47. Tak Baik-baik Saja

605 92 9
                                    

"Jika aku menyerah. Aku tak berharap kamu menjadi sandaranku. Aku hanya ingin mengatakan kalau, aku tak baik-baik saja. Agar kamu tahu, aku masih menganggapmu ada."

🍂

Untuk pertama kalinya Galang berani bolos sekolah. Dan kali ini demi seorang Raya. Bukan berarti dia merasa Raya lebih penting dari sekolahnya. Mereka sama pentingnya bagi Galang.

Hanya saja, tadi pagi Galang melihat ponsel Raya aktif kembali. Dia mengetahuinya ketika melacak sendiri menggunakan laptopnya. Ya, Galang memang jenius. Tak butuh sehari dia bisa mempelajari pelacakan itu dari Arnold. Untung saja Arnold berbaik hati mau membagi ilmunya.

Saat ini Galang sedang menyusuri jalan raya dengan mengikuti titik yang menunjukkan keberadaan ponsel Raya. Titik itu berhenti pada sebuah rumah sederhana yang nampak sepi membuat keningnya mengernyit menganalisa apa yang terjadi.

Setelah menitipkan motornya pada salah satu rumah warga di dekat lokasi itu, Galang mengendap-endap untuk mengintip yang ada di dalamnya melalui kaca jendela yang gordennya terbuka sedikit. Nihil. Di dalam sana terlihat sepi seperti tidak ada orang sama sekali. Lantas, Galang beralih ke belakang rumah.

Terdengar suara piring dan sendok yang beradu, tanda bahwa ada seseorang yang sedang makan di dalam. Galang menajamkan penglihatannya dan melihat seorang pria paruh baya mengenakan jas putih seperti seorang dokter sedang menyantap makanan di meja makan.

Kening Galang kembali mengerut. Apa titik yang ditunjukkan oleh sistem itu error? Tak lama setelahnya, ada pria dengan jaket hitam menghampiri pria berjas putih itu. "Dok, anak itu masih belum sadar," ujar pria berjaket hitam itu.

"Biarkan saja. Dia kelelahan semalam tidak tidur. Kondisi jantungnya juga semakin buruk."

Galang menajamkan pendengaran. Dia ingat sekali Raya pernah mengeluh sakit seraya memegang dada kirinya. Apa yang dimaksud dua pria itu adalah Raya?

"Gimana si bos ini. Masa nyari donor buat anaknya malah dapat yang penyakitan?" gerutu pria berjaket hitam lagi.

"Nanti kita bicarakan dengan Pak Andi. Anak itu butuh pengobatan yang serius."

Galang semakin curiga kalau yang mereka maksud itu Raya. Dengan mengendap-endap, Galang mengitari rumah itu mencari ruang yang mungkin menjadi tempat penyekapan Raya. Ketika ada satu jendela yang dipaku dari luar, Galang langsung menghampirinya. Kalau seperti itu, itu artinya yang berada di dalam tidak diperbolehkan keluar. Dan Galang yakin ada sesuatu di dalamnya.

Sulit sekali mencari celah untuk mengintip hingga akhirnya Galang memanjat tangga untuk mencapai ventilasi ruangan. Lubangnya yang cukup kecil membuatnya harus kerja keras untuk bisa melihat ke dalam. Dan benar saja. Galang spontan terbelalak melihat Raya terbaring di sebuah ranjang dengan memejamkan mata.

Tanpa berlama-lama Galang langsung turun dan menenangkan diri dahulu untuk mengatur siasat menyelamatkan Raya.

Setelah merasa sedikit lebih tenang, Galang berjalan ke depan rumah. Akan tetapi, ketika sampai di ujung, tiba-tiba menghentikan langkahnya melihat mobil putih terparkir di depan rumah. Seorang pria dewasa dengan gadis seusianya turun dari mobil itu dan masuk ke dalam rumah. Galang seketika terbelalak. Gadis yang bersama pria itu adalah Aurel.

Galang kembali mengendap ke belakang untuk mendengar pembicaraan mereka. "Bagaimana keadaannya? Jantungnya sudah bagus untuk ditransplantasikan ke putri saya?"

"Maaf, Pak Andi... saya tidak bisa melakukan transplantasi dengan organ yang kurang baik. Akan berisiko pada pendonor maupun putri Bapak."

Pria bernama Andi itu menatap tajam sang dokter. "Saya tidak mau tahu. Dokter segera obati jantung anak itu!"

SAGARA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang