Hinata untuk bergegas masak. Bukan kebiasaan juga sih, karena hari ini adalah jatah dirinya memasak. Jadi tidak boleh terlalu santai, karena hari ini juga sekolah. Masak sarapan pagi, dan masak untuk bekal. Mungkin akan membutuhkan waktu yang lebih lama dari biasanya. Kemarin Hinata sudah janji pada Naruto akan membuatkannya bekal, setidaknya untuk menghibur Naruto yang baru saja tertimpa musibah. Mungkin saja dengan memakan masakan Hinata, hati Naruto akan kembali normal.

"Tapi, kenapa ada kejadian tidak terduga begitu sih?" tanya Hinata menuruni anak tangga secara perlanan, sesekali menguap karena masih merasa ngantuk.

Hinata memang tidak tahu kejadian pastinya bagaimana. Tapi, bisa-bisanya merobek baju anak perempuan di tempat umum. Kalau kejadian seperti itu terjadi pada Hinata, sudah pasti Hinata tidak akan berani masuk ke sekolah lagi. Hinata menggeleng-gelengkan kepalanya, ia harus konsentrasi sebelum masak. Bisa-bisa nanti tangannya terpotong, atau mungkin masakannya nanti gagal. Ia masuk ke dapur dan mengambil bahan-bahan dari dalam kulkas.

"Baiklah! Waktunya memasak."

Cuci beras, membersihkan sayuran, potong-potong sayuran, keluarkan bahan-bahan yang dibutuhkan. Selama kegiatannya memasak, masih aman-aman saja, tapi saat bagian merebus, pikirannya melayang ke mimpi tadi. Mimpi itu, melewati lima detik, pasti akan dilupakan, 'kan? Tapi ini kenapa masih diingat?! Sudah sepuluh menit Hinata mengingatnya.

"Ugh." Hinata menundukkan kepalanya, mengingat-ingat mimpi itu lagi. Naruto menikah dengan gadis yang begitu cantik, meski Hinata tidak dapat melihat jelas sosok gadis yang ada di sana. Naruto terlihat sangat bahagia, tapi kenapa Hinata malah tidak dapat merasakan kebahagiaan itu?

"Untungnya cuma mimpi," kejadian seperti itu, tidak mau Hinata ingat-ingat lagi. Cukup hanya di dalam mimpi saja, dan tidak usah dimimpikan lagi. Ia tidak mau kalau sampai mimpi itu menjadi kenyataan.

"Mimpi buruk ya, kak?" tanya Hanabi yang baru saja masuk ke dalam dapur, ia mau menemani Hinata memasak. Tapi sepertinya tidak ada yang bisa dibantu lagi. Karena masakan Hinata sudah hampir selesai.

Hinata mengangguk, "Mimpi kak Naruto menikah sama orang lain ya?" tanya Hanabi kembali. Hinata mengangguk lagi, "Oh begitu, perkiraanku tepat ternyata." Hanabi melihat masakan Hinata. "Mau luber tuh kak," peringat Hanabi.

Hinata melihat masakannya, ia kaget dan langsung mematikan kompor. Hampir saja kompor kotor dengar air butek yang digunakan untuk merebus. "Makasih sudah dikasih tahu ya," ucapnya dan meniris rebusan itu.

Tapi ada yang aneh, kenapa Hinata tidak kaget mendengar Hanabi yang tahu tentang mimpinya ya?

Satu jam kemudian, akhirnya semuanya telah selesai makan. Sarapan pagi, sudah beres. Hinata memasak masakan yang gampang dimakan, tidak terlalu berat tapi enak. Biasanya 'kan orang malas sarapan pagi, jadinya begitu. Bekal untuk Hiashi, Neji, Hanabi, Naruto, dan untuk Hinata sendiri pun juga sudah siap. Tapi bekal untuk Naruto beda sendiri, karena ini spesial.

Hinata melihat jam dinding di ruang makan, sudah waktunya untuk bersiap-siap. Satu setengah jam lagi sekolah akan dimulai, jadi Hinata harus bergerak dengan cepat. "Terima kasih atas makanannya," ucap semua orang yang ada didalam sana.

Seperti hari-hari biasanya, setelah usai makan, pasti selalu ada acara pembicaraan antara ayah dan anaknya. Ini dilakukan agar keluarga Hyuuga dapat lebih dekat dari sebelum dan sebelumnya.

"Neji, bagaimana sekolahmu?" tanya Hiashi, diawali bertanya pada anak yang tertua dulu. Bagus juga sih memiliki anak tertua laki-laki, jadi bisa melindungi adik-adik perempuannya.

"Lumayan," jawab Neji dan kembali meminum kopi susu panas tersebut. Tidak perlu menjawabnya panjang-panjang, yang penting ayahnya sudah tahu kalau di sekolahnya, Neji baik-baik saja.

"Kalau Hinata?" mata Hiashi kini tertuju pada Hinata. Karena Hiashi merasa tidak ada masalah pada Neji, jadi langsung saja ke Hinata.

"Baik," jawab Hinata gugup. Kalau diintrogasi seperti ini, Hinata lumayan tidak suka. Biasanya suka nyangkut ke orang yang namanya Naruto. Pasti selalu seperti itu, walaupun pembicaraan tidak mengarah ke sana.

"Masih berapa lama kamu pulang malam?" tanya Hiashi, gini-gini Hiashi orang tua yang sedang khawatir pada anaknya, lho. Salah satu anak perempuannya, pulang malam hampir setiap hari. Bagaimana tidak khawatir? Tapi ada orang yang selalu mengantarnya sih, tapi tetap saja.

"Seperti yang ayah lihat, dua minggu pulang malam, dan sampai sekarang aku masih berada di sini." jawab Hinata percaya diri. Walaupun pulang malam, Hinata masih dapat berdiri di hadapan keluarganya. Jadi, tidak ada masalah. Hinata selamat-selamat saja, yah karena ada Naruto juga sih.

Kalau tidak ada Naruto, mungkin Hinata akan takut. Dunia malam yang dilihatnya, benar-benar menakutkan. Anak-anak tidak benar ada dimana-mana, om-om yang suka usil masih saja ada, petugas keamanan yang berjaga pun hanya sedikit. Benar-benar beruntung ya Hinata memiliki Naruto.

"Bagus, kalau Hanabi?" Hiashi beralih pada Hanabi, Hiashi hanya mendapatkan anggukan dari Hanabi. "Tanya kak Hina lagi saja," kata Hanabi kemudian. Sebenarnya Hanabi juga penasaran dengan kisah cinta kakaknya dengan Naruto.

"Eh?!" Hinata yang merasa tidak suka meresponnya dengan cara seperti itu. Kenapa berbalik kepadanya lagi? Padahal Hinata kira ia sudah bebas dari intrograsi.

"Lalu, satu kotak bekal makanan yang lebih satu itu, untuk bocah pirang itu?" sungguh ini adalah pertanyaan yang tidak mau didengar oleh Hinata. Akhir-akhirnya, beneran melesat ke Naruto, 'kan? Ke Naruto, 'kan?

Hinata mengangguk, "Yah. Aku hanya ingin Naruto memakan masakan rumahan." jawab Hinata. Yah. Bagaimana pun, Hinata senang dapat masak untuk Naruto. Naruto 'kan jarang memakan masakan orang lain. Hanya membeli dan memakan yang instan-instan saja, dan itu tidak sehat.

Hiashi jadi berpikir, Naruto yang tinggal sendiri itu, pasti selalu makan diluar. Kalau makan d rumah pun, hanya makanan instan saja. 'Dua orang itu terlalu cepat untuk pergi meninggalkan anaknya.' batin Hiashi. "Kalau begitu, kapan-kapan ajak bocah pirang itu ke rumah. Kita akan makan malam bersama," ucap Hiashi dan bangun dari posisi duduknya.

"Eh? Benarkah?" tanya Hinata tidak percaya. Tumben-tumbenan ayahnya mau mengajak Naruto untuk makan malam bersama. Tapi saat ini, Hinata benar-benar senang mendengarnya. Mungkin saja terlihat seperti berbinar-binar.

