Virtualzone [COMPLETED]

Door renaislaminrazizah

29.2K 3.2K 4K

[Hak Cipta dilindungi Allah] . Untuk yang selalu menunggu kabar melalui notifikasi Untuk yang sedang bertema... Meer

Trailer dan Visual
Virtualzone - Chapter 1
Virtualzone - Chapter 2
Virtualzone - Chapter 3
Virtualzone - Chapter 4
Virtualzone - Chapter 5
Virtualzone - Chapter 6
Virtualzone - Chapter 7
Virtualzone - Chapter 8
Virtualzone - Chapter 9
Virtualzone - Chapter 10 + Tailer Baru
Virtualzone - Chapter 11
Virtualzone - Chapter 12
Virtualzone - Chapter 13
Virtualzone - Chapter 14
Virtualzone - Chaper 15
Virtualzone - Chapter 16
Virtualzone - Chapter 17
Virtualzone - Chapter 18
Virtualzone - Chapter 19
Virtualzone - Chapter 20
Virtualzone - Chapter 21
Virtualzone - Chapter 22
Virtualzone - Chapter 23
Virtualzone - Chapter 24
Virtualzone - Chapter 25
Virtualzone - Chapter 26
Virtualzone - Chapter 27
Virtualzone - Chapter 28
Virtualzone - Chapter 29
Virtualzone - Chapter 30
Virtualzone - Chapter 31
Virtualzone - Chapter 32
Virtualzone - Chapter 33
Virtualzone - Chapter 34
Virtualzone - Chapter 35
Virtualzone - Chapter 36
Virtualzone - Chapter 38
Virtualzone- Chapter 39
Virtualzone - Chapter 40
Virtualzone - Chapter 41
Virtualzone - Chapter 42
Virtualzone - Chapter 43
Virtualzone - Chapter 44
Virtualzone - Chapter 45
EXTRA CHAPTER
BONUS CHAPTER
AU VIRTUALZONE

Virtualzone - Chapter 37

256 45 11
Door renaislaminrazizah

Semoga kalian gak bosen baca cerita ini, dan jangan lupa dukung terus dengan  cara vote, dan komen. Kalo mau dishare ke temen-temen kalian juga boleh, boleh banget.

Enjoy 💜

Angin malam berembus begitu tenang membelai lembut kulit putih seorang gadis yang sedang duduk di balkon kamarnya. Bulan dan bintang saling menggenggam seolah-olah ikut mendengar dan menyaksikan dua sejoli yang berbincang melalui ponsel pintar. Selepas menerima pesan dari seorang laki-laki yang dikenalnya enam minggu yang lalu karena rasa penasaran atas cerita sang bunda, dia meminta waktu Rayya untuk berbincang melalui telepon atau video call. Namun, Rayya mengiyakan melalui telepon saja.

"Ra, gue minjem laptop lo buat streaming, ya," teriak Gita yang berada di dalam kamar. Saat melihat balasan Bara, Gita langsung meminta Rayya untuk menerima telepon di balkon seolah tahu apa yang akan dibicarakan. Dirinya enggan menjadi 'nyamuk' di antara mereka.

"Iya," sahut Rayya singkat.

"Lagi ada temen lo, ya? Kok enggak bilang? Tahu gitu, gue nanti aja teleponnya." Mereka baru saja tersambung melalui telepon.

"Eh, enggak apa-apa, kok. Tadi gue ngajak dia nginep di rumah."

"Beneran enggak ganggu, nih?" tanyanya meyakinkan.

"Enggak, Bara," jawab Rayy pelan, "jadi ... ada apa?"

Hanya suara angin yang terdengar di telinga Rayya, tidak ada jawaban dari laki-laki di seberang sana. Namun, Rayya mendengar gumaman yang terdengar tidak jelas dari ponselnya. "Halo," sapanya.

"Sori, gue enggak sengaja suka sama lo," ucap Bara dengan cepat sehingga intonasi pengucapannya tidak jelas.

Rayya menatap layar ponselnya dengan dahi mengernyit lalu kembali menempelkan ponsel pada telinganya. "Sori apaan? Gue dengernya enggak jelas, lo jangan kecepetan ngomongnya," pinta Rayya.

"Sori, gue enggak sengaja suka sama lo." Bara kembali mengulangi ucapannya.

Rayya membeku, rasanya pergerakan di sekitar ikut terjeda. Entah perintah dari mana, jantungnya kembali berdebar. Semesta sedang baik hati kepadanya dengan berkali-kali memberikan kejutan. Dari mulai janji ayah malam kemarin, Raga mengungkapkan perasaannya diikuti dengan Bara yang melakukan hal serupa, baru saja. Dia bingung harus bereaksi seperti apa atas dua kejutan yang sama sekali tidak pernah diduga sebelumnya. Namun, jika bisa dilihat, rasa senang di dalam dirinya sudah jingkrak-jingkrak sejak tadi.

"Udah ngobrolnya? Kok malah bengong?" Ucapan Gita membuat Rayya mengerjap. Lamunannya berakhir. Gita berdiri di sampingnya entah sejak kapan.

"Halo." Rayya mencoba kembali menyapa laki-laki di seberang sana karena ponselnya masih menempel di telinga. Dia tidak sadar jika Bara sudah mengakhiri sambungan teleponnya secara sepihak.

"Kenapa?" Gita kembali angkat bicara.

Rayya berjalan masuk ke dalam kamar dengan raut datar tanpa menjawab pertanyaan sahabatnya. Jelas saja Gita merutuk dengan tingkah Rayya. Dia menyusul Rayya masuk ke dalam kamar, tidak lupa menutup pintu balkon.

Gita duduk di kasur berhadapan dengan Rayya. Gadis itu terlihat berpikir, kemudian tertawa seraya berbicara, "Gak nyangka! Ada dua cowok yang confess sama gue hari ini."

"Jadi barusan dia confess juga? Kok bisa?"

Rayya menggeleng. "Tapi, itu artinya doa gue terkabul ...."

"Doa buat disukai banyak cowok? Parah banget."

Rayya memukul pelan lengan Gita. "Bukan gitu. Setiap selesai beribadah gue berdoa, semoga gue disayang sama banyak orang biar punya banyak temen."

"Temen? Dua cowok yang hari ini confess masih lo anggap temen?"

Rayya mengangguk ragu. Gita menangkup kedua pipi sahabatnya karena gemas dengan respons yang diberikan. "Mereka itu suka sama lo. Lebih dari temen." Gita menekankan setiap suku kata di kalimat terakhir yang dia ucapkan.

Dia melepaskan kedua tangan Gita yang masih "Iya tahu, dan gue juga seneng. Sayangnya gue merasa ada yang kurang karena Jaehyun enggak ikut confess." Rayya memasang raut sedih.

Gita menepuk jidat. Dia meninggalkan Rayya dan kembali duduk di meja belajar milik sahabatnya. "Sebanyak apapun cowok, kayaknya enggak bisa ngalahin Jaehyun."

"Oh, jelas."

"Eh, lo berani enggak kalo nyuruh tuh cowok datang ke sini? Dia di Bandung, kan? Jakarta-Bandung enggak terlalu jauh lah." Gita memutar tubuhnya menatap Rayya yang masih duduk di pinggir kasur.

"Sekarang?"

"Lima tahun lagi," jawab Gita kesal, "ya sekarang dong."

"Gue ada, sih, tiket buat minta dia nyamperin gue. Bentar gue cari dulu." Rayya memeriksa ponselnya mencari beberapa tiket yang pernah dikirim Bara kepadanya.

"Tiket apaan?" heran Gita.

"Sebentar-sebentar," sahutnya tanpa menatap Gita. Dia masih berkutat dengan ponselnya. "Nah!" serunya ketika menemukan apa yang dicari.

Gita kembali menghampiri sahabatnya. Rayya menyerahkan ponselnya. "Dia ngasih itu sebagai hadiah karena gue enggak remedial ulangan Biologi waktu itu."

"Udah lo minta semua?"

Rayya menggeleng. "Gue enggak tahu mau minta apa."

"Yaudah, sekarang lo chat atau telepon buat minta dia ke Jakarta."

"Gue telepon aja kali ya. Dia tiba-tiba matiin telepon tadi."

"Jantungnya dugem kali tadi," ungkap Gita diakhiri tawa membuat Rayya ikut tertawa.

"Bukan dia doang. Jantung gue udah dugem dua kali hari ini." Rayya mulai mencari kontak yang akan dia hubungi. "Eh, tapi gue takut ngerepotin."

"Dia bikin begitu lo yang minta enggak?"

"Enggak," sahutnya disertai gelengan, "dia bikin sendiri."

"Itu artinya dia siap lo bikin repot."

"Oke, gue coba."

Rayya duduk bersila di atas tempat tidur, sedangkan Gita masih menjuntaikan kakinya ke bawah. Kejadian hari cukup membuat Rayya terkejut, senang, sekaligus bingung. Senang karena ternyata selama ini ada seseorang yang diam-diam menyukainya, dan bingung bagaimana merespons kedua laki-laki tersebut.

Jika di drama Korea yang sering dirinya tonton, setelah seseorang mengungkapkan perasannya kepada lawan jenis, maka di episode selanjutnya akan ada salah satu pihak yang menghindar. Tentu saja dirinya tidak menginginkan hal itu terjadi. Bagaimanapun juga dia harus tetap menjaga hubungannya dengan kedua laki-laki tersebut, apalagi Raga. Jika salah satu dari mereka menghindar, akan terlihat sangat jelas kecanggungan di antara keduanya.

Rayya meletakkan jari telunjuknya di depan bibir saat sambungan telepon itu dijawab oleh Bara. Rayya sempat bertanya kepada sahabatnya untuk mengaktifkan loudspeaker atau jangan, dan Gita menjawab tidak perlu.

"Sori, ya, tadi di sini mati lampu. Jadi sinyal ilang-ilangan, makanya keputus gitu aja teleponnya," jelas Bara.

Rayya bukan anak kecil yang bisa langsung percaya dengan alasan itu. Namun, dia tidak ingin memperpanjang. "Iya, enggak apa-apa."

"Ada apa telepon?"

Sebelum menjawab, dia sempat menatap sahabatnya. Gita memberikan anggukan sebagai jawaban. "Gue tadi enggak salah denger, kan?" Membahas mengenai hal itu kembali membuat jantungnya berdebar.

"Enggak, kok. Gue minta maaf kalo bikin lo enggak nyaman sama pengakuan gue tadi. Gue beneran enggak sengaja. Dari awal kita ketemu, gue enggak ada niat buat suka sama lo, tapi ternyata itu diluar kendali gue," jelasnya berterus terang.

Lagi-lagi Rayya menatap Gita. "Kalo gitu, gue boleh enggak ngeluarin tiket yang lo kasih waktu itu buat minta lo nyamperin gue." Dia tidak terlalu yakin dengan permintaannya.

"Oke. Sampai ketemu di Jakarta." Bara menjawab dengan yakin. "Lo jangan tidur dulu, ya. Kayaknya bentar lagi kesatria baja hijau dateng nganterin makanan. Ya ... itung-itung sebagai permintaan maaf gue karena udah ganggu waktu ngobrol kalian. Bilangin ya, gue minta maaf sama sahabat lo."

"Iya, nanti gue sampein maaf lo sama sahabat gue."

"Maaf apa?" tanya Gita tanpa bersuara.

Rayya menurunkan ponselnya sebentar untuk menjawab pertanyaan Gita. "Dia minta maaf katanya karena udah menyita waktu kita," bisik Rayya pelan.

"Oh iya, enggak apa-apa, kok," sahut Gita refleks tanpa memelankan suaranya. Rayya memelototi sahabatnya. Sadar apa yang dilakukannya beberapa detik yang lalu, dia menutup mulut dengan tangan kirinya.

Tawa kecil Bara terdengar di seberang sana. "Yaudah, nanti kalo udah sampe jangan lupa di makan, ya."

"Makasih sebelumnya, tapi lo engggak usah ngirim-ngirim kayak begitu lagi. Gue jadi enggak enak sama lo."

"Enggak apa-apa. Gue seneng, kok."

"Bara, kalo gue sekalian minta tiket yang seharian diatur lo boleh enggak?"

"Boleh. Besok pagi list-nya gue kirim. Sampai ketemu nanti."

Rayya mengakhiri panggilan telepon itu kemudian menghela napas lega dan meletakkan ponselnya di atas nakas. Gita menggeleng sambil bertepuk tangan seolah-olah bangga dengan apa yang dilakukan sahabatnya barusan. "Kita lihat kapan kalian bakal ketemu."

Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh. Wanita berumur tiga puluh tahun muncul di balik pintu membawa satu jinjingan yang bisa dipastikan kalau itu makanan dari Bara yang dikirim melalui ojek online.

"Kamu pesan makanan?"

"Iya, Tante. Itu Gita yang pesen."

"Kenapa enggak bilang kalau kamu belum makan? biar Tante masakin aja."

"Takut ngerepotin, Tante," alibinya.

"Kalo gitu habis makan langsung tidur, ya. Jangan tidur kemalaman, apalagi kalo maraton nonton drama Korea." Bunda meletakkannya di atas meja belajar, lalu kembali keluar dan menutup pintu kamar putrinya.

Rayya beranjak membawa makanan yang diberikan Bara dan duduk di atas karpet diikuti Gita. "Dia baik juga ternyata," komentar Gita. "Lo inget enggak soal prinsip Ekonomi yang pernah gue ucapin waktu itu?"

"Cabang sama pusat?" sahut Rayya. Hanya itu yang dia ingat, selebihnya hilang ditiup angin.

"Iya. Sekarang dua cabang lo udah confess, nih. Tinggal lo pilih siapa yang mau dijadiin pusat, karena enggak bisa kalo dua-duanya cabang. Harus ada pusat, dan gue tetap merekomendasikan Raga." Gita masih kuat dan yakin dengan pilihannya.

"Bentar dulu, gue mau ngasih tau kalo makanannya udah nyampe." Rayya kembali beranjak mengambil ponselnya di atas nakas dan mengirimkan pesan pada Bara.

Barbara

Makanannya udah sampe, makasih sekali lagi

Syukur, deh. Sama-sama

Btw Ay, kayaknya malam ini gue enggak bisa tidur kalo lampunya mati

Kenapa?

Percuma gue matiin lampu, tapi bayangan lo nyala terus di kepala gue

Tanpa sadar, bibirnya mengukir senyum. Hal itu membuat Gita kembali mengajukan pertanyaan. "Jadi siapa yang mau lo jadiin pusat?"

Jadi mau ikut kapal yang mana, nih?

"TIM GUE BURUAN NAIK, KITA NGEBUT BIAR GAK KEDULUAN SAMA KAPAL SEBELAH." - Bara

Buat yang minta dari dulu Bara ketemu Rayya. Otw, nih. Maunya kapan?

See you at the next chapter, papay

21 Desember 2021

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

3.3K 1.1K 32
HARA, laki-laki bodoh yang berusaha menjadi matahari untuk menerangi jalan seorang perempuan yang hidup dalam kegelapan, Saza Azalia Fayyola. Karena...
6.2K 623 12
Meski aku sudah menjadi yang tak terlihat, namun aku tidak suka untuk menakuti manusia. Ini adalah hidupku setelah kematian merenggut nyawaku. Mungki...
3.1K 1.4K 43
[SUDAH TERBIT] Lagi dan lagi, hujan turun menerpa bumi. Menangis ketakutan tatkala mendengar amarah semesta, dan merengek meradang seperti anak kecil...
257K 31.9K 55
Satu-satunya yang tidak boleh kamu percaya di dunia ini adalah HARAPAN *** 02092022