Bandung - Jogja.....The Harde...

By AditPrasetya0

169K 9.2K 1.1K

Tidak mudah memang untuk membuat hubungan saling percaya. Sangat mudah diucapkan, sangat mudah di angankan... More

DISCLAIMER
Chapter 1. Crawl-Run-Jump-Fly
Prolog
Chapter 2. Family Trip - The Drama of Love.
Chapter 3. End of Holiday, End of "Fucking" Love
Chapter 4. I Need Pandora Still Closed
Chapter 5a. Menebar Pesona, Menebar Bom Waktu
Chapter 5b. Menebar Pesona, Menebar Bom Waktu
Chapter 6. Saat Sebagian Kecil Bom Meledak
Chapter 7. Cinta Yang Terlalu Banyak Segi
Chapter 8. Rizki......Someone From My Past
Chapter 9. Small Part of Missing Puzzle
Chapter 10. Sebuah Catatan Liburan
Chapter 11. Vira and Her Mom...Sebuah PR Juga
Chapter 12. Weird Relationship
Chapter 13. Kembalinya Om Abang
Chapter 14a. Art3Logic....That's We Are - Jakarta
Chapter 14 b. Art3Logic....That's We Are - Jogjakarta
Chapter 14c. Art3Logic....That's We Are - Bali
Chapter 15. Cerita Tertinggal - Rizki Raja Preman
Chapter 16a. Year Two - Semester Rempong
16b. Year Two - Next Destination: Aljazair - Marseille - Paris
16c. Year Two - Yes.....I am So Selfish
16d. Year Two - Males Collector
Chapter 17a. Year Three - Euro Trip
Chapter 17b. Year Three-Gue Sang Mafia Baru
Chapter 17c. Year Three-Adek Gue, Si Pembuka Pandora
Chapter 17d. Year Three-Keluarga Yang Terpecah
Chapter 18. I Announced Myself As Mobster
Chapter 19. Zhang Yong, The Other Man
Chapter 20. Zhang Yong - The Guardian Angel
Chapter 21a.Year Four - KKN.....Awal yang Buruk
Chapter 21b.Year Four - KKN.....New Paradigm - 1
Chapter 21c.Year Four - KKN.....New Paradigm - 2
Chapter 21d.Serigala Pemangsa
Chapter 22. Serigala Pemangsa
Chapter 24c. Year End - Vira's Legacy
Chapter 24a. Year End - Songong Time
Chapter 24b.The Waroong Legacy - Who's The Winner ?
Chapter 24d. Year End - O..ow... Ketahuan
Chapter 24e. Year End - War Preparations
Chapter 24f. Year End - The Determination
Chapter 25a. The Battle We've War-1
Chapter 25b. The Battle We've War-2
Chapter 25c. The Battle We've War-3
Chapter 25d. The Battle We've War-4
Epilog
Surat Untuk Pembaca

Chapter 23. Journey with Grand Ma

2.6K 172 9
By AditPrasetya0



Rasanya aneh ya, gue tinggal di Jogja sampai kagak bahas Nenek gue.
Padahal beliau sama-sama tinggal di Jogja.

Nenek gue dari Papa, yang Kakak dan Adek gue biasa panggil Eyang, tapi gue panggil beliau Ibu. Hanya gue yang panggil beliau Ibu dari seluruh cucu-cucunya.

Konon.... saat kelahiran gue, Eyang Kakung dan Eyang Putri terkejut dengan hari kelahiran gue.
Menurut perhitungan Jawa dan ramalan Eyang Kakung, gue adalah makhluk naas....
Dekat dengan kematian, pemberani , bisa menyebabkan perceraian orang tua....entah cerai hidup atau cerai mati dan yang nyeremin....gue adalah mangsa bagi Batara Kala...dewa kejahatan.
Kemudian ramalan itu terbukti....

Pada saat gue lahir, Eyang Kakung dan Eyang Putri "membeli" gue dari orang tua gue. Gue dianggap sebagai anak mereka dan membayar sejumlah uang ke orang tua gue.

Untuk pengasuhan gue, jelas orang tua gue keberatan kalau jauh dari mereka.
Untuk itu Eyang Kakung mengajukan syarat, tidak boleh ada satupun benda batu di rumah. Cobek, ulekan, patung atau apapun dari batu harus dibuang.

Eyang Kakung memaksa Papa untuk tidak terlalu fokus pada karir, tapi pada perkembangan gue dan usia enam tahun agar gue diruwat.
Dan sayangnya Papa abai, akhirnya terjadi juga gue mengalami child abuse.

Kejadian gue mengalami child abuse dan keretakan rumah tangga Papa, mendorong Bapak, begitu gue panggil Eyang Kakung gue, shock....dan parahnya berpengaruh pada kesehatan beliau. Ada mungkin satu tahun Bapak mendiamkan Papa.
Kesehatan beliau semakin turun drastis, dan meninggal saat gue SMA.

Saat beliau meninggal, tepat di jam beliau meninggal, motor gue mogok di Duren Sawit.
Dan orang bengkel pun gak ada yang tahu, salahnya dimana.
Saat diberitahu Bapak meninggal, gue kayak orang ilang di pinggir jalan.
Saat itu gue lupa, rumah gue dimana.
Kalian tahu? Gue jalan kaki sampai hampir Mall Ambasador....karena gue lupa harus kemana.

********

Ibu, begitu gue panggil Eyang Putri, sosok yang mungkin gue lebih nyaman daripada Oma gue, nenek dari Mama.
Oma itu adalah Ratunya para Ratu bawel. Sedangkan Ibu, mungkin bawel, tapi kalau ngomel masih ada koma dan titik.

Ibu, adalah nenek gue paling canggih daripada nenek-nenek temen gue. Beliau kelahiran tahun 1938, tapi beliau update apapun alayers bisa.
Punya account Facebook....
tapi temen-temen gue, Kak Gita, Rakyan semua di add.
Punya account Friendster, terakhirnya ngomel-ngomel setelah Friendster berubah jadi game online.
Punya account skype...
Jangan tanya lagi whatsapp apa line...

Ibu adalah seorang pensiunan guru dan dahulu atlet renang.
Setiap orang yang ngobrol dengan beliau, semua dianggap muridnya.
Yang gitu yang agak nyebelin.

Beliau punya perpustakaan, buku dari jaman antah berantah hingga sekarang ada.
Kalau jalan-jalan dengan beliau, sekali-kali jangan lewatin toko buku Gramedia. Paling cepet dua jam ngendon disana. Itu paling cepet.
Baca sinopsis buku, terus baca cepet, ambil kalau suka, balikin kalau gak suka. Kebayang ada berapa ribu buku di situ?

Mungkin yang paling gue seneng saat gue dapat tugas dari dosen gue soal Urban Perception for Elder People.
Gue eksplor Ibu bener, nanya ono ini, terus ngumpul dengan Eyang-Eyang diseluruh penjuru Jogja. Ikut kegiatan mereka di Panti Wreda.
Nganter Ibu kegiatan kolintang, ceramah soal peranan perempuan, dasa wisma, yoga, senam lansia...dan entah apalagi.
Dalam seminggu, setiap hari selalu ada kegiatan pagi dan sore.

********

Rumah Ibu masih didalam kawasan benteng keraton, it means beliau adalah seorang perempuan bangsawan Jawa.
Rumah beliau pemberian dari Ayahnya. Rumah yang tidak ramah menurut gue.
Tembok berdiri tinggi dengan gerbang kayu tinggi pula.
No one knows inside.

Didalamnya ada pendopo dengan perangkat furniture kuno, gerabah kuno, segala macamnya kuno kayak museum.
Belum lagi pusaka kayak tombak, tongkat besi dan keris yang terpajang di foyer. Hah...gue mah ngerasa ribet aja buat bersihin rumah.
Dulu waktu Bapak masih ada, setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon bakar dupa. Gak cuma nyamuk....orangpun ngungsi!