Hiashi mengangguk, dan semangat Hinata pun bergejolak luar biasa. "Selamat ya," kata Neji dan berlalu dari sana. Walaupun tidak mengerti dengan ucapan kakaknya sendiri, yang pasti Hinata senang. Tadi Neji memberikan selamat karena Hiashi sudah mulai menerima Naruto, 'kan?

"Kak," Hanabi memanggil Hinata yang masih saja senang sendiri. Hinata menengok ke arah Hanabi, "Ada apa?" tanyanya. "Ayo cuci piring," ucap Hanabi to the point. "Oh, ayo." dan dimulailah sesi cuci piring bagi para gadis.

˚°◦ ◦°˚ ◐ 15th Day ◐ ˚°◦ ◦°˚

"Ini." Hinata menyerahkan kotak bekal yang sudah disediakannya dengan sempurna untuk Naruto.

Naruto melihat kotak itu dengan mata berbinar. Bekal yang sudah ditunggu-tunggu olehnya, benar-benar sudah ada di tangannya! Tidak sabar untuk menyantap bekal itu rasanya. Kapan istirahatnya ya?

"Ayo makan," ajak Hinata.

Ah! Iya juga ya. Sekarang sudah waktu untuk istirahat, waktu benar-benar cepat berlalu. Naruto jadi buru-buru duduk di bangku taman dan membuka kotak bekal itu. Keberadaan Naruto dan Hinata pasti ada di taman, itu adalah tempat yang nyaman untuk makan siang.

"Huaaa." matanya makin berbinar setelah membuka kotak bekal dan melihat apa yang ada didalamnya. "Ramen!" seru Naruto bergembira. Ternyata ini yang dibuat Hinata tadi pagi dengan cara merebusnya. Makanan kesukaan Naruto, kini sudah siap untuk disantap. "Hinata bikin ramen?" tanya Naruto melihat Hinata.

'Silau.' batin Hinata sedikit menyipitkan matanya. Bukan Naruto yang silau, tapi karena ada terpaan matahari makanya Naruto jadi terlihat bercahaya dimata Hinata. "Iya," jawab Hinata.

"Untukku?" tanya Naruto.

Hinata mengangguk, "Ramen ini akan menjadi obat yang menghilangkan kenangan buruk yang ada di pikiran Naruto." ucapnya mengangkat jari telunjuknya.

Naruto bengong melihat tingkah Hinata, apa yang diucapkannya tadi? "Hahaha! Kamu ini ada-ada saja!" serunya mengacak-acak rambut Hinata. Hinata jadi merasa malu dan membenarkan rambutnya yang berantakan.

"Tapi itu tidak ada salahnya, makasih ya." kata-kata yang diiringi senyuman itu, benar-benar membuat hati Hinata lega. Inilah senyuman Naruto yang ingin dilihat oleh Hinata, senyuman asli Naruto.

"Tapi bukan ramen ini yang menjadi obatnya," Hinata bengong mendengar kata-kata Naruto barusan. Ramen buatannya bukan menjadi obat? Tapi 'kan tadi Naruto bilang tidak ada salahnya. Lalu apa dong?

"Tapi kamulah yang menjadi obatnya!"

BLUSH. Apa ini? Siang-siang bolong begini, Naruto membuat Hinata jadi malu hanya dengan kata-katanya saja.

'Aku obatnya? Apa aku tidak salah dengar?' batin Hinata memegang wajahnya, tapi senang juga sih mendengarnya. Kalau seperti ini, bisa-bisa Hinata salah beranggapan kalau Naruto suka sama Hinata. Hanya karena kata-kata seperti itu saja, tidak boleh mengambil keputusan sendiri.

"Sudah ah! Kapan makannya kalau bicara terus?" Naruto yang sudah tidak sabar memakan bekal itu pun langsung mengambil sumpit dan melahapnya. "Enak!" serunya, rasanya seperti ingin nangis saja memakan makanan seenak ini.

Yah. Terasa lebih enak karena makan bersama dengan orang yang disukai. Rasanya, Naruto selalu mau melakukan hal seperti ini. Makan sendirian itu, rasanya benar-benar tidak enak. Sama seperti halnya dengan tidak ada yang menyambut saat pulang ke rumah. Terasa hampa.

Melihat tangan Naruto yang berhenti, Hinata jadi berpikiran aneh. "Makanannya tidak enak ya?" tanyanya khawatir. Kalau benaran tidak enak bagaimana? Kata-kata yang diucapkan berbeda dengan yang ada di hati. Bagaimana? Itu sama saja seperti memaksa Naruto berbohong demi kebahagiaan Hinata.

"Tidak, enak kok. Hanya saja, setelah dipikir-pikir, makan makanan yang khusus dibuatkan untuk kita itu, rasanya menyenangkan ya?" Hinata menatap Naruto sedih, rasanya, Hinata dapat mengerti apa ucapan Naruto tadi. Perasaan yang Naruto rasakan pun, dapat dirasakan oleh Hinata.

"Oh iya, ayah mengajak Naruto untuk makan malam bersama." baru saja Hinata mengingatnya, Hiashi 'kan tadi bilang ajak Naruto untuk makan malam. Kapan-kapan sih katanya, tapi kalau secepatnya tidak apa, 'kan? Hinata hanya mau melihat senyuman di wajah Naruto.

"Tidak salah ayahmu bilang begitu?" tidak percaya dengan apa yang dikatakan Hinata, Naruto malah bertanya begitu. Bisa dibilang, ayahnya Hinata itu tidak terlalu suka dengan Naruto, 'kan? Tapi kok.

Hinata mengangguk, "Tapi terserah Naruto saja sih mau atau tidak." Hinata juga tidak boleh seenaknya menentukan jadwal Naruto. Naruto mau ngapain, itu terserah Naruto. Kalau malam ini Naruto ada urusan, 'kan jadi tidak enak.

"Tentu saja aku mau! Siapa sih yang tidak mau makan bersama seperti itu? Apalagi 'kan yang masak benar-benar koki yang hebat!" seru Naruto berlebihan, dan itu membuat Hinata tertawa.

"Terima kasih," melihat senyuman Hinata, Naruto jadi malu sendiri. Ia menggaruk-garuk pipinya yang tidak gatal. Kejadian seperti ini, sama seperti yang pernah dialaminya dulu. Saat bersama dengan Sakura, merasa malu sehingga tidak dapat membalas ucapan sang gadis lagi. Tapi lupakan itu, sekarang ia merasakan perasaan seperti ini lagi. Tapi lebih, lebih dari sebelumnya.

'Kenapa aku tidak menyadarinya dari dulu ya?' Naruto kembali memakan ramen itu, melihat Hinata yang sendang makan juga. 'Kalau ada gadis yang begitu berharga, didekatku.' batinnya berkata.

Selama ini, ia selalu melihat Sakura yang memang tidak mungkin akan menjadi miliknya. Selalu melihatnya, sampai-sampai tidak menyadari, kalau ada harta yang lebih penting. Lebih penting dari apapun, bahkan lebih penting dari nyawanya sendiri.

Katanya, kalau kita berani mengorbankan nyawa demi dia, itu namanya cinta. 'Jadi, aku sudah benaran jatuh cinta dengan Hinata ya?' adem benar perasaan Naruto, ditambah sama angin sepoi-sepoi pula. 'Kenapa tidak dari dulu saja ya aku menyadarinya?' dan inilah kesalahan terbesar Naruto. Melihat yang jauh dulu, baru melihat yang dekat.

'Setidaknya, aku sudah mengetahui apa yang berharga untukku sekarang,'

Teng. Tong. Teng. Bel istirahat selesai berbunyi, untungnya bekal mereka juga sudah habis. Rasanya benar-benar menyenangkan menghabiskan waktu berdua untuk makan siang.

"Kapan-kapan seperti ini lagi ya!" Naruto menutup kotak bekal itu dan diserahkanya pada Hinata. Kasih orang kotak yang sudah kosong, sudah begitu kotor.

"Iya," tapi kalau mau seperti itu, memang harus begitu, 'kan? Tidak mungkin Naruto membawa kotak bekal itu pulang dan dicuci oleh Naruto sendiri.

"Hari ini benar-benar menyenangkan, terima kasih ya." Naruto berkata seperti ini seakan waktunya mau selesai saja.

"Tapi hari ini belum berakhir," masih ada setengah hari lagi baru akan selesai, jadi kata-kata Naruto tadi, agak sedikit salah.

"Yah. Tidak apa dong. Karena belum berakhir, pasti masih ada kesenangan yang akan datang, 'kan?" kata Naruto dan menyilangkan tangannya di belakang kepalanya.

Melihat Hinata yang jalan duluan, membuat Naruto termengun. Bukannya, ada yang harus dilakukan oleh Hinata sebelum pergi ya? "Hei. Si putih tidak dikasih makan?" tanya Naruto.

Hinata terhenti dan berbalik, "Oh iya," Hinata berlari kecil mendekati kolam dan memberi makan koi putih yang dari tadi menunggu makanannya.

Walaupun Naruto tahu Hinata melakukan itu untuk mendapatkan perasaannya yang terbalas, tapi Naruto tetap mengingatkan Hinata. Bisa saja, Naruto tidak mengingatkan Hinata agar usaha selama dua minggu Hinata jadi sia-sia. Tapi, Naruto tidak sejahat itu untuk membuat Hinata bersedih.

'Apapun keputusannya, akan aku terima.'

˚°◦ ◦°˚ ◐ Obat ◐ ˚°◦ ◦°˚

"Kubunuh kau, BO-CAH!"

"Beraninya kau sama adik manisku, HAH?!"

"Ups,"

Aura gelap yang keluar dari dua pria Hyuuga ini, membuat sosok yang melihatnya, jadi takut setengah mati.

"Gyaaaa!"

Kejadian ini, terjadi karena beberapa jam yang lalu.

FLASHBACK

"Sudah?" tanya Naruto sedikit berteriak dari bangku taman agar suaranya sampai pada Hinata. Hinata menengok ke Naruto, "Sudah," katanya sebentar dan kembali melihat pada koi hitam.

Naruto menopang dagunya, melihat Hinata yang berjongkok di pinggiran kolam. "Manis," katanya dan tersenyum. Merasa bosan dengan kesendiriannya, ia berdiri dan menghampiri Hinata, dan berjongkok di sebelahnya.

"Apakah hari ini jadi makan malam bersama?" tanya Naruto penasaran, Hinata mengangguk. "Apakah sudah mau pulang sekarang?" tanya Naruto kembali, dan Hinata pun kembali mengangguk. "Bagus! Aku sudah tidak sabar," katanya dan berlari mengambil tas yang ada di bangku taman.

"Kalau begitu, ayo ke rumah!" seru Naruto bersemangat dan memegang pergelangan tangan Hinata untuk berlari. Sepertinya Naruto sudah tidak sabar untuk makan malam bersama.

Sesampainya di rumah Hinata, tentu saja Hinata menyuruh Naruto masuk. Yah. Ada tatapan tajam menusuk dari Hiashi sih. Itulah yang selalu dilakukan Hiashi sebelum menyambut kedatangan Naruto. Sehingga langkah kaki Naruto selalu tertahan d idepan pintu.

"Selamat malam om," sapa Naruto, gugup juga menghadapi ayah mertua. Mulai sekarang Naruto harus menjaga sikap pada Hiashi agar nanti Naruto diterima menjadi menantu.

Hiashi menatap Naruto datar, "Saya tahu tujuanmu apa," katanya langsung, dari sini Naruto jadi tambah gugup. Hinata hanya tertawa kecil melihat tingkah lucu Naruto.

Naruto menelan ludahnya, begitu mudahkah Hiashi membaca keinginan Naruto? "Eh? Begitu ya?" tidak dapat membalas kata-kata Hiashi, ia hadi bertingkah bodoh.

Hiashi menghela napasnya, berbalik masuk ke dalam rumah. "Ayo masuk," katanya berjalan pergi.

Naruto dan Hinata melihat Hiashi sampai menghilang, mereka berdua saling pandang. Mengutarakan kebahagiaan keduanya dengan cara menepukkan tangannya pada tangan yang lain.

"Asyik." seru Naruto bahagia.

Menyadari tangannya menyentuh tangan Naruto, Hinata langsung melepaskan tangannya dan berpaling. Naruto yang heran melihat tingkah Hinata jadi sedikit mengintip, sebenarnya Hinata kenapa? Dilihatnya wajah Hinata yang memerah, membuatnya jadi malu. Hanya dengan berpegangan tangan saja, bukan pegangan juga sih, sudah bisa membuat orang sampai malu gitu ya? Naruto jadi ikut-ikutan melihat arah berlawanan dan menggaruk-garuk pipinya.

'Manis,' pikir Naruto.

Sedangkan dari balik pintu, ada tiga penguntit yang melihat kejadian tadi.

"Anakku." seru Hiashi tidak percaya melihat tingkah Hinata. Hinata benaran menyukai bocah pirang itu ya!? Tanyanya tidak percaya dalam hati.

"Yah. Melihat ekspresi Hinata yang seperti ini, jadi ingat sama dia." ucap Neji mengingat orang yang disukainya, yang sudah pasti sudah menjadi pacarnya sejak lama.

"Inilah masa muda." sedangkah Hanabi malah mengomentarinya bagaikan ibu-ibu. Sisa nunggu jatah Hanabi untuk mencarinya deh.

Kembali pada Naruto dan Hinata, sudah satu menit mereka berdiam diri seperti itu. Hiashi yang tidak suka jadi memunculkan dirinya kembali. "Ehem," inilah cara Hiashi agar disadari oleh Hinata dan Naruto.

"Makan?" Hiashi mulai bertanya, tapi Naruto dan Hinata hanya bengong melihat Hiashi. "Kapan ya?" lanjut Hiashi, disini Hinata baru sadar. Hinata 'kan harus masak untuk makan malam!

"Akan kulakukan!" seru Hinata dan berlari meninggalkan tempat itu. Sebelum memasak, tentu saja Hinata harus ganti baju dulu. Kalau noda terkena seragam, akan bahaya karena sulit untuk dibersihkan.

Naruto bengong melihat Hinata yang melesat. Kalau Hinata tidak ada, apa yang harus dilakukan Naruto sekarang?! Hanya berdua dengan orang yang tidak menyukai dirinya. Hanya berdua dengan Hiashi, yang tidak menyukai Naruto. Apakah akan ada pertumpahan darah? Tidak mungkin.

"Sampai kapan disana? Ayo masuk ke dalam." lagi-lagi Hiashi menyuruh Naruto untuk masuk ke dalam rumah. Lagian disuruh masuk, malah bengong di depan pintu. Tidak takut kesurupan sesuatu kali ya.

"Iya!"

Dan sekarang, posisi mereka berada di ruang makan. Semuanya makan dengan tenang, tidak ada yang berbicara sama sekali. Melihat keadaan ini pun, Naruto jadi sedikit tidak enak, rasanya sepi. Tapi melihat cara makan Hinata yang begitu menawan, sedikit demi sedikit menghilangkan rasa tidak enaknya.

Sepuluh menit berlalu, semua orang yang makan pun telah selesai. Seperti biasa, setelah Hiashi selesai minum, akan banyak pertanyaan yang diluncurkan olehnya. Hanya perlu mempersiapkan diri saja.

"Tidak ada yang perlu kutanyakan pada Neji, sudah aman." Neji mengangguk-angguk menanggapi ucapan Hiashi. Akhirnya, untuk saat ini, Neji terlepas dari pertanyaan-pertanyaan Hiashi.

"Hanabi pun begitu," Hanabi mengacungkan jempolnya pada Hiashi, setuju dengan ucapan ayahnya. Selama Hanabi masih hidup, tidak akan ada masalah yang datang padanya.

"Tapi, untuk kedua orang ini..." perkataan Hiashi terhenti, dan membuat orang yang dimaksud jadi gugup seketika.

"Hubungan kalian berdua sudah sejauh apa?" pertanyaan yang dilontarkan oleh Hiashi, membuat keempat orang yang ada di ruang itu jadi kaget.

Karena kaget, Neji jadi memuntahkan kembali minumannya. Karena kaget, Hanabi kehilangan kesadarannya, bengong maksudnya. Karena kaget, wajah Hinata jadi memerah seketika. Dan karena kaget, Naruto kehilangan keseimbangannya dan terjatuhlah dia.

