ABHATI

By Lalaa_po

351K 46.5K 2K

[TAMAT]✓ Ratih Fairuza Malik adalah seorang mahasiswi dengan kehidupan yang begitu kacau. Sejak insiden pembu... More

Disclaimer
Prolog
1 | Orang Asing
2 | Putra Mahkota
3 | Pelarian
4 | Pawitra
5 | Bhumi Mataram
6 | Pemuda Bercapil
7 | Seruling Merdu
8 | Kepingan Memori
9 | Awal yang Buruk
10 | Srikandi
11 | Purnama di Atas Langit Pawitra
12 | Busur Panah
13 | Sosok Berjubah Hitam
14 | Time Traveller
15 | Time Traveller (2)
16 | Kembali ke Dunia Itu
17 | Pelarian kedua
18 | Pembunuh
19 | Sayatan Luka
20 | Sebuah Kekecewaan
21 | Bhumi Sambhara Budhara
22 | Si Cantik Bermahkota Emas
23 | Kematian Raja Garung
24 | Raja Muda
25 | Jamuan Kerajaan
26 | Mimpi Buruk
27 | Keputusan Akhir
28 | Kelompok Bayangan
29 | Pernikahan Dua Dinasti
30 | Perjalanan ke Medang
31 | Puri Pratama
32 | Hilangnya Kepercayaan
33 | Siasat Baru
34 | Malapetaka
35 | Sarang Harimau
36 | Penghianat
37 | Hukuman Mati
39 | Pertemuan Tak Terduga
40 | Dua Saudara
41 | Dimensi yang Berbeda
42 | Bangkitnya Kekuatan Hitam
43 | Raseksa Penunggu Hutan Undir
44 | Pengabdian dan Kesetiaan
45 | Penyerangan
46 | Perebutan Takhta
47 | Akhir Kisah
Epilog

38 | Busur Bajra

3.6K 682 72
By Lalaa_po

Tiga hari telah berlalu semenjak mereka bertiga dipersilahkan tinggal kediaman milik Laksmidara. Bersamaan dengan berjalannya waktu, terlihat kondisi Panji yang semakin hari semakin membaik, ia telah mendapatkan kembali kekuatannya begitu pula dengan keahliannya dalam bertarung.

Sambil menyalurkan air ke dalam gelas bambu, Laksmidara mempersilahkan ketiga orang itu untuk tinggal lebih lama di pondoknya sambil memikirkan rencana ke depannya. Sejak kepulangannya dari pertapaan panjang di Gunung Serayu, Laksmidara memutuskan untuk mengasingkan diri dan memilih kawasan Hutan Undir yang jauh dari pemukiman penduduk atau warga setempat.

Suasana kemistisan hutan ini menyebabkan jarangnya kawasan hutan dijamah oleh tangan manusia. Sehingga, bersembunyi untuk sementara waktu di tempat ini adalah pilihan yang tepat. Lagi pula, Panji dan Larassati adalah murid lamanya, itulah mengapa saat pertama bertemu mereka sudah terlihat sangat akrab. Mendengarkan kisah mereka membuat Ratih tak habis-habisnya kagum dengan kehebatan wanita itu. Jujur, walau dalam umurnya yang sudah tua tapi ia tetap terlihat seperti wanita muda yang cantik.

"Setelah mendengar semua yang kalian alami, kini aku mengerti. Selama ini Darsana menggunakan sebuah ajian ilmu hitam," ucap Laksmidara membuka percakapan.

Seketika mereka bertiga terkejut setelah mendengarkan ucapan Laksmidara barusan. Namun, di sini perasaan Ratihlah yang bercampur aduk dengan kebingungan. Berbeda dengan Laras, ia mengernyitkan dahinya sambil mendengarkan dalam-dalam setiap kata yang diucapkan oleh pendeta wanita itu.

"Sejak zaman dahulu, leluhur kita telah banyak melakukan praktik sihir, tetapi untuk sihir hitam yang satu ini merupakan sihir yang sangat berbahaya dan terlarang," jelasnya.

"Apakah itu Nyai?" tanya Panji.

"Ini adalah salah satu ilmu kadigdayan ajian. Darsana telah bekerja sama dengan iblis, yakni untuk mendapatkan takhta Kerajaan Medang, ia rela mempertaruhkan nyawanya sebagai jaminan. Para iblis telah memberikan kesaktian bagi kelompok aliran sesat yang ia dirikan. Dan kekuatan yang dimiliki setiap anggotanya memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Mustahil untuk dikalahkan oleh prajurit biasa."