Dibelakangnya rumah induk tapi masih ada lagi rumah service, rumah pelayan, rumah kuda, garasi.
Didepan pendopo ada tanaman besar dan rindang, sawo kecik kata beliau.
Gue dulu kecil, kalau kesitu mesti sakit.
Kecapean lari kesana kemari karena tempatnya luas.

Ibu suka bunga sedap malam, beliau selalu taruh vas  bunga sedap malam di pendopo, foyer rumah induk dan meja makan.
Kalau ke rumah beliau berasa ada kawinan. Belum lagi setiap tempat tidur selalu ditabur bunga melati tiap sore. Suzanna misalnya masih hidup pasti seneng deh kalau main tempat Ibu, bisa makan itu semua bunga melati sambil mendelik gaya suketi.

Hanya satu yang gue gak suka dengan rumah itu, kamar mandi dan wc terpisah dari rumah utama udah gitu harus lewat selasar penghubung dulu.
Rumah cape gue bilang mah.

**********

"Raditya....!" panggil Ibu

"Iya Ibu...!"

"Gak mau ah...masa jawabnya gitu!"

"Dalem Ibu...!"

Ibu tersenyum

"Anake wong Jowo kok gak iso boso Jowo. Mau khan latihan bahasa Jawa?"

"Radit khan Mamanya Cina...!" gue ketawa.

Sejak itu, selama gue di Jogja, bahasa Jawa kasar, bahasa Jawa halus kampung dan bahasa Jawa halus beneran diajarkan Ibu.
Gue sih seneng-seneng aja...
Muka gue kayak gini, bisa bahasa Jawa halus khan bikin shock.
Namanya guru yaaah...liat muridnya udah lancar, masih juga kegatelan ngajarin tulisan aksara Jawa sama tembang Mocopat.
Vira suka ketawa-tawa kalau ikut gue ke tempat Ibu, ngelihat gue diajar Ibu. Kalau Rizki dan Ardi, hobby nya tidur kalau kesitu.

*********

"Sayang....Eyang ngajakin jalan besok Jumat bisa gak?" tanya gue ke Rizki.

"Ayok aja... Kemana emang?"

Gue angkat bahu

"Pake yang Q7 yaaaa!" kata Rizki

"Gue ada GL550 tu...! Gak coba itu?" kata gue.

"Somboooooong!"

Seperti rencana Jumat pagi jam 6, gue dan Rizki jemput Ibu. Ibu duduk samping Rizki sebagai penunjuk jalan sekaligus tour guide.

"Ini dulu Ibu sekolah disini....!"

Ibu menunjuk SD Katolik yang tidak jauh dari Bank Indonesia.

"Dulu ini namanya Theresia School terus berubah jadi Lagere School," lanjut beliau.

"Yang sekolah cewe-cewe ya Eyang?" tanya Rizki.

"Iya...karena sekolah Katolik lama biasanya dibedakan berdasar jenis kelamin muridnya, sesuai penyelenggara pendidikannya."

Gue jadi keingetan, sekolah SMA gue cowooo semua, sekolahnya Frisca ceweee semua.

"Terus kemana kita Yang?" tanya Rizki

"Ke Magelang Mas Rizki!"

Kita bertiga eh engga sebenarnya berlima, Fortuner belakang ngebuntutin isinya dua pengawal gue. Cuma Ibu gak tahu.

Memasuki Magelang kita berputar-putar.

"Naaah disini dulu Eyang ngungsi pas Agresi Militer Belanda Rizki. Eyang dulu sekolah disini!"

Kita turun, melihat bangunan kuno peninggalan Belanda. Biasa gue sama Rizki khan kegatelan bikin sketsa. Kita kelilingin bangunan yang sekarang menjadi milik militer. Yaaa setelah minta ijin sih.
Lagian yang minta juga nenek-nenek, mana bisa nolak sih.

Setelah kita puas pecicilan kita jalan lagi.

"Radit....inget khan Bapak sama Ibu dulu tinggal disini?" Ibu menunjukkan sebuah bangunan kuno, yang dulu jadi rumah dinas Eyang Kakung eh Bapak waktu ditempatkan di Magelang.

Gue mengangguk.

"Radit inget, SD waktu itu." Gue nyengir

"Iyaaa...gara-gara ditinggal Rizki, Radit kalau liburan kesini!" kata Ibu.

Perjalanan berlanjut ke Purwodadi Grobogan, sebelumnya kita makan dahulu ke Semarang dan booking Hotel jika nanti terlalu malam. Lagian Ibu nunjuk ini, nunjuk itu, bangunan yang ada sejarah bagi beliau.
Jadinya kita turun, ngeliat .....terakhirnya bikin sketsa dan foto.

Sesampai di Gundih, kota kecil di Purwodadi Grobogan, Eyang eh Ibu seperti bergetar.

"Kenapa Eyang?" tanya Rizki yang kemudian menghentikan mobil.

"Gak pa pa Rizki...jalan aja terus!"

Ibu seperti sedikit terisak.

Memasuki sebuah pedesaan dengan jalan tanah sedikit berpasir, beliau bercerita saat beliau ditempatkan untuk mengajar di daerah ini.

"Dulu, kiri kanan jalan, setiap rumah menyediakan kendi untuk diminum orang yang jalan sama penggembala."

Kita mengangguk.

"Udah Rizki, sampai bangunan sekolah itu!" Ibu menunjuk sebuah bangunan di tepi desa.

Dulu sekolah itu masih jauh dari permukiman. Dikepung sawah dan ladang.
Ibu bercerita mengajar anak SD dengan range usia 9 tahun hingga 15 tahun-an. Ibu mengajar dengan mengajak muridnya jalan keluar kelas, menjelaskan materi di luar kelas.
Misalnya mengajarkan ekosistem, beliau mengajak ke sawah, melihat langsung obyek sehingga anak didiknya tahu.

Ibu mengajar murid dengan menggabungkan wisata. Ibu satu-satunya guru, yang mengajar tidak terpaku di dalam kelas. Bahkan saat mengajar matematikapun, beliau mengajak muridnya keluar kelas, biar lebih fresh kata beliau.

Suatu ketika malapetaka terjadi pada penduduk di kawasan Purwodadi Grobogan. Masyarakat bersahaja, yang tidak mengenal politik. Sebuah petaka di Jakarta berimbas  juga ke Grobogan.

Ketika rezim dalam kendali militer setelah kejadian tahun 1965, Grobogan yang dianggap basis PKI dan harus dilakukan pembersihan total.

Saat itu Ibu sedang mengajar murid-murid. Terbetik berita, bahwa sebagian besar orang tua dan keluarga murid sudah dibawa ke hutan untuk dihabisi. Mereka sudah tidak peduli apakah seorang anak masih sekolah, Ibu yang tidak tahu apa-apa, seorang renta semua dihabisi.

Mendengar kekacauan tersebut, dalam waktu cepat, pasti akan terjadi pada orang-orang di SD tersebut. Walaupun itu masih simpang siur, rasa ketakutan utama adalah menyelamatkan anak didik. Sementara yang tinggal adalah guru-guru yang memang menjadi anggota PKI. Mereka memilih tinggal untuk menghadapi kematian.

Sementara Ibu dan guru-guru lain yang tidak ada sangkut paut dengan PKI mengungsi menyelamatkan anak didiknya.

Gue dan Rizki ikut berkaca-kaca. Gak membayangkan perpisahan dengan teman sejawatnya atau gurunya yang sudah siap dan pasrah untuk mati atau sukur-sukur dipenjara entah dimana.

Mereka berjalan menyusur hutan jati, rel, sawah dan menghindar keramaian.
Yang remaja menggendong anak-anak yang kelelahan.
Seperti rombongan keluarga Von Trapp yang lari dari kejaran Nazi, tapi dengan skala lebih banyak.

Mereka terus berjalan untuk tetap bertahan hidup.
Yang menurut Ibu, bertahan hidup adalah sebentuk rasa syukur pada Ilahi.
Mereka tidak mengenal lagi lelah, karena merasa maut selalu mengintai ataupun masa depan yang akan hilang selamanya.

Gue gak bisa bayangkan kalau jadi anak itu, gue harus berlari demi kehidupan gue, sementara orang tua gue entah mati dimana, kakak gue mati dimana. Pasti rombongan itu adalah rombongan penuh kesedihan dan duka.
Mereka sendiri tidak tahu masa depannya seperti apa...tetapi harus tetap hidup no matter what.

Gue ngerasa pedih, mereka memperjuangkan sebuah kehidupan.
Hanya itu.....!
Mereka hanya ingin tetap hidup.

Anak-anak yang sama sekali tidak mengerti permasalahan di Jakarta harus menanggung beban yang bukan main besarnya. Apakah orang daerah harus jadi tumbal orang Jakarta?

Kadang kalau begitu, gue selalu mempertanyakan keberadaan Tuhan.
Betapa gak enaknya orang lemah, di dunia teraniaya, apakah mereka nanti beroleh surga?
Seandainya jawaban Tuhan....nanti dulu....
Gue pasti akan teriak...Tuhaaaan sudahkah engkau merasakan beratnya jadi manusiaaaaaa...!!

*********

Saat pulang ke Semarang, giliran gue yang bawa mobil. Kita semua terdiam, berusaha mencerna cerita Ibu.
Bahwa bertahan hidup adalah sebentuk rasa syukur pada Ilahi.
Apakah Tuhan memberikan mukjizat pada mereka yang mengharap kehidupan dan bertahan untuk hidup?

Gak terasa air mata gue meleleh.
Gue belum seberapanya mereka, hidup dan masa depan mereka terenggut.
Bukan hanya masa depan, bahkan mereka harus menghapus masa lalu.

Sebuah ziarah yang dilakukan Ibu, mengajak gue dan Rizki untuk memahami arti menjaga kehidupan orang lain yang lebih berhak. Merelakan hidup dan nyawa sendiri untuk kehidupan orang lain. Selebihnya menyerahkan pada Ilahi, apakah tetap hidup atau tidak.

Jikalau tadinya kita di Semarang berniat jalan-jalan.
Seketika musnah keinginan itu.
Ada rasa pahit dan pedih....yang gue aja gak bisa tuangkan dalam tulisan maupun lukisan.

*********

Pagi itu kita ke Salatiga, ke bekas sekolah Ibu, Sekolah Guru berikut asramanya. Gedung itu sekarang digunakan sebagai SMA 3 Salatiga.

Ibu mengajak mampir ke Gereja Katolik St. Paulus Miki.
Banyak yang berubah, demikian kata Ibu.

Untuk pertama kalinya gue berlutut dengan penuh kerendahan hati.
Pertama kali dengan penuh rendah hati gue berdoa.
Gue nyalakan lilin dan gue letakkan didepan Perawan Maria.
Entah perasaan apa yang berkecamuk dalam hati gue.
Hanya air mata menetes, mendaraskan Salam Maria.

Saat gue berdoa...terbayang setiap tindakan gue selalu memahkotai duri pada Tuhan.
Setiap tindakan gue senantiasa melucuti tubuh Tuhan
Setiap tindakan gue senantiasa memasang pasak pada tangan dan kaki Tuhan.

Terima kasih Tuhan, engkau beri seorang Nenek sekaligus Ibu yang baik,
terima kasih atas penziarahan ini.

Continue Reading

You'll Also Like

297K 3.7K 46
Tillbaka i Sverige, ny skola, ny stad, nya kompisar och den obligatoriska bad boy'en. Irriterande flin, irriterande attityd, stÀndig röklukt = VARNI...
148K 4.4K 38
Vad gör du nÀr din kille skÀmmer ut dig under skolavslutningen i 9:an? Precis nÀr kören börjat sjunga "den blomstertid nu kommer". Jo, du dra till Fl...
1.4K 58 38
En sen sommar kvÀll möter Ludwig en tjej han snabbt blir intreserad av, dom blir goda vÀnner men stöter pÄ en hel del problem.
69.8K 1.4K 57
En natt i juni flyttar en ensam ung kvinna in i den lilla stugan vid sjön utanför en by lÄngt uppe i den nordligaste delen av Sverige. Det Àr en lite...