BRUK! Hantaman yang begitu keras dipadukan dengan suara bangku yang menghantam lantai. Tidak ketinggalan dengan suara rintihan Naruto yang kesakitan.

"Rasakan," ledek Neji dengan nada datae setelah tidak kaget lagi.

Dahi Naruto berkerut, sungguh ia kesal dengan ucapan Neji. Kalau diledek sih tidak apa, tapi ini meledek dengan ekspresi datar lho! Sesuatu bukan? Tapi setidaknya ia harus bersabar, Neji nanti akan menjadi kakak iparnya. Bersabarlah Naruto.

"Kami tidak ada hubungan apa-apa kok, hanya sebatas teman saja." jawab Naruto saat ia sudah kembali pada posisi yang benar.

"Teman ya?" tanya Hiashi menyelidiki.

'Teman ya?' sedangkan Hinata hanya sedih mendengar ucapan Naruto tadi. Hanya sebatas teman ya? Tidak lebih, untuk saat ini.

'Teman ya? Tadi aku bilang teman?' sebenarnya, Naruto juga tidak suka dengan ucapannya tadi. Padahal Naruto menginginkan lebih, bukan hanya sekedar teman saja.

Perasaan sukanya belum sampai tiga hari, tapi perasaan ingin selalu bersama dengan Hinata, sudah belasan tahun. Mungkin inilah yang membuat Naruto tidak suka dengan ucapannya sendiri.

"Ah! Tangan Naruto berdarah," mata Hinata baru saja menangkap darah pada tangan Naruto. Mungkin luka itu terjadi karena jatuh tadi, tidak sengaja tergores sisi tajam bangku yang diduduki Naruto.

"Eh? Benar," Naruto saja baru sadar setelah diberitahu Hinata. Hiashi jadi merasa bersalah karena menanyakan pertanyaan yang membuat kaget semuanya.

"Aku ambil kotak P3K dulu," Hinata berdiri dari bangkunya dan berlari untuk mengambil kotak P3K. Tapi sayangnya, ia jadi tidak memperhatikan langkahnya.

JDUAK. Naruto jatuh untuk yang kedua kalinya, untuk menyelamatkan Hinata. Gara-gara kejadian inilah dua keluarga Hyuuga jadi marah. Bagaimana tidak marah ya?

FLASHBACK : END

"Kubunuh kau, BO-CAH!"

"Beraninya kau sama adik manisku, HAH?!"

"Ups,"

Apa yang sebenarnya membuat Hiashi dan Neji marah? Bahkan Hanabi mengucapkan 'ups' sambil memegang mulutnya dengan nada malu-malu tapi senang begitu? Setelah Naruto mencoba menyelamatkan Hinata yang terjatuh, posisi apa yang terjadi? Inilah lanjutan yang ketinggalan dari posisi jatuh Naruto dan Hinata dua hari lalu, di rumah Naruto. Yah. Kalian tahu apa posisi yang dimaksud.

"Gyaaa!" teriak Naruto ditemani dengan Hinata yang pingsan karena malu setengah mati. Amarah Hiashi dan Neji jadi tertunda deh karena melihat Hinata yang pingsan.

"Kita lanjutkan nanti,"

Maksudnya, kejadian menyeramkan itu, akan dilanjutkan lagi gitu!?

'Tolong aku.!'

◐ To Be Continue ◐

Akhirnya bisa nulis cerita ini lagi fyuhhh maaf ya yang sudah nunggu

Continue Reading

You'll Also Like

174K 9.3K 44
[π‘ͺ𝑢𝑴𝑷𝑳𝑬𝑻𝑬𝑫]βœ” ❝Highest rank : #1 Boruto [01/07/20] #1 Sarada [24/07/20] #2 borusara [16/08...
1.1M 55.6K 48
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
36.7K 5.5K 17
Awalnya berniat mencari portal menuju ke Perkemahan Blasteran karena sebuah mimpi, Leon dan keenam temannya justru masuk ke sebuah kastil misterius d...
3.4K 433 27
New cover is in progress Temporary cover by ibis paint Hidup sengsara karena tekanan seseorang yang bahkan tak menyayanginya sebagai keluarga. Cobaan...