Mendengar penjelasan dari Laksmidara membuat Laras berpikir keras, jadi itulah mengapa saat ia berada di bangsal kepatihan ia selalu merasakan ada energi kegelapan di sana.

"Lalu, bagaimanakah cara untuk mengalahkannya Nyi?" tanya Ratih penasaran.

"Setiap orang yang menggunakan ilmu hitam ini sudah dipastikan bahwa ia memiliki semacam wadah penampung kekuatan spiritual, entah dalam bentuk apapun itu. Jika kita bisa menemukannya lalu menghancurkannya, itu akan melemahkan kekuatan mereka dan kemungkinan kita bisa mengalahkannya."

Kemudian mereka bertiga hanya terdiam cukup lama sambil memikirkan wadah spiritual macam apa yang dimiliki oleh Darsana selama ini.

"Para iblis telah meminjamkan kekuatannya kepada pasukan kelompok bayangan, begitu pula dengan Darsana. Tapi perjanjian yang dilakukan dengan iblis itu tidak selamanya menguntungkan. Tentunya ada harga yang harus ia bayar untuk semua itu, dan itu adalah dengan menyerahkan senjata pusaka busur bajra kepada para iblis," ungkapnya.

"Aku pernah mendengar tentang senjata itu Nyi, aku pernah membaca dari kitab milik kakek. Dikatakan senjata itu memiliki anugerah dari Dewi Durga, dan hanya bisa digunakan oleh satu orang saja yaitu pemiliknya," sahut Laras.

Laksmidara mengangguk, "Benar, dan pemiliknya haruslah darah keturunan Raja Indra, yaitu Wangsa Syailendra. Dan orang itu tidak lain adalah..."

Seketika Laksmidara menoleh ke arah Ratih dan itu membuatnya merasa tidak nyaman ketika mendapat tatapan seperti itu.

"Pramodawardhani."

Ratih memelototkan kedua matanya, "Aku?"

Laras dan Panji pun tak kalah herannya saat mendengar kata-kata Laksmidara barusan.

"Tapi aku saja tidak pernah melihat bentuknya, apalagi menyentuhnya." sanggahnya.

Laksmidara tersenyum samar, "Aku pasti akan menunjukkannya padamu. Selama ini aku menjaganya dengan baik, karena ini merupakan wasiat dari Raja Sanjaya kepadaku. Dahulu, Raja Indra menyerahkan senjata ini pada pendiri Wangsa Sanjaya. Saat itu perang dua dinasti belum berlangsung, sehingga untuk menunggu kelahiran berikutnya dari pemilik senjata ini, Raja Sanjaya memberikan wasiat kepadaku yang mengatakan bahwa di masa kejayaan Rakai Pikatan, kelak akan bangkit kekuatan kegelapan, dan yang bisa memusnahkannya hanyalah Sri Kahulunan, yaitu Pramodawardhani."

Ratih masih tak habis pikir, ia terus menatap satu sama lain dengan teman-temannya.

***

Udara sejuk yang menyelimuti Hutan Undir membawa ketenangan tersendiri bagi Ratih. Seharian ini ia telah menghabiskan waktu cukup banyak untuk berlatih dengan Laksmidara secara privat. Dan sebagai self reward untuk dirinya sendiri ia memilih untuk duduk bersantai di sebuah batu besar sambil menikmati keindahan alam yang disuguhkan. Dipandanginya hamparan sungai kecil dengan air jernih yang mengalir deras di sela-sela bebatuan menciptakan nada gemericik yang menenangkan pikiran dan jiwanya.

"Ndoro Putri."

Tiba-tiba suara itu muncul dan membuat hati Ratih terbakar api kemarahan, ia menggenggam erat sebuah batu kecil di tangannya kemudian melemparkannya cukup jauh hingga ke tengah sungai.

"Nirma," geramnya.

Kehadiran seseorang yang muncul di belakangnya membuat Ratih seketika menoleh waspada. Ia khawatir jika itu adalah orang-orang istana yang kini tengah memburunya. Namun, setelah mengetahui bahwa itu hanya Laras, ia pun kembali menolehkan kepalanya ke depan tanpa berkata apapun.

Laras mengerti arti dari sikap diam yang ditunjukkan Ratih. Sejak insiden pelarian itu, mereka hampir tidak bicara satu sama lain. Mungkin Ratih masih kesal dengannya atau bahkan membencinya sebagaimana yang pernah ia lakukan pada wanita itu dulu.

Laras menggigit bibir bagian bawahnya sambil mengepalkan kedua tangan. Betapa besar rasa malunya di hadapan Ratih. Bukan hanya Ratih, melainkan ia juga malu akan perbuatannya di hadapan para leluhur dan kerajaan ini. Semua yang pernah ia lakukan memang tidak pantas untuk dimaafkan.

Laras melangkahkan kedua kakinya lebih dekat.

"Yang Mulia..."

"Tolong, aku sudah muak dengan panggilan itu lagi sekarang," potong Ratih tanpa menolehkan kepalanya sedikit pun. Ia terus melampari sungai itu dengan bebatuan kecil karena kekesalannya.

Laras menghela napas, setelah mendengar ucapan Ratih barusan, kini ia akan mencoba untuk berbicara lebih dekat lagi.

"Apakah kau masih marah kepadaku?" tanyanya.

Tidak ada jawaban apapun di sana.

"Aku telah kehilangan segalanya, tapi aku tidak bisa jika harus kehilanganmu juga. Aku tahu semua yang kulakukan salah, aku sangat menyesali perbuatanku. Kini, aku terima kebencianmu padaku sebagai hukuman," sesalnya.

"Sekali lagi, maafkan aku Ratih," Kemudian Laras pun berbalik dan hendak melangkahkan kaki untuk pergi dari tempat itu karena merasa Ratih tidak akan pernah mau bicara dengannya lagi.

"Itulah yang sejak tadi ku tunggu Laras! Akhirnya kau mengucapkan namaku dengan benar," balasnya tepat di saat Laras baru saja ingin pergi dari sana.

Sambil mengusap air mata, Laras berbalik dan mendapati senyuman Ratih yang terbuka lebar untuknya. Gadis itu melompat turun dari batu besar tempatnya bersandar. Kini ia berjalan menghampiri Laras.

"Selama ini kita terlalu lama menjadi orang asing untuk satu sama lain, tetapi pada akhirnya kita akan kembali menjadi diri kita sendiri," sambung Ratih.

Laras kembali meneteskan air mata.

"Apa ini? Seorang srikandi tidak boleh menangis, ingat?"

Keduanya saling tertawa satu sama lain hingga akhirnya mereka berpelukan. Kemudian Ratih melepaskan pelukan itu sambil mengucapkan sesuatu,

"Sama sepertimu, aku pun nyaris hilang harapan untuk hidup saat mengetahui semua orang satu per satu menghianatiku. Awalnya aku berpikir benar-benar sendirian. Namun, saat aku membuka mata dan menyadari bahwa hingga saat ini aku dapat melihat cahaya matahari, di situlah aku sadar..."

"...kita masih belum kehilangan harapan,"

Kemudian keduanya duduk bersama di batu tersebut, menikmati kebersamaan yang telah lama hilang selama ini. Angin yang berembus semilir membuat rambut keduanya menari-nari kecil di udara.

"Ratih, setelah mendengar semua yang dikatakan Nyi Laksmidara tentang senjata pusaka itu, aku semakin khawatir kepadamu," ucap Laras.

Seketika Ratih menoleh ke arahnya.

"Tapi, jika senjata itu memilihmu, aku rasa itu tidak salah. Kau adalah pemanah yang baik," ungkapnya.

Ratih hanya tersenyum masam sambil memalingkan pandangannya ke arah lain.

"Dari kitab yang ku baca, senjata itu telah tersimpan selama ratusan tahun, dengan kekuatan supranaturalnya, bukan hanya musuh yang dapat dikalahkan, melainkan seluruh dunia pun juga dapat ditaklukkan. Aku rasa, itulah alasan mengapa para iblis menginginkan pusaka ini," lanjutnya.

"Tapi yang aku herankan, jika memang pusaka itu hanya memiliki satu pemilik, lalu untuk apa mereka menginginkannya karena sudah jelas mereka saja tidak akan dapat menggunakannya," sahut Ratih.

Kemudian Laras juga terlihat tengah memikirkan hal yang sama, seketika itu pun ia teringat akan sesuatu, "Tapi Ratih, bukankah selama ini mereka selalu berusaha membunuhmu?"

Tiba-tiba Ratih ikut tersadar, jika diingat dari kejadian awal sejak insiden pembakaran pasraman, memang ia nyaris sekali terbunuh dan itu tidak hanya terjadi sekali, melainkan berkali-kali.

"Kau benar, mereka memang selalu berusaha membunuhku," balasnya.

"Itu dia! Ketika pemilik senjata pusaka mati, maka energi panah ini akan terlepas dan dapat dengan mudah jatuh ke tangan yang salah."

Ratih tampak gelisah, seketika ia teringat akan kata-kata Jeremiel waktu itu padanya.

"Tolong jangan pernah membahayakan dirimu di dunia itu, karena kita tidak akan pernah tahu kemungkinan kau akan tetap hidup atau mati. Jika kau mati, itu akan menjadi akhir dari segalanya,"

Seketika pegangan tangan Laras di bahunya mampu menyadarkan Ratih dari lamunannya.

"Kau tenang saja, aku akan selalu melindungimu dengan nyawaku."

***

"Bangun!"

"Ada apa Nyai membangunkanku malam-malam begini?"

"Cepat ikuti aku!"

Ratih mengusap kedua matanya dan sambil setengah mengantuk ia mengikuti langkah Laksmidara dari belakang. Sesekali ia menguap hingga langkah kakinya tersandung-sandung. Ratih mulai tersadar dan membuka matanya lebar-lebar saat mengetahui mereka akan berjalan keluar. Dan benar saja, dalam gelapnya malam, mereka kini tengah memasuki hutan dan hanya dibantu dengan penerangan lentera yang dibawa Laksmidara.

Kini Ratih benar-benar kehilangan rasa kantuknya, ia bahkan mewaspadai keadaan sekitar walaupun sambil sedikit bergidik ngeri. Setelah melewati perjalanan yang cukup jauh, akhirnya di depan sana terdengar suara gemericik air yang kian lama terdengar semakin jelas. Saat sampai di tempat itu betapa terkejutnya Ratih saat mengetahui ada sebuah air terjun kecil yang bersembunyi di dalam hutan. Jika dilihat dari aliran sungai dan jenis bebatuannya, sepertinya air terjun ini merupakan hulu dari sungai tempat ia datangi tadi siang.

"Kenapa kita kemari Nyai?" rasa penasaran yang begitu besar membuat Ratih tak tahan untuk melontarkan pertanyaan yang terus terngiang di benaknya.

"Diam dan ikuti saja aku!" bentaknya.

Ratih hanya mengangguk sambil tersenyum masam. Apa ia tidak tahu sedang bicara dengan siapa, dirinya ini adalah ratu Kerajaan Medang. Walau sebenarnya itu sesaat sebelum mahkotanya dilepas dan ia dijebloskan ke penjara.

Laksmidara mulai melangkahkan kakinya memasuki air dan diikuti oleh Ratih yang menjinjing kainnya dari belakang. Suhu air yang dingin merayapi telapak kakinya dan membuat kain bagian bawahnya sedikit basah walaupun ia telah menaikkannya.

Wanita di depaannya itu terus berjalan menuju ke arah mata air terjun, apakah wanita ini sudah gila? Bagaimana mungkin ia mengajaknya untuk mandi tengah malam begini? Pikirnya.

Saat hampir dekat dengan air terjun itu, tiba-tiba Laksmidara meraih pergelangan tangan Ratih dengan kuat. Lentera yang tadinya menjadi penerang perjalan ini seketika apinya padam karena Laksmidara melemparkannya ke air.

Ratih yang kebingungan terus memandangi pergelangan tangannya yang dipegang erat oleh wanita itu. Kemudian ia pun menggandeng tangannya untuk berjalan menuju air terjun. Ratih sempat menahan langkahnya untuk maju karena ia tidak ingin masuk ke dalam air terjun itu. Namun, Laksmidara dengan tatapan meyakinkannya membuat Ratih menurut dengan keinginannya.

Kedua matanya terpejam saat ia merasa tak siap untuk merasakan betapa dinginnya air yang akan menghantam seluruh tubuhnya dari atas. Namun ternyata bukan itu yang ia rasakan, udara yang tadinya dingin secara tiba-tiba berubah begitu saja. Saat Laksmidara melepaskan pegangan tangannya, saat itu juga ia membuka kedua matanya kembali.

Ratih tercengang saat menatap keadaan sekeliling, bagaimana bisa dirinya tiba-tiba berpindah dari yang tadinya di air terjun kini ia berada di sebuah mulut goa. Ratih membalikkan badannya dengan cekatan dan mendapati seluruh pintu goa ini tertutup oleh aliran air terjun yang begitu deras. Lalu, ia memegang rambut hingga seluruh tubuhnya dan mendapati bahwa dirinya tetap kering walaupun baru saja melewati air itu. Dengan polosnya ia berteriak-teriak kagum dan keheranan pada Laksmidara.

"Nyai! Yang barusan itu bagaimana bisa?" tanyanya sambil histeris kegirangan.

Kemudian Laksmidara berjalan mandekat dan menutup mata Ratih.

"Air terjun ini hanyalah ilusi yang ku buat, lihatlah," ungkapnya sambil membuka mata gadis itu kembali.

Ratih kembali tercengang, dilihatnya air terjun itu menghilang bersamaan dengan suara gemerisik air yang mengikutinya.

"Tapi, untuk apa?" tanyanya sambil menatap mata wanita itu.

"Untuk melindungi senjata pusaka busur bajra," balasnya.

"Busur bajra?"

Ratih melongo, ternyata di sinilah tempat Laksmidara menyembunyikan pusaka itu. Persembunyian yang cukup baik, gumannya.

Laksmidara berjalan menuju sebuah patung Dewi Durga yang baru saja Ratih sadari keberadaannya saat mereka mulai berjalan lebih masuk lagi ke dalam. Di balik patung itu terdapat sebuah peti besar. Laksmidara menangkupkan kedua tangannya sebagai bentuk penghormatan dan diikuti oleh Ratih di belakang, kemudian wanita itu terlihat seperti tengah merapalkan mantra untuk dapat membuka peti tersebut.

Tak lama kemudian peti itu terbuka dan memunculkan cahaya berkilauan dari dalam. Ratih merasa takjub dengan apa yang tengah ia lihat. Busur pusaka itu sangat indah dan berkilauan, dan di dalam sana terasa seakan ada aura yang menarik dirinya untuk dapat memiliki busur tersebut.

Plakk

"Aduh! Kenapa Nyai memukulku?" tanyanya kesakitan saat Laksmidara memukul tangannya yang hendak meraih busur itu.

"Apa yang kau lakukan?"

"Aku ingin mencobanya, bukankah aku dapat menggunakannya?"

Laksmidara menggeleng, ia menatap kedua manik gadis itu.

"Memang benar, tapi bukan sekarang saatnya. Busur ini mempunyai kekuatan yang sangat besar, dan untuk dapat menggunakannya maka orang itu haruslah dapat menguasai energi dalam dirinya. Karena jika tidak..."

"Jika tidak?"

"Maka dia tidak akan bisa selamat."

Ratih terkejut, ia menelan ludah sambil menatap ke arah busur yang berkilauan itu tanpa menyentuhnya. Kemudian Laksmidara menutup kembali peti itu dan menarik tangannya untuk keluar dari goa ini.

Sesampainya di luar goa air terjun tersebut, Laksmidara mengajari Ratih menguasai ilmu kanuragan untuk mempersiapkan dirinya menggunakan senjata pusaka tersebut. Di bawah sinar rembulan, keduanya tampak fokus mengatur pernapasan mereka dalam sebuah meditasi. Laksmidara melakukan sebuah mantra untuk menyalurkan sebagian energinya kepada Ratih. Setelah penyaluran energi selesai, tiba-tiba Laksmidara terbatuk cukup keras hingga membuat Ratih bangkit dari meditasinya dan meraih pundak wanita itu.

"Nyai kenapa?" tanyanya risau.

"Aku baik-baik saja, memang begini dampak dari mantra tersebut. Kau tidak perlu khawatir," ujarnya menenangkan Ratih.

Kemudian Ratih kembali duduk ke tempatnya semula sambil menghadap wanita itu.

"Nyai, kenapa Anda sampai mempertaruhkan nyawa seperti ini demi membantuku untuk mendapatkan senjata itu?"

"Itu karena aku percaya padamu," lirihnya.

"Aku percaya, kau adalah wanita dalam ramalan itu, kau mampu mematahkan sihir kegelapan, begitu juga dengan menyatukan kedua dinasti yang berbeda," imbuhnya.

Ratih terdiam cukup lama, setelah mendapat energi tambahan ia merasa tubuhnya semakin kuat, namun ia melihat tubuh Nyai Laksmidara yang semakin melemah. Hal ini membuatnya merasa bersalah dan tidak enak kepadanya. Semua orang berharap lebih kepadanya sekarang. Namun, ia hanyalah seorang mahasiswi biasa dengan kehidupan yang berantakan. Akankah ia sanggup nantinya?

"Kenapa Pramoda? Merindukan rumah?" tanya Laksmidara memecah lamunannya.

"Ah, tidak Nyai, aku bahkan tidak sedang memikirkan Kerajaan Syailendra," balasnya.

"Tapi bukan rumah itu yang kumaksud," sahutnya.

Ratih mendongakkan kepalanya sambil membuka kedua mata lebar-lebar.

"Jadi, selama ini Nyai sudah tahu?" tanyanya ragu.

Laksmidara tersenyum, ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan sambil menengadah untuk menatap sang rembulan.

"Kala adalah waktu, dan Batara Kala adalah sang penguasa waktu. Setiap manusia memiliki waktu mereka masing-masing. Kebahagiaan, kesedihan, dan amarah, itu semua memiliki waktu. Batara Kala tidak hanya menguasai waktu, tapi juga jiwa manusia. Karena kesalahan yang diperbuat seseorang di suatu masa, Kala mampu menukar jiwanya dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda."

Ratih membulatkan kedua manik matanya, sedangkan Laksmidara menyentuh pipinya secara perlahan.

"Dan kau Pramoda, jiwa yang berada dalam tubuhmu ini, memberimu kekuatan untuk melaksanakan tugasmu," lanjutnya.

***

Pagi itu suasana terasa sangat berbeda. Tidak ada kicauan burung di pagi hari, udara sejuk yang biasanya memberi semangat untuk memulai hari seketika senyap dan hanya berisi kehampaan. Pagi itu suasana diwarnai dengan kericuhan yang terjadi di kediaman Laksmidara.

"Nyi, gawat!" ucap Laras

terdengar suara derap langkah kuda dan teriakan-teriakan yang menggelegar. Laksmidara segera mengintip dari balik jendela bambu dan ia mendapati banyak sekali pasukan kerajaan yang mengepung rumahnya. Sepertinya para prajurit istana telah menemukan tempat persembunyian mereka.

"Aku tidak pernah menyangka mereka akan sampai kemari," lirih Panji.

Laksmidara yang tampak penuh amarah memegang ganggang pedangnya dengan sangat erat, "Sasaran utama mereka adalah Pramodawardhani, jangan sampai membiarkan mereka mendapatkannya."

Laras dan Panji mengangguk sambil bersiap dengan senjata mereka masing-masing.

"Aku akan membantu," ujar Ratih.

"Tidak!"

"Jangan sampai mereka menemukanmu di sini, itu akan sangat berbahaya," tolak Laksmidara.

"Lalu kemana aku harus pergi?"

"Ratih, apa kau bisa menunggangi kuda?" tanya Laksmidara sambil memegangi bahunya.

Walaupun sedikit tidak yakin, tapi Ratih tetap mengangguk.

"Kalau begitu ikuti aku!" perintahnya.

Sementara itu Laksmidara memerintahkan Panji dan Laras untuk mengalihkan perhatian para prajurit itu terlebih dahulu.

***

"Kita akan pergi kemana? Bagaimana dengan Laras dan Panji?" tanya Ratih saat ia telah naik ke atas pelana kuda milik Laksmidara.

"Ambil busur bajra itu dan terus berjalanlah ke arah barat, apapun yang terjadi jangan menoleh ke belakang!"perintahnya. Belum sempat Ratih mengucapkan sepatah kata apapun, Laksmidara menepuk bagian belakang kuda itu dan membiarkannya berlari membawa Ratih pergi.

Ratih yang tadinya belum siap apa-apa sedikit terjungkal ke belakang, tetapi akhirnya ia pun dapat menjaga keseimbangannya dengan baik. Kedua matanya terbelalak lebar memandangi Laksmidara yang sudah tidak berada di tempatnya lagi.

Ratih yang masih kebingungan kembali menolehkan pandangannya ke arah depan sambil memegang erat tali kekang kudanya agar tidak terlepas. Dilihatnya cahaya sang surya yang mulai naik ke singgasananya.

Tidak berselang begitu lama tiba-tiba sebuah anak panah datang dengan cepat menuju ke arahnya. Hanya berjarak beberapa senti dari pipi kanan Ratih, anak panah itu lolos begitu saja dan hampir saja mengenainya.

Ratih menoleh ke belakang dan ia mendapati beberapa prajurit berkuda yang ternyata mengejanya, ia pun semakin memacu kudanya dengan sangat cepat.

"Hentikan wanita itu!" teriak salah seorang dari mereka. Kemudian satu anak panah lagi berhasil diloloskan dan mengenai kaki kuda yang ditunggangi Ratih. Hal itu tentunya membuat kudanya berhenti dan dirinya sendiri pun jatuh dari pelana.

"Aaaargh," erangnya kesakitan.

Tidak beselang cukup lama, para prajurit itu kini telah mengepung dirinya hingga ia tak dapat lari kemanapun lagi. Ini gawat, padahal kurang sedikit lagi ia sudah mencapai air terjun tempat senjata pusaka itu berada. Untungnya ia masih menyimpan satu pedang pemberian Laksmidara. Walaupun ia tidak terlalu baik dalam menggunakan pedang, namun ia cukup yakin untuk bisa melawan mereka semua.

Ratih menarik pedang itu dari sarungnya, kemudian dihadapinya serangan para prajurit itu satu persatu. Sebenarnya ia cukup kewalahan, namun kemampuan menghindar dan tangkisan yang ia tunjukkan sudah terbilang sangat baik. Walau begitu, tetap saja ia tidak sanggup untuk menghadapi mereka semua seorang diri.

Tiba-tiba sekelebat bayangan muncul di hadapannya dan menarik tangan Ratih untuk berlindung di belakangnya.

"Laras," Ratih tersenyum lebar.

"Cepat pergi dari sini Ratih! Aku yang akan menghadapi mereka semua," desaknya.

Itu benar, ia harus segera sampai ke air terjun itu untuk mengambil senjata pusaka busur bajra. Kemudian ia pun mengangguk dan mencari kesempatan untuk berlari saat mereka tengah sibuk bertarung. Ia mendorong salah satu prajurit hingga terjatuh dari pelana kudanya.

"Maaf, aku ingin meminjamnya." Segera ia naik ke atas pelana kuda dan memacunya dengan cepat menuju ke arah air terjun.

Akhirnya ia sampai di depan mulut goa air terjun tersebut. Tanpa menunggu lagi ia pun langsung turun dari kudanya dan masuk begitu saja menembus aliran air terjun. Sampai di dalam, ia berjalan mendekat ke arah patung Dewi Durga. Ratih menghaturkan salam penghormatan terlebih dahulu sebelum mengambil senjata itu.

Untung saja ia ingat dengan mantra yang sempat diajarkan Laksmidara padanya semalam. Akhinya peti itu pun terbuka setelah Ratih merapalkan mantra dan mengarahkan telapak tangannya di depan peti.

Ratih tersenyum lebar, ditatapnya busur yang sangat berkilauan itu. Kemudian ia pun langsung mengambil busur dan anak panahnya sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat itu.

Ratih mendongakkan kepala, ditatapnya sang surya yang mulai tergelincir dari singgasananya. Sesuai dengan ucapan Laksmidara, ia terus berjalan mengikuti arah terbenamnya matahari walau sejujurnya ia tak tahu kemana arahnya pergi. Ia bahkan tak sempat bertanya.

Ratih terus memikirkan keadaan teman-temannya. Kira-kira apa yang terjadi pada mereka? Kondisi Laksmidara yang melemah sejak ia memberikan energinya pada Ratih membuatnya semakin khawatir akan keadaannya saat ini. Apakah Darsana telah menangkap mereka semua?

Ratih mengeratkan pegangan tali kekang kudanya, ia sangat muak dengan pria tua brengsek itu. Sebenarnya sejak berhasil mendapatkan senjata ini, ia ingin sekali kembali dan membantu mereka. Namun, sekali lagi ia ingat bahwa Laksmidara melarangnya untuk menoleh ke belakang.

Ratih terus memacu kudanya dan memasuki hutan semakin dalam. Begitu banyak pepohonan dan semak-semak di sepanjang jalannya. Kabut asap turut menghalangi penglihatannya sehingga ia cukup kesulitan dalam menyusuri jalan hutan.

Hari semakin gelap, bahkan kini matahari telah tergantikan dengan cahaya rembulan. Ratih menahan perutnya yang berbunyi, sejak pagi ia belum makan apapun dan sepanjang perjalanan ini ia hanya minum air saja.

"Hei kuda? Apa kau tidak lapar?"

Ia tersenyum masam, mana mungkin hewan dapat menjawab pertanyaannya. Kemudian Ratih merasa pinggangnya semakin lelah karena terlalu lama duduk. Ia ingin sekali istirahat, sayangnya ini masih di dalam kawasan hutan. Tidak ada pemukiman satu pun di sini.

Saat malam semakin larut, bersamaan dengan itu nyalinya pun semakin surut.

"Sebenarnya aku salah jalan tidak sih? Kenapa dari tadi yang ada hanya hutan?" gerutunya.

Ratih mendengkus kesal, kemudian ia mendengar sebuah suara-suara aneh di sekitarnya.

"Grrr...grrr..."

Ratih menghentikan kudanya dan menatap ke arah sekitar. Ia merasa semak-semak di sekitarnya bergerak-gerak, tetapi ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanyalah disebabkan oleh angin.

Seketika ia sadar bahwa itu bukanlah angin. Dari kejauhan ia melihat beberapa pasang mata merah yang menakutkan tengah memperhatikannya. Ratih menelan ludah, bersamaan dengan itu keringat dingin keluar dari pelipis matanya.

Ia menarik tali busurnya dengan kuat sebagai persiapan untuk perlindungan diri. Semakin lama beberapa pasang mata itu terlihat semakin banyak bahkan kini telah sampai mengepungnya.

Ratih mengangkat busurnya dan bersiap untuk membidik ke arah semak-semak. Namun, tiba-tiba saja seekor serigala besar melompat dari sana dan membuat kuda yang ditumpanginya menukik ke belakang hingga membuat Ratih jatuh terjengkal. Seketika itu busur dan anak panahnya jatuh berhamburan ke tanah.

"Aaargh," teriaknya.

Beberapa serigala lain mulai bermunculan dari segala arah. Ratih yang masih menahan kesakitan merasa tidak sanggup untuk berdiri. Sepertinya kakinya terkilir.

Ia mencoba meraih busur bajra yang terpental tidak jauh dari posisinya, namun belum sampai ia meraihnya tiba-tiba saja serigala besar itu berlari dan bersiap untuk melompat ke arahnya.

Ratih berteriak sambil menutup matanya, sepertinya ia akan mati saat ini juga.

Tiba-tiba sebuah anak panah yang terbakar melesat hingga tertancap tepat di depannya. Hal itu membuat serigala yang tadinya hendak menerkamnya seketika mundur ke belakang karena takut akan sulutan api tersebut.

Tidak hanya itu aja, tapi beberapa anak panah lain melesat begitu saja hingga membuat pola yang memutarinya. Ratih hanya bisa tercengang menatap semua itu, bahkan sesekali ia menengadah untuk mencari keberadaan seseorang yang membidik panah tersebut.

Seketika terlihat sekelebat sosok pria yang datang melompat ke arahnya, Ratih hanya mampu memandangi punggung pria itu. Jika dilihat dari belakang, sepertinya ia mengenal sosok itu. Pria itu membawa sebuah obor untuk mengusir para serigala itu. Saat dirasa keadaan sudah aman, Pria berambut panjang itu menoleh ke arah Ratih berjalan mendekatinya. Ia meraih kedua bahu gadis itu. Seketika itu juga pandangan mereka saling bertemu.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya.

Ratih tak dapat mengatakan sepatah kata apapun, lidahnya terlalu kelu, dan kedua matanya terpaku menatap kedua manik pria itu. Dan bau ini...ini adalah wangi seseorang yang sangat ia kenal. Saat itu juga ia sungguh tidak percaya akan dapat bertemu dengannya lagi setelah sekian lama.

"Raka?"

Ratih langsung memeluk dan menangis di dekapan Rakai.

Continue Reading

You'll Also Like

Won't Get Divorce! By Berry.

Historical Fiction

25.4K 3.1K 27
Ketika keinginannya untuk bisa mengulang waktu terwujud, Edith segera berusaha memperbaiki hubungannya dengan suaminya, Julian. Ia berjanji tidak aka...
366K 35.2K 40
Mungkin, masa lalu yang dapat menyembuhkannya Book I Start: 26 Maret 2020 End : 19 Mei 2020
2.4K 207 9
-Ini semua tentang aku, kamu, dan kisah kita; Warn¡ BL CONTENT Bahasa (semi) baku-
632K 16.2K 15
Sebagian Part di hapus, untuk proses penerbitan. Baginya memahami isi dokumen dan memenangkan sebuah tender lebih mudah dibandingkan memahami dan mem...