04-Terbiasa Berantakan

459 356 276
                                    

Jani menyelusuri jalan raya, seorang diri. Dengan pengelihatan yang minim dikarenakan langit sudah mulai gelap. Masih lengkap dengan setelan seragam yang terlihat sangat kacau.

Jani terdiam berdiri di pinggir trotoar. Beberapa detik kemudian ada rasa sakit yang menjalar cepat memenuhi tenggorokan, menyekat hebat dibagian sana. Disusul langsung hidung dan bola mata yang memanas.

Melihat sekilas jam yang berada di pergelangan tangan kanan, Jani menyipitkan matanya. Tidak jelas sekali. Angka-angkanya terlalu kecil.

Langkah pasti Jani berdiri di pinggiran trotoar, ia ingin pulang. Untuk pulang harus menyeberang dulu untuk menuju pangkalan ojek di depan. Biasanya Jani akan menyeberang mengikuti orang-orang, tapi jika sudah sendirian maka Jani hanya mengandalkan kesoktahuannya saja.

Jani mengandalkan penglihatan warna gelap pada matanya. Merah artinya lebih gelap dan hijau lebih terang dari warna tadi. Beberapa kali ia kerap diklakson pengendara yang kesal melihat Jani seperti orang yang tak tahu aturan.

Selarut malam apapun itu Jakarta tidak akan membuat jalanan sepi. Tetap sama saja. Jani berusaha mati-matian menyeberang layaknya orang normal. Jika ada polisi atau petugas parkir disana, mungkin Jani sudah meminta tolongnya sejak tadi. Atau dirinya harus meminta tolong kepada orang yang sedang duduk di emperan minimarket? Ah. Tidak.

"Oke. Kita coba." Menghela nafas sembari sedikit membenarkan letak ranselnya yang sedikit melorot. Dengan segala kesoktahuan Jani mulai melangkah. Dan dirinya yakin bila lampu pejalan kaki sudah berwarna hijau.

Yang menjadi kejadian tadi tidak biasa adalah orang yang datang menarik kebelakang lengan Jani disaat dirinya hendak menyebrang.

"Ya!--"

Orang itu adalah si anak baru dari kelas bu Jamilah.

"Lampu jalan masih merah. Lo mau bunuh diri?"

Itu terdengar bukan pertanyaan tapi sebuah pernyataan. "Apa bener tadi itu bunuh diri?"

"Ha?" mungkin astmofir disekitar Jani sedang berubah saat itu. Ia merasa angin dingin yang berhembus sarkas berhasil menohok pori-porinya.

"Ha ho ha ho. Lo hampir mati tau nggak?!"

"Maaf aku nggak lihat." jujur memang Jani sangat minim penglihatan disaat malam.

"Besok-besok diperhatiin bisa-bisa lo ketabrak mobil tadi!"

Jani hanya mengangguk. Narend adalah orang asing pertama yang pernah peduli dengan Jani. Tenang, Jani tidak perfikir lebih soal itu. Dirinya dan Narend adalah sama-sama asing, jadi tak akan ada kedekatan diantaranya.

"Siapa nama lo?"

Baru kali ini Jani mendengar ada orang yang bertanya namanya. Biasanya orang-orang akan memanggil namanya dengan sebutan Rancot atau si bocah tengik. Dirinya tidak tahu jelas kenapa teman-temanya memanggilnya seperti itu. Yang jelas itu dimulai dengan seseorang yang bernama Capella.

"Ha?"

Jani tercengang saat mendapat jitakan tak cukup keras pada dahinya. "Siapa namamu?" laki-laki itu mengubah cara bicaranya.

Jani ingat, ini adalah pertemuan keempat mereka yang selalu berakhir tidak baik. Jelas, selalu ketika Jani terlihat sangat berantakan. Pertemuan pertama di minimarket dimana Jani sudah menerobos deretan antrean. Kedua, adegan tabrakan di belokan kelas. Ketiga, ketika ia baru masuk ke dalam kelas dengan keadaan yang sama tidak mengenakan. Dan kini, harus bertemu lagi dengan keadaan lebih buruk dengan setelah seragam berantakan.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang