02- Di ambang Pintu

532 418 507
                                    

"Narend, lo gak bakal ninggalin temen-temen lo yang malang ini kan?"

"Anak Jaksel atau anak Malang sih lo?"

"Ini gimana le.. kok abang pinter e, buat jatuh cinta terngiang-ngiang e.. gue jadi iri-iri gimana le..."

"Jancuk berisik, yang lo tangis-tingisin aja kelihatan kalem-kalem wae!!." final Haekal.

Benar saja keempat teman Narend yang sedikit sinting itu tengah meraung-raung sebab Narend akan pindah ke kelas unggulan, lusa. Mereka itu terlalu lebay, padahal masih satu sekolah. Dan bahkan masih bisa ketemu. Tapi bukan itu alasan teman-temanya meraung. Sebab kunci jawaban berjalannya akan pergi.

Narend justru terlihat santai dan tenang seperti biasanya. Berkutat dengan kuas dan kertas papan yang selalu ia bawa kemana-mana. Mencampurkan cat berwarna biru dan merah agar menjadi warna ungu. Mencampurkan warna kuning dengan oren, dan banyak lagi.

"Rend, hari ini gak ada pelajaran seni lukis kali." ujar laki-laki dengan mata sipitnya itu.

"Kan gue bentar lagi ketemu guru favorit gue."

"Aelah, iya iya, yang situ ngefans banget sama pakdhe Bulan."

Pakdhe Bulan yang dimaksud Jio itu guru Seni mengajar kelas unggulan, tidak heran juga bila guru itu di tempatkan untuk murid unggulan karena memang skil yang dimiliki sangat bisa dibilang baik dan arghh-- Narend sangat kagum.

"Eh tapi lusa lo harus tampil beda bro. Masa iya calon anak unggulan tampangan kayak gengster begini." Ale menatap atas sampai bawah penampilan Narend.

Padahal penampilan Narend rapi, memakai atribut yang lengkap. Hanya saja gaya rambutnya sedikit kurang rapi masih seperti anak SMP. Bagaimana bentuk rambutnya, Narend sebenarnya terlihat cocok-cocok saja.

Orang ganteng mau bagemana juge tetep ganteng, jaelah.

"Ngaca dong." balas Narend.

"Iya! Ngaca dong. Narend mau gimana pun juga tetep ganteng, lo gak lihat muka gue sama Narend mirip. 11 12 lah ya.." Ale segera menjitak kepala Haekal yang memiliki rasa kepedean sangat tinggi. Orang asing kalau melihat mereka pun tidak pernah ada fikiran menganggap kalau kembar. Sungguh!

"Iya Narend sebelas, lo seratus dua belas."


"Halahh.. becanda kali, Kal. Gitu aja langsung ngambek. Bibir langsung monyong lima senti."

Di belakangnya Jio dan Aruna yang sedari tadi diam. Ikut-ikutan menggoda Haekal, dengan menabuh bangku alih-alih gendang. Kemudian bernyanyi dengan nada sumbang, dan melody yang ngawur.

Ditempatnya Narend sudah tertawa terpingkal-pingkal. Memegangi perutnya yang serasa sudah keram, sesekali menyeka air mata yang jatuh diujung matanya. Melihat mereka dikejar oleh Haekal kelilingi kelas, yang sudah cukup heboh ini.

Dalam gradasi warna, Haekal serupa dengan warna kuning yang ceria. Kuning yang cerah dan selalu terlihat menarik. Haekal juga seperti itu, bocah semprul yang bertingkah tidak jelas.

Tapi bagi Narend, Haekal tidak seceria warna kuning yang menyenangkan. Adakalanya laki-laki itu dikikis kecemasan, dan rasa tidak percayaannya. Selain gampang tertawa Haekal sebenarnya gampang uring-uringan. Manusia memang punya banyak sisi dalam dirinya.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang