Dengkuran lembut itu kembali terdengar. Kali ini sedikit lebih keras dibanding sebelumnya. Suara-suara itu, yang muncul dari dalam Gua Iddhurun yang gelap dan hening menakutkan, membuat bulu kuduk William berdiri.
Ia sudah mendapatkan peringatan sebelumnya, untuk jangan sekali-sekali menganggap remeh makhluk menyeramkan yang berdiam di dalam gua ini. Makhluk itu mungkin masih tertidur, tetapi jika seseorang menjadi gegabah dan mencoba mendekatinya tanpa perhitungan, dan mengira bakal mampu membunuhnya dengan mudah, maka sebenarnya saat kematian orang itu sudah jelas.
Mereka akan mati, dalam waktu yang tidak lebih lama daripada biasanya mereka makan siang.
Tengkorak dan tulang belulang di sepanjang lorong menjadi bukti bahwa peringatan tersebut bukan omong kosong. Ada tujuh tengkorak manusia yang tersebar di berbagai tempat, sebagian terpisah jauh dari tulang badan atau anggota tubuh lainnya. Kepingan baju besi, pedang, busur atau belati juga terserak di mana-mana, tertutup lumpur atau sarang laba-laba.
Merekalah orang-orang malang yang pernah mencoba peruntungannya membunuh makhluk ini. Orang-orang bodoh, mungkin lebih tepat disebut begitu.
Dan William saat ini merasa mungkin ia adalah orang bodoh berikutnya.
"Ssst," bisikan pelan terdengar dari balik punggungnya.
William menoleh, menatap gadis jangkung yang berdiri setengah menunduk di belakangnya. Dalam gelap gadis itu menggedikkan kepala, memberi perintah agar William bergerak melipir ke sisi gua sebelah kanan.
Pemuda itu melotot, ingin membantah. Ia paham rencana Vida. Jika benar makhluk itu ada di tengah gua, mereka berdua bisa menyerang dari dua arah, dan mungkin tidak akan berakhir mengenaskan seperti semua orang-orang bodoh ini.
Rencana yang bagus sebenarnya, tetapi memangnya gampang menyeberang gua tanpa terlihat oleh makhluk itu?
"Ayo," Vida berbisik dalam bahasa orang selatan yang kini sudah lebih fasih di mulutnya. "Kamu tidak jauh-jauh ikut kemari hanya untuk tiba-tiba menjadi pengecut, kan?"
Lalu dia menyeringai.
"Hei, boleh tidak aku memberi pendapat satu kali lagi?" balas William ketus.
"Apa?"
"Kenapa kamu tidak mengajak Svenar dan Gunnar juga kemari? Jika kita berempat di sini mungkin peluang mati kita jadi berkurang."
"Sudah aku bilang, biarkan mereka berjaga bersama Freya dan Adhril di mulut gua," jawab Vida. "Jika makhluk ini berhasil lolos dari kita, mereka bisa mencegat dia di sana. Setelah itu kita bisa mengurung dia dari dua arah."
William menggeleng, tidak puas. "Pertama, kau BELUM bilang dengan jelas padaku. Seperti biasanya, kau selalu membuat rencana sendiri."
"Sudah aku jelaskan. Kamu yang malas menyimak."
"Oh, ya? Kapan? Aku tidak ingat! Dan kedua, kurasa makhluk ini tidak akan kabur. Dia bakalan lebih suka memakan kita daripada kabur. Atau paling tidak memakanmu. Dagingmu mestinya lebih enak dibanding dagingku."
"Maksudmu?" Vida kembali melotot.
"Hmm ... ya begitu." William meringis.
"Apakah ini semacam ejekan? Bahwa aku lebih lemah daripada kamu?"
"Hah? Bukan ... Ah, sudahlah. Susah bercanda denganmu."
"Kalau begitu, diam saja! Ayo maju. Cepat!"
William menggerutu. Gadis itu selalu benar. Sekarang memang bukan saatnya kehilangan keberanian. Bukankah William sudah pernah bertempur melawan ratusan prajurit garang dari Hualeg, dan menang? Kenapa sekarang ia menjadi ragu?
Lawannya sekarang toh cuma satu. Dan makhluk ini mestinya kecerdikannya tak sepadan dibanding manusia.
Tetap saja, hal itu tak menjawab kenapa orang-orang ini bisa mati di sini. Pastinya bukan karena mereka sedemikian bodohnya.
Selalu ada yang lebih berbahaya dibanding kecerdikan manusia.
William merapatkan punggungnya ke dinding gua, perlahan mengintip ke balik bebatuan di sebelah kiri. Di tengah rongga gua yang tak lagi gelap begitu matanya mulai terbiasa ia melihat sosok hitam yang meringkuk tanpa gerak.
Makhluk itu tidak kelihatan jelas bentuk kepala, tubuh atau kaki-kakinya. Kabarnya dia mirip beruang. Namun William belum pernah melihat beruang hidup-hidup. Ia hanya pernah melihat wujud mereka jika sudah menjadi mantel. Apakah dia mirip beruang?
Atau, apakah beruang memang segelap ini?
Ia mengerti, ketidaktahuan itulah yang membuatnya takut. William belum tahu makhluk seperti apa yang akan dihadapinya kali ini.
Namun ia sudah belajar, ketakutan adalah teman yang sama baiknya dengan keberanian. Rasa takut membuatnya waspada, sehingga nanti ia tidak hanya bertindak tanpa perhitungan.
Asalkan itu tidak menggerogoti keberaniannya lebih dulu.
Ia melangkah. Tanpa suara. Kedua kakinya menjejak lantai gua yang basah. Pedang besar tergenggam erat di kedua tangannya.
William menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya lambat-lambat. Tatapannya tertuju sepenuhnya ke arah si makhluk hitam tak jauh darinya.
Sedikit demi sedikit ia berhasil mencapai sisi gua di seberangnya.
Sesaat ia lega, sebelum kemudian sadar, suara dengkuran itu tak lagi terdengar.
Kepala makhluk gelap itu kini terangkat. Kelopak matanya terbuka. Sepasang matanya yang berwarna merah tertuju tepat ke arah William.
Dengusannya terdengar, kemudian dia menggeram menakutkan.
William menelan ludah dan memaki dalam hati. Seharusnya ia mengakui saja, bahwa ia memang sama bodohnya dengan semua orang yang sudah lebih dulu mati ini.
Makhluk itu meraung. Suaranya menggetarkan seisi gua.
Lapisan rambut tebal yang menutupi sekujur tubuhnya berdiri tegak, menampakkan kulitnya yang keras dan berkilat-kilat warna hijau. Sosoknya kini terlihat jelas. Berkaki empat, kokoh dengan tinggi dua kali tubuh orang dewasa. Hidung dan mulutnya bermoncong pendek, tapi taringnya besar dan tajam.
Makhluk itu melompat, tak membiarkan William berpikir. Cakar raksasanya melayang dari samping.
Pemuda itu berusaha menangkis. Namun tenaganya ternyata kalah jauh. Tubuh William terdorong menghantam dinding gua. Ia meringis menahan sakit yang menyebar dari punggungnya.
Berikutnya, cakar tajam yang satu lagi datang dari atas.
William berguling ke bawah tubuh si makhluk raksasa. Sambil berjongkok ia menebas bagian tubuh musuhnya yang terdekat: kaki depannya yang sebelah kanan.
Darah menyembur deras, tetapi serangan dan luka itu seolah tak berpengaruh. Hewan itu tetap mengibaskan kakinya, membuat William harus berguling lagi menjauh.
Batu-batu tajam mengentak lengan, pinggang maupun punggungnya. William meringis menahan sakit. Lumpur dan berbagai macam kotoran entah apa menyelimutinya.
Sementara di depannya makhluk itu memutar tubuh, bersiap untuk menyerang sekali lagi.
Tiba-tiba hewan itu melengking kesakitan. Tubuhnya bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan, seperti berusaha melepaskan diri dari sesuatu.
William yang masih terduduk melihat, ternyata Vida berada di balik tengkuk si makhluk raksasa, tengah menancapkan pedangnya. Entah bagaimana caranya gadis itu bisa naik. Yang jelas dia berhasil menemukan titik lemah si hewan buas, pada lehernya yang tak terlindungi kulit tebal kehijauannya.
Vida berusaha bertahan memegangi pedangnya beberapa lama, sebelum tiba-tiba makhluk buas itu menggoyangkan tubuhnya ke dua arah berlawanan.
Kali ini Vida terlempar ke udara. Tubuh gadis itu melayang dengan posisi kepala di bawah dan meluncur deras menghantam dinding gua.
Dia jatuh dengan suara keras di atas bebatuan, lalu diam tak bergerak.
---
Catatan penulis:
Terima kasih sudah membaca cerita saya di bab ini. Jangan ragu untuk melanjutkan ke bab berikutnya dan jangan lupa juga untuk memberikan vote dan komentar. Seluruh kritikan dan masukan akan saya terima dengan senang hati. ~ Villam