Dalam kamar yang sedikit temaram, Jacob menghisap rokoknya kuat sebelum menghembuskan asapnya. Dia menyandarkan tubuh sampingnya seraya menatap ke luar jendela. Suara musik yang berisik di luar samar-samar terdengar namun suasana hatinya sangat buruk.
Dia sedang kesal. Raut wajahnya tampak dingin. Dia membawa rokok ke mulutnya lagi sebelum menoleh ke sosok perempuan berambut pirang yang sedang merapikan riasan dan pakaiannya lewat cermin.
Setelah Hera selesai, dia mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu. Sebelum dia bisa menggapai pintu, Jacob segera membuang rokoknya ke luar lalu mendekati Hera dengan langkah lebar. Dia menahan lengan Hera dengan kuat.
“Apa kau mempermainkanku?”
Hera memiringkan wajahnya. “Apa aku seperti mempermainkanmu?”
Jacob mengangguk. Wajahnya terlihat sangat marah. “Selama ini kita hanya saling memberi kepuasan tanpa melakukan hal intinya. Apa kau pikir hanya berciuman dan membelai itu keren?”
“Aku tidak menganggapnya seperti itu.”
“Lalu apa? Kau terbuka. Kau mau tapi tidak mau di waktu bersamaan. Dan aku selalu siap, tapi bagaimana denganmu?” Jacob membasahi bibirnya. “Urusan kita belum selesai di sini. Tapi kau sudah ingin pulang. Aku jadi bingung sebenarnya apa kau serius atau tidak.”
Hera mengedipkan matanya dengan tenang. Dia mengangkat tangannya dan mengusap rahang Jacob. “Aku menyukaimu, Jacob. Kau orang yang tidak kenal kata menyerah. Menurutku bersenang-senang sudah cukup. Tapi jika kau bersikeras, mungkin aku akan memikirkannya.”
Jacob memejamkan matanya dan mengumpat kasar. “Aku harus menunggu lagi.” Dia membuka matanya dan menatap serius Hera. “Menginaplah di sini. Aku akan mengantarmu pulang besok pagi.”
Hera menggeleng. “Urusanku denganmu sudah selesai hari ini. Sopirku sudah tiba dan aku harus mengantar Diana lebih dulu. Sampai jumpa besok di sekolah.”
Hera berjinjit lalu mengecup pipi Jacob.
“Hmm.” Walaupun masih tidak puas dengan jawaban Hera, Jacob tetap membiarkan wanita itu pergi.
Dia keluar dari kamar tersebut dan melihat ke bawah di mana Hera menuruni anak tangga dan menuju posisi Diana.
Tidak ada satu pun dari teman-temannya yang datang ke pesta ini mengalikan wajah mereka dari Hera. Gadis itu tidak melakukan hal yang heboh untuk menarik perhatian. Dia hanya melewati mereka dengan percaya diri, dan mata semua orang langsung tertuju padanya.
Itulah yang membuat Jacob tertarik pada Hera. Aura Hera dapat menarik sesama maupun lawan jenis.
Hera menggenggam tangan Diana dan mengajaknya keluar. Mereka berdua berhenti sejenak di depan Helena dan Matthew seolah memberi kabar bahwa mereka akan pulang lebih dulu sebelum saling melambaikan tangan. Dan dengan begitu, Hera pun pergi.
***
Kendaraan yang ditumpangi Diana berhenti di depan halaman rumahnya. Dia menoleh ke samping lalu memeluk Hera.
“Hati-hati di jalan.”
Hera mengangguk singkat. “Butuh tumpangan besok pagi?”
Diana membuka pintu samping mobil lalu menggeleng. “Sampai jumpa besok.”
“Hmm.”
Setelah melihat Diana masuk ke dalam rumahnya, barulah sang sopir membawa Hera kembali ke Mansion Vourou.
Diana melihat ke dalam rumahnya yang gelap dan sunyi menandakan orang tuanya sudah terlelap. Mengunci pintu, dia kemudian melangkah ke kamarnya tanpa membuat keributan.
Ketika Diana menutupi pintu kamarnya, tanpa Diana sadari Mike duduk di meja makan yang gelap gulita. Karena tempat tinggal Maria bukanlah rumah yang besar dan lebar, Mike masih bisa mendengar suara pintu yang tertutup dan langkah kaki walaupun dia tidak melihat Diana.
Mike melihat jam dinding yang mengarah ke jam 2. Dan dia hanya diam.
***
“Ini untukmu, Little Bean.” Maria meletakkan dua waffle di atas piring Diana. Suara yang menenangkan itu membuat Diana tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Seperti kemarin-kemarin, mereka sarapan bersama.
“Dan ini untukmu juga kopi hitam.” Maria memberikan pada Mike juga.
“Thank you,” ujar Mike lembut. Dia mengambil tangan Maria yang bersandar di bahunya lalu membawanya ke bibirnya untuk dikecup.
Maria tersenyum seraya duduk di sebelah Mike.
Mike melipat koran yang baru saja dia baca. Lalu menyimpannya di kursi kosong. Dia kemudian menatap Diana. “Kamu sering pergi bersama teman-temanmu, ya? Jam berapa kamu pulang tadi malam, Diana?”
“... Aku lupa. Sekitar 12 malam?” lama Diana menjawab karena kesulitan berbohong. Dan sekali berbohong, dia tidak akan berani menatap lawan bicaranya.
“Diana jarang pergi di malam hari,” ujar Maria sambil tersenyum yang mana membuat Mike memahami 1 hal, Diana sengaja menghindarinya.
“Aku memiliki urusan di luar pagi ini. Jadi, kamu berangkat ke sekolah bersamaku saja,” Mike berkata sambil melihat Diana.
“Tapi, aku bisa pergi ke sekolah sendiri.”
“Menggunakan mobil pribadi akan lebih cepat sampai.”
Diana terdiam. Mike sepertinya tidak ingin berkompromi kali ini. Dan seperti biasa, Diana menatap ibunya. Mari tersenyum dan mengedipkan matanya lambat seolah menyarankannya untuk ikut Mike, Diana akhirnya mengangguk.
***
Mengendarai mobil, Mike melirik ke samping di mana Diana sangat diam dan tidak banyak bicara. Gadis kecilnya hanya menatap ke luar jendela.
Mike tersenyum miris. Dulu, Diana sangat aktif dan cerewet. Mulutnya tidak berhenti bicara dan apa pun akan ia kicaukan. Semakin berkembang dan tumbuh, Mike jadi jarang kembali ke New York. Tapi Maria selalu mengabari perkembangan anak mereka. Maria berkata, mulut Diana masih tidak lelah ketika berceloteh. Akan tetapi ....
Mike kembali menatap Diana. Anak gadisnya menjadi pendiam, berbeda dengan apa yang Maria terangkan.
Tiba di depan sekolah Diana, Mike bertanya terus terang, “Apa kamu masih menghindariku?”
Diana yang melepaskan seat belt, terdiam.
“Beberapa hari ini kamu selalu pulang sekolah ketika hari hampir gelap. Malamnya kamu akan pergi lagi dan pulang subuh. Apa kamu membenciku, Little Bean?”
“Kau tahu aku pulang jam berapa tadi malam. Tapi tidak melakukan apa pun?”
Ekspresi Mike tampak rumit. “Karena aku tidak ingin kamu membenci ayahmu ini.”
“Itu dia. Kau seorang ayah, Pa. Dan itu yang aku butuhkan. Aku ingin seorang ayah yang memperhatikanku, jangan takut mengambil tindakan.”
Mendengar itu raut wajah Mike menjadi lembut. Dia tersenyum sambil mengangguk. Dengan perasaan lega, ia membawa Diana ke dalam pelukannya dan berkata, “Maafkan aku. Karena sudah lama tidak bertemu denganmu, aku menjadi takut jika kamu akan membenciku.”
Mike kemudian memberi jarak pada mereka. ”Pulang sekolah nanti apa kamu memiliki waktu luang? Bagaimana jika kita melakukan kencan seorang ayah dan anak?”
“Kencan ... ayah dan anak?” ulang Diana. Tatapan matanya ada percikan penuh harap. Dan Mike mengangguk.
“Aku ingin mengajakmu bermain, berbelanja, dan makan sampai kenyang. Kita akan pergi seharian penuh sampai ibumu cemburu.”
Diana mulai tersenyum. Setelah itu dia tertawa kecil.
“Jadi?” tanya Mike lagi tak sabaran. Begitu anaknya mengangguk setuju, Mike segera berkata, “Hubungi aku jika kamu sudah selesai sekolah. Aku akan menjemputmu di sini, Little Bean.”
“Oke.” Diana keluar dari mobil.
“Sampai jumpa sore nanti, Nak!” seru Mike yang mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil.
Sedangkan Diana hanya melambaikan tangannya dengan semangat sambil tersenyum lebar.
Mike tersenyum dan bergumam, “Nah itu dia ... itu baru anakku yang aku kenal.”
Mike bahagia. Satu rintangan dengan anaknya sudah dia lompati.