11- Perjalanan

368 223 359
                                    

Narend tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Diingatnya hanya kepalanya terbentur oleh karang yang cukup tajam seperti bambu runcing yang siap memburu. Sinar senja berhasil meraup segala penglihatannya. Dirasakannya hanya hitam.    

Di dalam kegelapan, ia merasakan dadanya ditekan berulang kali. Andai kata pompa yang ditekan berulang kali agar air keluar dari sumbernya. Begitu juga yang Narend rasakan saat itu.

Tangannya juga perlahan-lahan menghangat, terdengar suara Winata menangis disampingnya. Meraung memohon untuk tidak pergi.

"Dek.. dengerin suara Abang kan? Maaf..."

"Maaf... ."

Diusapnya pelipis Narend ketika darah tak henti-hentinya keluar.
            

Seperti dalam sebuah mimpi yang panjang, Narend berkelana di dalamnya. Hidup bersama ikan hiu yang berenang bebas di udara, juga ada paus yang bersembunyi di balik kapal bajak laut. Berbicara bersama kawanan burung gereja mengenai mengapa mereka tidak pernah singgah di satu tempat. Kemudian masuk di dalam rumah kura-kura yang luas. Dijamu dengan perasaan yang hangat.

Di bawah lamun sadarnya Narend merasa ia berada di negri dongeng.

Suara Bunda terdengar di antara suara burung kenari yang sedang asyik mengobrol. Suara tangis nanar dan ayat-ayat terucap berulang kali tepat di telinga Narend.

"Nak... Bangun..."     

Narend tahu ia masih hidup. Papa, Bunda, Bang Wina, Paman Darso, Tante Ningsih, ada disana, memanggil namanya berulang kali. Anehnya, semakin mereka berteriak justru suara itu terdengar seperti bisikan malaikat yang siap menjemputnya.

Digenggamnya erat tangan Narend yang kecil. Winata tidak peduli bila ingusnya keluar, air matanya jatuh membasahi kaosnya. Ia merasa bersalah. "Maafin Abang... Abang janji gak akan kemana-mana."

Satu minggu.

Dua minggu.

Tiga minggu.

Pada malam yang panjang, akhirnya Narend membuka matanya. Ia sudah lelah berkelana di negri dongeng yang ia buat di pikirannya.

Setelah ia rasa sudah membuka mata lebar-lebar yang nampak hanya kegelapan. Suara panggilan Bunda dan Papa masih terdengar jelas, namun ada satu hal yang membuatnya menangis kemudian. Gelap. Semuanya gelap.

"Bunda gelap ..." begitu lirihnya.

Winata yang sudah menunduk dalam-dalam menahan isaknya, memegang kaki kursi erat-erat. Tak sanggup ia melihat keadaan Narend yang terbangun dengan kondisi tak memungkinkan.

Apakah ini rasanya buta? Saat itu Narend bertanya pada dirinya sendiri. Sebab ketika ia bertanya pada Papa tidak ada jawaban, bertanya pada Bunda hanya isak tangis yang ia dengar, bertanya pada Wina anak laki-laki itu hanya selalu berakhir memeluknya.

Narend berteriak. "BUNDA AKU TAKUT!" anak berusia 7 tahun itu tak henti-hentinya menangis. Hanya satu kalimat yang ia keluarkan setiap harinya.

Sampai pada bulan keempat ia mengalami kebutaan dan ingatan yang terputar secara abstrak. Karena hasil medis menyatakan sarafnya sempat bermasalah.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang