iya, kamu!

By plusmin-us

629 83 19

Sore itu, semua orang bertanya-tanya mengapa Amon dan Nagita pulang bersama, padahal mereka berdua tidak sali... More

prakata
chapter 0
chapter 1
chapter 2
chapter 3
chapter 4
chapter 5
chapter 6
chapter 7
chapter 8
chapter 9
chapter 10
chapter 11
chapter 12
chapter 13
chapter 14
chapter 15
chapter 16
chapter 17
chapter 18
chapter 19
chapter 20
chapter 21
chapter 22
chapter 23
chapter 25
chapter 26
chapter 27
chapter 28
chapter 29
chapter 30
chapter 31
chapter 32
chapter 33
chapter 34
chapter 35
epilog

chapter 24

7 1 0
By plusmin-us

"Lo ikut ke Tanjung Benoa, ga?" tanya Indah sambil merapikan baju-bajunya yang berserakan di atas koper. "Maksudnya main air, Git."

Nagita menyisir rambutnya yang megar. "Gue lagi enggak bisa main air." Teriakan tanda kedinginan yang menggelegar dari kamar mandi membuat puan yang baru bangun tidur itu menebak-nebak, "Tanisha, ya?"

Indah mengiyakan. "Airnya disetting ke air panas aja, Tan!" serunya pada pemakai kamar mandi yang belum selesai konser.

"Ga sempet! Antreannya panjang!"

Situasi dalam kamar digambarkan dengan tepat oleh orang yang mandi sebelum teman-temannya membuka mata. Seperti kata Tanisha, orang-orang yang akan mandi setelahnya sudah mengantre. Linda menanti gilirannya sambil menggosok-gosok tangannya, mengusir rasa dingin yang menjadi selimut keduanya semalam. Leher perempuan itu dibalut handuk, sama seperti Indah yang belum selesai merapikan baju. Berbeda dengan dua temannya yang tidak sabar menyambut giliran mandi, Kanya menyambung tidur. Barusan mengigau minta dibangunkan saat gilirannya tiba. Nagita yang mendapat giliran terakhir berjanji membangunkan Kanya. Sadar kalau teman-teman mereka akan sibuk dengan urusan lain selepas mandi sehingga mungkin lupa membangunkannya.

Berhubung giliran mandinya masih lama, Nagita cuci mata dari balik jendela. Niat hati memandang yang segar-segar, yang dipantulkan kaca jendela justru adegan pertemuan Amon dan Fanny semalam.

Hadeh. Masih pagi, ada saja yang bikin kesal.

∙ ∙ ∙

Wisata alam lebih nikmat dikunjungi saat sinar mentari berada dalam batas wajar, baik pagi menjelang siang atau sore hari. Cuaca bersahabat, semangat penjelajah berkobar-kobar, dan mereka bebas melakukan apa pun selama mematuhi aturan. Sebagian orang memanfaatkan kunjungan untuk main air, foto dengan ular, atau menengok penyu. Sedangkan sebagian lainnya ingin berleha-leha, mengisi energi sebelum mengikuti sisa rangkaian acara. Di antara dua kubu itu, ada juga mereka yang mencari kesempatan untuk melancarkan pendekatan atau berduaan dengan pujaan hati.

Nagita dan Indah merupakan percampuran tiga golongan tersebut. Mereka main air walaupun tidak berniat melakukannya. Mereka berleha-leha karena itulah yang diinginkan. Mereka, lebih tepatnya Indah, berbasa-basi dengan lelaki yang Nagita duga lebih dari sekadar teman organisasinya. Berbeda dengan Nagita yang mati-matian menghindari Amon dan rombongannya, bahkan sempat sembunyi di balik pohon saat hampir berpapasan dengan mereka.

Sejauh ini, perjuangan Nagita menghindari Amon lancar. Entah masih lancar atau menemui halangan setelah Restu melihat mereka. "Enggak main air?" tanya puan yang sepenglihatan Nagita berada di sekitar Amon dan teman-temannya ketika ia bersembunyi di balik pohon.

"Enggak," jawab Indah. "Lagi dapet, jadi bawaannya malas kalau mesti nyemplung ke air."

"Lo juga?" Restu ganti menanyai Nagita. "Apa karena enggak mau diledekin sama temen-temennya Amon? Mereka pada main air soalnya. Tadi gue ketemu di sana. Lagi ngobrol, nyebut-nyebut nama lo juga."

Ketakutan yang mengiringi setiap langkah Nagita runtuh. Bagus, ia dapat memilih keputusan yang tepat setelah berkali-kali melakukan kebodohan.

Tentu saja Nagita takkan menyatakan alasan sebenarnya. Ia jelas-jelas mengarang dalam penuturannya, "Masih capek habis perjalanan panjang." Walau ia langsung memelankan suara agar Restu tidak mendengar ungkapan syukurnya. "Bagus, lah, kalau mereka main air. Bisa istirahat dulu dari ledek-ledekan mereka."

"Jadi bener gara-gara dia, ya?"

Nagita tergagap, "E-enggak."

"Tapi iya." Ternyata memang selalu ada teman sialan yang main menyahut seperti Indah. Bukannya membantu Nagita menghindari bahasan tentang si lelaki, Indah mengajak Restu menertawakan nasibnya.

"Git, Git." Restu berusaha mengontrol tawanya. "Kalau gue jadi lo, mah, bakal gue terobos. Walaupun emang eneg parah denger ledek-ledekan sepanjang hari."

Kekesalan akan tanggapan teman-temannya tak menghalangi ketertarikan Nagita terhadap sudut pandang Restu. "Kenapa?"

"Bukannya gue suka sama Amon, ya. Itu anak udah banyak yang ngantre." Belum selesai kejutan yang Restu berikan. Ia bawa sisa teh yang disimpannya saat Nagita melongo. "Oh, lo enggak tau kalau banyak yang suka sama dia selain si anak kelas kita?"

"Ada?"

"Banyak, ya, Ndah?"

"Gitu-gitu Amon banyak yang suka, lo, Git." Anggukan Indah yang dibarengi tawa menurunkan tingkat kepercayaan Nagita. "Serius. Dengan status dia yang kapten basket, enggak mungkin di kalau sekolah enggak ada yang suka sama dia. Berapa hari lalu, gue denger ada lagi yang pengin coba deketin dia pas study tour. Ga tau anak kelas mana, soalnya gue nguping dari dalam ruang OSIS."

Restu menyambung, "Ngomong soal deketin, si Fanny lagi main sama gengannya Amon. Ngikut main air dia." Yakin situasi sekitar aman, ia berbisik, "Gini, Git. Saran gue, ngelihat posisi lo yang sekarang kayak gini, mendingan lo gas deketin Amon. Ga pa-pa, lah, diledekin mulu. Daripada lo ngejauh, terus Fanny ngedeketin Amon dan lo malah disasar sama Damian, mending mana?"

∙ ∙ ∙

"Tau, enggak? Gue sama Gita ngobrol bareng Restu pas di Tanjung Benoa." Indah bergabung dengan empat perempuan yang duduk melingkar di lantai kamar. Tak lupa ia membawa stik kentang yang dituangnya ke dalam kotak bekal milik Linda. Kepada orang-orang yang mengadakan pesta camilan sesudah makan malam itu, ia katakan, "Terus Restu bilang kalau Fanny ikut-ikutan main air sama Amon. Ya ... barangkali salah satu dari kalian ngelihat. Soalnya setahu gue, kalian main ke arah yang sama kayak mereka."

"Eh, iya! Gue lihat mereka, tuh, tadi," sambar Linda sampai keripik pisang yang ia bawa berhamburan keluar bungkus. "Ngikutin Amon terus. Beneran modusin dia kali, ya."

"Semua orang juga tau itu orang modusin Amon." Tanisha memungut beberapa keripik yang jatuh, lantas memakannya mumpung belum lima detik. Masa bodoh dibilang jorok oleh Linda, yang penting keripiknya tidak mubazir.

"Beneran?" Nagita yang masih menyesali pilihannya untuk diam di pinggir pantai bertanya. "Amonnya mau, ga, diikutin sama dia? Terus gimana? Mereka biasa aja atau ada ... ya ... tau, 'kan, maksud gue gimana?"

Pertanyaan yang ia ujarkan dengan menggebu-gebu mengundang tatapan heran dari teman-temannya. Sebab baru malam ini mereka melihat Nagita bersemangat membicarakan Amon setelah beberapa hari menghindari pembahasan mengenai si lelaki. Antusiasmenya bahkan membuat mereka bergeming.

Hanya Linda yang berani menanggapi. "Enggak ngusir, sih. Tapi enggak kelihatan mau diikutin juga. Agak risih gitu muka dia. Tanya aja Kanya, dia tadi ngomenin itu." Walau ia pada akhirnya melempar pertanyaan tersebut kepada orang lain.

"Apaan?" Kanya yang sedari tadi fokus pada ponselnya mengangkat kepala. "Gue perasaan banyak ngomenin orang hari ini."

"Amon, lah. Siapa lagi?" jawab Linda sewot.

"Oh, dia," gumam Kanya. "Ya maaf, gue sibuk WA-an. Ga nyimak bener tadi."

Ganti Tanisha yang menyerang, "Bilang aja WA-an sama Mahesa."

"Suuzon aja lo. Nih, gue WA-an sama emak." Kanya memamerkan isi obrolannya dengan sang ibu yang tidak lebih dari basa-basi dan membincangkan oleh-oleh.

"Udah, udah. Balik ke soal Amon," lerai Nagita. Ngeri sedikit sahut-sahutan mereka berkembang menjadi keributan. "Emang tadi papasan atau cuma ngelihatin dari jauh, Nya?"

Kanya bercerita, "Seberang-seberangan. Ibaratnya kayak gue sama mereka di sini, nah Amon sama rombongannya di luar pintu. Ya ... agak jauh dikit, tapi kira-kira kayak gitu. Amon, tuh, diekorin mulu sama temen lo. Kayak ga mau jauh-jauh. Orang kata si Tanisha aja, 'Itu orang napa, dah? Nempel mulu sama Amon, kayak ga ada orang lain aja. Apa gatal-gatal kali, ya, kalau nempelnya sama temen-temen cewek yang ngikut ke sini?' Terus dia bilang lagi, 'Semoga masih waras, dah.' Mana ngomongnya pas lewatin orangnya. Tadinya mau ngomong juga ke Amon, 'Hati-hati, Mon, pulang-pulang ketempelan.' Tapi ga jadi."

"Kenapa?"

"Kusut bener mukanya Amon. Udah sadar kayaknya kalau dia bakalan ketempelan habis diikutin sama temen lo."

"Temennya Kanya aja." Nagita mengelus dada. "Bagus, deh, dia tau mana yang bawa sial dan mana yang enggak."

"Lega amat, Git, kayak habis selamat dari remed PPKn aja," komentar Kanya.

Linda menimpali, "Iya, lo, kelihatan lega banget. Ada apa, sih, Git, sampai segitu leganya?"

Sebelum trio yang tidak tahu-menahu tentang obrolan pagi tadi meledek Nagita, Indah angkat bicara, "Restu tadi nyuruh Gita buat deket-deket Amon juga selama study tour. Katanya, mending deket Amon walaupun diledekin daripada tiba-tiba diculik sama Damian."

Peserta pesta camilan yang tadi berebut giliran bicara mendadak bisu. Kini, Nagitalah yang bingung melihat teman-temannya. Mereka berhenti bicara setelah Indah membocorkan isi obrolan pagi tadi. Sama seperti tiga orang yang absen pada sesi bagi teh itu, Indah mengunci mulut. Sama pula seperti Nagita, Indah menatap satu per satu temannya. Bukan tatapan heran yang ditujukannya, melainkan tatapan sebagai tanda hitung mundur.

"Nah, iya!" Jelas sudah. Indah mengode Tanisha untuk mengeluarkan kejutan yang takkan orang lain sangka keluar dari mulutnya. "Mendingan lo deket-deket sama Amon daripada diculik sama orang kaga jelas itu. Gue lebih restu lo ketemuan sama Amon daripada dia."

"Dan karena tadi gue sempet lihat Damian nyari kesempatan buat nyamperin lo, kalau bisa jangan jauh-jauh dari kita. Lagi di daerah orang juga, repot kalau tiba-tiba hilang," lanjut Indah, memperjelas bahwa ia dan Tanisha bekerja sama menyusun strategi untuk menjauhkan Nagita dari mara bahaya. "Nah, kebetulan besok kita ada tugas kritik tari. Lo bagian ngerekam aja, gimana? Biar enggak diganggu dia sekalipun orangnya nyari tempat duduk di deket kita."

"Kalau perlu, lo izin dulu tiap mau ketemu sama orang. Termasuk ketemuan sama Ola si anak IPS yang katanya mau minjem selendang lo buat makrab kelasannya," tambah Linda.

Rupanya, Kanya tidak mau tinggal diam. "Kalau perlu, minta temenin gue aja ketemuannya."

"Yah, itu, mah, sekalian modus," ejek Indah yang menempelkan telunjuk pada bibirnya setelah Kanya melakukannya.

"Gini banget biar gue enggak ketemu Damian." Nagita memperhatikan gerak-gerik empat kawannya yang normal. "Tapi, kalau ketemuannya sama Amon, boleh, ga?"

"Sana, lah." Ajaib. Tanisha yang biasanya paling menentang pertemuannya dengan Amon justru menggampangkan perkara izin. "Puas-puasin, Git. Cuma pas study tour ini lo bisa enak-enakan ketemu sama Amon."

Nagita menggigit stik kentang. "Tumben Tanisha bolehin."

"Ya kali gue ga bolehin." Semakin banyak kalimat yang Tanisha ucapkan, semakin penasaran Nagita akan maksud perempuan yang mengubah suasana pesta menjadi serius. "Ini juga biar lo bisa nilai itu bocah orang baik-baik atau cuma jadiin lo mainan. Kalau Damian emang udah ketauan gelagatnya. Kalau Amon? Siapa yang tau dia beneran baik apa cuma nurutin akal-akalan temennya?"

Continue Reading

You'll Also Like

811K 9K 11
「 follow dulu sebelum baca 」 ▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀▀ ❝You are just an i l l u s i o n, let me keep you in my imagination.❞ Di antara kita ada seb...
870K 65.3K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
53.3K 5.1K 31
Dear, god. [complete] [bahasa]
27.9K 2K 74
A little secret With little lies In little note From little heart Ketika bibir enggan terbuka, tapi hati tetap merasa. Ketika senyum terukir, tapi lu...