03- Walkman dan Lagunya

491 384 356
                                    

 
Dulu waktu SMP, Narend adalah salah satu murid yang bisa di bilang sangat antusias pada pelajaran seni budaya dan keterampilan. Katanya, menyederhanakan warna menjadi empat kelompok. Yakni, primer, sekunder, tersier, dan netral.

Kalau ditanya soal warna, Narend selalu menjawab ia bisa menjadi warna apa saja. Bisa menjadi merah yang pemberani, kuning yang ceria, biru yang tenang, atau hitam yang hampa.

Seperti bungkus permen warna-warni yang tengah berada di hadapannya. Yang naas harus bersanding dengan bakso, mie ayam, bahkan bau semerbak kuah soto buatan ibu kantin.

"Eit.. gimana my brother, ciwi-ciwi kelas unggulan cantik-cantik tidak?" Haekal menyumpil duduk di antara Narend dan Aruna. Dengan gerakan cepat langsung mendapat pukulan dari Aruna yang hampir saja terguling ke belakang jika tidak bisa menahan keseimbangan.

Narend hanya menggidikkan bahu, ia masih memandangi mie ayam yang sudah dingin sebab cuman diaduk-aduk. Nafsu makannya benar-benar hilang sejak kemunculan Haekal.

"Narend!"

Yang dipanggil justru menghela nafas frustasi, berbeda dengan Haekal dan Aruna yang sudah menahan tawa. Itu adalah hal buruk bagi seorang Narendra Hemagibta. Kehadiran Mishel tak ubahnya jailangkung.

Narend geming saat gadis itu justru duduk di hadapannya. Kalau boleh Narend ingin pergi dari kantin saat itu juga, tapi apalah daya justru Haekal menahannya. Rasanya anak itu memang sengaja membuat Narend menderita.

"Na.. nitip Cappucino satu gak usah pakek es ya?" begitu suruhnya ketika Aruna berdiri dari tempat duduk yang hendak mengembalikan mangkok gambar ayam jago itu. Dengan memutar bola mata malas Aruna berlalu.

"Kalau nggak pakek es ya nggak enak." kata Haekal.

"Nggak apa-apa. Es nya udah ada di sini."

Narend geming, ia melanjutkan kegiatan makannya meskipun malas setengah mati. Sedangkan Haekal sudah tertawa luar biasa di sebelahnya, di dalam hati Narend menyumpahi agar keselek.

Mishel itu anak kelas sebelah. Wajahnya cantik seperti Kang Seulgi favoritnya Haekal. Anaknya kalem-kalem gimana gitu, tapi bila dia ingin mendapatkan sesuatu maka tak gencarnya ia usaha sampai dapat. Penampilannya dari atas sampai bawah semua barang branded. Maklum anaknya konglomerat.

Parasnya ayu. Siswa disini bahkan rela mengeluarkan uang untuk membeli setangkai bunga yang harganya mahal--meskipun berujung di dalam tong sampah.

Meskipun pakaian branded, warna bibir merah mehong, parfum wangi seperti kembang tujuh rupa, tak tidak membuat seorang Narend sudi melihatnya.

"Narend, sibuk nggak?" tanya Mishel sambil membenarkan rambutnya yang diombre warna merah. Sepertinya ia baru ke salon lagi, sebab seingat Narend rambut perempuan itu berwarna hijau stabilo minggu lalu.

Narend mengalihkan pandanganya dari semangkuk sawi yang mengapung diatas kuah, ke senyum manis dari bibir Mishel. "Sibuk, lagi makan."

"Ih bukan gitu. Maksudnya ada acara nggak nanti malam?"

"Ada kelompok di rumahnya Haekal. Jadi gak bisa." Lantangnya seakan sudah tahu kemana arah pembicaraan yang dimaksud perempuan itu.

"Kelompok apaan dah? Orang kita udah gak sekelas." jawab Haekal dengan mulut penuh bakso mercon jika di hiperbolakan berisi sekilo cabai.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang