06- Menjadi Guru Senimu

361 303 180
                                    

Banyak orang yang tidak mengenal Narendra secara dalam. Tentang bagaimana ia mampu melihat banyak hal yang orang lain tidak bisa lihat. Tentang bagaimana ia mampu melihat aura dari seseorang, bahkan ingatan seseorang---tapi yang ini jarang sekali. Dan itu semua berawal dari senja sepuluh tahun yang lalu.

Sejujurnya ini bukan pertama kali ia bisa melihat aura seseorang, semenjak kecil ia sudah terbiasa dengan warna-warna yang mengambang diantara tubuh seseorang. Narend tidak tahu persis itu namanya apa, yang jelas setiap warna mewakili sifat dan jati diri mereka.

Narend tidak bisa melihat masa depan maupun masalalu, tetapi biasanya ia akan di tujukan sebuah gambaran atau sensasi di mana ia berada di titik itu di masa yang akan datang. Contohnya, seperti kejadian pada metromini beberapa minggu yang lalu. Ia juga tidak bisa melihat rentetan kematian yang akan datang kepada seseorang.

Namun, ketika ia menemukan glitter berwarna hitam yang pekat pada pamannya tepat empat tahun yang lalu. Disaat yang sama ia juga tidak bisa melihat ingatan pada tantenya. Satu kesamaan lainnya adalah dua orang itu sama-sama meninggal dalam satu waktu bersamaan. Pada sebuah kecelakaan beruntun yang menewaskan banyak jiwa. Termasuk paman dan tantenya.

Narendra tidak begitu yakin apa arti dari warna hitam pekat yaitu kematian?

Tapi anehnya Narendra tidak bisa melihat aura dari Senjani, dan ingatan dari laki-laki bernama Damar.

Bisa jadi dua orang itu juga akan mati dalam waktu dekat?

Damar. Narend belum kenal jauh tentang anak itu, ia juga tidak bisa melihat ingatan apa di dalam pikiran Damar. Sebab, ketika Narend mencoba menatap netra Damar, anak itu justru segera memutuskan pandangan.

Disaat Aruna melontarkan penyataan konyol bahwa di matanya terdapat alam semesta, ia tidak terlalu kaget. Ini bukan yang pertama kali ada seseorang yang berbicara seperti itu. Dulu bang Wina juga pernah mengibulinya seperti itu.
 

_
 

"Senjani!" Narend berlari di sepanjang koridor. Meneriaki nama seseorang yang sudah memancing otak randomnya.

"Senjani berhenti!!" saat itu juga Jani berhenti melangkah. Lagi-lagi Narend memanggilnya dengan sebutan yang benar.

"Kenapa sih lari-lari gitu?" setelah sampai dihadapan Senjani, gadis itu justru geming. Narend harap bukan kata 'Ha' yang pertama kali ia dengar.

"Aku takut kamu palak. Aku gak punya uang ...."

Sebenarnya bukan itu. Jani takut bila laki-laki ini sudah termakan gosip tentangnya yang tidak-tidak. Jani juga pernah sesekali melihat Narend di sekolah ini. Sebab ia temannya penyiar radio yang cukup terkenal seantero sekolah, Haekal.

Akan aneh rasanya jika tiba-tiba saja ada orang yang mau berinteraksi dengan orang seperti Senjani ini, karena orang satu kelas sudah memberinya label seburuk itu.

"Emang tampangku tampang kere? Kalau juga aku mau malak lihat-lihat orang lah!"

"Aku gak punya uang untuk gantiin jaket kamu."

Meskipun jaketnya sudah Jani cuci sepuluh kali pun tetap saja terlihat kotor, sebab terkena darah. Jani juga tidak enak, bila mengembalikan dengan keadaan yang seperti itu. Mau membelikan jaket baru pun harus menunggu uang gajinya. Yang tentu saja tidak sebanding dengan harga jaket milik laki-laki di depannya ini.

"Ah, lupain. Kamu simpen aja, di rumah masih ada kok."

"Tapi janji deh, aku ganti sama yang baru. Aku beliin yang sama persis, yang warna nya sama modelnya juga tapi aku beliin yang kualitas KW gapapa ya? Jaket kamu past ...."

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang