VENUS [#5 Venus Series]

By RiriLidya

25.2K 2.4K 331

Venus are back! "Only us who can say RED" Bercerita tentang keempat wanita muda yang masih sekolah; Hera Loui... More

V E N U S
PROLOG
Chapter 1 - Freshman
Chapter 2 - Don't provoke them
Chapter 3 - Matthew's back
Announcement
Chapter 4 - How to get her in your bed
Chapter 5 - The boy on the balcony
Chapter 6 - Alice
Chapter 7 - Young woman with green eyes
Chapter 8 - Help her
Chapter 9 - Help him
Chapter 10 - 5M
Chapter 11 - Her father's lover
Chapter 12 - He's coming
chapter 13 - Frat party
Chapter 14 - Fix himself
Introducing Characters
Chapter 15 - With one kiss
Chapter 16 - Kiss you like this
Chapter 18 - A dirty book
Chapter 19 - Don't bet on it
Chapter 20 - Chase you
Chapter 21 - Get rejected
Chapter 22 - Special gift
Chapter 23 - Special gift 2
Chapter 24 - Got her number
Chapter 25 - Girl crush
Chapter 26 - Girl crush 2
Chapter 27 - Joke's on her
Chapter 28 - Looking for my sunshine
Chapter 29 - Confessed
Chapter 30 - Ethan O'Connor
Chapter 31 - Possessive
Chapter 32 - Father and daughter
Chapter 33 - Mr. Coward
Chapter 34 - The days went well
Chapter 35 - Feel like a fool
Chapter 36 - His hunch came to pass
Chapter 37 - Can't scold her
Chapter 38 - Inanna the lazy one
Chapter 39 - Shopping with his future father-in-law
Chapter 40 - BBQ time!
Chapter 41 - Eavesdropping
Chapter 42 - The uncle
Chapter 43 - Rejected
Chapter 44 - The worst date ever
Chapter 45 - Argue and then make up
Chapter 46 - A terror
Chapter 47 - The best meeting place is the toilet room
Chapter 48 - Duel
Chapter 49 - An intern
Chapter 50 - Worry about him

Chapter 17 - I'll send you to hell

362 49 3
By RiriLidya

Melihat raut Helena yang mulai tidak baik, Matthew menghembuskan napasnya kesal. Ia kembali menatap Helena, namun kali ini lebih lembut dari sebelumnya.

"Masuklah ke mobil." Matthew membukakan pintu untuk Helena, namun Helena masih berdiri di sana. "Lena."

Helena tidak menanggapinya. Gadis itu tetap berdiri di tempatnya tanpa menatap Matthew.

Ah sial, dia sepertinya sangat marah, batin Matthew mengeluh. "Lena."

Matthew mencoba selembut mungkin memanggilnya, "Babe."

Barulah saat itu Helena menatapnya. Tapi yang keluar dari mulutnya membuat wajah Matthew mengeras, "Aku tidak ingin melihatmu. Jadi jangan pernah muncul di hadapanku lagi."

Helena berbalik dan berjalan meninggalkan Matthew. Tapi Matthew dengan cepat menghentikannya.

"Tunggu." Matthew memegang tangan Helena.

"Lepas," Helena berkata pelan.

"Oke." Matthew melepaskannya seperti yang Helena inginkan dan wanita itu kembali berjalan membuatnya frustasi. Ia mengusap rambutnya kasar lalu berteriak, "I'm sorry!"

Melihat Helena berhenti, Matthew menurunkan suaranya, "Aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku hanya tidak suka kita membicarakan pria lain."

"Aku hanya bertanya, apa itu salah?!"

"Itu-" Matthew memejamkan mata dan menghembuskan napas kasar. Jika mereka berdebat sekali lagi, ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Matthew tahu itu.  

"Akan ada pertandingan persahabatan dengan sekolah Finn. Inanna memintaku untuk minta tolong padamu agar tidak membuat masalah dengan Finn di hari itu. Dia sangat senang jika urusannya berakhir dengan sempurna tanpa masalah." Akhirnya Helena bisa menjelaskan pokok pembicaraan mereka.

Matthew menatapnya cukup lama. "Hanya ... itu?"

"Tentu saja hanya itu! Memangnya apa lagi?!"

Memejamkan matanya dengan wajah lega, Matthew tiba-tiba tertawa membuat Helena bingung. 

"Astaga. Hanya itu saja ternyata ...." Menatap Helena, raut Matthew melembut. "Maaf. Kumohon, kembali ke sini dan aku akan mengantarmu pulang."

Helena terdiam cukup lama.

"Kumohon, Lena ...."

Helena memejamkan matanya erat sebelum menyerah mengingat bagaimana pria ini memohon terus menerus dengan frustasi. Helena berbalik dan segera masuk ke mobil.

Sepanjang perjalanan, dalam diam Helena menatap bangunan-bangunan di luar jendela. Matthew sesekali meliriknya. Ketika ia menggenggam tangan Helena, gadis itu berusaha keras untuk melepaskannya. Namun kegigihan Matthew membuat tangan mereka berdua tetap terjalin. Merasakan tidak ada pergerakan lagi dari Helena membuat dia tersenyum. Menyetir dengan sebelah tangan, satu tangannya lagi mengusap telapak tangan gadis yang ia sukai itu.

Helena bisa merasakan aliran listrik mengalir dari telapak tangan ke seluruh tubuhnya. Ia menoleh dan melihat Matthew menatapnya, tersenyum lembut. Matthew membawa tangan Helena ke bibirnya. Mengecupnya lama hingga wajah Helena bersemu merah seperti tomat busuk dengan kedua matanya terbelalak.

"P—Perhatikan jalan!" Helena memberi perintah.

"Yes, Ma'am."

Sontak Helena semakin memerah. Matthew hanya tersenyum lebar, kembali menatap jalan di depannya tanpa melepaskan tangan Helena.

Helena mengalihkan pandangannya ke luar dan diam-diam tersenyum. Mereka membiarkan keheningan yang rupanya sangat menyenangkan dengan tangan mereka terjalin erat.

Setibanya di rumah Helena, Ayah Helena sudah berdiri dengan gunting kebun di tangannya.

Melihat bagaimana tatapan Ryan terpaku padanya, Matthew tanpa sadar menatap waspada pada benda yang orang tua itu pegang.

Helena bisa merasakan sikap tegang Matthew. Ia tidak bisa menghentikan tawanya. "Tenang saja. Ayahku tidak akan membunuhmu jika kau segera pergi."

Matthew terkekeh dengan alis sebelah terangkat. "Oh sangat disayangkan. Bukankah aku harus berperilaku sopan?"

Melihat Matthew keluar duluan membuat wajah Helena suram. Bukankah dia sudah bilang untuk pergi saja? Matthew mengelilingi mobil dan membukakan pintu mobil untuknya sebelum mendekati Ryan.

"Gunting yang besar, Mr. Alexandras," Matthew menyapa Ryan.

"Cukup untuk mengoyak daging beserta tulang." Ryan melakukan gerakan memotong udara sangat kuat dengan gunting tersebut membuat Matthew tanpa sadar sedikit memundurkan wajahnya.

"Dia suka berkebun." Hillary datang dari dalam. Dan mendekati mereka. "Kalian sudah pulang?"

"Mrs. Alexandras," Matthew menyapa Hillary. Baru saja ia ingin mengambil tangan Hillary untuk dicium sebagaimana sikap bangsawan semestinya, Ryan sudah menghentikannya dengan mengarahkan gunting yang ia pegang. Dengan senyum yang masih terpatri, Matthew melupakan tata kramanya.

"Bukankah aku sudah bilang untuk memanggil namaku saja?" Hillary pura-pura menegurnya dengan ekspresi marah.

Dan Matthew membalasnya dengan senyum sopan. "Baiklah."

"Pulanglah," Helena berkata pelan. "Mom, Dad, aku akan masuk dulu."

Kedua orang tua Helena bergumam.

Sebelum Helena pergi, Matthew berbisik di telinganya, "Apa kau masih marah padaku?"

Helena menatapnya dengan tatapan intens yang sulit diartikan sebelum menjawab, "Entahlah."

Matthew berdecak dalam hati. "Aku akan menjemputmu besok."

Helena tidak menjawab lagi. Dia hanya pergi dari sana masuk ke mansion.

"Kamu tidak ingin masuk?" tanya Hillary.

Matthew menggeleng. "Aku akan pulang."

"Sayangku, bukankah kau tadi ingin mengambil keranjang?" Ryan bertanya menyadarkan Hillary.

"Ya Tuhan. Aku hampir lupa." Hillary tertawa. "Kalau begitu aku akan masuk dulu. Sampai jumpa, Matthew."

"Sampai jumpa, Hillary."

"Mrs. Alexandras." Matthew menatap Ryan bingung ketika orang tua itu menyelanya. "Jangan pernah memanggilnya Hillary."

"Menurutku itu lebih baik daripada memanggilnya Mommy," Matthew berkata dengan berani.

"Menurutku kau lebih baik pergi sekarang sebelum aku menendangmu," Ryan berkata datar.

Matthew mengangguk patuh. "Aku pulang dulu, Mr. Alexandras."

Saat Matthew berbalik, Ryan menghentikannya.

"Tunggu sebentar. Ambil kartu identitasmu di sini."

Matthew berjalan mundur ketika berbicara, "Tidak usah terburu-buru, Pak. Aku mencium anakmu lagi hari ini. Lebih baik kau menyimpannya di kantongmu."

Seketika wajah Ryan menggelap. Ia berjalan menuju Matthew yang sudah mencapai mobilnya. "Aku akan membuangnya!"

"Ide bagus. Dengan begitu aku tidak akan kembali ke Inggris. Terima kasih atas bantuanmu, Dad."

Belum sampai perjalanan Ryan, Matthew sudah masuk ke mobil dan mengendarainya keluar. Melihat Matthew melambaikan tangannya untuk Ryan dengan sikap beraninya membuat Ryan berang.

"Aku mendoakanmu mengalami kecelakaan!"

"Siapa yang kau doakan mengalami kecalakaan, Sayangku?"

Ryan menoleh ke belakang di mana Hillary sudah datang dengan keranjang di tangannya. Menatapnya dengan marah. Hillary pasti salah paham dengannya.

Ah bocah sialan! rutuk Ryan dalam hati.

***

Hera mengerang ketika ciuman mereka semakin dalam. Saat ini ia duduk di pangkuan Jacob dan mencengkram kedua bahu Jacob. Sedangkan pria itu yang duduk di sofa, membawa tangannya meraba sepanjang garis tubuh Hera dan berhenti di pinggang kecil wanita itu, ia memberikan sedikit kekuatan di sana membuat Hera bergetar. Jacob tersenyum dalam ciuman mereka dan ia memperdalam ciumannya hingga seseorang menginterupsi mereka.

"Hera? Apa yang sedang kau lakukan?!"

Mendengar suara itu membuat Hera kesal. Ia melepaskan ciuman mereka lalu menatap malas pada Alice, kekasih ayahnya.

Jacob pun ikut menatap Alice dengan kerutan di dahinya. "Siapa wanita ini? Aku tidak tahu kamu punya saudari."

Dengan datar Hera menjawab, "Dia bukan siapa-siapa."

Alice tampak tidak terganggu sama sekali dengan jawaban itu.

Hera menghembuskan napasnya. Ia turun dari pangkuan Jacob lalu duduk di sebelah pria itu. Menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dan membiarkan kedua kaki jenjangnya berada di paha Jacob. Salah satu tangan pria itu menggenggam jemari halus Hera dan satunya lagi mengeluskan kaki Hera dengan sayang.

Alice dengan wajah tebal mendekati mereka dan duduk di sofa seberang. "Ini pertama kalinya kita bertemu. Siapa namamu?"

"Siapa dia bukanlah urusanmu," Hera menjawabnya dengan malas.

"Hera, ayahmu berpesan pada—"

Hera segera berdiri dengan wajah tenang. "Dengar, jangan pernah ikut campur dalam urusanku."

"Tapi, Hera— Hera, tunggu!"

Hera tidak mendengarnya. Ia segera menarik Jacob ke atas menuju kamarnya. Menutup pintu, Hera segera melepaskan sepatunya.

"Apa dia kakakmu?" tanya Jacob.

Hera mendengus kesal. "Aku tidak memiliki kakak perempuan."

Saat Jacob ingin bertanya lagi, Hera sudah menghentikannya. Hera mengalungkan tanganya di leher Jacob dan menatapnya dengan wajah imut.

"Jangan membahas dia lagi, oke?"

Jacob tersenyum. Ia memegang pinggang Hera dan membawa wanita itu menuju tempat tidurnya. Jacob kembali menciumnya perlahan. Ketika ingin membuka kancing pakaian Hera, sebuah suara kembali menginterupsi mereka. Namun kali ini bukan suara wanita melainkan pria.

"Jika kau berani membuka baju adik perempuanku, aku akan mengirimmu ke neraka."

Ergh sial. Hera mengerang dalam hati.

*TBC*

Jangan lupa follow akunku Riri Lidya dan juga instagramku: ririlidya7

Suka chapter ini? Mau aku rajin update???

Vote ⭐️ spam komen 💬 dan share ⌲

Happy reading, Loves!

Riri Lidya:*


Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 122K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
2.7M 133K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
7M 293K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
1.1M 44.4K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...