“Say Cheese ....” Wajah Mike dan Diana saling berdempetan dan tersenyum lebar hingga memperlihatkan gigi mereka pada kamera ponsel Mike.
“Cheese ...!” Diana berseru.
Mike melihat hasil fotonya lalu mengirimkan hasilnya ke Maria.
Mike: Aku sedang berkencan dengan gadis manis. Jadi jangan hubungi aku sampai malam nanti.
Sementara itu, Maria yang berada di rumah tidak bisa tidak tertawa. Akhirnya kecanggungan antara ayah dan anak runtuh juga. Tanpa membalas, Maria meletakkan ponselnya dan melanjutkan pekerjaannya merangkai bunga.
Kembali pada Mike dan Diana, mereka memakan ice cream di gelas besar yang memiliki 2 sendok kecil dengan tangkai panjang. Walaupun sudah musim gugur, tapi masih terasa panas. Jadi, begitu mereka tiba di tempat hiburan, Diana segera memesan ice cream.
“Jadi, apa yang bisa kita lakukan di tempat ini? Menembak di sana?”
Ketika Mike menunjuk permainan menembak sasaran, Diana pun mengangguk.
Selesai menghabiskan ice cream mereka langsung menyerbu tempat tersebut.
Mike yang memegang pistol. Sedangkan Diana menyemangati ayahnya. Namun setelah banyak menghabiskan peluru mainan, tidak ada satu pun target yang dikenanya. Alhasil mereka tidak mendapatkan hadian apa pun.
Mike berdecak kemudian mendesah. “Aku sudah tua.”
Diana memakluminya.
Kemudian mereka pergi ke permainan lainnya. Lagi, semua permainan tidak ada yang dimenangkan Mike.
Dan pria itu akan mengatakan, “Astaga .... Aku sudah tua.”
“Pfftt ....”
Suara tawa pendek itu membuat Mike menatap anaknya. “Ada apa?”
“Kau mengatakan itu di tiap tempat kita mainkan, Pa.”
Merasa bodoh, Mike menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Benarkah? Aku sampai tidak sadar. Sepertinya aku memang sudah tua ....”
Terdiam sejenak, mereka berdua serempak tertawa kemudian.
Setelah puas tertawa, Mike kemudian memegang tangan anaknya. “Ayo, hari mulai gelap. Kita harus berburu makanan.”
“Oh benar! Aku kelaparan.” Diana menyentuh perutnya yang rata dengan tangan lain.
Mereka menuju pasar malam untuk mencoba banyak makanan yang dijual di sana. Seperti yang Mike bayangkan, anaknya memang seorang pemakan. Gadis mungil itu makan lebih banyak darinya.
Sekarang, Mike bertanya-tanya ... ke mana larinya makanan yang dia telan?
Dan pertanyaannya terjawab ketika mereka hendak berjalan menuju mobilnya terparkir.
“Pa!” Diana menahan Mike. “Toilet.“
“Apa?”
“Toilet! Aku butuh toilet!”
Mike pun tergesa-gesa mencari toilet bersama Diana.
Bersandar di tembok, Mike menghembuskan asap dan menatap ke langit. Dia kemudian terkekeh. “Anak kita sangat mirip denganmu, Maria.”
Selang beberapa menit, Diana kemudian keluar. Betapa leganya dia setelah mengeluarkan isi perutnya. Dia melangkah sambil melompat seperti anak kecil ketika mendekati ayahnya yang posisinya tidak jauh dari toilet. Dan Mike yang melihat Diana segera mematikan rokoknya sebelum membuangnya ke tempat sampah.
“Sudah selesai?”
Diana yang tersenyum menganggukkan kepalanya.
“Kalau begitu kita bisa pergi sekarang. Ayo, Little Bean. Masih ada satu tempat lagi sebagai penutup kencan kita. Aku sudah membuat daftar kencan kita dengan sempurna. Jika satu ini tidak berhasil, artinya apa yang aku lakukan bersamamu dari sore tadi, gagal total.”
Diana tersenyum lebar. “Ke mana, Pa?”
Tersenyum, Mike menjawab, “Klub komedi.”
***
“... Pertama kali aku melihatnya, aku tidak begitu menikmatinya. Tapi kemudian aku menonton lagi dengan salah satu teman Asiaku, dan aku melihat betapa berartinya dia melihat dirinya terwakili di layar, dan itu membuatku sangat menyukai film itu.
Lalu aku berkata, ‘Oh, um, itu tidak berarti Anda menyukai filmnya. Itu hanya hal yang merendahkan dan menyebalkan untuk dikatakan’.” Seorang pria di panggung klub komedi berceloteh dengan suara lucu.
Semua penonton tertawa. Termasuk Mike dan juga Diana. Dia kemudian menoleh dan bertanya, “Kamu mengerti, Little Bean?”
Diana dengan polos menggeleng menyebabkan Mike tertawa lebih kencang.
***
Tiba di rumah, hari sudah sangat larut. Dari luar Maria bisa mendengar samar-samar suara tawa anaknya. Dia pun membukakan pintu dan melihat Diana dengan tas sekolahnya tersenyum lebar seraya memeluk lengan ayahnya. Sedangkan Mike terlihat menceritakan kebodohannya ketika masih muda.
“Hai,” sapa Maria membuat Diana berlari kecil mendekati ibunya di depan pintu. Dia memeluk anak gadisnya dan mencium dahinya. “Mandi dan segera tidur.”
“Aye aye, Ma'am! Good night, Ma, Pa.”
Maria tersenyum menatap anaknya yang telihat bahagia ketika memasuki kamar.
Setelah itu dia melihat ke luar di mana Mike menyalakan rokoknya dengan pemantik.
“Bagaimana kencan kalian?” tanya Maria yang bersandar di kusen pintu.
Mike menoleh sebelum mengangguk. “Menyenangkan. Akhir pekan ini kita akan pergi ke tempat yang kalian mau.”
Maria mengangkat alisnya. “Kita?”
Mike mendekat. “Kita. Aku, kau, dan Diana.”
“Dan aku pikir kau hanya beberapa hari saja di sini.”
Mike menghisap rokoknya tanpa menjawab. Mematikan dan membuangnya, dia kemudian mencium bibir Maria cepat dan mengajak wanitanya untuk masuk ke dalam rumah.
***
Hari-hari berlalu dengan baik untuk Diana. Rumah yang biasanya hanya ada 2 orang perempuan tampak hidup dengan kedatangan Mike. Karena keberadaan Mike di sana yang menceritakan banyak hal, Diana tidak pernah berhenti tertawa.
“Sayang, kemarilah. Little bean kita memiliki banyak surat cinta di tasnya!”
“Oh itu surat cinta? Aku pikir itu kunci jawaban tes.”
Mike mengerutkan dahinya melihat wajah polos anaknya dengan mata yang besar. “Siapa yang mengatakan itu?”
Mata besar yang murni. Kepala dimiringkan ke samping. Tanpa beban, Diana menjawab, “Beauty.”
Sementara itu di tempat lain, Helena pun merasakan kebahagiaan yang amat mendalam. Setelah saling terbuka dan mempercayai satu sama lain beberapa hari terakhir ini, dia akhirnya membuat kenangan bersama Matthew.
Sebuah kenangan yang tak terlukiskan.
Bertelanjang dada dan menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, Matthew menghembuskan asap ke atas. Ketika dia membawa rokok ke mulutnya lagi, dia melirik ke samping, di mana wanita berambut merah keemasan sudah tertidur pulas membelakanginya. Selimut hanya menutupi setengah punggung belakang wanita itu yang tidak mengenakan apa pun. Matthew mengambil ujung rambut Helena yang halus lalu memainkannya sambil tersenyum samar.
Dia kemudian mematikan rokoknya yang sudah menjadi pendek di asbak sebelum memeluk Helena dan menyusulnya ke alam mimpi. Tanpa tahu jika layar ponselnya berkedip ketika ada panggilan masuk. Setelah panggilan tersebut berhenti, satu pesan muncul.
Joanna: Ini penting. Angkat panggilanku, Matt.
Di pagi hari, Helena membuka matanya dan mendapati kepalanya berada di dada yang keras. Dia mendongak dan melihat wajah pulas Matthew.
Dia menyempatkan waktunya sebentar untuk melihat tato di leher Matthew. Bentuknya menjalar sangat rumit sampai-sampai Helena tidak tahu gambar apa di sana. Namun, saat dia melihatnya lebih teliti, dia hampir melewatkan bagian lain. Selain ukiran rumit tersebut, ada dua baris tulisan Cina memanjang ke bawah, sangat kecil, dan dibaluti ranting-ranting. Dia mengulurkan tangannya ingin menyentuh seni tersebut akan tetapi Matthew sedikit bergerak dalam tidurnya membuatnya menarik kembali tangannya.
Tidak ingin membangunkan prianya, Helena turun dari tempat tidur dengan amat perlahan. Dia memungut t-shirt Matthew yang sangat besar lalu memakainya. Dengan itu saja sudah menutupi setengah pahanya, jadi dia tidak repot-repot menggunakan celana.
Turun ke bawah, Helena melihat Jacob yang duduk di sofa dengan sebotol bir di tangannya. Dilihat dari kantung matanya yang menghitam, sepertinya dia tidak tidur semalaman.
Tidak ingin mengganggu waktu menyendiri Jacob, Helena melanjutkan langkahnya ke lemari es dan mengambil air mineral dingin.
Saat meminumnya beberapa teguk, Jacob bertanya, “Helena, apa yang disukai Hera?”
Helena mengangkat sebelah alisnya. “Jadi kau frustasi sampai tidak tidur karena memikirkan Beauty? Dia akan senang mendengar ini jika aku mengatakannya.”
“Hm, katakan saja.” Jacob memejamkan matanya lelah. “Katakan juga aku mau mengajaknya ke kamarku seperti yang dilakukan Matthew kepadamu. Dia meninggalkanku dalam keadaan keras tadi malam.”
Dia juga ingin membawa Hera ke rumah persahabatan dan melakukan hal hebat sepanjang malam.
“Jika hanya itu yang kau pikirkan, tentu saja dia akan menolakmu. Kau ternyata bodoh juga, Jacob.”
“Dia memang idiot.”
Suara Matthew yang sedang menuruni tangga membuat Jacob membuka matanya kembali.
Matthew hanya mengenakan celana jeans. Dia kemudian mendekati Helena dan memeluknya dari belakang. Ketika mereka hendak berciuman, Jacob segera membuang muka dan mengumpat.
“Hera memang wanita yang keras dan tegas, tapi dia menyukai pria yang lembut dan patuh.” Helena menatap Jacob. “Cobalah untuk bersikap seperti anak baik, bukan seperti bajingan.”
“Orang yang memelukmu itu paling bajingan di sini.”
Matthew menggeleng sambil menatap Jacob remeh. “Kau paling bajingan di sini.”
Matthew tiba-tiba mengangkat tubuh Helena dengan mudah lalu meletakkannya di atas meja hingga Helena menjerit kecil sebelum terkikik.
Kedua orang itu mulai bermesraan. Dan Jacob yang panas segera menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya.
"Hei, apa arti tato di lehermu?" tanya Helena ketika Matthew mengendus lehernya.
"Ayahku terburuk dan aku bajingan yang paling tidak beruntung"
Mengangkat alisnya tinggi, Helena tertawa. "Apa? Jangan bercanda."
"Aku tidak pernah bercanda."
Dan Helena menatapnya dengan tatapan rumit. "Aneh."
Matthew menyeringai. "Itu keren, kau tahu? Tidak banyak orang yang bisa tahu."
"Ya, termasuk aku," gumam Helena.
Tidak melanjutkan obrolan mereka, Matthew mendekati bibir Helena seraya mengarahkan kedua kaki jenjang kekasihnya untuk memeluk pinggangnya.