33 || Perihal Plester

Start bij het begin
                                    

"Gue cuman punya itu, maap."

"Lo berdua abis darimana?" tanya Asep kemudian. "Kok lo pake tempelan bocil?" kepalanya beralih pada Alfa seorang.

"Tempel———itu plester kali, Sep!" seru Dara kesal sembari melempar tempat pensilnya. "Bocil apanya sih lucu gitu."

"Biasa," jawab Alfa tak acuh. "Siapa lagi coba yang suka datang tiba-tiba terus ngerusak muka orang?"

Dara terdiam seketika. Ia sudah menduga yang lain tahu hal ini sejak lama. Tentu saja, mereka sudah berteman 2 tahun lebih, tidak mungkin mereka tidak pernah berbagi cerita satu sama lain. Dan kemungkinan besar, yang lain juga pernah menyaksikan apa yang Dara alami tadi.

"Lawan baliklah, gak capek lo ngalah mulu?" sahut Andra geram.

"Capek, ya gimana. Udah tua bangka, kena sentuh dikit ko'it."

Dara menganga mendengar penuturan Alfa. Cewek itu mendengkus tak percaya lalu melempar kembali tempat pensil yang tadinya sudah Asep balikkan ke arah cowok tengil itu. "Gak boleh ngomong gitu, gimana pun tanpa dia lo gak bakal ada."

"Mendingan juga gue gak ada di sini."

Berdecak kesal, Dara tiba-tiba memunculkam hasrat ingin menjambak rambut cowok itu. Agaknya ia paham dengan cerita Alfa, namun tetap saja di sini cowok itu salah. "Lo gak perlu lawan balik atau tampar balik buat ngebales bokap lo, Al."

Dara tidak tahu, tapi perasaannya mengatakan bahwa kini semua mata tertuju padanya. Namun indra pengelihatannya hanya tertuju pada satu orang, Alfa. "Lo bisa nampar bokap lo dengan nilai. Lo bisa tonjok bokap lo dengan prestasi. Dan lo bisa bikin bokap lo babak belur dengan cara lulus dari sekolah ini dengan nilai tinggi hasil sendiri."

"Caranya? Gue gak bisa——"

Dara tersenyum tulus seperti tadi, "Makanya ada gue di sini.

Gue bakal bantu kalian semua. Karna itulah fungsi sebenernya gue di sini. Jadi tolong percaya sama gue."

***

"Anak-anak gak gampang percaya sama orang, jadi jangan seneng dulu."

Dara segera menoleh, lalu memasang wajah sebal saat melihat siapa yang berbicara tadi. "Iya, tau. Gausah lo ingetin juga gue udah sadar diri."

Dio mengangkat bahu tak acuh. "Gue cuman ngasih tau. Daripada ntar tiba-tiba lo udah seneng duluan karna mikir udah berhasil, tau-taunya mereka———"

Perkataan Dio terhenti karena dengan tiba-tiba Dara menempelkan jari telunjuknya pada mulut cowok itu. Dengan wajah yang ketara bahwa cewek itu sudah malas dengan kalimat-kalimat tersebut, ia berkata, "Sejak kapan lo jadi cerewet gini, hah?"

Tersenyum sinis, Dio memukul pelan tangan Dara hingga cewek itu menarik kembali tangannya. "Emang lo gak peka, ya."

"Hah?" reflek Dara. "Peka apanya?"

Dio menghela napas pelan lalu kembali berucap, "Soal apa yang tadi lo liat, gausah cepu."

"Cepu?"

Dio berdecak, "Bocor maksudnya."

"Ohh," cewek itu mengangguk, "iya-iya, gak bakal cepu."

"Lo ngapain di sini?"

Walau baru saja mengalihkan pandangan, Dara tetap kembali menoleh lalu menjawab, "Lo sendiri ngapain di sini?"

"Ini tempat umum."

Dara memutar kedua bola matanya dengan jengkel. Benar sih, tapi menurutnya agak aneh saja ketika Dio tiba-tiba menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Padahal area bersih di sebelah kantin ini letaknya lumayan jauh dari kelas. Jadi ia hanya merasa aneh, Dio lebih memilih ke sini dibandingkan di kelas, di mana ia bisa tidur di meja atau bersenang-senang dengan yang lain.

"Woi!"

Dara dan Dio serempak memutar kepala ke arah belakang. Setelahnya mereka berdiri dan sepenuhnya menghadap ke arah Alfa yang sedang berjalan ke mari.

"Gak ada yang lain?"

"Apanya?"

Alfa menunjuk benda yang ditempel di ujung bibirnya. "Risi, diliatin mulu gue."

"Gak ada lagi, stok gue udah abis," jawab Dara. "Udah pake itu aja, biasa aja kok."

"Biasa aja pala lo, gue daritadi diliatin," sambar Alfa langsung.

Dara mendelik sebal, "Ya maap."

"Ganti gih."

"Dia udah bilang gak ada, gak paham lo?"

Alfa meringis seraya memiringkan kepalanya. Kedua matanya menatap Dio yang sudah menatapnya balik. "Gue kan ngomong sama Dara, Yo. Kok lo yang sewot dah?"

Dio tersenyum miring, "Lo gak tau diri sih."

Beda halnya dengan Alfa. Cowok itu malah tersenyum lebar, namun terkesan datar. "Bukan urusan lo sebenernya."

Dio menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan perlahan. Kedua tangannya naik terlipat di dada, dengan sorot mata tajam terus menatap Alfa.

Kembali menaikkan kedua ujung bibirnya hingga lesung pipi-nya muncul dengan manisnya, kedua tangan Alfa menelusuk masuk ke saku celana. "Kenapa, Yo? Kok kayak gak senang?"

Merasakan atmosfer di sekitar sudah berubah 180 derajat, Dara segera bergerak agar posisinya di tengah-tengah kedua cowok tersebut. "Ini kok malah musuh-musuhan, sih?"

Dara menatap Alfa, "Iya tar gue ganti, lo ke kelas dulu gih."

"Oke."

Alfa bergerak mundur, lalu berjalan pergi. Namun sebelumnya, Dara yakin ia tak salah lihat, cowok itu tersenyum miring dan menatap Dio sembari berucap tanpa mengeluarkan suara,

"Inget omongan lo."

"

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.
utopia (segera terbit)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu